Tuesday 3 February 2015

MAKALAH TANTANGAN KEBUDAYAAN INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan merupakan perilaku yang menjadi suatu kebiasaan di tengah masyarakat.Banyak hal yang dapat kita sebut sebagai kebudayaan. Seperti: tari-tari an, musik, rumah adat, pekaian, senjata dan pola hidup dalam suatu masyarakat atau kelompok merupakan contoh yang dapat kita definisikan sebagai contoh dari kebudayaan. Contoh-contoh tersebut lah yang sering kita bahas dalam lingkup pendidikan. Pembahasan tentang kebudayaan pun sangat banyak sekali yang tidak akan selesai dalam membahasnya karena kebudayaan terus berlangsung, baik faktor pendorongnya maupun faktor penghambatnya.
Suatu kebudayaan tidak bisa kita nyatakan berjalan hanya saat kebudayaan tersebut berkembang, karena kebudayaan yang belum berkembang pun juga sedang berjalan.Karena si empunya kebudayaan juga berbeda dalam menjalankan kebudayaannya. Suatu suku mengembangkan kebudayaan dengan menerima budaya modern sehingga akan nampak perkembangan kebudayaan mereka, di lain sisi suatu kebudayaan menjalankan aktivitas kebudayaan mereka dengan cara tertutup, mereka lepas tangan dan tidak mau menerima kebudayaan modern karena menganggap kebudayaan modern akan mengahancurkan kebudayaan asli mereka, sehingga  terkesan kita akan menjudge kebudayaan tersebut tidak berkembang.
Oleh karena itu, tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk menjabarkan tentangan-tantangan yang dijalani oleh suatu budaya yang menyebabkan suatu kebudayaan tersebut terkesan stagnan dan sulit berkembang.Dan untuk lebih men-spesifik atau mengkhususkan pembahasan dalam makalah singkat ini,penjabaran tentang tantangan kebudayaan makalah ini hanya mencangkup tantangan-tantangan kebudayaan yang dihadapi Indonesia.Baik dalam segi tradisional maupun dalam perspektif modern.


B. Perumusan masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.      Apa sajakah hal-hal yang menghambat perkembangan kebudayaan indonesia?
2.      Bagaimana cara mengatasi tantangan-tantangan yang menghambat jalannya kebudayaan di Indonesia?
C.Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui apa saja tantangan-tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam melestarikan budaya asli maupun budaya  asing dan apa peran mahasiswa sebagai agent of change.
D. Manfaat
1. Mahasiswa dapat mengetahui bahwa dirinya mempunyai peranan yang penting bagi bangsanya.
2.  mengetahui tantangan-tantangan yang dihadapi oleh bangsa indonesia









BAB II
PEMBAHASAN
A.  Tantangan budaya Indonesia
Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri dari banyak suku budaya, dari Sabang sampai Meraoke yang keseluruannya merupakan wilayah indonesia memiliki budaya yang khas pada masing-masing wilayah tersebut. Ratusan kebudayaan asli Indonesia tersebut mempunyai ciri-ciri yang tidak ada kesamaan satu sama lainnya. Hal yang paling mendasar yang mempengaruhi perbedaan ke-khas-an suatu kebudayaan adalah letak wilayah geografis si-empunya kebudayaan. Kebudayaan yang masyarakatnya berada di wilayah pegunungan akan sangat berbeda dengan kebudayaan yang berkembang di daerah pesisir. Hal ini disebabkan oleh pengaruh letak geografis yang akan mempengaruhi pola pikir suatu masyarakat dan kemudian masyarakat tersebut dengan pola pikir yang telah terpengaruh letak dan keadaan geografis membuat budaya-budaya yang tentu akan tidak sama dengan yang lainnya.
Kebudayaan masyarakat jawa yang telah banyak dipengaruhi oleh kebudayaan asing yang modern tentu berbeda sangat jauh dengan milik masyakat papua yang kebanyakan wilayahnya masih terjaga dari penetrasi-penetrasi kebudayaan asing. Masyarakat jawa secara pola pikir atau pendidikan, cara berpakaian, dan pola hidupnya lebih maju dan modern dibandingkan dengan pola pikir, pakaian, dan pola hidup masyarakat papua.
