LATAR BELAKANG SEJARAH BANTEN
1.1
Banten Menjelang Abad XVI
Berita atau
sumber-sumber sejarah tentang masa sebelum abad XVI sangat sedikit dapat
ditemukan. Setidak-tidaknya pada abad XV – XVI Banten sudah
menjadi pelabuhan kerajaan Sunda. Menurut Ten Dam di daerah
sekitar ibukota kerajaan Sunda yakni Pajajaran, yang lokasinya sekitar Bogor
sekarang, sudah ada dua jalur jalan darat penting yang menghubungkan daerah
pantai utara dengan ibukota.
Sungai-sungai
yang mengalir dari pedalaman ke Utara Jawa juga telah dimanfaatkan sebagai
jalur hubungan daerah pedalaman dan daerah pantai. Salah satu di
antara dua jalur darat itu alah, jalan dari ibukota Pajajaran menuju Jasingga
kemudian membelok ke Utara Rangkasbitung dan berakhirnya di Banten Girang.
Banten Girang
terletak kira-kira 3 km di sebelah Utara kota Serang sekarang atau sekitar 13
km dari Banten Lama. Dengan adanya nama Banten Girang (Girang = Hulu)
timbul pikiran tentang kemungkinan adanya nama Banten Hilir (Hilir =
Muara). Tetapi yang menjadi pertanyaan apakah ada suatu kota
bernamna Banten Hilir ? Dan jika itu ada apakah sama dengan Banten Lama
sekarang ?
Pada waktu
Tome Pires mengunjungi Banten tahun 1513, Banten merupakan pelabuhan yang
belum begitu berarti tetapi sudah disebutkan sebagai pelabuhan kedua dari
kerajaan Sunda yang terbesar sesudah Sunda Kelapa. Hubungan
dagang telah banyak antar Banten dengan Sumatra dan banyak perahu yang
berlabuh di Banten. Pengekspor beras, bahan makanan dan
lada. Sedangkan sekitar tahun 1522 Banten sudah merupakan
pelabuhan yang cukup berarti, dimana kerajaan Sunda melalui pelabuhan Banten
dan Sunda Kelapa sudah mengekspor 1.000 bahar lada per tahun.
1.2.
Banten Abad XVI
Ketika
kerajaan yang bercorak Islam berdiri, pusat kekuasaan di wilayah ini yang
semula berkudukan di Banten Girang dipindahkan ke Kota Surosowan di Banten
Lama dekat pantai. Dari sudut politik dan ekonomi, pemindahan ini
dimaksudkan untuk memudahkan hubungan pesisir Utara Jawa dengan pesisir
Sumatra melalui Selat Sunda dan Samudera Indonesia. Situasi ini
berkaitan dengan kondisi politik di Asia Tenggara masa itu, dimana Malaka
sudah jatuh di bawah kekuasaan Portugis sehingga pedagang-pedagang yang segan
berhubungan dengan Portugis mengalihkan jalur dagangannya melalui selat
Sunda.
Berdirinya
kota Surosowan sebagai ibukota kerajaan Banten adalah atas petunjuk dan
perintah Sunan Gunung Jati pada puteranya Hasanuddin yang kemudian menjadi
raja Banten pertama. Kedatangan penguasa Islam ke daerah Banten
terjadi kira-kira 1524 – 1525, pada saat mana daerah Banten masih ada dalam
kekuasaan kerajaan Sunda. Berdasarkan tradisi setempat yang menjadi
penguasa kerajaan Sunda terakhir di daerah Wahanten Girang (Banten
Girang) adalah Prabu Pucuk Umun, putera Prabu Seda. Sunan Gunung Jati atau
Syeh Syarief Hidayatullah yang menjadi penguasa Islam pertama di Banten tidak
mentasbihkan diri menjadi raja pertama tetapi menyerahkan kekuasaan Banten
kepada puteranya Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1526 menikah dengan
putera Sultan Trenggana dinobatkan menjadi raja Banten pada tahun 1552.
Selain
membuata keraton Surosowan, Hasanuddin juga telah membangun dua mesjid di
sekitar Banten Lama sekarang. Mesjid yang pertama ialah mesjid
yang terletak di kampung Pecinan dan yang kedua ialah Mesjid Agung kerajaan
yang terletak disebelah barat alun-alun.
Hasanuddin
digantikan oleh Maulana Yusuf sebagai raja Banten yang kedua (1570 –
1580). Ia telah memperluas wilayah kekuasaan Banten sampai
jauh ke pedalaman yang semula masih dikuasai kerajaan
Sunda Pajajaran dan berhasil menduduki ibukota kerajaan Pakuan. Berdasarakan
tradisi, Maulana Yusuf telah memperluas bangunan Mesjid Agung dengan membuata
serambi dan juga telah membangun mesjid lain di Kasunyatan (selatan Banten
Lama). Waktu Maulana Yusuf wafat yang berhak naik tahta ialah
Pangeran Muhamad. Karena waktu itu Pangeran Muhamad masih kecil
maka yang bertindak sebagai wali raja ialah Pangeran Aria Japara. Salah
satu episode penting dalam masa pemerintahan Pangeran Muhamad ialah
kedatangan kapal-kapal Belanda pada tahun 1596 yang berlabuh
di pelabuhan Banten dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Dari merekalah didapat
catatan-catatan tertulis yang sangat berharga tentang Banten.
