Saturday 27 August 2022

Kajian Antropologi Sastra Dalam Novel Imarat Yacobian Karya Ala Al-Aswany

 

Kajian Antropologi Sastra Dalam Novel Imarat Yacobian

Karya Ala Al-Aswany


ABSTRAK

Pengkajian novel dengan pendekatan antropologi sastra merupakan sebuah pendekatan baru terhadap telaah karya sastra. Selama ini antropologi sastra banyak digunakan untuk menelaah mitos-mitos dan folklore. Pengkajian Novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany dengan pendekatan antropologi sastra ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) kompleksitas ide Novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany, (2) kompleksitas aktivitas tokoh tokoh Novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany, (3) kompleksitas hasil budaya Novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data penelitian ini berupa Novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany.

Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi sastra untuk mendeskripsikan kompleksitas ide, aktivitas tokoh, dan hasil budaya Novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik noninteraktif dengan membaca novel dan analisis dokumen. Validasi data menggunakan trianggulasi data. Teknik analisis data menggunakan konten analisis dengan tiga unsur kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.

Hasil penelitian ini menyimpulkan: a) kompleksitas ide Novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany terdiri dari lima pandangan hidup masyarakat Mesir, yaitu kompleksitas ide tentang: (1) hakikat hidup manusia, (2) hakikat karya manusia, (3) hakikat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) pandangan manusia terhadap alam semesta, dan (5) hakikat hubungan antarmanusia, b) kompleksitas aktivitas tokoh Novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany terdiri dari: kompleksitas aktivitas tokoh yang berhubungan dengan (1) kekerabatan, (2) ekonomi, (3) pendidikan, (4) kegiatan ilmiah, (5) estetika dan rekreasi, (6) religi, (7) politik, dan (8) somatis, c) kompleksitas hasil budaya Novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany dibagi dalam beberapa jenis, yakni kompleksitas hasil budaya berbentuk: (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) teknologi, (5) alat produksi/mata pencarian, (6) religi, dan (7) kesenian.



BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Karya fiksi merupakan sebuah representasi gambaran kehidupan manusia. Berbagai problematika dan dinamika kehidupan disajikan melalui jalinan kisah kehidupan para tokoh di dalamnya. Selain sebagai sebuah karya dengan struktur pembentuk sebagai unsur artistic, di dalam karya fiksi juga tercermin berbagai aspek kehidupan manusia. Berbagai aspek kehidupan tersebut tergambar, baik secara fisik, psikologis, maupun social budaya.

Berdasarkan pandangan tersebut kajian sastra tidak hanya difokuskan pada aspek keindahan struktur fisiknya. Akan tetapi, kajian sastra secara interdisipliner dapat bersinergi dengan berbagai kajian ilmu sosial humaniora lainnya. Berbagai pendekatan interdisipliner diperkenalkan, di antaranya bidang psikologi, sosioal, sampai aspek antropologisnya. Semua pendekatan tersebut diharapkan mampu menjadi media memahami kedalaman khazanah sastra sebagai miniatur kehidupan manusia yang dihadirkan oleh pengaran.

Dari berbagai pendekatan yang ada, penelitian sastra ini akan difokuskan pada pemahaman aspek antropologi sebuah karya fiksi. Ditinjau dari pendekatan antropologis, mencari hubungan antara antropologi budaya dan sastra atau sebaliknya tidaklah begitu sulit, terlebih setelah munculnya strukturalisme levi Strauss dan posmoderisme. Semenjak itu, kesaling berhubungan antara antropologi budaya dan sastra, baik pada tataran teoritis maupun tataran kajian fenomena empiris, menjadi semakin kuat dan jelas. Sebagai sebuah displin yang berkembangnya sangat ditentukan oleh data yang ditampilkan dalam bentuk etnografi, maka antropologi budaya tidak pernah terlepas dari sastra, baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Sebagaimana halnya sastra lisan,  sastra dalam bentuk yang tertulis (dalam hal ini novel) juga dapat diperlakukan sebagai objek material, baik sebagai “pintu masuk” untuk memahami kebudayaan tertentu maupun sebagai salah satu unsur kebudayaan yang sedang dipelajari. Melalui penelusuran atas dimensi-dimensi dan implikasi-implikasi antropologis teks-teks sastra, tidak hanya bisa ditemukan model-model interpretasi tertentu, melainkan juga dapat diperoleh kemungkinan jawaban atas pertanyaan seputar masalah kebudayaan masyarakat tertentu.

Dalam disiplin antropologi, pengkajian atas sumber-sumber literer seperti mitos-mitos, dongeng, riwayat hidup, dan jenis-jenis sastra lisan lainnyamerupakan suatu praktik yang sudah secara umum diterima (acceptable). Suatu hal yang lazim apabila dalam kasus masyarakat yang “melek huruf”, para ahli antropologi beralih pada sumber-sumber tertulis seperti berita-berita di surat kabar atau karya-karya sastra. Tidak heran kalau novel-novel pun diperlakukan pula sebagai sumber data antropologis. Kajian-kajian antropologis semacam ini selalu mengasumsikan bahwa persentasi-persentasi pengarang terhadap  dunia (terhadap alam, terhadap relasi-relasi sosial) telah terbentuk oleh lingkungan budayanya.

Salah satu aspek kubudayaan yang menarik minat para pemrhati antropologi sastra adalah citra arketipe dan cerita citra primordial. Secara historis, ciri-ciri arketipe masuk dalam analisis karya sastra melalui dua jalur. Pertama, melalui psikologi analitik Jung, kedua melalui antropologi kultural. Psikologi analitik Jung menelusuri jejak-jejak psikologis, tipologi pengalaman yang tampil secara berulang, sebagai ketaksadaran rasial, seperti mitos, mimpi, fantasi, dan agama, termasuk karya sastra. Sedangkan antropologi kultural menelusuri pola-pola naratif, tipologi tokoh-tokoh (Nyoman kutha Ratna, 2009:354).

Berpijak dari pendapat Nyoman Kutha Ratna tersebut, jakian antropologi sastra berkaitan erat dengan psikologi dan perilaku  budaya manusia. Pendapat tersebut juga membuka kemungkinan adanya variasi dan perkembangan budaya sebagai hasil interaksi ke dalam dan keluar kebudayaan, yang salah satunya berwujud karya sastra. Karya sastra sebagai salah satu bentuk hasil manusia terpengaruh aspek kesukuan, geografis dan nilai-nilai yang berkembang sebagai wujud pemikiran budaya masyarakat. Hal ini didukung oleh kondisi geografis suatu wilayah seperti negara Indonesia yaitu kepulauan yang memiliki beragam macam suku. Setiap suku memiliki sistem budaya dan bahasanya masing-masing. Kekayaan budaya ini semakin bertambah dengan kondisi geografis Nusantara yang menjadi jalur perdagangan dan pelayaran sejak berabad-abad lalu, sehingga menimbulkan persinggungan budaya dengan kedatangan para perantau baik dari timur tengah, India, China, maupun Eropa, yang datang ke Indonesia dengan berbagai tujuan. Seperti halnya Mesir yang notaben negara yang dikelilingi sebuah gurun dan wilayah yang panas cuacanya serta menjadi pusat perdagangan dari berbagai daerah demi mencari mata pencaharian dan saling berinteraksi dengan orang pribumi di wilayah tersebut. Di situlah muncul proses akulturasi, bahkan asimilasi, yang pada akhirnya memunculkan ragam tradisi dan hasil-hasil budaya yang baru.

Dalam bidang sastra fakta-fakta budaya tersebut menjadi salah satu sumber inspirasi bagi para penulis untuk menghasilkan karya-karyanya. Salah satu Novel yang menarik untuk saya kaji ialah Novel Imarat Ya’qubiyan. Novel Arab modern yang laris ini mengungkap liku-liku kisah cinta beragam anak manusia dan gebalau situasi sosial politik sebuah Negara berkembang dengan segala persoalannya yang memotret mesir masa kini, tapi sesungguhnya juga mencerminkan apa yang sedang terjadi di negeri kita sendiri.

Kecamuk segala sisi kehidupan manusia itu diwakili beragam manusia penghuni Apartemen Yacoubian ('Imaarat Ya'quubiyaan), sebuah bangunan unik yang pernah menjadi salah satu gedung termegah di kairo: lelaki playboy yang kesepian di masa tua. Wanita muda penuh gairah yang terpaksa menjual kehormatannya demi menafkahi ibu dan adik-adiknya, kmahasiswa miskin yang terbujuk gerakan islam radikal, politisi korup yang suka mengutip Alquran seenaknya demi membenarkan setiap tindakannya, dan seorang redaktur Koran terkemuka yang jatuh cinta sesame jenis kepada seorang tentara miskin.

Aneka corak kehidupan tersebut berujung pada akhir yang mengejutkan dalam novel tersebut. Novel ini merupakan sebuah jendela untuk memahami cinta dan pengorbanan dalam urban modern.

Dalam penelitian ini saya akan membahas tentang masalah hiruk-pikuk kehidupan manusia yang terdapat dalam novel 'Imaarat Ya'quubiyaan. Landasan teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah landasan teori tentang tema, alur, latar, tokoh, penokohan, sudut pandang, dan antropologi sastra. Penelitian ini akan didasari pada penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis secara mendalam dalam melakukan pengumpulan data. Seperti penjelasan awal bahwa Novel ini merupakan sebuah novel yang menceritakan tentang keberagaman masalah hiruk pikuk kehidupan manusia atau keberagaman kehidupan sosial yang terjadi di Mesir pada tahun 1990-an dengan menggunakan fiksi sebagai medianya. Dilatar belakangi oleh para penghuni Apartemen Yacoubian ('Imaarat Ya'quubiyaan), novel ini membuka mata dunia akan kebobrokan sosial, politik, dan agama di Mesir. Bisa di tarik kesimpulan bahwa dalam novel 'Imaarat Ya'quubiyaan, selain terdapat beragam unsur intrinsik, juga terdapat empat masalah sosial yang masih dianggap tabu berupa diskriminasi, homoseksualitas, gerakan Islam radikal, dan korupsi yang ditinjau melalui kajian Antropologi sastra.

 

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana kompleksitas ide dalam novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany?

2.      Bagaimana kompleksitas aktivitas tokoh dalam novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany?

3.      Bagaimana kompleksitas hasil budaya dalam novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany?

 

 

C.    Tujuan Penelitian

1.      Mendeskripsikan dan menjelaskan kompleksitas ide dalam novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany?

2.      Mendeskripsikan dan menjelaskan kompleksitas aktivitas tokoh dalam novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany?

3.      Mendeskripsikan dan menjelaskan kompleksitas hasil budaya dalam novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany?

 

D.    Manfaat Penelitian

1.      Manfaat Teoritis

a.       Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang sastra.

b.      Menambah khasanah pustaka Indonesia agar nantinya dapat digunakan sebagai penunjang kajian yang relevan dan bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya.

2.      Manfaat fraktis

Secara fraktis , penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca dan penikmat karya sastra, khususnya Mahasiswa, pembaca dan peneliti selanjutnya untuk memahami dan mengapresiasi novel Imarat Ya’qubiyan karya ala Al-‘Aswany.

a.       Bagi Mahasiswa

Mahasiswa dapat memperoleh pengetahuan tentang nilai-nilai budaya kehidupan yang terdapat dalam novel Imarat Ya’qubiyan karya Ala Al-‘aswany. Sehingga dapat mengimplementasikan nilai-nilai budaya yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

b.      Bagi pembaca

Siapapun yang membaca, bisa terinsfirasi bahwa dalam kehidupan terdapat banyak hiruk pikuk budaya setiap manusia, sehingga pembaca lebih berhati-hati dalam setiap bertindak baik dalam segi tulisan maupun lisan serta tingkah laku di lingkungan hidupnya.

c.       Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini dapat memberikan bahan referensi bagi para peneliti yang ingin meneliti lebih lanjut tentang novel Imarat Ya’qubiyan karya Ala al-‘Aswany.