Dalam berbudaya terutama negara yang kaya akan budaya, tentunya akan sangat banyak masalah-masalah yang menghambat jalannya kebudayaan. Semakin banyak kebudayaan akan semakin banyak tantangan hidup berbudaya. Dalam makalah ini akan dijelaskan tantangan-tantangan kebudayaan Indonesia secara garis besar agar tidak terlalu panjamg pembahasan.
Tantangan-tantangan itu diantaranya:

1.      KAPITALISME
Kaum kapitalis berperan aktif dalam menghabat jalannya suatu kebudayaan. Hal ini didasara oleh watak dasar mereka yang tidak mau menerima sebuah kemajuan selama hal tersebut tidak menguntungkan mereka. Mereka tidak akan mengijinkan suatu kebudayaan menjalankan aktivitas budayanya karena dianggap akan menghalangi kemajuan perekonomian mereka, tidak cukup hanya itu golongan ini akan melakukan berbagai cara untuk menghentikan aktivitas-aktivitas yang tidak menguntungkan mereka.
Dalam bukunya, Nurani Suyomukti mengungkapkan ‘’Kaum KAPITALISME tidak menghendaki sebuah kemajuan ketika kemajuan tersebut tidak menguntungkan baginya. Bahkan ketika ada sebuah kemajuan yang walaupun positif namun akan membahayakan mereka(kaum kapitalis), memunculkan orang-orang pintar yang mengetahui bahwa kapitalisme adalah suatu penindasa, kemajuan ini akan dihilangkan. “kapitalisme tidak ingin memintarkan, jika ingin berderma secara serius, para kapitalis tentu akan membiayai semua proyek sekolah dan pendidikan, tetapi kenapa itu tidak dilakukan? Karena kapitalisme memang tidak menginginkan kesetaraand dan akan tetap menjaga prestise sosial “orang kaya” denganmembiarkan banyak orang lain miskin. Karenanya jika mereka berderma yang receh-receh saja, asal jangan sampai ada orang mati kelaparan-atau agar kapitalisme dan ketimpangan (penindasannya) tidak terlalu kejam.’’(SOEKARNO VISI KEBUDAYAAN DAN REVOLUSI INDONESIA 2010.14)
            Kapitalisme akan melakukan segala macam cara agar mereka tidak hancur. Mereka tidak menghiraukan baik buruk cara yang mereka gunakan untuk menghindar dari kehancuran. Sesuatu yang baik tapi mengancam eksistensi kesuksesan, merekan akan hancurkan, sebaliknya buruk pun kalau menguntungkan, kapitalis akan memperjuangkannya.
            “mula-mula, untuk mencari sumber daya alam yang murni, kapitalis(me) melakukan ekspansi ke negara-negara ketiga atau mencari wilayah-wilayah baru. Tujuannya untuk mencari sumber-sumber ekonomi yang murahatau jika dapat gratis. Untuk membuat supaya buruh atau rakyat mayoritas tetap tertindas, maka dibuat jangan sempai rakyat tahubahwa kapitalisme menindas. Hal yang dilakukan adalah terutama melalui pendidikan dan kebudayaan. Meraka membuata agar rakyat mengira bahwa yang membuat penindasan ini adalah sesuatu yang kadang tidak perlu dijelaskan, yaitu sesuatu kekuatan ghoib di luar sana. Maka agama dan mistik dibangkitkan. Di luar sekolah yang mengajarkan agama, di berbagai tempat dan media massa (cetak dan elektronik), doktrin agama tampak menggema lagi”. (SOEKARNO VISI KEBUDAYAAN DAN REVOLUSI INDONESIA 2010.16-17)
2.      KRISIS KESEJAHTERAAN YANG MELANDA MASYARAKAT
Krisis kesejahteraan yang dialami masyarakat Indonesia sangat berpengaruh pada jalannya kebudayaan. Semakin sejahtera maka akan semakin lancar jalannya suatu kebudayaan. Sebaliknya semakin rendah rana kesejahteraan seatu masyarakat maka akan memberi hambatan pada jalannya aktivitas-aktivitas budaya (cultural activity). Banyak faktor yang mengpengaruhi kurangnya unsur kesejahteraan di Indonesia. Dalam bukunya Nurani Suyomukti menyebutkan empat faktor yang menjadi akar krisis kesejahteraan suatu masyarakat.