1.3.
Banten Abad XVII - XVIII
Salah satu
dari kondisi sosial politik dan sosial ekonomi terutama sejak
pertengahan abad XVII kerajaan Banten mulai dimasuki pengaruh Belanda. Pada
abad XVII kerajaan banten mengalami kemajuan perdagangan dan
kebudayaan. Raja-raja atau sultan-sultan yang memerintah dalam
abad ini di Banten adalah sebagai berikut :
a. Abdul
Mufakir Makmud Abdul
Kadir 1596 –
1640
b. Abdul
Maali Akhmad
1651 – 1672
c. Abdul
Fathi Abdul Fatah
1651 - 1672
d. Abdul
Nas’r Abdul Kohar
1672 - 1687
e. Abdul
Fadhal
1687 - 1690
f. Abdul
Mahasin Zainul Abidin
1690 - 1733
Tentang
nama-nama sultan yang memerintah pada abad XVII hampir tidak ada perbedaan
interpretasi di antara beberapa penulis. Tetapi mengenai masa
pemerintahannya terdapat bermacam-macam tafsiran seperti misalnya yang
dikemukakan oleh Valentijn.
Catatan mengenai
kota Banten pada abad XVII dapat diperoleh dari berbagai sumber. Diantara
sumber tersebut menceritakan bahwa pada tahun 1664 Banten sudah dikelilingi
oleh tembok kuat dan bermeriam. Menurut sumber lainnya bahwa
temboknya terbuat dari bata. Keraton Surosowan yang tadinya tidak
berbenteng, pada masa pemerintahan Sultan Abu Nas’r Abdul Kohar diberi
benteng keliling. Hal ini terbukti dari catatan Schouten yang
belum menyebutkan adanya benteng keraton. Berdasarkan catatan
Belanda benteng ini dibuat oleh Hendrik Lucaszoon Cardeel menurut
Valentijn. Ia juga telah membngun sebuah menara yang dibuat di
halaman depan Mesjid Agung Banten dan bangunan Tiyamah yang didirikan di sisi
selatan serambi Mesjid Agung.
1.4. Banten
abad XVII-XIX
Pada abad
XVIII rakyat Banten sangat prihatin dan tidak setuju dengan cara yang
diterapkan Belanda di Kesultanan Banten. Muncullah perjuangan para
tokoh-tokoh Banten, mereka sebagai grilyawan yang bermarkas di hutan-hutan
selatan, selalu siap menghadapi tentara Belanda yang menuju Batavia yang
mengangkat rempah-rempah dan barang-barang perdagangan lainnya dari banten.
Pada babad Bantenpun tersebut bahwa Selat Sunda setiap saat waspada dan
disiapkan para bajak negara yang sering disebut Bojonegoro, untuk memusnahkan
kapal-kapal kompeni Belanda.
Dari sultan
ke sultan, sejak pergantian Sultan Haji oleh Sultan Abdul Fadhal pada tahun
1687 dan dilanjutkan oleh sultan berikutnya pada tahun 1690, yaitu sultan
Abul Mahasin Zainul Abidimn, kesultanan Banten tidak banyak mengalami kemajuan
apa-apa kecuali saat banten dipegang oleh Sultan Fathi Muhammad Syafa Zainul
Arifin pada tahun 1733, banyak terjadi pemberontakan–pemberontakan. Hal itu
disebabkan karena adanya tekanan-tekanan Kompeni Belanda yang dirasakan oleh
rakyat Banten, seperti kerja rodi dan lain sebagainya.
Pada tahun
1740-1753, Sultan Syarifuddin baru memerintah menggantikan Sultan Fathi
terjadi banyak pemberontakan, antara lain adanya perlawanan rakyat dibawah
pimpinan Ki tapa, seorang alim yang selesai bertapa di Gunung Muara. Rakyat
menyaksikan bagaimana penguasa-penguasa keraton dikuasai Belanda. Mereka
hanya menjadi alat penjajah untuk memeras rakyat. Terlebih lagi ketika Sultan
Fathi Muhamad Siffa Zainul Arifin ditangkap dan di buang ke Ambon atas
hasutan Syarifah Fatimah pada tahun 1735. Setelah itu syarifah Fatimah diakui
sebagai wakil Sultan, dengan memakai gelar Ratu. Hal ini merupakan ssuatu
penghinaan dan penghianatan terhadap penguasa Banten.