 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.    Kajian Teori

1.      Hakikat Novel

a.      Pengertian novel

Karya fiksi merupakan salah satu genre sastra yang kian berkembang dan banyak digemari masyarakat. Hal ini disebabkan dalam karya fiksi disuguhkan berbagai masalah kehidupan dalam hubungannya dengan sesame dan lingkungan. Fiksi dapat membuat pembaca menghabiskan waktu untuk ikut berinteraksi dengan berbagai persoalan kehidupan.

Menurut Herman J. Waluyo (2002: 136-137) “cerita rekaan/fiksi dibangun oleh dua unsur pokok yakni: apa yang diseritakan dan teknik (metode) penceritaan. Isi atau materi yang diceritakan tidak dapat dipisahkan dengan cara penceritaan, bahasa yang digunakan untuk bercerita disesuaikan dengan isi, sifat, perasaan, dan tujuan apa cerita itu. Cerita rekaan adalah wacana yang dibangun oleh beberapa unsur. Unsur-unsur itu membangun suatu kesatuan, kebulatan, dan regulasi diri atau membangun sebuah struktur. Unsur-unsur itu bersifat fungsional, artinya dicipta pengarang untuk mendukung maksud secara keseluruhan, dan maknanya ditentukan oleh keseluruhan cerita ini”.

 Suminto A. Suyuti menyandingkan cerita rekaa/fiksi dan novel pada deretan kata yang memiliki makna yang sama. Di menjelaskan “Novel (cerita rekaan) dapat dilihat dari beberapa sisi. Ditinjau dari panjangnya, novel pada umumnya terdiri dari 45.000 kata atu lebih. Berdasarkan sifatnya, novel (cerita rekaan) bersifat expands, ‘meluas’ yang menitik beratkan pada complexity. Sebuah novel tidak akan selesai dibaca sekali duduk, hal ini berbeda dengan cerita pendek. Dalam Novel (cerita rekaan) juga dimungkinkan adanya penyajian panjang lebar tentang tempat atau ruang (2000: 5-7)”.

Bila dibandingkan dengan roman, novel memiliki beberapa perbedaan. Pengertian tentang keduanya sering dipertentangkan. Sebutan roman dan novel di Indonesia diartikan berbeda (Jakob Sumardjo, 1984: 65). Roman diartikan sebagai cerita berbentuk prosa yang panjang, banyak tokoh dan banyak penjelajahan tentang kehidupan yang meliputi waktu sampai kematiannya. Novel diartikan sebagai cerita tentang sebagian kehidupan tokohnya saja, seperti masa menjelang perkawinannya setelah mengalami masa percintaan atau bagian kehidupan seorang tokoh yang mengalami krisis dalam jiwanya.

Herman J. Waluyo (2002: 37) mengemukakan bahwa novel mempunyai ciri; (1) ada perubahan nasib dari tokoh cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya tokoh utama tidak sampai meninggal. Dan dalam novel tidak di tuntut kesatuan gagasan, impresi, emosi, dan setting seperti dalam cerita pendek.

Berpijak dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel atau cerita rekaan adalah satu genre sastra yang dibangun oleh unsur-unsur pembangun sebagai sebuah struktur yang secara fungsional memiliki keterjalinan di antaranya; untuk membangun totalitas makna dengan media bahasa sebagai penyampai/gagasan pengarang tentang hidup dan seluk beluk kehidupan manusia. Novel adalah salah satu bentuk dari sebuah karya sastra. Sebuah novel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Dalam sebuah novel, si pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel tersebut.

Menurut Muchtar Lubis (dalam Henry Guntur Tarigan, 1985: 165) cerita novel itu ada bermacam-macam, antara lain (1) novel avontur, yaitu bentuk novel yang dipusatkan pada seorang lakon atau tokoh utama, (2) novel psikologi, merupakan novel yang penuh dengan peristiwa-peristiwa kejiwaan para tokoh, (3) novel detektif, yaitu novel yang merupakan cerita pembongkaran rekayasa kejahatan untuk menangkap pelakunya dengan cara penyelidikan yang tepat dan cermat, (4) novel politik atau novel sosial, yaitu bentuk cerita tentang kehidupan golongan dalam masyarakat dengan segala permasalahannya, misalnya antara kaum masyarakat dan buruh dengan kaum kapitalis terjadi pemberontakan, (5) novel kolektif,yaitu novel yang menceritakan pelaku secara kompleksitas (menyeluruh) dan segala seluk beluknya. Novel kolektif tidak mementingkan individu masyarakat secara kolektif.

b.      Struktur novel

1)      Unsur Intrinsik

Novel merupakan sebuah totalitas, suatu keseluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagianbagian, unsur-unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Jika novel dikatakan sebagai suatu totalitas, unsur, kata, bahasa, misalnya menjadi salah satu bagian dari totalitas itu, salah satu unsur pembangun cerita itu, salah satu subsistem organisme itu. Kata inilah yang menyebabkan novel, juga sastra pada umumnya, menjadi berwujud (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 23).

Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2008: 10) membagi unsur-unsur intrinsik prosa fiksi terdiri dari: tema cerita, plot atau kerangka cerita, penokohan dan perwatakan, setting atau tempat cerita atau latar, sudut pengarang atau point of view, latar belakang atau back ground, dialog atau percakapan, gaya bahasa atau gaya cerita, waktu cerita dan waktu penceritaan, serta amanat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diuraikan unsur intrinsik pembangun novel terdiri dari unsur berikut:

 

a)      Tema

Tema adalah gagasan pokok dalam cerita fiksi. Suminto A. Sayuti (2000: 97) menyatakan bahwa tema adalah makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita. Pendapat yang hampir sama diungkapkan oleh Panuti Sudjiman (1988: 51) yang menyatakan bahwa tema adalah gagasan yang mendasari karya sastra.

Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan, 1985: 125) menyatakan sebuah definisi tentang tema. Menurutnya, tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yeng membentuk dan membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra. Secara lebih khusus dalam prosa fiksi. Aminuddin (2004: 91) menambahkan bahwa tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Tema pada intinya merupakan dasar cerita, dasar tersebut bisa berupa pandangan tertentu seorang penulis terhadap kehidupan atau nilai-nilai dalam kehidupan.

Berpijak dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk menemukan tema dalam sebuah karya fiksi harus dapat menyimpulkan isi seluruh cerita, tidak hanya mengetahui sepotong-potong bagian tertentu dari cerita. Eksistensi atau kehadiran tema adalah terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita, inilah yang menyebabkan kemungkinan kecil terjadinya pelukisan langsung. Hal ini menyebabkan sulitnya menafsirkan tema.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan seorang pembaca dalam melakukan analisis tentang tema. Aminuddin (2004: 91) menyebutkan bahwa tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa fiksi oleh pengarang. Sehubungan dengan pendapat tersebut, ia menyatakan pembaca terlebih dahulu harus memahami unsur-unsur signifikan yang membangun cerita, menyimpulkan makna yang dikandungnya, serta mampu menghubungkannya dengan tujuan penciptaan pengarangnya. Tiga hal tersebut yang harus dilakukan seorang pembaca dalam memahami tema sebuah karya sastra khususnya prosa fiksi.

b)     Alur atau plot

Alur merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan banyak orang yang berpendapat sebagai hal yang terpenting diantara unsur fiksi yang lain. Kejelasan alur, berkaitan erat dengan kejelasan yang berkaitan antar peristiwa yang dikisahkan secara linier, yang akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang dibacanya (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 110).

Menurut Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan, 1985: 126) alur adalah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama. Aminuddin (2004: 83) menambahkan bahwa alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Secara lebih singkat, Jakob Sumardjo (2005: 15) menyatakan “plot ialah yang menggerakkan kejadian cerita”. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa plot atau alur adalah sebuah struktur yang dibentuk dari sejumlah peristiwa dan berfungsi menggerakkan peristiwa yang dihadirkan oleh pelaku, sehingga menjadi jalinan penggerak dalam sebuah cerita fiksi.

Terdapat beberapa versi dalam penggambaran alur. Henry Guntur Tarigan (1985: 126) menggambarkan alur bergerak dari suatu permulaan (beginning) melalui suatu pertengahan (middle) menuju suatu akhir (ending), yang dalam dunia sastra dikenal dengan eksposisi, komplikasi, dan resolusi (denoument). Pendapat senada, namun dengan versi berbeda dinyatakan Loban (dalam Aminuddin, 2004: 84) yang menggambarkan gerak tahapan alur layaknya gelombang. Tahap tersebut antara lain: (1) eksposisi, (2) komplikasi, (3) klimaks, (4) revelasi atau penyingkapan tabir suatu problema, dan (5) denouement atau penyelesaian.

Lebih lanjut, Adelstein & Pival (dalam Herman J. Waluyo, 2011: 12) menjelaskan bahwa pada prinsipnya alur cerita terdiri dari tiga bagian, yaitu: (1) alur awal, terdiri dari paparan (eksposition), rangsangan (inciting moment), dan penggawatan (rising action); (2) alur tengah, terdiri atas pertikaian (conflict),perumitan (complication), dan klimaks atau puncak penggawatan (climax); (3) alur akhir, terdiri dari perleraian (falling action), dan penyelesaian (denoument). Alur cerita tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

 

 

 

 

 

 

 

Climax

 

 

 


Conflict falling

 

 

 

Compliication

 

 


falling action

 

Rising action

 

 


Inciting moment

 

 


denouement

 

Exposition

 

 

 

Gambar 1: Plot Prosa Fiksi

(Adelstein & Pival dalam Herman J. Waluyo, 2011: 12)

 

Exsposition atau eksposisi adalah paparan awal cerita. Pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokoh-tokoh cerita. Inciting moment adalah peristiwa mulai terjadinya problem-problem yang ditampilkan pengarang kemudian ditingkatkan mengarah pada peningkatan problem. Rising action adalah peningkatan adanya permasalahan yang dapat meningkatkan konflik. Complication adalah konflik yang terjadi semakin genting. Permasalahan sebagai sumber konflik sudah saling berhadapan. Climax adalah puncak dari terjadinya konflik cerita yang berasal dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya. Falling action adalah peredaan konflik cerita. Denouement adalah penyelesaian yang dipaparkan oleh pengarang dalam mengakiri penyelesaian konflik yang terjadi.

c)      Tokoh dan penokohan

                                                                                                                    i.            Tokoh

Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah cerita, novel atau cerita fiksi. Burhan Nurgiyantoro (2010: 65) menggunakan istilah tokoh untuk menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan watak, perwatakan, dan karakter menunjuk sfat dan sikap para tokoh yang ditafsirkan para pembaca.

Bedasarkan peran dalam sebuah cerita tokoh dapat terbagi menjadi dua, yaitu protagonist dan antagonis (Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani, 2008: 28). Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita yang mendatangkan rasa simpati atau baik. Tokoh antagonis merupakan kebalikan dari tokoh pantagonis yang menentangalur cerita yang menimbulkan perasaan benci pada si pembaca.

                                                                                                                  ii.            Penokohan

Penokohan dalam cerita rekaan tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan tokoh. Istilah tokoh menunjukan pada pelaku dalam cerita, sedangkan penokohan menunjukan pada sifat, watak atau karakter yang melengkapi dari tokoh tersebut. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 165).

Ada beberapa cara pengarang untuk menggambarkan watak tokoh-tokohnya. Menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2008: 32) cara penggambaran watak tokoh antara lain: (1) penggambaran secara langsung, (2) secara langsung dengan diperindah, (3) melalui pernyataan oleh tokohnya sendiri, (4) melalui dramatisasi, (5) melalui pelukisan terhadap keadaan sekitar pelaku, (6) melalui analisis psikis pelaku, dan (7) melalui dialog pelaku-pelakunya.

Lebih lanjut, Aminuddin (2004: 80) cara penggambaran watak tokoh antara lain: (1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya, maupun caranya berpakaian, (3) menunjukkan bagaimana perilakunya, (4) melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, (5) memahami bagaimana jalan pikrannya, (6) melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, (7) melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya, (8) melihat bagaimana tokoh-tokoh lain itu memberikan reaksi terhadapnya, dan (9) melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh lainnya.

d)     Latar atau setting

Menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2011: 23) pengertian seting adalah tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita dapat berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologis, dan aspek psikis. Namun seting dapat dikaitkan dengan tempat dan waktu. Senada dengan pendapat tersebut, latar atau setting, menurut Aminuddin (2004: 68) terbagi menjadi dua jenis, yakni latar fisik dan latar psikologis. Latar fisik berhubungan dengan tempat, waktu dalam lingkungan tertentu. Sedangkan latar psikologis adalah lingkungan atau benda-benda dalam lingkungan tetentu yang mampu mengajak emosi pembaca. Setting fisikal hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat fisik, sedangkan settingpsikologis dapat berupa suasana maupun sikap, jalan pikiran suatu lingkungan masyarakat tertentu.

Sedangkan Burhan Nurgiyantoro (2010: 216) menyatakan bahwa latar adalah segala keterangan petunjuk, pengacauan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa latar merupakan suatu tempat terjadinya peristiwa yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana dalam cerita.

Latar dalam cerita berfungsi sebagai pendukung cerita. Wahyudi Siswanto (2008: 151) menyebutkan fungsi latar yang berguna untuk mengembangkan cerita, penjelas tempat, waktu dan suasana, sebagai simbol atau lambang peristiwa, menggambarkan watak tokoh, suasana cerita atau atmosfer, alur, dan tema cerita. Latar secara otomatis akan mengikuti perubahan peristiwa yang membentuk sebuah alur. Latar juga seringkali dideskripsikan sebagai bagian eksposisi dalam sebuah cerita fiksi. Latar secara otomatis akan mendukung penceritaan seorang tokoh dalam sebuah fiksi. Misalnya ketika akan menceritakan tokoh petani yang rajin, pengarang akan memilih latar yang sesuai, misalnya di sebuah sawah, pada pagi hari, dan sebagainya. Oleh sebab itu, peran latar baik latar tempat, latar waktu, maupun latar suasana sangat menentukan keindahan dalam cerita fiksi.

e)      Sudut pandang Pengarang (Point of view)

Sudut pandang merupakan salah satu unsur fiksi yang penting, dan menentukan. Sudut pandang mempunyai hubungan psikologis dengan pembaca. Pembaca membutuhkan persepsi yang jelas mengenai sudut pandang mengenai cerita, karena pemahaman sebuah novel dapat dipengaruhi oleh kejelasan dari sudut pandang.

Shipley seperti yang dikutip Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2008: 38) menyebutkan adanya 2 jenis point of view, yaitu internal point of view dan external point of view. Internal point of view terdiri dari dua macam, yaitu: (1) tokoh yang bercerita; (2) pencerita menjadi salah seorang pelaku; (3) sudut pandang akuan; (4) pencerita sebagai tokoh sampingan dan bukan tokoh hero. Sementara untuk gaya ekternal point of view ada dua jenis, yaitu; (1) gaya diaan; dan (2) penampilan gagasan dari tokoh-tokohnya.

Henry Guntur Tarigan (1985: 139) menyatakan bahwa sudut pandang dinamakan juga pusat narasi. Ia membagi pusat narasi menjadi empat, yakni (1) tokoh utama dapat menceritakan ceritanya sendiri, dalam hal ini pusat tokoh identik dengan pusat narasi, (2) cerita disampaikan oleh peninjau yang merupakan partisipan dalam cerita itu, (3) observer author dimana pengarang cerita bertindak sebagai peninjau saja, dan (4) cerita dapat dituturkan oleh pengarang orang ketiga atau omniscient author. Selanjutnya, Aminuddin (2004: 90) menyatakan bahwa sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Sudut pandang meliputi (1) narrator omniscient, (2) narrator observer, (3) narrator observer omniscient, dan (4) narrator the third person omniscient.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sudut pandang pengarang adalah cara pandang pengarang untuk dapat menjelaskan dalam menyampaikan sebuah cerita agar dapat dipahami pembaca.

f)       Gaya bahasa atau gaya penceritaan

Gaya penceritaan, atau style menurut Aminuddin (2004: 22) adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa. Dalam wacana sastra pengarang akan menggunakan kata yang bermakna padat, reflektif, asosiatif, dan bersifat konotatif. Oleh karena itulah, masalah gaya berkaitan dengan masalah gaya dalam bahasa itu sendiri. Wahyudi Siswanto (2008: 162) menyebutkan gaya penceritaan mencakup teknk penulisan dan teknik penceritaan. Teknik penulisan adalah teknik yang digunakan pengarang dalam menulis karya sastranya. Teknik penceritaan adalah cara yang digunakan pengarang untuk menyajikan karya sastranya seperti teknik pemandangan, teknik adegan, teknik montase, teknik kolase, dan teknik asosiasi.

Menurut Aminuddin (2004: 23), gaya memiliki unsur-unsur, yaitu (1) pilihan kata dari setiap pengarang, (2) penataan kata dan kalimatnya, dan (3) nuansa makna serta suasana penuturan yang disampaikannya. Gaya pengarang tentunyaberkaitan langsung dengan ekspresi. Gaya menjadi alat seorang pengarang dalam menyampaikan gagasannya. Sehingga meskipun pada tema yang sama, seorang pengarang akan memiliki gaya yang berbeda dalam menceritakannya.

 

 

2)      Unsur Ektrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur ekstrinsik berperan sebagai unsur yang memengaruhi bangunan sebuah cerita. Unsur ekstrinsik novel adalah unsur pembentuk cerita yang berasal dari luar karya sastra, seperti karya sastra dengan lingkungan, karya sastra dengan pembaca, karya sastra dengan pengarang dan karya sastra dengan penerbitnya. Selain itu, unsur ekstrinsik juga lebih banyak berkonsentrasi pada peristiwa dan sudut pandang penceritaan.

Menurut Burhan Nurgiyantoro (2007: 24), unsur ekstrinsik novel adalah unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan sistem organisme karya sastra. Sementara itu Wellek dan Austin Warren (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2007: 24) menjelaskan bahwa unsur yang dimaksud antara lain adalah subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan dan pandangan hidup yang semuanya itu akan berpengaruh pada karya sastra yang ditulisnya.

Unsur sosiologi, biografi pengarang, keadaan masyarakat pengarang, lingkungan ekonomi, sosial dan budaya pengarang dapat menentukan ciri karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang. Unsur ekstrinsik lain misalnya pandangan hidup suatu bangsa. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur ekstrinsik sangat berpengaruh besar terhadap wujud dan roh cerita yang dihasilkan karena melibatkan sudut pandang pengarang yang memiliki perbedaan lingkungan ekonomi, sosial dan budaya.

2.      Hakikat pendekatan Antropologi Sastra

a.      Pengertian Antropologi

Berbincang mengenai antropologi maka kit tidak dapat dilepaskan dari fase-fase perkembangannya. Dalam buku Pengantar Ilmu Antropologi, Koentjaraningrat membaginya menjadi empat fase perkembangan (2002:1-6). Fase pertama di mulai sebelum abad ke-18, sekitar akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16. Pada fase ini terkumpul berbagai bahan pengetahuan berupa buku-buku mengenai kisah perjalanan, laporan dan sebagainya, buah tangan musafir, pelaut, pendeta penyiar agama Nasrani, penerjemah Kitab Injil, dan pegawai pemerintah jajahan. Fase kedua sekitar pertengahan abad ke-19, ditandai dengan timbulnya karangan-karangan yang menyusun bahan etnografi berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat. Fase ketiga terhitung pada permulaan abad ke-20. Pada fase ini antropologi telah menjadi ilmu praktis dengan tujuan ‘mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan pemerintah kolonial dan mendapat pengertian tentang masyarakat masa kini yang kompleksitas’. Fase yang terakhir muncul sekitar tahun 1930, yang ditandai dengan perluasan objek kajian dari antropologi yaitu masyarakat pedesaan pada umumnya.

Sementara itu, dalam ilmu antropologi terdapat perbedaanperbedaan mengenai istilah yang digunakan (Koentjaraningrat, 2002: 10-12). Di Eropa Barat digunakan istilah Ethnograpy berarti ‘pelukisantentang bangsa-bangsa’. Ethnology yang berarti ‘ilmu bangsa-bangsa’, termasuk istilah yang telah lama dipakai sejak permulaan antropologi. Di Eropa Tengah digunakan istilah Volkerkunde berarti ‘ilmu bangsa-bangsa’. Istilah Kulturkunde berarti ‘ilmu kebudayaan’, pernah dipakai oleh L. Frobenius dan G. J. Held. Anthropology berarti ‘ilmu tentang manusia’, merupakan istilah yang sangat tua. Cultural anthropology mengacu pada bagian ilmu antropologi dalam arti luas yang tidak mempelajari manusia dari segi fisiknya, lawan dari physical anthropology. Di Inggris familiar dengan istilah social anthropology, untuk menyebut antropologi dalam fase ketiganya.

Dari berbagai uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa antropologi mengkaji mengenai sifat-sifat khusus badani dan cara-cara produksi, tradisi-tradisi dan nilai-nilai yang membuat pergaulan hidup yang satu berbeda dengan pergaulan hidup lainnya. Oleh karenanya, antropologi dapat dimaknai sebagai ilmu pengetauhan yang mengkaji manusia sebagai bagian dari masyarakat.

b.      Pengertian Antropologi Sastra

Kedudukan karya sastra sebagai hasil budaya manusia belum secara kokoh ditempatkan dalam kajian yang disebut antropologi sastra. Pandangan mengenai kemungkinan adanya keterkaitan antara karya sastra dan pendekatan antropologi dinyatatan oleh Iser (dalam Matthews, 2010: 366) sebagai berikut.

Iser writes: “Literature is not self-sufficient, so it could hardly bear its own origin within itself. What it is, is the result of its function” In suggesting this originary perspective, he anticipates a turn to the function of literature as a part of what would become an increasingly elaborated anthropological approach. Simultaneously warning against discovering anthropological constants in human nature.”

Dalam pandangannya tersebut Iser menyatakan bahwa karya sastra tdak berdiri sendiri (not self-sufficient) sehingga karya sastra tidak mampu menelusuri asalnya tanpa perannya sendiri. Hal itu adalah hasil dari fungsi sebuah karya sastra. Iser juga mengantisipasi adanya kemungkinan bahwa pada gilirannya fungsi karya sastra sebagai bagian dari sesuatu yang tergabung dalam pendekatan antropologis. Hal itu sekaligus juga akan memberikan peringatan terhadap penemuan antropologi yang konstan dalam sifat alamiah manusia selama ini.

Pengkajian karya sastra dari sudut antropologi sastra merupakan hal yang baru dalam penelitian karya sastra. Pendekatan antropologi terhadap sebuah karya sastra sebenarnya sudah pernah dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Claude Levi-Strauss (1963: 206). Tokoh ini pada awalnya banyak membaca buku-buku filsafat. Ia tertarik pada ilmu Antropologi setelah membaca buku Primitive Society karya Robert Lowie (Ahimsa Putra, 1997: xii). Ia melakukan penelitian secara struktural terhadap mitos dengan teori oposisi binernya. Sebenarnya, hal yang sama bisa juga diterapkan pada karya-karya sastra moderen, seperti: prosa, puisi, atau drama. Akan tetapi, khusus penelitian tentang antropologi sastra adalah suatu penelitian yang belum banyak berkembang, khususnya di Indonesia.

Nyoman Kutha Ratna (2011: 35) mengungkapkan bahwa Isu mengenai antropologi sastra pertama kali muncul dalam kongres ’Folklore and Literary Anthropology’ (Poyatos, 1988: xi-xv) yang berlangsung di Calcutta (1978), diprakarsai oleh Universitas Kahyani dan Museum India. Meskipun demikian Poyatos mengakui bahwa sebagai istilah antropologi sastra pertama kali dikemukakan dalam tulisannya yang yang dimuat dalam Semiotica (1977).Senada dengan Nyoman Kutha Ratna tersebut, Menicucci (2010: 12) menyatakan:

In his introduction to the volume Literary Anthropology (Poyatos, 1988: xi-xxiii), Fernando Poyatos provides a neat outline of what methodological strategies and epistemological intentions are to be applied to literature so as to extract anthropological meaning from it. (Menicucci, 2010: 12).

Dari pernyataan tersebut, tampak bahwa dalam tulisannya, Poyatos (1988) telah memperkenalkan strategi-strategi metodologis serta epistemologis yang dapat diterapkan dalam mengikhtisarkan makna antropologis dari karya sastra.

Secara definitif, antropologi sastra diartikan sebagai studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia (anthropos). Dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan manusia, seperti bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat-istiadat, dan karya seni, khususnya karya sastra (Nyoman Kutha Ratna, 2009: 351). Berkaitandengan tiga macam bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia, yaitu kompleksitas ide, kompleksitas aktivitas, dan kompleksitas benda-benda, maka antropologi sastra memusatkan perhatian pada kompleksitas ide kebudayaan.

Pengkajian karya sastra dengan pendekatan antropologi sangat memungkinkan untuk dilakukan. Hal ini mengingat sebuah karya sastra tidak hanya mengandung unsur yang bersifat naratif dengan segala pirantinya, tetapi juga mengandung hal-hal yang bersifat sosiologis, psikis, historis, maupun antropologis. Hipotesis ini diperkuat oleh argumentasi bahwa karya sastra sifatnya terbuka. Artinya, seorang pengarang memiliki kebebasan yang luas untuk mengekspresikan segala aspek kehidupannya atau kehidupan masyarakat di sekitarnya melalui media bahasa.

Sebuah karya sastra bisa dibahas atau diteliti melalui berbagai pendekatan yang berkaitan dengan segala hal yang menyangkut kehidupan manusia atau masyarakat. Sosiologi sastra, psikologi sastra, dan antropologi sastra, sebagai ilmu sosial humaniora jelas mempermasalahkan manusia. Perbedaanya, sosiologi sastra mempermasalahkan masyarakat, psikologi sastra pada aspek-aspek kejiwaan, sedangkan antropologi sastra pada kebudayaan (Nyoman Kutha Ratna, 2009:353).

Lahirnya pendekatan antropologi sastra didasarkan atas kenyataan bahwa: (a) baik sastra maupun antropologi menganggap bahasa sebagai objek yang penting; (b) baik sastra maupun antropologi mempermasalahkan relevansi manusia dengan budaya, dan (c) baik antropologi maupun sastra sama-sama mempermasalahkan tradisi lisan atau sastra lisan, seperti: mitos, dongeng, dan legenda menjadi objek penelitiannya (Nyoman Kutha Ratna, 2009:352). Tradisi lisan yang merupakan hasil budaya dan berkembang dalam suatu masyarakat, bisa diteliti melalui pendekatan sastra maupun pendekatan antropologis. Jadi titik temu antara antropologi dan sastra adalah pada bahasa sebagai objeknya.

Sejalan dengan pendapat di atas, Suwardi Endraswara (2006:107) menyatakan bahwa penelitian antropologi sastra dapat menitikberatkan pada dua hal. Pertama, meneliti tulisan-tulisan etnografi yang berbau sastra untuk melihat estetikanya. Kedua, meneliti karya sastra dari sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat aspek-aspek budaya masyarakat. Jadi, selain meneliti aspek sastra dari tulisan etnografi, fokus antropologi sastra adalah mengkaji aspek budaya masyarakat dalam teks sastra.

Antropologi dibedakan menjadi antropologi fisik dan antropologi kebudayaan, yang sekarang menjadi studi kultural. Dalam kaitannya dengan sastra, antropologi kebudayaan dibedakan menjadi dua bidang, yaitu antropologi dengan objek verbal dan nonverbal. Pedekatan antropologi sastra lebih banyak berkaitan dengan objek verbal (N yoman Kutha Ratna, 2009: 63).

Lebih lanjut, Nyoman Kutha Ratna menuturkan bahwa pokokpokok bahasan yang ditawarkan dalam pendekatan antropologis adalah bahasa sebagaimana dimanfaatkan dalam karya sastra, sebagai struktur naratif, yaitu:

1)      Aspek-aspek naratif karya sastra dan kebudayaan yang berbeda-beda.

2)      Penelitian aspek naratif sejak epic yang paling awal hingga novel yang paling modern.

3)      Bentuk-bentuk arkhais dalam karya sastra, baik dalam konteks karya individual maupun generasi.

4)      Bentuk-bentuk mitos dan system religi dalam karya sastra.

5)      Pengaruh mitos, sistem religi, dan citra primordial yang lain dalam kebudayaan popular.

5)Sebagai sebuah kajian interdisipliner yang relatif baru, dalam antropologi sastra muncul Istilah antropologi sastra berdekatan dengan istilah literary anthropology. Istilah ini dimunculkan oleh Iser (dalam Sumara, 2002: 239), sebagaimana dalam kutipan berikut.

“Iser (1989, 1993) has named interpretive practices associated with reader/text relations a “literary anthropology.” With this phrase he suggests that while the reader will always have an interpretation of the text she or he is reading, the interpretation itselfparticipates in the on going development of the reader’s self identity.”

Dalam kutipan tersebut Iser menamai kajian yang menekankan penafsiran karya sastra yang berhubungan dengan teks dan pembaca sebagai “literary anthropology”. Pada penjelasan lebih lanjut, ia menekankan bahwa ketika pembaca memiliki penafsiran terhadap karya sastra yang dibaca, penafsiran tersebut memiliki peran dalam proses pengembangan identitas pribadi pembaca itu sendiri (while the reader will always have an interpretation of the text she or he is reading, the interpretation itself participates in the ongoing development of the reader’s self identity).

Pemahaman terhadap pembaca yang menafsirkan karya sastra tentunya, tidak terlepas dari pemahaman atas perannya sebagai individu yang berkontribusi dalam masyarakat kebudayaan, dalam hal ini ia juga akan membentuk dimensi-dimensi antropologi. Identifikasi peran pribadi pembaca ketika ia membaca dan menafsirkan karya sastra, sebagaimana dikatakan Iser tersebut, tentunya perlu dilakukan dengan menggunakan instrumen yang menggabungkan antara dua disiplin ilmu, yakni kajian sastra dan kajian antropologi. Dengan kata lain, istilah antropologi sastra lebih mengacu pada kajian dengan menekankan pada analisis karya sastra dengan menggunakan instrumen antropologi, yang nantinya akan menghasilkan sebuah pemahaman terhadap kaitan antara karya sastra dengan kebudayaan.

Secara lebih spesifik kajian antropologi sastra akan menghasilkan perpaduan dua bidang ilmu yakni sastra dan antropologi. Pemahaman utama dalam kajian antropologi sastra adalah bahwa karya sastra berada dalam konteks, bukan hanya vakum dan bersifat sebagai data otonom (Nyoman Kutha Ratna, 2011: 33). Poyatos (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2007: 33) menyatakan bahwa antropologi sastra juga berarti analisis sastra antarbudaya, kebudayaan yang berbeda-beda akan menghasilkan sastra bandingan. Oleh karena itu, antropologi sastra memiliki tugas untuk mengungkapkan aspek-aspek kebudayaan, khususnya kebudayaan tertentu dalam masyarakat tertentu. Oleh karena itu, kajian antropologi sastra dibatasi sebagai sebuah kajiian yang menganalisis karya sastra sebagai produk budaya, yang ditelaah dengan sudut pandang antropologis.

Kedudukan kajian antropologi sastra dirumuskan oleh Nyoman Kutha Ratna, (2011: 68) yakni, “Pertama antropologi sastra berfungsi untuk melengkapi analisis ekstrinsik di samping sosiologi sastra dan psikologi sastra. Kedua, antropologi sastra berfungsi untuk mengantisipasi kecenderungan-kecenderungan baru hasil-hasil karya sastra yang di dalamnya banyak dikemukakan kearifan lokal....”. Dari paparan tersebut diketahui bahwa antropologi sastra berpusat pada tataran kajian unsur ekstrinsik dan mengakomodasi adanya kearifan lokal yang terkandung dalam karya sastra.

Analisis antropologis dalam sastra adalah upaya untuk mencoba memberikan identitas terhadap karya sastra tersebut, dengan menganggapnya mengandung aspek tertentu, dalam hubungannya dengan ciri-ciri kebudayaan (Nyoman Kutha Ratna, 2011:39). Sebagai sebuah analisis antropologi dan sastra memiliki perbedaan mendasar. Antropologi sebagai disiplin ilmiah dan karya sastra adalah hasil kreativitas dan imajinatif. Oleh karena itu, keduanya perlu memadukan aspek-aspek yang bersinggungan dan memberikan batasan kajian.

Seperti telah diketahui, bahwa pendekatan antropologi sastra dalam penelitian sastra adalah suatu hal yang baru. Oleh karena itu, masih sedikit sekali ditemui teori-teori tentang antropologi sastra tersebut. Hal ini mungkin disebabkan oleh dominasi pendekatan sosiologi sastra karena menganggap bahwa hal-hal yang bersifat antropologis dalam sebuah karya sastra merupakan wilayah kajian sosiologi sastra.

Antropologi sastra adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam masyarakat (N yoman Kutha Ratna, 2009: 63). Manusia dalam konteks ini tentu saja manusia sebagai individu yang membentuk suatu kebudayaan, bukan manusia sebagai mahluk sosial dalam masyarakat yang nantinya melahirkan pendekatan sosisologi sastra. Antropologi sastra memberi perhatian pada manusia sebagai agen kultural, sistem kekerabatan, sistem mitos, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Artinya, antropologi sastra menganalisis sebuah karya sastra dengan memperhatikan teori dan data-data yang bersifat antropologis yang ada di dalamnya (Nyoman Kutha Ratna, 2009: 353-357). Dalam konteks yang lebih opersional, dapat disimpulkan bahwa penelitian antropologi sastra terhadap sebuah karya sastra adalah berusaha melihat perjalanan atau sikap individu tokoh cerita yang mewarnai dan pengungkap budaya masyarakat tertentu yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri.

 

 

 

c.       Langkah-langkah penerapan Antropologi sastra terhadap novel imarat yacubian

d.      Kebudayaan masyarakat Mesir

B.     Penelitian yang relevan


 

BAB III

METODE PENELITIAN

A.    Tempat dan waktu penelitian

B.     Bentuk dan Pendekatan penelitian

C.    Data dan Sumber data

D.    Teknik pengumpulan data

E.     Validasi data

F.     Teknik analisis data


 

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.    Hasil penelitian

B.