1.      Kita terjajah secara ekonomi, kekayaan kita dikeruk oleh asing.rakyat kita tidak mendapatkat prlindungan kesejahteraan dari negara sehingga banyak yang kian miski. Kemiskinan itu kian menulkan kejahatan/kriminalitas, amoralitas, bahkam konflik dan kekerasan antar individu dan kelompok. Karena tanpa perlindungan negara itu pulalah banyak rakyat menjadi kuli/pekerja di negara orang sehingga bangsa kita semakin dipandang dengan mata terpicing oleh malaysiadan negara-negara lain yang dipenuhi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) – artinya rakyat kita menjadi budak di negeri asing bersamaan dengan fakta bahwa Indonesia(elit-nya) juga menjadi udak pemodal asing yang mengeruk kekayaan Indonesia.
2.      Kita, terutama generasi muda kian tidak produktif. Lihatlah, mereka tidak lagi menyukai kegiatan produktif yang menyokong dasar ekonomi kita. Mereka tidak lagi suka bertani. Mereka lebih menyukai kegiatan seperti berbelanja dan mengonsumsi,meniru budaya dan gaya hidup, membeli produk-produk seni dari luar negeri. Mereaka tidak berproduksi dan terus dipaksa mengonsumsi. Maka mereka menjadi kallangan yang tergantung, tumpul produktivitasnya bahkan secara mental lemah dan” cemen”. Inilah penyebab utama bahwa di masa mendatang budaya kita kian terbelakang karena kini remajanya tidak produktif-kreatif.
3.      Munculnya produk-produk seni dan kegiatan kreatif (film, sastra, sinotron, seni rupa, dll) yang didominasi oleh pasar yang secara ideologis dan muatannya membentuk kebiasaan liberal, individualis, dan melemahkan kepribadian generasi (juga kepribadian bangsa). Hasilnya pun  semakin membuat tumpul kreativitas karena produksi seni-budayanya adalah hasil budaya meniru. Mulai dari acara TV yang berkibkat ke acara TV di negara Amerika dan Eropa, sehingga gaya bicara ala TV (plis dech, gitu lho(H)! Capek dech) yang diucapkan oleh seniman pasar (artis-selebritis) dan kemudian masuk di kalbu dan pikiran generasi yang memang berkesenian dengan cara meniru yang tidak mampu berkesenian sendiri.
4.      Elit kita juga masih menerapkan budaya dan kebiasaan yang feodalistik dalam menjalankan pemerintahan. Korupsi, kolusi, nepotisme, politik berbiaya tinggi sebagai bagian budaya konsumtif di bidang politik semua itu membentuk kebudayaan kita yang terus mundur.( SOEKARNO VISI KEBUDAYAAN DAN REVOLUSI INDONESIA hal 47-48).
3.      KONFLIK DALAM KELOMPOK
Konflik adalah faktor yang sangat sering sekali kita temui hampir di setiap daerah, dalam buku -DINAMIKA KELOMPOK ,Drs. ABU HURAERAH, M. Si dan Drs. PURWANTO, M. Si- mengatakan  Konflik adalah suatu proses sosial di mana individu-individu atau kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan dengan ancaman atau kekerasan (Santosa; 1983:32).
Sedangkan sebab-sebab terjadinya konflik, antara lain:
1.            Adanya perbedaan pendirian atau perasaan antar individu, sehingga terjadi konflik di antara mereka.
2.            Adanya perbedaan kepribadian di antara mereka, yang di sebabkan oleh adanya perbedaan latar belakang kebudayaan.
3.            Adanya perbedaan kepentingan individu atau kelompok di antara mereka.
4.            Adanya perubahan-perubahan yang cepat dalam masyarakat karena adanya perubahan nilai/system yang berlaku (Sentosa;1983:32).
Berkaitan dengan konflik didalam kelompok, Yusuf menjelaskan bahwa sebetuknya bentuk konflik bukan hanya bertolak dari bentuk interaksinya saja, akan tetapi memang terjadi setelah kelompok di bangun, di mana antara masing-masing anggota terjadi konflik, mungkin saja konflik dalam peran, fungsi, tugas dan konflik dalam jaringan komunikasi dengan atasan dan sebagainya. Konfik dalam kelompok, bisa terjadi akibat ketentuan norma yang berlaku tidak sesuai dengan norma pribadi individu selaku anggota kelompok, bisa pula terjadi penempatan posisi yang tidak di inginkan dalam suatu kelompok, karena kemampuan yang kurang dibandingkan dengan anggota kelompok lain ( dalam hal ini kemampuan dasar seseorang), dan bis pula karena kohesi suatu kelompok sangat rendah, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menarik individu anggota kelompok dan melakukan konformitas sikap dan persepsi dalamkelompok tersebut (Yusuf;1989:90).
Ada jenis kelompok yang menganggap suatu bentuk konflik memberi kekuatan kelompom untuk mengembangkan dirinya, ada pula suatu kelompok yang menghindari kenflik dan mementingkan keseimbangan dalam kelompok. Namun konflik tetap muncul sejauh anggota kelompok tersebut tetap belum bisa menetapkan persepsi terhadap nilai, norma yang berlaku dalam suatu kelompok, dan di sini juga peran seorang pemimpin kelompok untuk menggembleng keadaan, guna menggerakan kelompok tersebut ke arah pencapaian tujuan kelompok (Yusuf;1989:90).


4.      STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA DAN MASALAH INTEGRASI NASIONAL
              Struktur masyarakat Indonesia sebagaimana kita ketahui sering menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi pada tingkat nasional. Pluralitas masyarakat yang bersifat multi-dimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan tantang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal, sementara stratifikasi social sebagaimana yang di wujudkan oleh masyarakat Indonesia akan memberi bentuk pada integrasi nasional yang bersifat vertical.
              Untuk menjelaskan hal tersebut, marilah kita pertama kali memulainya dengan mengingat kembali beberapa karakteristik yang dapat kita kenali sebagai sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk sebagaimana yang dikemukakan oleh van den Berghe, yakni; 1)  terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama lain; 2) memilki stuktur social yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplomenter; 3) kurang mengembangkan consensus di antara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai social yang bersifat dasar; 4) secara relative sering terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain; 5) secara relative integrasi social tumbuh di atas paksaan ( coercion ) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi; serta 6)  adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.
              Untuk lebih memperjelas hal tersebut, marilah kita sejenak mengikuti pandangan para penganut fungsionalisme structural di dalam melihat bagaimana suatu system social itu terintegrasi. Mengikuti pandangan mereka, suatu system social senantiasa terintegrasi di atas landasan dua hal berikut. Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi diatas tumbuhnya consensus di antara sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Dari sudut lain, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi juga oleh karena berbagai-bagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai-bagai kesatuan nasional.
              Pada tingkat tertentu keduanya tentu saja mendasari pula terjadinya integrasi social di dalam masyarakat yang bersifat majemuk, olehkarena tanpa keduanya sustu masyarakat bagaimanapun tidak mungkin terjadi. Akan tetapi sifat-sifat masyarakat majemuk sebagaimana kita yang sebutkan di atas, telah menyebabkan landasan terjadinya integrasi social seperti yang di kemukakan oleh para penganut fungsionalisme structural hanya dapat berlaku di dalam derajat yang sangat terbatas. (Bab V Struktur Masyarakat Indonesia dan Masalah Integrasi Nasional. BUKU SISTEM SOSIAL INDONESIA, Dr. Nasikun. Ed. 1. Cet. 10.-Jakarta: PT Raja Grafindo 2000 vi, 88 hlm.;21 cm.)
5.      BANGSA YANG MULTIKULTURAL
Kita tidak dapat pula mengingkari sifat pluralistik bangsa kita sehingga perlu pula memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama yang dianut oleh warganegara Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama, bersama-sama dengan  pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu berseiringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel)  dalam percaturan hidup sehari-hari.
Dalam konteks itu pula maka ratusan suku-sukubangsa yang terdapat di Indonesia  perlu  dilihat sebagai aset negara berkat pemahaman akan lingkungan alamnya, tradisinya, serta potensi-potensi budaya yang dimilikinya, yang keseluruhannya perlu  dapat didayagunakan bagi pembangunan nasional. Di pihak lain, setiap sukubangsa juga memiliki hambatan budayanya masing-masing, yang berbeda antara sukubangsa yang satu dengan yang lainnya. Maka  menjadi tugas negaralah untuk memahami, selanjutnya mengatasi hambatan-hambatan budaya masing-masing sukubangsa, dan  secara aktif memberi dorongan dan peluang bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa.
Banyak wacana  mengenai bangsa Indonesia mengacu kepada  ciri pluralistik bangsa kita, serta mengenai pentingnya pemahaman tentang masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang multikultural. Intinya adalah menekankan pada pentingnya  memberikan kesempatan bagi berkembangnya masyarakat multikultural itu, yang masing-masing harus diakui haknya untuk mengembangkan dirinya melalui kebudayaan mereka di tanah asal leluhur mereka. Hal ini juga berarti bahwa masyarakat multikultural harus  memperoleh kesempatan yang baik untuk menjaga dan mengembangkan kearifan budaya lokal mereka ke arah kualitas dan pendayagunaan yang lebih baik.
Kelangsungan dan berkembangnya kebudayaan lokal perlu dijaga dan dihindarkan dari hambatan. Unsur-unsur budaya lokal yang bermanfaat bagi diri sendiri bahkan perlu dikembangkan lebih lanjut agar  dapat menjadi bagian dari kebudayaan bangsa, memperkaya unsur-unsur kebudayaan nasional.  Meskipun demikian, sebagai  kaum profesional Indonesia, misi utama kita adalah mentransformasikan kenyataan multikultural sebagai aset dan sumber kekuatan bangsa, menjadikannya suatu sinergi nasional, memperkukuh gerak konvergensi, keanekaragaman.
Oleh karena itu, walaupun masyarakat multikultural harus dihargai  potensi dan haknya untuk mengembangkan diri sebagai pendukung kebudayaannya di atas tanah kelahiran leluhurnya, namun pada saat yang sama, mereka juga harus tetap diberi ruang  dan kesempatan untuk mampu melihat dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya yang sama-sama merupakan warganegara Indonesia, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, dan tanah leluhurnya termasuk sebagai bagian dari tanah air Indonesia. Dengan demikian, membangun dirinya, membangun tanah leluhurnya, berarti juga membangun bangsa dan tanah air tanpa merasakannya sebagai beban, namun karena ikatan kebersamaan dan saling bekerjasama.
6.      MANUSIA MEMBENTUK ATAU DIBENTUK OLEH KEBUDAYAAN?
Dalam hal ini tantangan kebudayaan dijelaskan pula Mudji Sutrisno dalam bukunya yang berjudul Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan, hal 108-109, yaitu diantaranya sebagai berikut:
1.      Tradisi kontruksi bahasa, ideology kelas pengguna dengan hegomoni tafsir makna (Karl Marx, Louis Althusser) adalah ‘penentu’ dan peng-kontruksi identitas dirinya
Diranah kesadaran: lewat pendidikan ‘pembedaan’ (reifkasi kata kunci Gramsci), relasi kebudayaan adalah hubungan saling membedakan dan bukan hubungan saling bembuahi demi peradaban.
Bagi Karl Marx, kesadaran ‘palsu’ dalam keterasingan masyarakat diawetkan oleh bangunan atas ideology, pendidikan dan kebudayaan. Kesadaran ‘tidur’ pasif, dibandingkan dalam system pendidikan yang tidak kritis. Sementara Paulo Freire berikhtiar, penamaan dunia dimatikan oleh banking system education terutama mengawatkan ‘buta aksara’ karena modal pendidikan kesadaran mengaksara dan aktif ditidurkan dalam perlakuan anak didik sebagai botol yang diisi terus oleh guru atau pun si murid yang dijadikan objek.
Tiga tahap kesadaran, yaitu: kesadaran tidur; kesadaran intensif pasif dan kesadaran transitif aktif, kritis dalam menamai realitas lewat pengaksaraan. Sebagai contoh penggunaan istilah wanita tuna susila (1970-an) berubah menjadi pelacur (penamaan obywk, bias jender) dan kini saat ‘hegomoni’ nilai ekonomis capital jual beli mendominasi, sebutan yang muncul dan dipakai adalah PSK (Pekerja Sex Komersial).
Bahasa sebagai ungkapan sistemik penanda dan yang ditandai ‘hanya’ merumuskan yang logis dan disadari (Ferdinand de Saussure melanjutkan Frued). Sementara banyak ketidaksadaran yang tidak terungkap oleh bahasa, yang oleh Jacques Lacan diurai defacto dan deskriptif membentuk dan menentukan manusia dalam kode-kode, semiotika: sistem tanda dan simbol ikon.
2.      Manusia menentukan atau ‘membentuk’ kebudayaan
Dipacu oleh perkembangan kesadaran manusia dalam masa pencerahan, subjektivitas manusia sebagai pelaku kebudayaan ditegaskan dalam ‘homo significans’ artinya manusia sebagai subjek yang menamai sejarahnya.
Sejak Descartes, dipuncakan oleh Kant dan Hegel kesadran subjektivitas membuahkan kesadaran historitas. Kedararan sejarah ini kemudian membuahkan kesadaran keindividuan untuk menulis sejarahnya secara unik, khas milik dirinya.
Rasionalitas, subjektivitas dan libertas (kebebasan) merupakan penemuan kesadaran manusia untuk merajut kebudayaan menjadi peradaban.



















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
            Dari pembahasan di atas, banyaknya tantangan kebudayaan Indonesia yang di alami di Negara kita ini yang intinya dapat kita simpulkan bahwa Identitas Nasional Indonesia adalah ciri-ciri atau sifat-sifat khas bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Di era globalisasi ini, eksistensi kebudayaan nasional sebagai identitas bangsa Indonesia sedang terancam. Mahasiswa sebagai kalangan yang mempunyai posisi dan bekal strategis diharapkan mampu memberikan perannya untuk mempertahankan eksistensi kebudayaan nasional. Peran tersebut diterjemahkan dalam bentuk, mahasiswa sebagai aset kemajuan bangsa di masa depan, mahasiswa sebagai teladan masyarakat yang berkualitas, mahasiswa sebagai pelestari kebudayaan & kesenian daerah, serta mahasiswa sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi berbasis kemasyarakatan.
Rakyat Indonesia yang pluralistik merupakan kenyataan, yang harus dilihat sebagai aset nasional, bukan resiko atau beban. Rakyat adalah potensi nasional harus diberdayakan, ditingkatkan potensi dan  produktivitas fisikal, mental dan kulturalnya.
Tanah air Indonesia sebagai aset nasional yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote, merupakan tempat bersemayamnya semangat kebhinekaan. Adalah kewajiban politik dan intelektual kita untuk mentransformasikan “kebhinekaan” menjadi “ketunggalikaan” dalam identitas dan kesadaran nasional.
Diperlukan penumbuhan pola pikir yang dilandasi oleh prinsip mutualisme, kerjasama sinergis saling menghargai dan memiliki (shared interest) dan menghindarkan pola pikir persaingan tidak sehat yang menumbuhkan eksklusivisme, namun sebaliknya, perlu secara bersama-sama berlomba meningkatkan daya saing dalam tujuan peningkatan kualitas sosial-kultural sebagai bangsa.
Membangun kebudayaan nasional Indonesia harus mengarah kepada  suatu strategi kebudayaan untuk dapat menjawab pertanyaan, “Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita?” yang tentu jawabannya adalah “menjadi bangsa yang tangguh dan entrepreneurial, menjadi bangsa Indonesia dengan ciri-ciri nasional Indonesia, berfalsafah dasar Pancasila, bersemangat bebas-aktif mampu menjadi tuan di negeri sendiri, dan mampu berperanan penting dalam percaturan global dan dalam kesetaraan juga mampu menjaga perdamaian dunia”.
Yang kita hadapi saat ini adalah krisis budaya. Tanpa segera ditegakkannya  upaya “membentuk” secara tegas identitas nasional dan kesadaran nasional, maka bangsa ini akan menghadapi kehancuran.













Daftar Pustaka
Huraerah,M. Si, Dr. Abu dan Dr. Purwanto, M. Si, 2006, Dinamika Kelompok-Konsep dan Aplikasi, Bandung, PT Refika Aditama.
Dr. Nasikun, 2000, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.
Sutrisno, Mudji. dkk, Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan, Depok, Koekoesan.
Suyomukti, Nurani, 2010, Soekarno Visi Kebudayaan Dan Revolusi Indonesia,Yogyakarta , Ar-Ruzz media
Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur, 2003, Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural. Surabaya: Penerbit Forum Rektor Simpul Jawa Timur Universitas Surabaya
.


No comments:

Post a Comment