Para pengikut
dan pecinta Sultan Ageng mendapat kesempatan bersama-sama rakyat Banten
lainnya untuk melawan Belanda.
Tahun-tahun
bersejarah beberapa pemberontakan di Banten sebagai perlawanan rakyat kepada
penjajah Belanda.
Pada tahun 1808
Rakyat menentang Marsekal Deandels dalam
pembuatan pelabuhan di Ujung Kulon. Pemberontakan di Pasir Peteuy, Pandeglang
di bawah pimpinan Mas Nuriman.
Pada tahun 1809
Ketika Pemerintah Hindia Belanda
Memerintahkan untuk membuat Anyer-Panarukan terjadi pemaksaan dan kekerasan
sehingga mengakibatkan pemberontakan:
1. Pemberontakan
Banten Selatan
2. Pemberontakan
Anyer
3. Penyerbuan di
Cikande
Pemberontakan di Leuweung Lancar,
di bawah pimpinan Mas Angabay Naya Wipraja dan Angabay Jaya Sedana sebagai
dendam atas serbuan Deandels ke Banten serta musnahnya Keraton. Juga
diakibatkan karena dikuasainya Banten dan Lampung sebagai jajahan
Belanda. Tangerang, Jasinga dan Sadeng dirampas untuk
kemudian dimasukkan ke Batavia dan sebagai batasnya adalah Cidurian dan
Bogor.
Pada tahun 1813
Terjadi pemberontakan Undar-andir di bawah
pimpinan Mas Ngabai Lonang dan Mas Djakaria, yang terkenal dengan
pemberontakan Undar-andir I.
Pada tahun 1815
Dikenal dengan pemberontakan Mas Djuring dan
Mas Sampiuh di Pandeglang. Saat itu keraton di Ciekek dengan
sultannya bernama Achmad.
Pada tahun 1817
Terjadi pemberontakan Undar-andir II di bawah
pimpinan seorang yang bernama Bidin dan Agus Kamis.
Pada tahun 1830
Terjadi Pemberontakan Nyimas Gamparan bersama
saudara-saudaranya , peperangan terjadi di Cikande, Rangkasbitung, waringin
Kurung, Pandeglang sampai ke Tarogong. Serangan rakyat terhadap tanam paksa
yang lebih di kenal dengan istilah Belanda Kultur Stelsel. Penyerbuan terjadi
di sekitar lereng Gunung Karang.
Pada tahun 1845
Terjadi Perang Cikande II di bawah pimpinan
mas sarean, dibantu oleh seorang wanita yang bernama Nyi Tinah beserta 34
orang pengikut yang semuanya wanita, Belanda kewalahan menghadapi serangan
tersebut, namun mereka akhirnya semua dihukum gantung.
Pada tahun 1858
Dilanjutkan dengan pemberontakan Culang Batu ke II,
dimana dalam pertempuran tersebut ada seorang letnan Belanda yang mati
terbunuh.
Pada tahun 1886
Terkenal dengan terjadinya Pemberontakan di
cilegon, di bawah pimpinan H. Wasyid dan puncak perlawanan itu disebut Geger
Cilegon 1888 yang didukung oleh para ulama dan jawara Banten.
2.
KEPURBAKALAAN
Di
Banten Lama dan sekitarnya kini masih terdapat beberapa peninggalan
kepurbakalaan yang berasal dari zaman kerajaan Islam Banten (abad XVI –
XVIII)
Peninggalan
tersebut ada yang masih utuh namun banyak yang tinggal reruntuhannya saja
bahkan tidak sedikit yang berupa fragmen-fragmen kecil. Peninggalan berupa
artefak –artefak kecil yang dikumpulkan dalam penelitian dan penggalian
kepurbakalaan kini telah disimpan di Museum Situs Kepurbakalaan yang terletak
di halaman depan bekas Keraton Surosowan.
Peninggalan
kepurbakalaan tersebut adalah :
1. Komplek
Keraton Surosowan
2. Komplek
Mesjid Agung
3. Meriam
Ki Amuk
4. Mesjid
Pacinan Tinggi
5. Komplek
Keraton Kaibon
6. Mesjid
Koja
7. Kerkhof
8. Benteng
Spelwijk
9. Klenteng
Cina
10. Watu Gilang
11. Makam Kerabat Sultan
12. Mesjid Agung Kenari
13. Benda-benda purbakala di
Museum Banten
|
- Home
- TENTANG
- BIOGRAFI
- TIPS-TIPS
- MAHASISWA
- SEPUTAR PONDOK
- ORGANISASI
- INFO KAMPUS
- BEASISWA
- DOWNLOAD
- RESEP MASAKAN
- KARYA SASTRA
Monday, 3 February 2014
LATAR BELAKANG SEJARAH BANTEN
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment