Sebuah Catatan Akhir
PENGANTAR
SASTRA ARAB
BAGI
MAHASISWA BAHASA DAN SASTRA ARAB
UIN
MALIKI MALANG
TAHUN 2010
DAFTAR ISI
A.
BANGSA ARAB: AKAR BAHASA & SASTRA ARAB
1.
Bahasa dan Budaya Arab
2.
Sastra Bahasa (Adab Lughah)
3.
Pengertian Adab dari Masa ke Masa
B.
PEMBAGIAN KESUSASTRAAN ARAB
1.
PROSA (NATSR)
a.
Pengertian Prosa
b.
Amtsal
c.
Al-Hikam
d.
Al-Wasiyyah
e.
Khithobah
2.
PUISI (SYI’IR)
a.
Pengertian Syi’ir
b.
Awal Mula Timbulnya Syi’ir Arab
c.
Pembagian Jenis Syi’ir dan Tujuannya
C.
SEJARAH SASTRA ARAB
1.
Sejarah Sastra dan Fungsinya
2.
Periodesasi Sejarah Sastra Arab
D.
SASTRA ARAB JAHILIYAH
1.
Kedudukan Penyair dalam Masyarakat Arab Jahiliyah
2.
Perhatian Masyarakat Jahiliyah terhadap Sastra
3.
Faktor yang Mendukung Perkembangan Sastra Arab
Jahiliyah
4.
Tingkatan Penyair Jahiliyah
5.
Karakteristik Syi’ir Jahiliyah
6.
Al-Mu’allaqat
E.
SASTRA ARAB MODERN
Perkembangan
Kesusastraan Arab Modern
F.
SASTRAWAN ARAB
BAB
I
BANGSA
ARAB: AKAR BAHASA DAN SASTRA ARAB
A.
Bahasa
dan Bangsa Arab
Bahasa Arab termasuk rumpun bahasa
Semit, yaitu bahasa yang digunakan oleh bangsa-bangsa yang tinggal di sekitar
sungai Tigris dan Furat, dataran Syiria, dan jazirah Arabia (Timur Tengah).
Seperti bahasa Siryania, Finisia, Assyiria, Babilonia, Ibrania, dan Arabia.
Dari sekian bahasa di atas yang dapat bertahan sampai sekarang hanya bahasa
Arab dan Ibrani. Diperkirakan bahwa bahasa Arab adalah cabang bahasa Semit yang
paling mendekati bahasa aslinya, karena bangsa Arab tidak banyak bergaul dengan
bangsa-bangsa lain, dan tidak pernah lama di bawah kekuasaan bangsa asing.
Sebenarnya, bahasa Arab itu timbul
sejak beberapa Abad sebelum Islam. Hanya saja pencatatan dari bahasa tersebut
baru dimulai dua abad sebelum lahirnya Islam. Karena bukti peninggalan
kesusastraan Arab yang dapat dicatat hanya dimulai sejak dua abad sebelum Islam.
Sedangkan, hasil karya yang ada di masa sebelumnya dapat dikatakan hilang
dimakan masa. Dengan demikian, kita tidak dapat mengetahui dengan pasti
bagaimanakah bentuk bahasa Arab di masa lalu.
Demikian pula dengan berita-berita
yang menerangkan keadaan bangsa Arab kuno, tidak dapat kita ketahui dari
pencatatan sejarah. Hanya saja berita mengenai mereka dapat kita ketahui dari
Al-Quran dan kitab suci lainnya, misalnya cerita mengenai kaum Aad, kaum
Tsamud, kaum Nuh, dan lain-lain. Berita mengenai mereka hanya terdapat dalam
kitab suci Al-Quran.
Menurut perkiraan yang kuat, keadaan
bangsa Arab kuno, lebih maju daripada bangsa Arab yang lahir di masa timbulnya
Islam. Karena dalam penggalian sejarah, ditemukan bekas peninggalan monumental
dan kota besar yang dibangun oleh bangsa Arab kuno. Pendapat ini dikuatkan oleh
Allah Swt di dalam Al-Quran. Sedangkan, bangsa Arab yang lahir di masa lahirnya
Islam, mereka lebih dikenal sebagai bangsa Arab Badui (Nomaden), yang suka
hidup berpindah-pindah mengikuti sumber kehidupan. Cara kehidupan seperti itu
dapat membentuk karakter dan tabiat bangsa Arab seperti bangsa Barbar yang
hidup ditempat lain.
Perlu diketahui bahwa sebelum bangsa
Arab mempunyai bahasa persatuan, di setiap daerah telah mempunyai bahasa daerah
sendiri yang berlainan satu dengan yang lainnya. Seperti penduduk Yaman, mereka
memiliki bahasa sendiri yang dikenal dengan bahasa Himyar, orang Nejed memiliki
bahasa yang dipakai di Nejed saja, dan lainnya. Walaupun setiap suku Arab
mempunyai bahasa yang saling berbeda, namun berkat adanya Ka'bah di Mekkah,
dimana mereka sering berkumpul di tempat itu setiap tahunnya, akhirnya bangsa
Arab mempunyai bahasa persatuan yang dapat oleh setiap suku Arab.
Bahasa persatuan mereka adalah
bahasa Mudlor yaitu bahasa yang dipakai oleh penduduk Hijaz, khususnya bahasa
orang-orang Mekkah. Bahasa Mudlor itu juga berasal dari percampuran bahasa
daerah yang ada di seluruh jazirah, ditambah dengan beberapa kata asing yang
berasala dari bahasa Yunani, Persia, Sansekerta, dan Ibrani.
Sehingga, bahasa Mudlor inilah yang
kelak dipilih menjadi bahasa Al-Quran dan As-Sunnah. Di mana berkat Al-Quran,
maka bahasa Mudlor ini akan kekal dan dikenal di seluruh dunia Islam. Bangsa
Arab terdiri dari tiga generasi, yaitu:
1.
Bangsa Arab al-Baidah yaitu bangsa Arab yang telah punah. Berita mengenai
mereka yang sampai kepada kita tidak ada sedikit pun yang benar, kecuali yang
dikisahkan Allah Swt dalam al-Quran dan yang banyak disebutkan dalam Hadist
Nabi Saw. Di antara kabilah-kabilah mereka yang terkenal antara lain: Thasam,
Jadis, ‘Ad, Tsamud, ‘Imliq, dan ‘Abdu Dakhm.
2.
Bangsa Arab al-‘Aribah, yaitu bangsa Arab murni, mereka adalah anak keturunan
Qahthan, yang meninggalkan tempat asal mereka di sekitar sungai Euphrat, dan
memilih Yaman sebagai tempat tinggal mereka. Bahasa mereka berbaur dengan
bahasa pendahulu mereka di Yaman. Kemudian mereka menyebar ke berbagai pelosok
Jazirah Arab. Di antara induk kabilah-kabilah mereka adalah Kahlan dan Himyar.
3.
Bangsa Arab al-Musta'ribah, yaitu bangsa Arab campuran. Mereka adalah anak
keturunan Ismail bin Ibrahim a.s. yang mengalahkan orang-orang Qahthan dan
berbaur dengan mereka, baik dalam bahasa maupun dalam silsilah keturunan/nasab,
yang kemudian dikenal dengan sebutan orang-orang Adnan. Di antara induk
kabilah-kabilah mereka adalah Rabi'ah, Mudlar, Iyyad, da Anmar.
Selain ketiga generasi bangsa Arab
yang telah disebutkan di atas, ada juga yang disebut bangsa Arab Baru, yaitu
bangsa Arab yang merupakan anak keturunan dari kabilah-kabilah tersebut di atas
yang berbaur dengan anak-anak dari kabilah-kabilah lain dari Samudera Atlantik
sampai seberang Laut Persi dan Sungai Tigris, dan juga dari sebelah hulu sungai
Euphrat dan Sungai Tigris sampai ke seberang laut Jawa dan Sumatera. Mereka berbicara
dengan dialek-dialek bangsa Arab ‘Amiyah (bahasa Arab pasaran) yang
berbeda-beda yang dapat dikembalikan kepada bahasa Arab baku/fushha yang mereka
ketahui melalui pembelajaran.
B.
Sastra
Bahasa (Adabul Lughah)
Bahasa adalah ألفاظٌ يُعبرُ بها كل قومٍ عن مقاصدهم
(lafal yang
diungkapkan oleh setiap kaum atau masyarakat untuk mengungkapkan maksud mereka
(baik isi hati maupun pemikiran mereka).
Adapun sastra bahasa (Adabul-Lughah)
itu sendiri adalah kata-kata indah yang mengandung imajinasi yang cermat, pelukisan
yang lembut, yang diwariskan atau dihasilkan oleh para penyair dan penulis,
bertujuan untuk mendidik jiwa, menghaluskan rasa, dan membudayakan bahasa. Ada
juga yang mendefinisikan bahwa sastra bahasa adalah segala bentuk prosa dan
puisi yang dihasilkan oleh pikiran seseorang yang menggambarkan watak dan
kebiasaan, daya khayal, serta batas kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa
yang bertujuan mendidik jiwa, memperbaiki pikiran dan meluruskan lisan.
Terkadang kata "Adab"
digunakan juga untuk menyebutkan segala pembahasan ilmiah dan cabang-cabang
seni sastra yang dihasilkan oleh setiap bahasa. Sehingga kata "Adab"
dapat mencakup segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal pikiran para ilmuan,
penulis, dan penyair atau sastrawan.
Kesusastraan Arab (al-Adab
al-Arabiy) merupakan kesusastraan terkaya, karena merupakan
kesusastraan yang tercipta sejak masa kanak-kanak manusia sampai runtuhnya
kebudayaan Arab. Bahasa Mudlor, setelah masa Islam, bukan hanya menjadi bahasa
suatu bangsa saja, tetapi menjadi bahasa bagi semua bangsa yang masuk ke dalam
agama Allah (Islam), atau berada di bawah lindungannya. Mereka menciptakan
makna-makna dan konsep-konsep, serta memperluas makna-makna dengan bantuan
rahasia-rahasia bahasa mereka. Kemudian mereka menjelajah kepelosok bumi dengan
membawa agama, sastra, budaya, dan ilmu. Lalu mereka berakulturasi dengan
setiap bahasa yang didatangainya, serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan
orang-orang masa lampau dan peradaban orang-orang-orang terdahulu, dari
bangsa-bangsa Yunani, Persia, Yahudi, Hindu, dan Habsyi. Dia berdiri kokoh
menghadapi halangan dan rintangan selama berabad-abad yang panjang. Dia
menyaksikan pertarungan bahasa-bahasa di sekelilingnya dengan kepala tengadah
dan langkah yang tegap, mewarisi hasil cipta rasa dan buah akal pikiran dari
setiap peradaban (sastra/literature) dan kepercayaan. Bahasa bangsa-bangsa
dengan beraneka ragam perbedaannya, bagaikan parit-parit dan sungai-sungai yang
mengalir, lalu bercabang-cabang, kemudian berhimpun dan bermuara pada satu samudera,
yaitu bahasa Arab.
C.
Pengertian
Adab dari Masa ke Masa
Sebagai sebuah istilah, kata
"Adab" mengalami perkembangan yang cukup panjang dalam sejarah
kesusastraan Arab. Perkembangan kata "Adab" sejalan dengan
perkembangan kehidupan bangsa Arab. Pengambilan kata itu dari masyarakat Arab
Badui sampai masyarakat Arab perkotaan yang telah mempunyai peradaban. Kata
"Adab" terdapat banyak perbedaan mengenai maknanya, dan perbedaan
makna itu sangat dekat, maksudnya perkembangan dan perubahan makna itu tidak terlalu
kontras dengan makna aslinya. Perubahan itu diketahui sampai sekarang melalui
perkataan-perkataan dan tulisan-tulisan. Penafsirannya jelas hanya
kecenderungan pendengar pendengar pada pengucapan kata "Adab"
tersebut.
Pada zaman Jahiliyyah kata
"Adab" berarti "الدعوة إلى الطعام"
(mengajak makan atau undangan ke perjamuan makan), dan arti ini sudah jarang
digunakan, kecuali pada kata "Ma'dubah" dari akar kata yang sama
yaitu "Adab". Kata "Ma'dubah" berarti jamuan atau hidangan,
dengan kata kerja "Adaba-ya'dibu" yang berarti menjamu atau
menghidangkan makanan. Sebagaimana yang terdapat dalam perkataan Tharafah bin
Abdul Bakri al-Wa'illi:
نحن
فى المشتاة ندعو الجفلى ¤ لا ترى الآدب فينا ينتفر
"Pada musim paceklik (musim kesulitan
pangan), kami mengundang orang-orang ke perjamuan makan, dan engkau tidak akan
melihat para penjamu dari kalangan kami memilih-milih orang yang diundang"
Kata "Adab" juga digunakan
dalam arti "prilaku yang terpuji atau terhormat dan sifat-sifat yang
mulia" seperti yang terdapat di dalam dialoq antara ‘Atabah dengan Hindun,
puterinya. ‘Atabah berkata kepada puterinya tentang Abu Sufyan yang datang
melamarnya:
"...
.بدر أرومته وعزّ عشيرته يؤدب أهله ولا يؤدبونه..."
".... Asal-usulnya mulia, keluarganya
terhormat, dia sopan dan hormat kepada keluarganya, meski diantara keluarganya
ada yang tidak menghormatinya....".
Akhirnya Hindun pun setuju menikah
dengan Abu Sufyan sambil berkata:
"إنى
لأخلاق هذا لوامقة, وإنى له الموافقة, وسآخذه بأدب البعل مع لزوم قبتى وقلة
تلفتى..."
"Sungguh, aku benar-benar
menyukai akhlak dan perilaku yang demikian, dan aku setuju menikah dengannya
dan akan kujadikan ia suami yang dihormati, dan dengan kesetiaan aku akan
selalu berada di rumah, dan tidak akan berselingkuh
dibelakangnya".
Seperti yang dikemukakan oleh
Bakalla (1984:34-36) bahwa pada zaman Pemulaan Islam, ketika agama Islam datang
dengan membawa ajaran-ajaranya yang menyeru kepada akhlak mulia, maka kata
"Adab" berarti "الدعوة إلى المحامد ومكارم الأخلاق"
(ajakan untuk memuji dan berakhlak baik), dan juga mempunyai arti at-Tahdzib
(pendidikan atau pengajaran), dan al-Khulqu (budi pekerti), seperti yang
disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw:
"أدبنى
ربّى فأحسن تأديبى..."
"Tuhanku telah mendidikku, maka
baiklah pendidikanku/akhlak"
Beliau Saw juga bersabda:
"إن
هذا القرآن مأدبة الله فى الأرض فتعلموا من مأدبته"
"Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah
sumber peradaban Allah di muka bumi, oleh karena itu belajarlah kalian pada
sumber peradaban-Nya"
Umar bin Khattab berkata kepada
puteranya:
"يا
بنى انسب نفسك تصل رحمك, واحفظ محاسن الشعر يحسن أدبك..."
"Wahai anakku, nisbatkanlah
(hubungkanlah silsilah keturunan) dirimu, niscaya akan bersambung hubungan
dengan keluargamu, dan hafalkanlah puisi-puisi indah, niscaya akan menjadi
lembut budi pekertimu"
Pada zaman Umayyah, kata Adab
mempunyai arti at-Ta'lim (pengajaran), sehingga dari kata itu lahir kata
turunan al-Mu'addibun yaitu sebutan bagi orang-orang yang masa itu bertugas
memberikan pelajaran tentang puisi, khutbah, sejarah orang-orang Arab, mulai
dari keturunan mereka sampai pada peristiwa-peristiwa yang mereka alami di
zaman Jahiliyyah dan zaman permulaan Islam kepada putera-putera khalifah.
Sementara pada zaman Abbasiyyah yang
terkenal dengan zaman kebangkitan ilmu pengetahuan, kata Adab mempunyai arti
at-Tahdzibu wa at-Ta'liimu ma'an (pendidikan sekaligus pengajaran), atau
berarti semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan umat manusia dan juga tata cara
yang perlu diikuti dalam suatu disiplin tertentu. Arti "Adab" pada
masa ini lebih mengacu pada kebudayaan. Seperti yang pernah ditulis oleh Ibn
al-Muqaffa (wafat 142 H.) dalam bukunya yang berhudul al-Adab al-Kabir yang
berisikan kumpulan-kumpulan surat-surat panjang Ibn al-Muqaffa' yang terbagi
menjadi dua bagian yaitu khusus mengenai sultan, politik, dan pemerintahannya,
dan yang berhubungan dengan persahabatan dan sejenisnya. Dan al-Adab al-Shaqir
yang berisikan surat-surat pendek Ibn al-Muqaffa' yang berisi kumpulan wasiat
mengenai budi pekerti, kemasyarakatan, dan mengenai apa yang harus dipersiapkan
oleh manusia dalam kehidupannya seperti bagaimana bergaul dengan atasan,
bawahan, dan sesamanya. Selain itu, kata "Adab" telah meluas artinya
dan sering diterapkan pada puisi, prosa, peribahasa, dan balaghah, juga
diterapkan pada bidang ilmu nahwu, sharf, ushul, dan sebagainya.
Pada Abad ke-4 H, kata
"Adab" semakin memiliki arti yang luas, sehingga terkadang dari kata
itu difahami sebagai segala sesuatu yang keberadaannya mengandung nilai
pendidikan, peningkatan intelektual dan moral manusia baik dari segi sosial
maupun budaya, serta pembentukan seseorang menjadi cemerlang, memiliki
keistimewaan yang cocok bagi penampilan figur kelas elit dalam kehidupan
intelektul sekaligus kehidupan material. Kata "Adiib" yang
berarti satrawan, mengarah kepada makna yang kita sekarang dari kata
"mutsaqqif" yang berarti budayawan atau orang yang memiliki
intelektual tinggi.
Dengan berakhirnya abad ke-4 H,
seiring dengan berkembangnya ilmu bahasa dan sastra, kata "Adab"
mengandung pengertian ungkapan-ungkapan yang indah, baik dalam bentuk puisi
maupun prosa, dan ungkapan-ungkapan yang memerlukan penafsiran dan penjelasan
yang bekenaan dengan segi-segi baik dan buruk yang terdapat didalamnya. Makna
"Adab" yang demikian itu, masih dapat difahami dan digunakan pada
masa sekarang (modern). Dari sini, kita dapat mengatakan bahwa kata
"Adab" memiliki dua makna yang berbeda. Pertama, kata
"Adab" dalam pengertian yang khusus berarti perkataan indah yang
menimbulkan kenikmaan seni dalam jiwa pembaca atau pendengarnya, baik perkataan
itu berbentuk puisi maupun prosa. Kedua, kata "Adab" dalam pengertian
umum, yaitu hasil cipta rasa akal yang dilukiskan dalam kata-kata yang ditulis
dalam buku-buku.
Puisi indah, essai yang memikat,
orasi (khutbah) yang memukau, dan kisah yang mengesankan, semua ini termasuk
"Adab" dalam pengertian khusus, karena ketika kita membaca atau
mendengarkannya, anda mendapatkan kenikmatan seni seperti yang kita dapatkan
ketika mendengarkan nyanyian seorang penyanyi, alunan musik, serta ketika
kita melihat lukisan atau patung yang mempesona. Dengan demikian, maka
"Adab" atau satra adalah sesuatu yang berhubungan dengan citrarasa,
perasaan, dan kesadaran kita. Sementara, dalam referensi Barat disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan "Adab" dalam pengertian literature adalah
kumpulan peninggalan baik prosa atau puisi yang terdapat pada bahasa dan bangsa
tertentu dan mempunyai keistimewaan dalam gaya dan idenya; Peninggalan yang
berbentuk naskah atau cetakan khusus yang terdapat dalam sebuah bahasa atau
bangsa tertentu; Semua tulisan yang membicarakan topik-topik tertentu, seperti
adabul falak (tulisan tentang ilmu falak/penanggalan) atau adab az-Ziraa'at
(tulisan tentang ilmu pertanian); atau sesuatu yang dihasilkan manusia dalam
bentuk naskah atau cetakan, seperti buku tentang ilmu Nahwu, Sharf, filsafat,
termasuk kata "Adab" dalam pengertian umum, karena itu merupakan
gambaran atau konsepsi berbagai pengetahuan yang dihasilkan manusia, terlepas
ketika membacanya akan menimbulkan kenikmatan seni dalam diri kita atau tidak
(Mahmud Jad ‘Akawi dalam al-Mujaz fi al-Adab al-Arabi, 1972, jilid I hal: 5-9).
Kemudian pertanyaan yan timbul
adalah apakah hubungan antara kata Adab yang bermakna umum dengan kata Adab
yang bermakna khusus? Dahulu, bangsa Arab memiliki tata cara tentang prilaku
dan sikap yang harus diikuti oleh kelas masyarakat tertentu, seperti para
bangsawan Arab. Tata cara tersebut ditulis dalam bentuk karya sastra, seperti
puisi, khutbah (pidato), amtsal (pribahasa), dan sebagainya. Berdasarkan konsep
inilah, kemudian kata Adab ini diberi arti yang lebih spesifik yaitu sastra
(Bakalla, 1984:113).
Teeuw (1988, 21-24) mengatakan bahwa
kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa sanskerta. Akar kata
sas- berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran
-tra biasanya menunjukkan alat atau sarana. Sehingga kata sastra dapat
diartikan alat untuk mengajar, buku petunjuk, atau buku pengajaran. Dalam
bahasa Arab tidak ada sebuah kata yang artinya bertepatan dengan sastra. Kata
yang paling mendekatai adalah kata Adab. Dalam arti yang sempit, kata Adab
berarti belles-lettres, atau susastra. Awalan su- berarti indah atau baik. Kata
susastra ini tidak terdapat dalam bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno, tetapi
merupakan kata Jawa atau Melayu yang muncul kemudian. Kata Adab juga berarti
kebudayaan, sivilisasi atau yang dalam bahasa Arab disebut Tamaddun. Sastra
sebagai konsep yang khas tidak diberi istilah yang umum dalam kebudayaan Arab.
Hal itu pasti berkaitan dengan pendirian orang Arab mengenai sastra.
BAB
II
PEMBAGIAN
KESUSASTRAAN ARAB
Secara garis besar, kesusastraan
Arab di bagi menjadi dua bagian, yaitu prosa (an-Natsr) dan puisi (syi'r).
Prosa terdiri atas beberapa bagian, yaitu: kisah (Qishshah), peribahasa
(amtsal) atau kata-kata mutiara (al-hikam), sejarah (tarikh) atau
riwayat (sirah), dan karya ilmiah (abhats 'ilmiyyah).
Kisah (Qishshah) adalah
cerita tentang berbagai hal, baik yang bersifat realistis maupun fiktif, yang
disusun menurut urutan penyajian yang logis dan menarik. Kisah terdiri dari 4
macam yaitu:
1.
Riwayat adalah yaitu cerita panjang yang didasarkan atas kenyataan yang terjadi
dalam masyarakat.
2.
Hikayat, yaitu cerita yang mungkin didasarkan atas fakta maupun rekaan (fiksi).
3.
Qishah qasirah, yaitu cerita pendek.
4.
Uqsusah, yaitu cerita yang lebih pendek daripada Qishah qasirah.
Kisah berkembang menurut zamannya.
Pada masa jahiliyyah, yang berkembang adalah kisah mengenai berbagai hal yang
berkenaan dengan kehidupan suku Badui, adapt, dan sifat-sifat mereka. Pada masa
Islam, yang berkembang ialah kisah-kisah keagamaan, seperti cerita para nabi
dan rasul yang bersumber dari kitab Taurat, Injil dan al-Qur'an. Kisah yang
berkembang pada masa Abbasiyyah tidak hanya terbatas pada cerita keagamaan,
tetapi sudah berkaitan dengan hal-hal lain yang lebih luas, seperti kisah
filsafat.
Adapun pada masa modern, kisah
berkembang lebih pesat lagi, karena perkembangan hubungan antara Islam dan
peradaban-peradaban lain yang ada di dunia Barat. Kisah yang berkembang pada
masa ini adalah cerita panjang yang bersambung. Missalnya Muntakhabat
ar-Riwayat (cerita-cerita plihan) oleh Iskandar Kurku, Riwayah Zainab oleh
Muhammad Husein Haikal (1888-1956), al-Khiyam fi Rubu' asy-Syam oleh Salim
Bustani (1848-1884), Kifah Tayyibah (perjuangan terpuji) oleh Naguib Mahfudz
(1912-?), dan al-Ajnihah al-Mutakassirah (sayap-sayap patah) oleh Gibran Khalil
Gibran (1883-1931).
Peribahasa (amtsal) dan Kata-Kata
Mutiara (al-hikam) adalah ungkapan-ungkapan singkat yang bertujuan
memberikan pengarahan dan bimbingan untuk pembinaan kepribadian dan akhlak.
Amtsal dan al-Hikam pada Masa Jahiliyyah lebih mengggambarkan bangsa Arab yang
hidup dalam keadaan yang penuh dengan kefanatikan terhadap kelompok dan suku.
Pencipta amtsal dan al-Hikam yang terkenal pada masa ini adalah Aksam bin Saifi
at-Tamimi, Qus bin Sa'idah al-Iyadi, dan Zuhair bin Abi Sulma.
Amtsal dan al-Hikam pada masa Islam
lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat religius serta berdasarkan pada
al-Qur'an dan hadits. Tokoh yang terkenal pada masa ini ialah Ali bin Abi Talib
dengan karyanya Nahj al-Balaghah. Adapun Amtsal dan al-Hikam pada masa
Abbasiyah dan setelahnya lebih menggambarkan hal-hal yang berhubungan dengan
filsafat sosial dan akhlak. Tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Ibnu
al-Muqaffa (720-756).
Sejarah (tarikh) atau Riwayat
(sirah), mencakup sejarah beberapa negeri dan kisah perjalanan yang dilakukan
oleh para tokoh terkenal. Karya sastra terkenal dibidang ini, antara lain:
Mu'jam al-Buldan (Ensiklopedi Kota dan Negara) oleh Yaqut ar-Rumi (1179-1229),
Tarikh al-Hindi (Sejarah India) oleh al-Biruni (w. 448 H/1048 M), Tuhfah
an-Nazzar fi Gara'ib Amsar wa 'Aja'ib al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat
tentang Negeri-Negeri Asing dan Perjalanan Yang Menakjubkan) oleh Ibnu Batutah,
Zakha'ir al-'Ulum wa Ma Kana fi Salif ad-Duhur (Perbendaharaan Ilmu dan
Peristiwa Masa Lalu) oleh Abu Hasan Ali bin Husein bin Ali al-Mas'udi (w. 956),
dan Muluk al-'Arab (Raja-raja Arab) oleh Amin ar-Raihan (1876-1940).
Karya Ilmiah (abhats 'ilmiyyah)
adalah mencakup berbagai bidang ilmu. Karya-karya terkenal yang berkenaan
dengan kajian ini ialah KItab al-Hayawan (Buku tentang Hewan) dan Kitab
al-Bukhhala (Buku tentang Orang Bakhil) oleh al-Jahiz (w. 225 H/869 M), 'Aja'ib
al-Makhluqat wa Gara'ib al-Maujudat (Makhluk-Makhluk Yang Menakjubkan dan
Benda-benda Yang Aneh) dan Asar al-Bilad wa Akhbar al-'Ibad (Peninggalan
Negeri-Negeri dan Berita Tentang Manusia) oleh Abu Yahya Zakaria bin Muhammad
al-Qazwaini (1208-1283), dan Sirr an-Najah (Rahasia Kesuksesan), dan Siyar
al-Abtal wa al-Qudama al-'Uzama (Sejarah Para Pahlawan dan Pembesar-Pembesar
Terdahulu) oleh Ya'qub Sarruf (1852-1928).
Adapun puisi (Syi'r) terbagi
atas dua bagian, yaitu asy-Syi'r al-Ginai dan asy-Syi'r al-Hikami
atau asy-Syi'r at-Ta'limi. Asy-Syi'r al-Ginai merupakan
puisi hiburan yang berisi ungkapan perasaan sang penyair. Puisi ini terdiri
atas tiga bagian, yaitu:
1. Asy-Syi'r
al-Wijdani, adalah puisi yang mengungkapkan perasaan penyair, seperti
gembira, suka cita, dan berita. Para penyair yang dipandang sebagai tokoh dalam
puisi jenis ini adalah Abu Firas al-Hamdani (932-968) dengan kumpulan puisinya
yang terkenal Diwan Abi Firas yang diterbitkan pertama kali tahun 1873, dan
al-Mutanabbi yang terkenal dengan kumpulan puisinya Diwan al-Mutanabbi.
2. Asy-Syi'r
al-Ratsai, adalah puisi hiburan yang diungkapkan oleh penyair ketika
meratapi seseorang yang telah meninggal. Di antara sastrawan yang dianggap
tokoh dalam puisi jenis ini adalah al-Muahhil (w. 531) dengan kumpulan puisinya
yang terkenal Ratsa'uh li Akhihi Kulaib (Ratapannya kepada Saudaranya Kulaib),
dan Abu Jazrah Jarir bin Atiyah (653-7330 dengan kumpulan puisinya yang
terkenal Diwan Jarir fi al-Madh wa ar-Ratsa (Kumpulan Puisi Jarir tentang
Sanjungan dan Ratapan).
3.
Asy-Syi'r al-Fakhr, adalah puisi yang menyanjung kebesaran dan keperkasaan
seseorang atau kelompok tertentu. Yang dianggap sebagai tokoh dalam jenis puisi
ini ialah Antarah bin Syaddad (w. 615) dengan kumpulan puisinya yang terkenal
Diwan 'Antarah fi al-Fakhr wa al-Hamasah wa al-Gazal (Kumpulan Puisi Antara
Tentang Kebanggaan, Semangat, dan Sajungan).
Adapun asy-Syi'r al-Hikami
atau asy-Syi'r at-Ta'limi adalah puisi yang berisikan pendidikan
atau pengajaran. Yang dianggap tokoh dalam jenis puisi ini ialah Zuhair bin Abi
Sulma (530-627) dengan karyanya al-Hauliyyat, Labib bin Rabi'ah
(560-661) yang terkenal dengan karyanya Hikmah ar-Ratsa (Mutiara-Mutiara
Ratapan), Addi bin Zaid (w. 604) yang terkenal dengan puisi Hikam (Kata-Kata
Mutiara) dan Zuhdiyyat (Kezuhudan), Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1058)
yang terkenal dengan karyanya al-Luzumiyyat (Kebutuhan) dan Risalah
al-GufranLamiyah ibn al-Wardi (Ratapan Ibnu al-Wardi), dan Nasif al-Yaziji
(1800-1871) dengan puisinya yang terkenal Diwan Syi'r Nasif. (Risalah
Pengampunan), Ibnu al-Wardi (1290-1349) dengan karyanya yang terkenal
Pada masa modern, penyair yang
terkenal dalam jenis puisi ini adalah Ahmad Syauqi (1868-1932) dengan karyanya
yang terkenal asy-Syauqiyyat (Puisi-Puisi Syauqi), dan Muhammad Hafiz
Ibrahim (1872-1932) dengan kumpulan puisinya Diwan Hafiz Ibrahim (Kumpulan
Puisi Hafiz Ibrahim).
A.
PROSA
1. Pengertian Natsr (Prosa)
Terdapat banyak perbedaan definisi yang
dikemukan oleh para ahli sastra Arab. Akan tetapi, perbedaan ini hanyak
terletak bahasa penyampaiannya saja. Namun, mengenai hakikat sebuah prosa
mereka memiliki pendapat yang sama, seperti yang dikemukakan di bawah ini :
والنثر
: فهو ما ليس بشعر من الكلام المصقول المنمق, فهو لايتقيد بوزن ولا قافية
"Prosa adalah ungkapan atau tulisan
yang tidak sama dengan Syi'r, ia tidak terkait dengan wazan atau qafiyah"
Sebagian para ahli sastra Arab
berpendapat bahwa timbulnya natsr lebih dahulu daripada timbulnya syi'r,
sebab prosa tidak terikat oleh sajak dan irama. Prosa itu bebas bagaikan
derasnya air. Sedangkan timbulnya syi'r sangat erat hubungannya dengan
kemajuan manusia dalam cara berpikir. Sehingga mereka berpendapat bahwa manusia
baru dapat mengenal bentuk-bentuk syi'r setelah mencapai kemajuan dalam
bidang bahasa. Terdapat dua jenis natsr yaitu natsr ghair fanni dan natsr
fanni. natsr ghair fanni adalah ungkapan prosa yang keluar dari
lisan mereka baik ketika terjadinya percakapan maupun ketika melakukan orasi
(khutbah), yang mereka lakukan secara spontan. Sedangkan natsr fanni
adalah prosa yang diungkapkan dengan keindahan nilai-nilai sastra yang membekas
ke dalam jiwa dan perasan.
Secara umum natsr Jahiliyyah terbagi
ke dalam beberapa jenis diantaranya : al-Khutbah, al-Wasiyat, al-Hikmah,
al-Matsal (Amtsal), dan ada juga ahli sastra Arab memasukan Saj'u Khuhan
(mantera dukun) ke dalam pembagian jenis prosa Arab Jahiliyyyah.
Adapun karakteristik yang dimiliki Natsr
Jahiliyyah antara lain kalimat yang digunakan ringkas, lafaznya jelas,
memiliki kedalaman makna, bersajak (mengakhiri setiap kalimat dengan huruf yang
sama), terkadang sering dipadukan dengan syi'r, amtsal dan yang
lainnya.
2.
Al-Amtsal
(Pribahasa)
Pengertian Amtsal,
والأمثال
هي جمل رصينة موجزة تشير إلى قصة أو حادثة يشبه بها حال الذى حكيت فيه بحال الذى
قيلت لأجله
Amtsal adalah kalimat singkat yang
diucapkan pada keadaan atau peristiwa tertentu, digunakan untuk menyerupakan
keadaan atau peristiwa tertentu dengan keadaan atau peristiwa asal dimana
matsal tersebut diucapkan.
Kata amtsal adalah bentuk
jamak dari masalun dan mislun, yang mengandung arti bidal atau
bandingan. Terdapat banyak arti kata masalun dan mislun yang
dapat kita jumpai, misalnya persamaan, padanan, sederajat, sepangkat, sejalan
(dengan), menurut kias, sama (dengan). Atau dalam terjemahan bahasa asing
lainnya kita jumpai seperti simelar, equal dan analogous. Dalam
sastra Indonesia amtsal ini sama dengan pribahasa atau pepatah.
Dalam sejarah Mesir Kuno banyak
dikenal buku-buku bidal yang berisi pengajaran dan nasehat-nasehat dengan
menggunakan kata-kata amtsal, misalnya: Al-Fallah al-Fasyih, Sibawaih
dan Aibur. Koleksi buku-buku ini disebut Sifru al-Amtsal (Kitab
Bidal/The Book of Proverbs). Di bawah ini terdapat beberapa contoh dari amtsal,
di antaranya :
قبل
الرمى تملأ الكنائن
"Sebelum memanah penuhi dahulu
busur-busur"
Pribahasa di atas memiliki kesamaan
dengan pribahasa "Sedia payung sebelum hujan" yang merupakan sebuah
pesan agar sebelum bertindak kita haruslah mempersiapkan sesuatu yang berkaitan
dengan tindakan yang akan dilakukan.
ضعف
الطالب والمطلوب
"Si peminta dan yang meminta
lemah"
Pribahasa di atas merupakan sebuah
ungkapan di waktu kita diminta seseorang agar membantunya berupa uang atau
bantuan yang lain, pada kita sendiri tidak mempunyai uang atau bantuan yang
dapat diberikan.
Diriwayatkan bahwa ada seorang Arab
mengutus anaknya untuk mencari untanya yang hilang, namun anaknya tak kunjung
pulang, maka pergilah sang ayah untuk mencari anaknya tersebut pada bulan
haram, ditengah perjalanan ia bertemu dengan seorang pemuda dan menemaninya,
sang pemuda tersebut kemudian berkata: beberapa waktu lalu aku bertemu dengan
seorang pemuda dengan ciri-ciri begini dan begini dan aku rampas pedang ini
darinya, sang ayah pun berfikir dan melihat pedang tersebut, barulah ia sadar
bahwa pemuda inilah yang membunuh anaknya, sang ayah pun menebas pemuda tadi
hingga mati, ketika masyarakat mengetahui hal tersebut mereka mengatakan "
mengapa kau membunuh di bulan haram, sang ayah berkata :
سبق
السيف العذل
"pedangku telah mendahului celaan
kalian."
Diriwayatkan pula bahwa pada suatu
musim panas seorang lelaki tua menikahi gadis muda yang cantik jelita, lelaki
tadi memiliki begitu banyak unta dan kambing yang senantiasa memproduksi susu.
Akan tetapi wanita ini tidak mencantai lelaki tua itu dan meminta untuk
diceraikan, maka merekapun bercerai. Wanita tadi akhirnya menikah dengan
seorang pemuda yang tampan namun miskin, tidak punya kambing apalagi unta, pada
musim dingin wanita tadi melihat sekawanan kambing milik lelaki tua mantan
suaminya dan memohon agar diberikan susu dari kambing-kambing tersebut, namun
lelaki tua itu menolak dan berkata :
الصيف
ضيعت اللبن
"Musim panas yang lalu kau telah
menyia-nyiakan susu yang aku beri"
Matsal di atas diucapkan kepada
seorang yang telah menyia-nyiakan kesempatan dimasa lalu namun kini
mengharapnya kembali.
3.
Al-Hikam
(Kata-Kata Mutiara)
Pengertian Hikam,
والحكم
: قول موجز يشتمل على حكم صائب ورأى سديد.
"Hikam atau kata-kata mutiara adalah
ucapan kalimat yang ringkas yang menyentuh yang bersumber dari pengalaman hidup
yang dalam, di dalamnya terdapat ide yang lugas dan nasihat yang
bermanfaat."
Terkadang kata-kata mutiara juga
terdapat di dalam sebuah syi'r sebagaimana banyak ditemukan di dalam Syi'r
Zuhair bin Abi Sulma. Adapun di antara para penghikmah yang terkenal, antara
lain : Qus bin Sa'idah dan Dzul Isba' Al-‘Adwani. Di bawah terdapat beberapa
contoh dari hikam atau kata-kata mutiara :
آفة
الرأي الهوى
"Perusak akal sehat manusia
adalah hawa nafsunya."
مصارع
الرجال تحت برو ق الطمع
"Kehancuran seorang lelaki
terletak dibawah kilaunya ketamakan"
4.
Al-Wasiat
Pengertian al-wasiat,
وهي
كالخطابة, الكلام الذى يصدر من المرأة, لإبنـتها ومن الرجل لولده ومن الأمير لقواد
جيشه ومن الحكيم لقومه, ويغلب ذلك عند الإحساس بالأجل أو العزم على الرحلة.
"Wasiat itu sama seperti khutbah yaitu
ucapan atau pesan yang disampaikan oleh seseorang, baik dari orang tua kepada
anaknya, dari pemimpin kepada anak buahnya, dari hakim kepada masyrakatnya.
Biasanya wasiyat disampaikan oleh seseorang yang merasa bahwa ajalnya sudah
dekat atau seseorang yang hendak melakukan perjalanan".
Wasiat memiliki banyak persamaan
dengan khutbah hanya saja umumnya wasiat itu lebih ringkas. Di bawah ini adalah
contoh wasiat yang disampaikan oleh Dzul Isba' Al-‘Adwani kepada anaknya yang
bernama Usaid. Diriwayatkan bahwa disaat Dzul Isba' Al-‘adwani merasakan
ajalnya ia memanggil anaknya Usaid, ia menasihati anaknya dengan beberapa nasihat
demi mewujudkan kedudukan yang mulia ditengah manusia dan menjadikannya seorang
yang mulia, terhormat dan dicintai oleh kaumnya. Ia berkata :
ألن
جانبك لقومك يحبوك, وتواضع لهم يرفعوك, وابسط لهم وجهك يطيعوك, ولا تستأثر عليهم
بشيء يسودوك,أكرم صغارهم كما تكرم كبارهم و يكبر على مودتك صغارهم, واسمح بمالك, و
أعزز جارك وأعن من استعان بك, وأكرم ضيفك, وصن وجهك عن مسألة أحد شيئا, فبذلك يتم
سؤددك
"Berlemah lembutlah kepada manusia
maka mereka akan mencintaimu, dan bersikap rendah hatilah niscaya mereka akan
mengangkat kedudukanmu, sambut mereka dengan wajah yang selalu berseri maka
mereka akan mentaatimu, dan janganlah engkau bersikap kikir maka mereka akan
menghormatimu. Muliakanlah anak kecil mereka sebagaimana engkau mencintai
orang-orang dewasa diantara mereka, maka anak kecil tadi akan tumbuh dengan
kecintaan kepadamu, mudahkanlah hartamu untuk kau berikan, hormatilah
tetanggamu dan tolonglah orang yang meminta pertolongan, muliakanlah tamu dan
selalulah berseri ketika menghadapi orang yang meminta-minta, maka dengan itu
semua sempurnalah kharismamu."
5. Khithobah (Orasi)
Senin, 13 April 2009 20:53:29 - oleh : admin
Pengertian khutbah atau
orasi,
والخطابة
هي كل كلام مؤثر يلقى على ملأ من الناس لإقناعهم بما فيه الخير لعامتهم فى حاضرهم
ومستقبلهم.
Khithobah atau orasi adalah
serangkaian perkataan yang jelas dan lugas yang disampaikan kepada khalayak
ramai dalam rangka menjelaskan suatu perkara penting.
Adapun penyebab munculnya khithobah
pada periode Jahiliyah antara lain : banyaknya perang yang terjadi antar kabilah,
pola hubungan yang ada pada masyarakat Jahiliyyah seperti saling mengucapkan
selamat, belasungkawa dan saling memohon bantuan perang, kekacauan politik yang
ada kala itu, menyebarnya buta huruf, sehingga komunikasi lisan lebih banyak
digunakan daripada tulisan, dan saling membanggakan nasab dan adat istiadat.
Ciri khas yang dimiliki oleh khithobah
pada masa ini antara lain: penggunaan kalimat yang ringkas, lafaz yang jelas
dan ringkas, makna yang mendalam, bersajak (berakhirnya setiap kalimat dengan
huruf yang sama) dan terkadang sering terjadi perpaduan antara syi'r, hikmah
dan matsal.
Khithobah memiliki peranan yang besar dalam
kehidupan masyarakat Jahiliyyah pada waktu itu. Bagi mereka khutbah merupakan
alat komunikasi untuk menunjukkan kehebatan suatu kabilah atau menjadi semangat
dalam sebuah peperangan antar kabilah. Adapun tempat-tempat yang biasa dipakai
untuk berorasi antara lain:
1.
Sebelum peperangan antar kabilah terjadi, dimana sang orator berdiri diatas
kuda atau unta untuk memberikan semangat pada pasukannya agar dapat memenangkan
peperangan.
2.
Ketika munafarah, yaitu dimana seseorang membanggakan diri di depan orang lain,
atau membanggakan satu kabilah dengan kabilah yang lain. Dalam keadaan ini sang
orator akan berorasi didepan khayalak ramai untuk membanggakan kabilahnya.
3.
Ketika berada di hadapan utusan raja atau amir, sang orator maju dihadapan para
utusan tersebut dan berorasi untuk menyampaikan keinginan-keinginan mereka.
4.
Ketika acara pernikahan, khutbah pada acara pernikahan ini sudah menjadi
kebiasaan masyarakat Arab sejak dahulu yang hingga saat ini masih
dipertahankan, sebagaimana yang dilakukan paman Nabi SAW, Abu Thalin ketika
menikahkan Beliau SAW dengan Siti Khadijah.
Di antara para orator yang terkenal
pada masa Jahiliyyah, antara lain : Aktsam bin Shaifi, Qus bin Sa'idah al-Iyady
(sang orator Ukadz), Amr bin Ma'dayakiribah Al-Zabidy.
Di bawah ini terdapat contoh khutbah
yang disampaikan oleh Hani'
Bin Qobishoh ketika terjadi peperangan Dzi-Qorin. Diriwayatkan bahwa Kisra ( Raja Persia ) memaksa Hani
bin Qobishoh Asa-Syaibani agar menyerahkan harta amanah yang dititipkan
kepadanya oleh Nu'man ibnul Mundzir-salah seorang penguasa Irak-. Hani menolak
permintaan tersebut demi menjaga amanah yang dititipkan kepadanya sehingga
terjadilah perang antara tentara Persia dengan kabilah Bakr yang dipimpin oleh
Hani, pertempuran tersebut berlangsung pada sebuah tempat dekat Bashrah di Irak
yang bernama Dzi-Qorin, pertempuran tersebut akhirnya dimenangkan oleh Kabilah
Bakr, sebelum pertempuran tersebut berlangsung Hani' membakar semangat para
pasukannya dengan perkataannya :
يا
معشر بكر , هالك معذور خير من ناج فرور, إن الحذر لا ينخي من القدر, و إن الصبر من
أسباب الظفر, المنية ولا الدنية, استقبال الموت خير من استدباره, و الطعن في ثغر
النحور, أكرم منه في الأعجاز و الظهور, يا أبا بكر : قاتلوا فما للمنايا من بد
"Wahai sekalian kaum Bakr, orang yang
kalah secara terhormat lebih baik dari orang yang selamat kar'na lari dari
medan juang, sesungguhnya ketakutan tidak akan melepaskan kalian dari ketentuan
Tuhan, dan sesungguhnya kesabaran adalah jalan kemenangan. Raihlah kematian secara
mulia, jangan kalian memilih kehidupan yang hina ini. Menghadapi kematian lebih
baik daripada lari darinya, tusukan tombak di leher-leher depan lebih mulia
dibanding tikaman dipunggung kalian, wahai kaum Bakr..... Berperanglah!!!!
Karena kematian adalah suatu kepastian.. "
B. PUISI
1.
Pengertian
Syi'r
والشعر
هو الكلام الموزن المقفى المعبر عن الأخيلة البديعة والصّور المؤثرة البليغة.
Syi'r adalah ungkapan atau ungkapan
yang berwazan dan berqafiah yang mengungkapkan imajinasi yang indah dan
bentuk-bentuk ungkapan yang mengesankan lagi mendalam (Zayyat, 1996: 25).
Para penyair pada zaman jahiliyah
dianggap sebagai kaum intelektual. Mereka dianggap golongan orang yang paling
tahu berbagai macam ilmu yang dibutuhkan bangsa Arab pada masanya. Yaitu
pengetahuan tentang nasab, kabilah-kabilah dan ilmu lain yang mashur pada masa
itu. Menurut Ahmad Amin (1933: 55) secara etimologi kata sya'ara sendiri
berarti 'alima (mengetahui). Seperti kalimat sya'artu bihi artinya alimtu. Dari
sini dapat dipahami juga pada ayat berikut:
وَمَا
يُشْعِرُكُمْ أَنَّهَا إِذَا جَاءَتْ لا يُؤْمِنُونَ.
"Dan apakah yang memberitahukan
kepadamu bahwa apabila mukjizat datang mereka tidak akan beriman"(QS. 6: 109).
Dalam kamus lisan al-Arab, kata
sya'ara (شعر) dimaknai ilmu dan makrifah. Karena itu
kata asy-sya'ir (الشاعر) artinya (العالم)
wa asy-syua'ara' artinya ulama. Kemudian kata syi'r berkembang menjadi
sebuah istilah yang khusus, dalam al-lisan disebutkan:
و
الشعر منظوم القول، غلب عليه لشرفه بالوزن و القافية، .
"Puisi itu merupakan rangkaian
kata-kata, yang biasanya tersusun dalam bentuk wazan dan qafiyah"
Pada zaman jahiliyah para penyair
adalah golongan masyarakat jahiliyah yang paling berilmu. Di samping golongan
lain yang disebut dengan hukkam. Golongan ini memberi keputusan atas berbagai
perselisihan antar anggota masyarakat dalam hal derajat dan nasab. Setiap
kabilah memiliki satu hakim atau lebih, di antara hakim yang terkenal Aqsam ibn
Saifi, Hajib ibn Zurarah, al-Aqra' ibn habis dan Amir ibn Gharb. Secara
intelektual mereka ini lebih tinggi dari para penyair akan tetapi secara
imajinasi para penyair lebih luas dan lebih membekas. Sehingga bangsa Arab
menyatakan bahwa :
إن
الشعر ديوان العرب
"Sesungguh puisi itu merupakan diwan
bangsa Arab"
Yang dimaksud dengan diwan di sini
adalah catatan bahwa Syi'r mencatat berbagai hal tentang tata krama, adat
istiadat, agama dan peribadatan mereka serta keilmuan mereka, atau dengan kata
lain mereka mencatat tentang diri mereka sendiri dalam Syi'r. Dahulu para
sastrawan menggunakan syair Arab jahiliyah untuk memahami berbagai perang dan
memahami kepahlawanan, kedermawanan dan kelicikan yang digunakan untuk
menciptakan Syi'r madah dan hija' (Amin, 1933: 57).
Beberapa kumpulan diwan Arab
jahiliyah adalah sebagai berikut: al-Mu'allaqat as-Sab'u yang dikumpulkan oleh
Hammat ar-Rawiyah, al-Mufadhdholiyyat yang disusun oleh al-mufadhdhal
adh-dhobiyyu terdiri dari 128 qasidah, diwan al-hammasah yang disusun oleh Abi
Tamam yang berisi potongan-potongan syi'ir jahiliyah yang sangat banyak,
al-Hammasah karangan al-Bukhturi, al-Aghani, asy-Syi'ru wa asy-Syu'ara'
karangan Ibnu Kutaibah, Mukhtarat Ibnu Sajary, Jamharotu Asy'aru al-Arab
karangan Abu Zaid al-Kurasyi, Syi'r jahiliyah yang sampai kepada kita tidak
lebih dari 150 tahun sebelum kenabian, hasil pengamatan kepada Syi'r Arab
menunjukkan tema-temanya tidak variatif, maknanya tidak melimpah, Syi'r-Syi'r
jahiliyah, qasidah dan musiqahnya serta iramanya satu, tasybih dan isti'arahnya
sering terulang, miskin kreasi dan miskin variasi (Amin, 1933: 58).
Syi'r menjadi panglima kehidupan
pada zaman jahiliyah, menjadi idola dalam seluruh bidang kehidupan. Berbagai
momen kehidupan baik ritual keagamaan, sosial politik, perang dan perdagangan
menggunakan Syi'r sebagai alat motivasi handal. Syukri Faishol menggambarkan
dominasi Syi'r pada masa jahiliyah sebagai berikut :
كَانَ
الشِعْرُ مِن الْاَثرةِ واَلطُغْيَان بِحَيْثُ كَانَ يَسْتبد بِكُلَّ مَجَالاَت
الْقَوْل ، فَى الْحَرْب وَالْسِلْم وَفِيْ الفَخْر وَالْهِجَاء، وَفِي التَأَمّل
الدِّيْنِي وَالتّفْكِيْر الْفَلْسَفِي، فِي هذِهِ جَمْيعًا كَانَت الْحَيَاة
الْجَاهِلِيّة تَتَنَفَّس هذَا التَنَفُّس الْشِعْرِي...وَحَتَّى حِيْنَ يَكُوْن
الْنَثْر أَحْيَانًا عَلَى أَلْسِنَة الْكُهَّان، كَانَ نَثْرًا مَسْجُوْعًا.
"Syi'r begitu dominan menguasai
berbagai macam bentuk ungkapan di berbagai bidang dalam peperangan, dalam
perdamaian seperti fakhr dan hija' dalam penghayatan keagamaan, dalam pemikiran
filosofis. Semua bidang tersebut pada masa jahiliyah tumbuh dalam suasana
puitis, bahkan rotsa yang biasa digunakan para dukun-dukun jahiliyah pun
bersajak sehingga dikenal dengan saja'ul-kuhhan. Hubungan antara keduanya
begitu dekat dalam wazan dan qafiyahnya. Secara historis prosa liris tidak
memiliki akar yang kuat dalam kehidupan jahiliyah tidak seperti jahiliyah,
memiliki tradisi puitis dan memiliki sisi historis yang panjang. Yang menopang
kekokohan keberadaannya dari segi produksi, sastrawan dan periwayatannya." (Syukri Faishol, 1973: 351).
2.
Awal
Mula timbulnya Syi'r Arab
Sejarah mengenai awal mula Syi'r
Arab merupakan sejarah yang sulit untuk menentukan batasannya. Akan tetapi para
ahli sejarah sastra Arab berpendapat bahwa timbulnya Syi'r Arab telah lebih
dahulu daripada prosa. Syi'r Arab Jahiliyyah yang sampai kepada kita saat ini
hanya sebagian Syi'r yang pengumpulannya pada perang Busus sekitar 150 tahun
sebelum Islam. Itupun tidak merupakan keseluruhan Syi'r yang dihasilkan bangsa
Arab di masa tersebut. Sehingga Syi'r Jahiliyyah yang sampai kepada kita
sekarang ini hanyalah sebagian kecil saja dari Syi'r Jahiliyyah yang dapat
diselamatkan dari kepunahan.
Syi'r Jahiliyyah yang sempat dihapal
oleh generasi yang datang di masa Islam akhirnya dicatat dan dibukukan dalam
catatan-catatan pribadi, kemudian diajarkan kepada generasi berikutnya.
Kemudian dari hapalan-hapalan tersebut lalu dikumpulkan oleh para pengumpul
Syi'r, seperti Hammad Arrowy, Al-Asmaiy, Khallaf bin Amru dan Abu Bakar
Hawarizmy. Merekalah yang mengumpulkan Syi'r yang masih ada pada suku Badui
Arab. Karena suku Badui sangat terkenal dalam kekuatan hapalannya untuk menjaga
adat istiadat dan hasil karya nenek moyang mereka. Selanjutnya, hasil karya
sastra Arab yang telah dibukukan, kelak akan dijadikan sandaran bahasa Arab
oleh para ahli linguistik Arab, ahli balaqhah, dan juga para penyair Islam yang
datang di masa sesudahnya.
Mengenai sejarah awal mula timbulnya
Syi'r Arab Jahiliyyah, sosok Muhalhil bin Rabiah Attaghliby dianggap sebagai
orang pertama yang menciptakan Syi'r Arab. Hal ini dikarenakan dari sekian
banyak Syi'r Arab yang ditemukan hanyalah sampai pada zaman Muhalhil, dan dari
sekian banyak Syi'r Muhalhil yang dapat diselamatkan hanya sekitar 30 bait
saja.
Anggapan bahwa Muhalhil adalah
perintis pertama dalam menciptakan Syi'r Arab, bukan berarti bahwa permulaan
timbulnya Syi'r Arab itu dimulai dari zaman Muhalhil. Bahkan jauh sebelum zaman
Muhalhil, Syi'r Arab telah ada, hanya saja Syi'r Arab kuno yang ada sebelum
zaman Muhalhil telah lenyap. Pendapat ini dikuatkan oleh Umru' Al-Qais yang
menyatakan bahwa sebelum zaman Muhalhil, bangsa Arab telah mengenal Syi'r.
عوجا
على الطّلل المحيل لأننا # نبكى الدّيار كما بكى ابن خذام
Mari kita kembali (mengenang) kepada
puing-puing yang runtuh, karena kami akan mengenang (menangisi) kembali kekasih
yang telah pergi, seperti yang telah dilakukan oleh Ibnu Al-Huzama.
Bait syi'r di atas memberikan
penerangan kepada kita bahwa segala apa yang dilakukan penyair yang ada pada
masa Jahiliyyah hanyalah sebuah tiruan atau pengulangan dari yang telah
dilakukan oleh penyair masa sebelumnya. Pendapat Umru' Al-Qais ini dikuatkan
oleh pendapat Zuhair bin Abi Sulma dalam bait syi'rnya di bawah ini
ما
ارانا نقول إلاّ معارا # او معاذا من لفظنا مكرورا
Apa yang kami ucapkan waktu ini,
tidak lain hanyalah jiplakan (tiruan) atau ulangan dari ucapan syair di masa
lampu.
Dari kutipan-kutipan syi'r di atas
dapatlah kita ketahui bahwa sejak sebelum Masehi, bangsa Arab telah mengenal
syi'r, hanya saja karya mereka telah lenyap dimakan waktu. Adapun Muhalhil
hanyalah sebagai seorang penerus atau perintis syi'r Arab Jahiliyyah.
3.
Pembagian
Jenis-jenis Syi'r dan Tujuannya
Bahasa Arab pada zaman Jahiliyah ada
dua bentuk prosa dan syair. Prosa berfungsi sebagai alat komunikasi tetapi
kedudukannya tidak lebih tinggi dari syair, sehingga prosa ini kurang mendapat
tempat dihati orang-orang Arab, anggapan mereka bahwa prosa tidak mengandung
unsur keindahan dan seni dalam mengungkapkan apa yang hendak mereka ungkapkan.
Lain lagi halnya dengan syair, bangsa Arab mempunyai ketajaman dalam menilai
bahasa, keindahan dalan berucap yang senantiasa disatukan dengan perasaan
yang sangat halus yang merela miliki, sehingga mereka mampu berimajinasi dengan
sangat tinggi. Faktor inilah yang menjadi modal dasar bangsa Arab untuk
menggugah syair yang indah dengan berbagai tujuannya sesuai dengan apa yang
sedang bergejolak dalam jiwanya. Karna menurut pandangan bangsa Arab syair merupakan
puncak keindahan dalam sastra mereka dibanding dengan hasil sastra lainnya.
Syair -syair yang mereka lantunkan
dapat memukau dan mempengaruhi jiwa sipendengarnya, sehingga sudah menjadi
tradisi dan kebiasaan orang Arab untuk selalu menghafalkan apa yang telah
mereka dengar sampai benar-benar hafal. Kemudian syair-syair itu
diajarkan kepada anak cucunya atau kerabat dalam kabilah itu sehingga
sampai kepada beberapa generasi berikutnya. Peran dan fungsi bahasa pada zaman
Jahiliyah sangatlah sederhana seirama dengan kesederhanaan letak geografisnya,
ketandusan wilayahnya yang menyebabkan mereka tidak dapat bertani, dan jalannya
perdagangan sangat sulit dan rumit akibat daerah yang satu dengan yang
lainnya sangat berjauhan, dan juga peperangan antar suku kerap terjadi.
Hal seperti inilan membuat bahasa mereka sangat sederhana.
Adapun puisi (Syi'r) terbagi
atas dua bagian, yaitu asy-Syi'r al-Ginai dan asy-Syi'r al-Hikami
atau asy-Syi'r at-Ta'limi. Asy-Syi'r al-Ginai merupakan
puisi hiburan yang berisi ungkapan perasaan sang penyair. Adapun asy-Syi'r
al-Hikami atau asy-Syi'r at-Ta'limi adalah puisi yang
berisikan pendidikan atau pengajaran.
Menurut Syauqi Dhaif (2001: 196)
yang pertama kali melakukan tipologi tema Syi'r Arab dan membukukannya adalah
Abu Tamam (w. 232 H). Abu Tamam membagi tema Syi'r Arab dalam 10 (sepuluh) tema
yaitu Hammasah, Maratsi, Adab, Nasib, Hija`, Adyaf, Madih, Sifat, Sair, Nu'as,
Milh, Mazammatu Nisa`. Tema-tema tersebut tidak teratur kadang Adyaf masuk
dalam kategori madih, kadang masuk ke hammasah dan kadang masuk ke fakhr.
Sedang tema siar dan nu'as masuk kepada tema sifat sebagaimana Madzammatun
Nisa' masuk ke Hija' dan al-Milh sering tidak jelas maksudnya. Qudamah dalam
bukunya Naqdu asy-Syi'ri membagi tema Syi'r Arab menjadi enam, yaitu madih,
hija', nasif, maratsi wa al-wasfu wa at-tasybih. Kemudian dia mencoba untuk
meringkasnya saja menjadi dua bab saja yaitu bab madah dan hija'. Ibnu Rasyiq
membagi menjadi sepuluh dalam bukunya al-'Umdah yaitu an-nasib, al-madih,
al-iftikhar, ar-ritsa, al-iqtidho', al-istinjas, al-'itab, al-wa'id, al-indzar,
al-hija' dan al-i'tidzar. Sedangkan Abu Hilal al-'Askary mengatakan sebetulnya
Syi'r Arab jahiliyah itu dibagi menjadi lima yaitu: al-madih, al-hija',
al-wasf, at-tasybih dan al-miratsi. Sampai kemudian an-Nabighah menambahkan
satu tema yaitu al-i'tidzar. Sesungguhnya ini adalah pembagian yang baik akan
tetapi Abu Bakar al-Asy'ari melupakan satu tema yaitu al-hammasah, padahal tema
ini yang paling banyak digunakan oleh orang Arab jahiliyah.
Dalam hal ini, jenis Syi'r Arab
jahiliyah menurut tujuannya terbagi menjadi beberapa macam, sesuai bentuk dan
warnanya yang berlainan antara yang satu dengan yang lain, yang semuanya
mewarnai corak yang sesuai dengan tujuannya masing-masing.
a. Tasybih/ghazal
ialah suatu bentuk puisi yang di dalamnya menyebutkan wanita dan kecantikannya,
Syi'r ini juga menyebutkan tentang kekasih, tempat tinggalnya dan segala apa
saja yang berhubungan kisah percintaan. Seperti Syi'r A`sa ketika tidak tega
ditinggal kekasihnya Harirah:
غَرَّاءٌ
فَرْعَاءْ، مَصْقُوْلٌ عَوَارِضُهَا # تَمْشِى اْلهُوَيْنىَ كَمَا يَمْشِى اْلجى
الوحل
كَأَنَّ
مِشْيَتَهَا مِنْ بَيتِ # جَارَتِها مَرّ السَحَابَةِ لا رَيْثٌ و لا عَجَل
Seolah-olah jalannya dari rumah
tetangganya
Seperti jalannya awan tidak lambat
dan tidak juga cepat
Atau Syi'r Imru al-Qais menggambar
keindahan Unaizah (kekasihnya) dalam bait Syi'rnya seperti di bawah ini:
فَلَمَّا
أَجَزْنَا سَاحَةُ الحَيِّ وَ انْتَحَى بِنَا بَطْنُ خَبْْتٍ ذِى حِقَافٍ
عَقَنْقَلِ
هَصَرْتُ
بِفَوْدَىْ رَأْسِهَا فَتَمَايَلَتْ عَلَىَّ هَضِيْمَ الكَشْحِ رَياَّّ
المُخَلْخَلِ
مُهَفْهَفَـةٌ
بَيْضَـاءُ غَيْرُ مُفَاضَةٍ تَرَائِبـُهَا مَصْقُوْلَةٌ كاَلسَّجَنْجَـلِ
وَجِيْدٍ
كَجِيْدِ الرِّئْمِ لَيْسَ بِفَاحِشٍ إِذَا هِـيَ نَصَّتـْهُ وَلاَ بِمُعـَطَّلٍ
وَ
فَرْعٍ يَزِيْنُ الْمَتْنَ أَسْوَدَ فَاحِمٍ أَثِيـْثٍ كَقَنْـوِ النَّخْلَةِ
الْمُتَعَثْكِلِ
Ketika kami berdua telah lewat dari
perkampungan, dan sampai di tempat yang aman dari intaian orang kampung
Maka kutarik kepalanya sehingga Ia
(Unaizah) dapat melekatkan dirinya kepadaku seperti pohon yang lunak
Wanita itu langsing, perutnya
ramping dan dadanya putih bagaikan kaca
Lehernya jenjang seperti lehernya
kijang, jika dipanjangkan tidak bercacat sedikit pun, karena lehernya dipenuhi
kalung permata
Rambutnya yang panjang dan hitam
bila terurai di bahunya bagaikan mayang kurma. (Al-Zauziny, 16-17 dan Al
Muhdar, 1983: 48).
b. Hammasah/Fakher,
jenis Syi'r ini biasanya digunakan untuk berbangga dengan segala macam
kelebihan dan keunggulan yang dimiliki oleh suatu kaum. Pada umumnya Syi'r ini
digunakan untuk menyebutkan keberanian dan kemenangan yang diperoleh. Seperti
Syi'r Rasyid ibn Shihab al- Yaskary yang menantang Qais ibn Mas`ud al-Syaibany
di Pasar Ukaz;
وَلاَ
تُوعِدنِّى إنـنى إن تـلاَقنى معى مَشْـرِفِىُّ في مضاربـه قَضَمْ
و
ذمٌّ يُغَشِّى المرءَ خِزْياً و رهطه لدى السَّرْحة العَشَّاء في ظلها الأَدَمْ
Jangan mengancamku, sungguh bila kau
menemui aku
Bersamaku pedang tajam dengan darah
yang terus mengalir karena sayatannya
Dan celaan yang membuat pingsan
korbannya karena malu dan hina
Disaksikan berbagai kabilah di bawah
pohon (di pasar Ukaz) di Qubab Adam (Dhaif, 2001: 200).
c.
Madah, Bentuk Syi'r ini digunakan untuk memuji seseorang dengan
segala macam sifat dan kebesaran yang dimilikinya seperti kedermawanan dan
keberanian maupun ketinggian budi pekerti seseorang. Seperti Syi'r Nabighah
ketika memuji raja Nu`man:
فَإِنَّكَ
شَمْسٌ وَ الْمَلُوكُ كَوَاكِبٌ إِذَا طَلَعَتْ لمَْ يَبْدُ مِنْهُنَّ كَوْكَبُ
Kamu adalah matahari sedang raja
yang lain adalah bintang
Apabila matahari terbit maka
bintang-bintang yang lain tidak mampu menunjukkan diri (Mursyidi, 97).
Atau seperti Syi'r A`sya ketika
memuji kedermawanan Muhallik:
تَرَى
الْجُوْدَ يَجْرِى ظَاهِرًا فَوْقَ وَجْهِهِ # كَمَا زَانَ مَتْنَ الْهِنْدُوَانِى
رَوْنَقُ
يَدَاهُ
يَدَا صِدْقٍ: فَكَفٌّ مُبِيْدَةٌ # وَ كَفٌّ إِذَا مَا ضُنُّ بِالمَالِ يُنْفَقُ
Kamu lihat kedermawanan di wajahnya
seperti pedang yang berkilauan.
Kedua tangannya selalu benar, yang
satu untuk membinasakan sedang yang lain untuk berderma (Al-Iskandary, 1978:
82-83).
Syi'r ini ditulis oleh an-Nabighah
untuk memuji kaum Ghassasinah, khususnya kepada raja Amru ibn al-Harits
al-Ghassany.
لَهُمْ
شِيْمَةٌ لَمْ يُعْطِهَا اللهُ غَيْرَهُمْ مِنَ اْلجُوْدِ، وَاْلأَحْلاَمِ غَيْرَ
عَوَازِبِ
رِقَافَ
النِّعَالِ، طَيِّبٌ حُجُزَاتُهُمْ يُحَيَّوْنَ بِالرَّيْحَانِ يَوْمَ
السَّبَاسِبِ
وَلاَ
يَحْسَبُوْنَ اْلخَيْرَ لاَ شَرَّ بَعْدَهُ وَلاَ يَحْسَبُوْنَ الشَّرَّ ضَرْبَةَ
لاَزِبِ
Mereka (kabilah Ghassan) memiliki
sifat kedermawanan, dan cara berfikir cemerlang yang tidak diberikan oleh Allah
kepada yang lain
Sandalnya halus, selalu
mengendalikan diri, semua manusia menghormati mereka dengan wangi-wangian pada
hari raya sabasib
Mereka sangat berpengalaman,
kebaikan tidak melupakan mereka dari kesengsaraan-kesengsaraannya, demikian
juga musibah dan penderitaan tidak membuat mereka berputus asa. (Mursyidi,
t.t.:90).
Ini adalah Syi'r Khansa` yang sangat
bangga pada saudaranya Shakhr
يُـؤَرِّقُنِى
التَّذَكُّـرُ حِيْنَ أُمْسِى فَأُصْبِحُ قَدْ بُلِيْتُ بِفَرْطِ نَكْسٍ
عَلَى
صَخْرٍ، وَ أَيُّ فَتًى كَصَخْرٍ لِيَوْمِ كَرِيْهَةٍ وَ طِعَانِ خَلَسِ ؟
فَلَـمْ
أَرَ مِثْـلَهُ رُزْءًا لـِجِنٍ وَ لمَ أَرَ مِثـْلَهُ رُزْءًا لإِنْـسِ
أَشَدُّ
عَلَى صُرُوْفِ الدَّهْرِ أَيْدًا وَ أَفْضَلُ فِي الخُطُوْبِ بِغَيْرِ لِبْسِ
وَ
ضَيْـفٍ طَارِقٍ، أَوْ مُسْتَجِيْرٍ يُـرَوِّعُ قَلْبُهُ مِنْ كُلِّ جَـرْسِ
فَأَكْرَمَـهُ،
وَ أَمَّنـَهُ، فَأَمْسَى خَلِيًـا بَـالُهُ مِنْ كُلِّ بُـؤْسِ
Setiap malam aku tersiksa oleh ingatanku
Dan di pagi hari kudapati diriku
yang kemarin sembuh sakit kembali
Karena ingatanku kepada Sakhr,
adakah pemuda yang seperti Sakhr Pada saat terjadi peperangan dan tebasan
pedang bagai kilatan cahaya
Dan tak pernah kulihat musibah
mengerikan itu yang menimpa jin
Juga tak pernah kulihat musibah
sepertinya yang menimpa manusia
Lebih dahsyat dari bala' yang
menimpa dunia sepanjang masa
Peristiwa yang luar biasa dan tidak
orang yang bisa memungkirinya.
Setiap datang pengetuk pintu atau
datang orang yang meminta perlindungan selalu menggetarkan hatinya, maka dia
akan memuliakannya dan akan melindunginya.
Dan ketika datang malam hari hatinya
menjadi tenteram dari segala kesialan.
d. Rotsa',
jenis Syi'r ini digunakan untuk mengingat jasa seorang yang sudah meninggal
dunia. Seperti Syi'r Khansa` yang sangat terkenal dengan rangkaian Syi'r
ratsa`nya;
يُذَكِّرُنِى
طُلُوْعُ الشََّمْسِ صَخْرًا وَ أَذْكُرُهُ لِكُلِّ غُرُوْبِ شَمْسَ
فَلَوْلاَ
كَثْـرَةُ البَـاكِيْنَ حَوْلِى عَلَى إِخْوَانِـهِمْ لَقَتَلْتُ نَفْسِى
Aku selalu teringat Sakhr, aku
teringat padanya setiap matahari terbit.
Dan aku teringat padanya ketika
matahari terbenam.
Aku teringat padanya antara
keduanya.
Ingatanku padanya tidak bisa hilang.
Kalau bukan karena aku melihat
banyak orang yang menangisi mayat-mayat saudaranya yang mati, mungkin aku sudah
bunuh diri.
Juga Syi'rnya yang menggambar
kesedihannya yang luar biasa sampai melupakan suaminya;
ألم
وزهد في الحياة
فَلاَ
وَ اللهِ لاَ أَنْسَاكَ، حَتَى أُفَارِقَ مُهْجَتِى وَ يُشَقَّ رَمْسِي
فَقَدْ
وَدَّعْتُ يَوْمَ فِرَاقِ صَخْرِ أَبِى حَسَّانَ، لَذَّاتِي وَ أُنْسِي
فَيَالَهْفِي
عَلَيْهِ وَ لَهْفَ أَمِّي أَيُصْبِحُ فِي التُرَابِ وَفِيْهِ يُمْسِى
Aku bersumpah demi Allah aku tidak
akan melupakanmu sampai maut memisahkan diriku
Aku tinggalkan sejak aku berpisah
dengan Shakhr,
Abi Hasan untuk diriku dan aku
melupakannya
Aku merindukannya dan juga ibuku
merindukannya
Apa dia telah menjadi tanah dan
didalamnya dia berada.(Al-Maliji, 1989: 38-39).
e. Hijaa',
jenis puisi ini digunakan untuk mencaci dan mengejek seorang musuh dengan
menyebutkan keburukan orang itu. Seperti Syi'r Zuhair yang mengancam al-Harits
ibn Warqa` al-Asady yang merampas unta keluarganya. Warqa` terpaksa
mengembalikan untanya yang dirampasnya.
لَيَأْتِـيـَنَّكَ
مِنِّى مَنْطِقٌ قَذِعٌ بَاقٍ كَمَا دَنَّسَ اْلقُبْطِـيَّةَ الوَدَكُ
Kamu akan mendapatkan hujatan pedas
yang mematikan dariku
Tidak akan bisa hilang seperti baju
putih yang terkena lemak
(Dhaif, 2001: 197).
Atau seperti Syi'r Juhannam yang
mengejek A`sya dengan menghina bapak dan pamannya.
أَبُوْكَ
قَتِيْلُ الْجُوْعِ قَيْسُ بْنُ جَنْدَلٍ وَخَالُكَ عَبْدٌ مِنْ خُمَاعَةَ
رَاضِعُ.
Bapakmu mati karena kelaparan
(korban kelaparan) Qais ibn Jandal
Dan pamanmu hamba dari kabilah
Khuma'ah yang rendahan (Dhaif, 2001:335).
f.
I'tidzar, Jenis puisi ini digunakan untuk mengajukan udzur dan
alasan dalam suatu perkara dengan jalan mohon maaf dan mengakui kesalahan yang
telah diperbuatnya. Syi'r ini dibuat oleh A'sya untuk meminta maaf kepada Aus
ibn Lam (dari kabilah Thayyi') yang sebelumnya dia ejek dengan Syi'r hija'nya
وَإِنِّى
عَلىَ مَا كَانَ مِنّىِ لَنَادِمٌ وَإِنّىِ إِلَى أَوْسْ بِنْ لاَمٍ لَتَائِبُ
وَإِنِّى
إِلَى أَوْسْ لَيَقِيْلُ عِذْرَتِى وَيُصَفِّحُ عَنىِّ- مَا حَيِيْتُ- لَرَاغِبُ
فَهَبْ
لِى حَيَاتِى فَاْلحَيَاةُ لَقَائِمٌ بِشُكْرِكَ فِيْهَا، خَيْرُ مَا أَنْتَ وَاهِبُ
سَأَمْحُو
بِمَدْحٍ فِيْكَ إِذْ أَناَ صَادِقٌ كِتَابُ هِجَاءٍ سَارَ إِذْ أَنَا كَاذِبُ
Sesungguhnya aku menyesal atas apa
yang telah aku lakukan dan aku mohon ampunan kepada Aus ibn Lam, dan aku mohon
ampunan dari Aus dan menghapus segala kesalahanku adalah keinginanku, berilah
aku kehidupan dan kehidupan akan terjaga dengan kesyukuranku kepadamu dan
pemberianmu adalah yang terbaik aku akan menghapus kesalahanku dengan pujian
kepadamu dan ini adalah pengakuan yang jujur sedangkan ejekan kepadamu yang lalu
sebenarnya adalah bohong (Al-Iskandary, 1978: 55).
Atau seperti Syi'r Nabighah yang
terkenal dengan Syi'r i`tidzariyatnya, memohon maaf kepada raja Nu`man.
وَ
لَكِنَّنِى كُنْتُ امْرَأً لِىَ جَانِبٌ مِنَ الأَرْضِ فِيْهِ مُسْتَرَادٌ وَ
مَذْهَبُ
مَلُوْكٌ
وَ إِخْوَانٌ إِذَا مَا أَتَيْتَهُمْ أُحَكَّمُ فِي أَمْوَالِهِمْ ، وَ أَقْرَبُ
كَفِعْلِكَ
فِي قَوْمٍ أَرَاكَ اصْطَنَعْتَهُمْ فَلَمْ تَرَهُمْ فِي شُكْرِ ذَلِكَ أَذْنَبُوْا
فَلاَ
تَتْرُكَنِّى بِالوَعِيْدِ، كَأَنَّنِى إِلَى النَّاسِ مَطْلِىٌ بِهِ القَارُ
أَجْرَبُ
أَلمَْ
تَرَ أَنَّ اللهَ أَعْطَاكَ سُوْرَةً تَرَى كُلَّ مَلْكٍ دُوْنَهَا يَتَذَبْذَبُ
فَإِنَّكَ
شَمْسٌ، وَ المَلُوْكُ كَوَاكِبٌ إِذَا طَلَعَتْ لمَ يَبْدُ مِنْهُنَّ كَوْكَبُ
وَ
لستَ بِمُسْتَبْقٍ أَخًا لاَ تَلمُّهُ عَلَى شَعَثٍ، أَى الرِّجَالِ المُهَذِّبُ؟
Tetapi sesungguhnya aku adalah orang
yang punya tempat alternatif lain
Di bumi di mana aku mengais rizki
dan tempat melarikan diri
Yaitu para raja dan teman-teman,
yang jika aku datang pada mereka
Aku bisa menggunakan harta mereka
semauku, dan mendekatkan diri
persis seperti apa yang kamu lakukan
pada kaum yang kamu beri berbagai limpahan dan ternyata ketika mereka tidak
bisa bersyukur, maka hal itu bagimu mereka telah berdosa
Jangan kau biarkan aku dalam
ancamanmu, sehingga karena ancamanmu
aku seolah-olah dilumuri ramuan
kudis, semua orang menjauh dariku karena takut ancamanmu
Tidakkah kau tahu bahwa Allah telah
menganugerahkan kepadamu kedudukan yang tinggi, yang raja-raja selain kamu
tidak mampu menyandangnya.
Kamu adalah matahari sedang raja
yang lain adalah bintang
Apabila matahari terbit maka
bintang-bintang yang lain tidak mampu menunjukkan diri.
Kamu tidak mungkin menemukan saudara
yang tidak kamu cela karena kesalahan kecil.
Apakah mungkin ada orang yang tanpa
cela (Mursyidi, t.t.: 95-97).
g. Wasfun,
Jenis Syi'r ini biasanya digunakan untuk menggambarkan sesuatu kejadian ataupun
segala hal yang menarik seperti menggambarkan jalannya peperangan, keindahan
alam dan sebagainya. Kebanyakan para penyair jahiliyah adalah orang Badui yang
begitu menyatu dengan kehidupan alamnya. Sehingga begitu terpengaruh dengan
lingkungannya. Mereka mengambarkan dalam Syi'rnya tentang padang pasir, langit,
bintang, angin, hujan, tenda-tenda perkemahan, puing-puing perkampungan,
tempat-tempat bermain anak-anak dan unta, tentang kuda dan ciri-cirinya,
perjalanan, peperangan, alat-alat perang, perburuan dan peralatannya, hal ini
terlihat jelas pada Syi'r-puisnya Imru'ul Qais. Imru al-Qais menggambarkan
kudanya dengan ungkapan yang begitu indah;
وَقَدْ
أَغْتَدِى وَالطَّيْرِ فِى وُكُنَاتِهَا بِمُنْجَرِدٍ قَيْدِ, الأَوَابِدِ,
هَيْكَلِ
مُكِرٍّ
مُفِرٍّ, مُقْبِلٍ, مُدْبِرٍ مَعًا كَجَلْمُوْدِ صَخْرٍ حَطَّهُ الِسيْلِ مِنْ عَلِ
يَزِلُّ
الغُلاَمُ الجِفُّ عَنْ صَهَوَاتِهِ وبلْوى بِأَنْوَابِ العَنِيْفِ المُثَقَّلِ
لَهْ
أيْطَلاَ ظَبْى, وَسَاقَا نَعَامَةٍ وَإِرْخَاءِ سِرْحَانٍ, وَتَقْرِيْبُ تَنْفَلِ
Pagi-pagi aku sudah pergi berburu
saat itu burung-burung masih tidur disangkarnya
Mengendarai kuda yang bulunya pendek
besar larinya cepat mampu mengejar binatang buas yang sedang berlari kencang
Maju dan mundur bersamaan secepat
kilat seperti hanya satu gerakan
Seperti batu besar yang runtuh
terbawa banjir dari tempat tinggi
Pemuda yang kurus akan kesulitan
duduk di pelananya
Sebagaimana orang yang kasar dan
besar juga akan kerepotan merapikan bajunya
Pinggangnya seperti pinggang
beruang, kakinya panjang dan keras seperti kaki burung Unta
Kalau berlari ringan seperti larinya
kijang, apabila berlari kencang mengangkat kedua kaki depannya bagai larinya
serigala liar (Mursyidy, t.t.: 75-77).
h. Hikmah:
puisi ini berisi pelajaran kehidupan yang terkenal pada zaman jahiliyah Seperti
Syi'rnya Labid,
اَلاَ
كُلُّ شَيْئٍ مَا خَلاَ اللهِ بَاطِلُ وَ كُلُّ نَعِيْمٍ لاَ مَحَالَةَ زَائِلُ
وَ
كُلُّ أُناَسٍ سَوْفَ تَدْخُلُ بَيْنَهُمْ دويهية تَصْفَرُّ مِنْهَا الأَنَامِلُ
وَ
كُلُّ امْرِئٍ يَوْمًا سَيَعْلَمُ غَيْبَهُ إِذَا كُشِفَتْ عِنْدَ الالَهِ
الْحَصَائِلُ
Sesungguhnya segala sesuatu selain
Allah pasti akan lenyap
dan setiap kenikmatan pasti akan
sirna.
Setiap orang pada suatu saat pasti
akan didatangi oleh
maut yang memutihkan jari-jari.
Setiap orang kelak pada suatu hari
pasti akan tahu amalannya
jika telah dibuka catatannya di sisi
Tuhan (Al-Iskandary, 1978: 88-89).
Juga Syi'rnya Zuhair yang luar
biasa:
رَأَيْتُ
الْمَنَايَا خَبْطَ عَشْوَاء مَنْ تُصِبْ تُمِتهُ وَ مَنْ تُخْطِئْ يُعَمَّرْ
فَيَهْرَمِ
وَ
مَنْ يَجْعَلِ المَعْرُوْفَ مِنْ دُوْنِ عِرْضِهِ يَفْرْهُ وَ مَنْ لاَ يَتَّقِ
الشَّتْمَ يُشْتَمِ
وَ
مَنْ يُوْفِ لاَ يُذْمَمْ وَ مَنْ يُهْد قَلْبُهُ إِلَى مُطْمَئِنِّ البِرِّ لاَ
يَتَجَمْجَمِ
وَ
مَنْ هَابَ اَسْبَـابَ المَنَايَا يَنَلْنَـهُ وَ إِنْ يَرْقَ اَسْبَابَ
السَّمَاءِ بِسُلَّمِ
Aku lihat maut itu datang tanpa
permisi dulu, siapa yang didatangi pasti mati dan siapa yang luput dia akan
lanjut usia.
Siapa yang selalu menjaga
kehormatannya maka dia akan terhormat dan siapa yang tidak menghindari cercaan
orang, maka dia akan tercela.
Siapa yang menepati janji tidak akan
tercela, siapa yang terpimpin hatinya maka dia akan selalu berbuat baik.
Siapa yang takut mati pasti dia akan
bertemu juga dengan maut walaupun dia naik ke langit dengan tangga (melarikan
diri) (Az-Zauzini, tt.: 73-76 dan Al Muhdar, 1983: 55-56).
BAB
III
SEJARAH
SASTRA ARAB
A.
Sejarah
Sastra (Tarikhul Adab) dan Fungsinya
Tarikhul Adab atau Sejarah sastra
adalah suatu ilmu yang membahas mengenai keadaan bahasa serta sastra seperti
puisi dan prosa yang diciptakan oleh anak-anak pengguna bahasa itu dalam
berbagai masa, sebab-sebab kemajuan dan kemudurannya, serta kehancuran yang mengancam
kedua produk sastra tersebut, serta mengalihkan perhatiannya terhadap para
tokoh terkemuka dari kalangan penulis dan ahli bahasa, serta melakukan kritik
terhadap karya-karya mereka, dan menjelaskan pengaruh mereka dalam ide,
penciptaan, dan gaya bahasa (uslub).
Tarikhul Adab atau sejarah sastra
dalam pengertian seperti di atas merupakan ilmu yang baru tumbuh, dan
dicetuskan oleh penulis Itali pada abad ke-18 M. Di kawasan timur, sejarah
sastra baru dikenal ketika pergaulan antara Kawasan Timur dan Kawasan Barat
semakin menguat. Orang yang pertama kali mentransfer ilmu mengenai sejarah
sastra ke dalam dunia sastra Arab ialah al-Ustadz Hasan Taufiq al-‘Adl, setelah
kepulangannya dari Jerman, dan selanjutnya beliau mengajar di Universitas
Daarul ‘Ulum (Bunyamin, 2003:6).
Pengertian sejarah sastra di atas
adalah pengertian Tarikhul Adab/sejarah sastra secara dalam arti khusus.
Sedangkan pengertian Tarikhul Adab/sejarah sastra dalam pengertian umum adalah
ilmu yang mempelajari deskripsi kronologis sesuai perjalanan zaman yang
terhimpun dalam buku-buku, tercatat dalam lembaran-lembaran, dan yang terpahat
dalam batu-batu prasasti, yang mengungkapkan perasaan (emosi), ide, pengajaran
tentang suatu ilmu atau seni, pengabdian suatu cerita, suatu realitas, termasuk
di dalamnya penyebutan orang-orang yang muncul dan terkenal (terkemuka) dari
kalangan para ilmuan, para filosuf, dan para pengarang, serta menjelaskan
referensi yang mereka gunakan, aliran-aliran yang mereka anut, dan posisi
mereka dalam bidang seni yang digeluti, yang semua itu akan menunjukkan
kemajuan atau kemunduran dari semua ilmu pengetahuan.
Pada umumnya, bangsa-bangsa yang
maju dan berkebudayaan mempunyai hasil karya kesusastraan dari bahasa
nasionalnya. Dan hasil karya sastra yang ditinggalkan itu akan dikenal oleh
generasi yang mendatang melalui pembelajaran sejarah kesusastraan. Demikian
pula dengan hasil karya kesusastraan Arab dapat dikenal dari sejarah
kesusastraan Arab. Sehingga dapatlah didefinisikan bahwa sejarah kesusastraan
Arab ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari bahasa Arab yang ditinjau dari
segi hasil karya sastranya, baik dari segi puisi maupun prosanya, dari sejak
timbulnya dengan segala perkembangan menurut periodesasinya.
Ahmad al-Iskandari dan Musthafa
‘Anani dalam al-Wasith fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi (1934:5)
mengemukakan bahwa manfaat mempelajari sejarah sastra khususnya sejarah
kesusastraan Arab, antara lain:
a.
Mengetahui sebab-sebab kemajuan dan kemunduran sastra, yang ditinjau ari segi
agama, sosial, maupun politik.
b.
Mengetahui gaya-gaya (uslub) bahasa, cabang-cabang seninya, pemikiran-pemikiran
penggunanya, dan istilah-istilah yang mereka ciptakan, perbedaan cipta rasa
mereka dalam prosa dan puisi mereka, sehingga dapat memberikan wawasan baru
kepada kita setelah mengkaji ilmu ini untuk membedakan antara bentuk-bentuk
bahasa pada suatu masa dengan bentuk-bentuk bahasa pada masa yang lain.
c.
Mengenal dan mempejari tokoh-tokoh yang berpengaruh dari kalangan ahli bahasa
dan sastra pada setiap masa, serta mengetahui sesuatu yang baik dan buruk yang
terdapat dalam puisi dan prosa dalam karya-karya mereka, sehingga kita dapat
meneladani contoh-contoh yang baik dan menjauhkan diri dari contoh-contoh yang
tidak baik.
B.
Periodesasi
Sejarah Sastra Arab
Berbicara mengenai periodesasi
kesusastraan Arab, seringkali kita dibuat bingung dengan adanya perbedaan
penulisan periodesasi yang ditulis masing-masing penulis sejarah kesusastraan
Arab, baik dari segi peristilahannya maupun dari segi waktunya.
Pada umumnya, periodesasi
kesusastraan dibagi sesuai dengan perubahan politik. Sastra dianggap sangat
tergantung pada revolusi sosial atau politik suatu negara dan permasalahan
menentukan periode diberikan pada sejarawan politik dan sosial, dan pembagian
sejarah yang ditentukan oleh mereka itu biasanya diterima begitu saja
tanpa dipertanyakan lagi (Wellek, 1989:354). Penentuan mulainya atau
berakhirnya masa setiap periodesasi hanyalah perkiraan, tidak dapat ditentukan
dengan pasti, dan biasanya untuk mengetahui perubahan dalam sastra itu biasanya
akibat perubahan sosial dan politik (Jami'at, 1993:18). Di bawah ini akan
dipaparkan bentuk penulisan periodesasi yang dilakukan oleh para ahli
kesusastraan Arab, antara lain:
Hana al-Fakhuriyyah membaginya ke dalam lima periodesasi,
yaitu:
1.
Periode Jahiliyyah, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini dibagi atas
dua bagian, yaitu masa sebelum abad ke-5, dan masa sesudah abad ke-5 sampai
dengan Hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah (1 H/622 M).
2.
Periode Islam, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini berlangsung sejak
tahun 1 H/622 M hinggga 132 H/750 M, yang meliputi: masa Nabi Muhammad SAW dan
Khalifah ar-Rasyidin (1-40 H/662-661 M), dan masa Bani Umayyah (41-132
H/661-750 M).
3.
Periode Abbasiyah, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini berlangsung
sejak 132 H/750 M sampai 656 H/1258 M.
4.
Periode kemunduran kesusastraan Arab (656-1213 H/1258-1798 M), periode ini di
mulai sejak Baghdad jatuh ke tangan Hulagu Khan, pemimpin bangsa Mongol, pada
tahun 1258 M, sampai Mesir dikuasai oleh Muhammad Ali Pasya (1220 H/1805 M).
5.
Periode kebangkitan kembali kesusastraan Arab; periode kebangkitan ini dimulai
dari masa pemerintahan Ali Pasya (1220 H/1805 M) hingga masa sekarang.
Adapun Muhammad Sa'id dan Ahmad
Kahil (1953: 5-6) membagi periodesasi kesusastraan Arab ke dalam enama
periode sebagai berikut:
1.
Periode Jahiliyyah, dimulai sekitar satu tengah abad sebelum kedatangan Islam
sekitar dan berakhir sampai kedatangan Islam.
2. Periode
permulaan Islam (shadrul Islam); dimulai sejak kedatangan Islam dan berakhir
sampai kejatuhan Daulah Umayyah tahun 132 H.
3.
Periode Abbasiyah I, dimulai sejak berdirinya Daulah Abbasiyah tahun 132 H dan
berakhir sampai banyak berdirinya daulah-daulah atau negara-negara bagian pada
tahun 334 H.
4.
Periode Abbasiyah II, dimulai sejak berdirinya daulah-daulah dalam pemerintahan
Abbasiyah dan berakhir dengan jatuhnya Baghdad di tangan bangsa Tartar atau
Mongol pada tahun 656 H.
5.
Periode Turki, dimulai sejak jatuhnya Baghdad di tangan bangsa Mongol dan
berakhir dengan datangnya kebangkitan modern sekitar tahun 1230 H.
6.
Periode Modern, dimulai sejak datangnya kebangkitan modern sampai sekarang.
Sedangkan Ahmad Al-Iskandi
dan Mustafa Anani dalam
Al-Wasit Al-Adab Al-Arobiyah Wa Tarikhihi (1916:10) membagi
periodesasi kesusastraan Arab ke dalam lima periode, yaitu:
1. Periode
Jahiliyah, periode ini berakhir dengan datangnya agama Islam, dan
rentang waktunya sekitar 150 tahun.
2. Periode
permulaan Islam atau shadrul Islam, di dalamnya termasuk juga periode
Bani Umayyah, yakni dimulai dengan datangnya Islam dan berakhir dengan
berdirinya Daulah Bani Abbas pada tahun 132 H.
3. Periode
Bani Abbas, dimulai dengan berdirinya dinasti mereka dan berakhir
dengan jatuhnya Bagdad di tangan bangsa Tartar pada tahun 656 H.
4. Periode
dinasti-dinasti yang berada di bawah kekuasaan orang-orang Turki, di
mulai dengan jatuhnya Baghdad dan berakhir pada permulaan masa Arab modern.
5. Periode
Modern, dimulai pada awal abad ke-19 Masehi dan berlangsung sampai
sekarang ini.
Adanya Perbedaan istilah dalam
penulisan periodesasi kesusastraan Arab seperti dua contoh di atas, merupakan
suatu hal yang wajar, seperti yang dikemukakan Teeuw (1988: 311-317) bahwa
perbedaan itu disebabkan empat pendekatan utama, yaitu:
1.
Mengacu pada perkembangan sejarah umum, politik atau budaya.
2.
Mengacu pada karya atau tokoh agung atau gabungan dari kedua hal tersebut.
3.
Mengacu pada motif atau tema yang terdapat dalam karya sepanjang zaman.
4.
Mengacu pada asal-usul karya sastra.
BAB IV
SASTRA ARAB JAHILIYYAH
A.
Kedudukan
Penyair Dalam Masyarakat Arab Jahiliyah
Bangsa Arab sangat
gemar menggubah syair, mereka memandang bahwa setiap penyair mempunyai
kedudukan yang sangat penting dan terhormat di dalam masyarakat, manakala ia
telah mampu mengangkat derajat kaumnya atau kabilahnya melalui gubahan
syair-syairnya. Mengingat perannya yang begitu penting dalam suatu tatanan
dalam masyarakat jahili, maka para penyair mempunyai banyak fungsi,
diantaranya :
1.
Sebagai pemberi semangat, dorongan dan motifasi kepada pasukan yang akan
berperang, sehingga diharapkan dorongan dan motifasi yang dikobarkan
penyair lewat syairnya mampu mempengaruhi jiwa dan semangat pasukan
yang berperang diharapkan nantinya akan mendapatkan kemenangan yang
gemilang.
2.
Sebagai Pemberi dukungan terhadap kontestan yang akan dipilih atau
diangkat sebagai ketua adat, atau kepala kabilah. Bila seorang
penyair telah mempunyai status social yang tinggi, syair-syairnya popular
dan terkenal, maka penyair ini akan lebih mudah mempengaruhi jiwa
sipemilih sehingga diharapkan akan mendapat perolehan suara yang
terbanyak bagi kontestan yang diunggulkan penyair itu.
3.
Seringkali terjadi antar kabilah itu berperang, dan selalu memakan
waktu yang cukup lama, korban yang tidak sedikit, kerugian-kerugian
lainnya yang telah mereka terima, kemudian, acapkali sering mengalami
kebuntuan dalam mencari jalan penyelesaiannya. Maka dengan kefasihan bahasa
syairnya, seorang penyair dalam melantunkan syairnya,, ia mampu
mempengaruhi kubu-kubu yang sedang bertikai. Berbagai pergolakan dalam
konflik dapat dilumpuhkan dengan cara memberikan gambaran -gambaran
kenyamanan jiwa yang damai, nasihat-nasihat, memberikan penjelasan-penjelasan
dari suatu kerugian yang diakibatkan peperangan dan lain sebagainya.
Bangsa Arab adalah bangsa yang amat
senang terhadap puisi, karena itu mereka memandang para penyair sebagai orang
yang memiliki kedudukan penting dalam masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi
karena seorang penyair dapat membela kehormatan kaum, keluarga, atau bangsanya.
Bila di dalam sebuah kaum atau bangsa mereka menemukan seorang pemuda yang
pandai dalam mencipta dan menggubah puisi, maka pemuda tersebut akan dimuliakan
oleh seluruh anggota kabilah dari suku itu. Karena mereka beranggapan bahwa
pemuda itu pasti akan menjadi tunas yang akan membela kaum atau bangsa dari
segala serangan dan ejekan dari penyair kaum atau bangsa lain.
Bagi bangsa Arab, para penyair
memiliki kedudukan yang tinggi, keputusan yang dikeluarkan oleh seorang penyair
akan selalu dilaksanakan. Bagi mereka seorang penyair merupakan penyambung
lidah yang dapat mengungkapkan kebanggaan dan kemuliaan mereka. Ibnu Rasyik
meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul ‘Umdah, ia mengatakan:
"Biasanya setiap kabilah bangsa
Arab yang mendapatkan seorang pemuda yang dapat merangkum sebuah gubahan puisi,
maka anggota kabilah itu berdatangan untuk memberi ucapan selamat, dan mereka
menyediakan berbagai aneka macam makanan. Sementara kaum wanita pun ikut
berdatangan sambil memainkan rebana seperti yang biasa mereka mainkan dalam
sebuah acara perkawinan. Kaum laki-laki, baik yang tua maupun yang muda,
sama-sama bergembira. Karena mereka beranggapan bahwa penyair adalah seorang
pembela kabilah dari serangan dan ejekan penyair dari kabilah lain, dan penyair
itu pasti akan menjaga nama baik kabilahnya sendiri, yang akan mengabadikan
kebanggaan-kebanggaan mereka dan yang akan menyebarluakan kebaikan-kebaikan
mereka. Kebiasaan tidak memberikan sambutan hangat, kecuali kepada anak bayi
yang baru dilahirkan ibunya, kepada seorang penyair, dan kepada kuda
kesayangan"
Bangsa Arab telah menganggap betapa
pentingnya peranan seorang penyair. Sehingga seringkali mereka mengiming-imingi
seorang penyair yang dapat memberikan semangat dalam perjuangan dengan
memberikan sokongan suara bagi seseorang agar dapat diangkat sebagai kepala
kabilah. Adapula yang menggunakan mereka sebagai perantara untuk mendamaikan
pertikaian yang terjadi antara kabilah, bahkan ada juga yang menggunakan
penyair untuk memintakan maaf dari seseorang penguasa.
Dalam suatu riwayat diceritakan
bahwa di kota Mekkah ada seorang miskin yang bernama Muhallik, orang itu mempunyai
tiga orang puteri yang belum mempunyai jodoh dikarenakan kemiskinan mereka.
Pada suatu waktu, keluarga ini mendengar kedatangan al-A'sya seorang penyair
Arab Jahiliyyah yang terkenal ke kota Mekkah, maka isterinya meminta kepada
suaminya untuk mengundang al-A'sya ke rumahnya. Setelah al-A'sya datang ke
rumah miskin itu, maka isterinya memotong seekor unta untuk menjamu al-A'sya.
Penyair ini sangat heran dengan kedermawanan orang miskin ini. Ketika ia keluar
dari rumah itu, ia langsung pergi ke tempat orang-orang yang sedang berkumpul
untuk mengabadikan kedermawanan Muhallik dalam suatu bait puisinya yang sangat
indah. Setelah ia membacakan puisi itu, sehingga dalam waktu yang tidak
beberapa lama banyak orang yang datang meminang ketiga puteri Muhallik. Adapun
bait puisi yang diucapkan al-A'sya seperti dibawah ini:
ارقت
وما هذا السّهاد المؤرّق # وما بى من سقم وما بى تعشّق
لعمرى
قد لاحت عيون كثيرة # إلى ضوء نار فى اليفاع تحرق
تشبّ
لمقرورين يصطليانها # وبات على الناّر النّدى والمحلّق
رضيعى
لبان ثدى أمّ تقاسما # باسحم داج عوض لا تتفرّق
ترى
الجود يجرى ظاهرا فوق وجهه # كما زان متن الهند وانى رونق
يداه
يدا صدق فكفّ مبيدة # وكفّ إذا ما ضنّ بالمال تنفق
"Aku tidak dapat tidur di malam hari,
bukan karena sakit ataupun cinta"
"Sungguh banyak mata yang
melihat api yang menyala di atas bukit itu"
"Api itu dinyalakan untuk
menghangatkan tubuh kedua orang yang sedang kedinginan di malam itu, dan di
tempat itulah Muhallik dan kedermawanannya sedang bermalam"
"Di malam yang gelap itu
keduanya saling berjanji untuk tetap bersatu"
"Kamu lihat kedermawanan di
wajahnya seperti pedang yang berkilauan"
"Kedua tangannya selalu benar,
yang satu untuk membinasakan sedang yang lain untuk berderma"
Dalam riwayat lain diceritakan.
ketika al-A'sya mendengar diutusnya Nabi Muhammad Saw dan berita mengenai
kedermawanannya, maka penyair ini sengaja datang ke kota Mekkah dengan membawa
suatu kasidah yang telah dipersiapkan untuk memuji Nabi Muhammad Saw. Namun,
sayang sekali maksud baik ini dapat digagalkan oleh pemuka bangsa Quraisy.
Ketika Abu Sufyan mendengar kedatangan al-A'sya, Abu Sufyan langsung berkata
kepada para pemuka Quraisy:
والله
لئن أتى محمدا أو اتبعه ليضرّ منّ عليكم نيران العرب بشعره, فاجمـعوا له مائة من
الإبل, ففعلوا وأخذها الأعشى ورجع...
"Demi Tuhan, bila al-A'sya bertemu
dengan Muhammad dan memujinya, maka pasti dia akan mempengaruhi bangsa Arab
untuk mengikuti Muhammad. Karena itu, sebelum itu terjadi, kumpulkanlah seratus
ekor unta dan berikan kepadanya agar tidak pergi menemui Muhammad".
Kemudian, saran Abu Sufyan ini,
dituruti oleh bangsa Quraisy, yang akhirnya al-A'sya mengurungkan niatnya untuk
bertemu dengan beliau. Adapun puisi yang telah dipersiapkan olehnya untuk
memuji Nabi Muhammad Saw. seperti dibawah ini:
فآليت
لا أرنى لها من كلالة # ولا من وجيّ حتى تلاقى محمدا
متى
ما تناخى عند باب هاشم # تراحى وتلقى من فواضله ندا
نبىّ
يرى مالا ترون وذكره # أغار لعمرى فى البلاد وأنجدا
له
صدقات ما تغب ونائل # وليس عطاء اليوم يمنعه غدا
"Demi Allah, onta ini tidak akan aku
kasihani dari keletihannya, dan dari sakit kakinya sebelum dapat bertemu dengan
Muhammad"
"Nanti jika kau telah sampai ke
pintu Ibnu Hasyim, kau akan dapat beristirahat dan akan mendapatkan
pemberiannya yang berlimpah-limpah"
"Seorang Nabi yang dapat
mengetahui sesuatu yang tak dapat dilihat oleh mereka, dan namanya telah
tersiar di seluruh negeri dan di daerah Nejed"
"Pemberiannya tidak akan
terputus selamanya, dan pemberiaannya sekarang tidak akan mencegah pemberiannya
di hari esok"
Kisah-kisah seperti yang disebutkan
di atas, merupakan sedikit dari banyaknya kisah yang dapat memberikan
keterangan kepada kita mengenai betapa besar peranan seorang penyair dalam
kehidupan masyarakat Arab. Peranan penyair ini tidak saja berhenti pada masa
Jahiliyyah. Bahkan dalam penyiaran modern ini, penyair memiliki peranan yang
cukup besar. Karena orang-orang Quraisy dalam melancarkan serangan mereka
terhadap Islam tidak terbatas hanya dengan senjata (peperangan). Bahkan mereka
juga menggunakan lidah penyair untuk menyerang dan menjelek-jelekan Islam.
Untuk menghadapi hal ini, Nabi Muhammad Saw juga mempersiapkan penyair Islam
untuk menghadapi ejekan orang kafir. Nabi Saw sangat menyukai puisi para
penyair Islam, seperti Abdullah bin Ruwaihah, Ka'ab bin Malik, dan Hassan bin
Tsabit. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Khattib dan Ibnu Asakir, bahwa
Nabi SAW pernah memerintahkan Hassan bin Tsabit untuk membalas ejekan kaum
musyrikin Quraisy;
روي
الخطيب وابن عساكر عن حسّان إنّ النبى صلّى عليه وسلّم قال له : اهج المشركين
وجبريل معك إذا حارب اصحابي بالسّلاح فحارب أنت باللسان
"Balaslah ejekan kaum musyrikin itu,
semoga Jibril selalu menyertaimu. Jika para sahabatku yang lain berjuang dengan
senjata, maka berjuanglah kamu dengan lisanmu (kepandaian syairmu)".
Dari gambaran di atas dapat kita
simpulkan bahwa peranan penyair dalam kehidupan bangsa Arab sangat tinggi,
sebab bangsa Arab merupakan bangsa yang sangat gemar terhadap puisi.
Kedudukan puisi dan penyairnya
sangat tinggi di mata orang Arab Jahiliyyah. Sebuah karya puisi dapat
mempengaruhi, bahkan mengubah sikap atau posisi seseorang atau sekelompok orang
terhadap sikap atau posisi orang dan kelompok lainnya. Para penyair, dengan
demikian juga berfungsi sebagai agen perubahan sosial dan perubahan kebudayaan.
Kedudukan atau pengaruh sedemikian ini hanya dapat ditandingi oleh para
politisi tingkat tinggi di zaman modern ini. Kekuatan penyair bersumber dari
kekuatan isi karyanya. Kedudukan puisi Arab Jahiliyyah juga diakui, atau
setidak-tidaknya diberi kesaksian, oleh Islam. Salah satu surat dalam al-Quran
bahkan bernama asy-Syu'ara (para penyair).
Puisi tidak jarang menjadi rujukan
umum dalam berbagai kesempatan dan penyairnya sering dijadikan sebagai
ensiklopedi berjalan. Untuk menafsirkan kata-kata konotatif (kalimat musytarak)
dalam al-Quran atau hadits Nabi Saw, para ulama sering menggunakan kata-kata
yang terdapat dalam puisi sebagai penguat atau perbandingan dalam mengartikan
kata-kata konotatif itu.
B.
Perhatian
Masyarakat Jahiliyyah Terhadap Sastra Bahasa
Kehidupan masyarakat Arab pra-Islam
atau masyarakat zaman Jahiliyyah dapat dilihat dalam karya sastra yang
merupakan produk zaman itu, karena sastra Arab Jahiliyyah adalah cerminan
langsung bagi keseluruhan kehidupan bangsa Arab zaman Jahiliyyah tersebut, dari
hal-hal yang bersifat pribadi sampai persoalan masyarakat umum. Dalam wacana
kesusastraan Arab ini tergambar jelas kehidupan "kemah", alam
sekitar, masyarakat, budaya, dan peradaban, baik yang masih murni maupun yang
telah dipengaruhi oleh bangsa asing, seperti Persia, Yunani, India, dan Romawi.
Sebenarnya sastra Arab Jahiliyyah
berakar jauh sekali, bahkan pada masa-masa ribuan tahun sebelum Islam muncul.
Akan tetapi, dalam catatan sejarah kesusastraan Arab, sastra Jahiliyyah dikenal
sejak kira-kira satu abad menjelang Islam lahir sampai tahun pertama Hijriah.
Hanna al-Fakhuri, seorang kritikus dan sastrawati dari Libanon, mengatakan
bahwa sastra Jahiliyyah baru mulai (dianggap) ada pada akhir abad ke-5 dan
mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-6.
Pada umumnya kesusastraan Arab
Jahiliyyah mendeskripsikan keberadaan kemah[1] , hewan sebagai kendaraan tunggangan, kehidupan mewah para
bangsawan agar dengan begitu para pujangga mendapatkan imbalan materi dan
pujian tertentu, alam sekitar, keberanian seseorang atau sekelompok kabilah,
atau kecantikan seorang wanita pujaan. Hal lain yang menjadi tujuan atau
kecenderungan sastra Arab Jahiliyyah adalah ritsa' (ratapan), ode (pujian),
satire (serangan terhadap kabilah tertentu), fakhr (kebanggaan kelompok
tertentu), anggur sebagai lambang eksentrik para sastrawan atau untuk
kebanggaan memiliki suasana trance (keadaan tak sadarkan diri). Akan tetapi,
deskripsi dalam sastra tersebut senantiasa diselipi dengan nasihat atau
filsafat hidup tertentu.
Genre sastra Arab Jahiliyyah yang
paling populer adalah jenis Syi'r/syair di samping sedikit amtsal (semacam
pepatah atau kata-kata mutiara), dan pidato pendek yang disampaikan oleh para
pujangga yang disebut sebagai prosa liris. Dan semua itu dihapal di luar kepala
secara turun-temurun.
Dalam sastra Jahiliyyah, terdapat
perbedaan antara Syi'r dan prosa. Dibandingkan dengan jenis sastra Syi'r,
sastra prosa Jahiliyyah tercatat dalam sejarah sastra lebih terbelakang. Hal
itu disebabkan karena sastra prosa lebih membutuhkan kepandaian menulis atau
pentadwinan (pengumpulan), sementara keterampilan menulis baru dikuasai oleh
orang Arab pada masa-masa belakangan setelah Islam lahir. Dan hal ini tidak
terjadi pada Syi'r/puisi yang telah "dicatat" dalam ingatan para
ruwat, pencerita, atau "pencatat benak", tanpa harus mencatatnya
dalam pengertian yang sebenarnya. Di samping itu, Syi'r merupakan bahasa
wujdan, emosi, dan imajinasi yang sifatnya lebih personal, sedangkan prosa
lebih merupakan bahasa intelek, dan juga prosa lebih cenderung ke hal-hal yang
bersifat kolektif. Dengan kata lain, sastra Syi'r lebih berdimensi psikologis,
sementara sastra prosa lebih bersifat sosiologis.
Para ruwat, pencerita, merupakan
para penghapal Syi'r dan silsilah para tokoh dari setiap kabilah Arab. Dengan
begitu kelangsungan transmisi sastra Syi'r itu bisa terjaga dari generasi ke generasi.
Diantara para pencerita yang dipandang memiliki hapalan paling kuat dari suku
Quraisy pada masa Jahiliyyah adalah Mukhrimah bin Naufal dan Khuwaitib bin
Abdul Uzza.
Menurut dugaan para sejarawan sastra
Arab lama, hanya sedikit Syi'rArab Jahiliyyah itu yang dapat direkam sejarah.
Karya yang tidak tertulis dan kemudian hilang jauh lebih banyak. Hal itu
disebabkan bahwa sebagian tersebut tidak sempat dikenal kemudian dihafal,
sementara yang telah dihafal oleh sastrawan lain juga hilang bersamaan dengan
meninggalnya mereka.
Bentuk semenanjung Arab memanjang
tidak sama ukurannya. Sebelah utara berbatasan dengan Palestina dan dataran
Syam, sebelah timur berbatasan dengan dataran Irak dan teluk Persia, sebelah
selatan berbatasan dengan lautan Hindia, dan sebelah barat berbatasan dengan
Laut Merah. Jika ditinjau dari segi letak geografisnya Jazirah Arab memang
sangat strategis, karena dibatasi oleh tiga laut dari tiga jurusan, ditambah
dengan ketandusan Jazirah Arab itu sendiri sehingga kedua faktor inilah yang
dapat melindungi jazirah itu dari serangan pihak luar.
Apabila kita mengikuti keadaan
gambaran Jazirah Arab, akan kita dapatkan bahwa dataran ini sangat mengerikan
sekali. Karena dataran yang luas itu tidak ada sumber mata air yang cukup.
Curah hujan yang turun boleh dikatakan hanya sedikit sekali, hampir seluruh
tanahnya diliputi gunung batu dan pasir yang membentang luas. Di tambah lagi
dengan suhu udara yang amat panas, sehingga tanah yang luas itu sukar untuk
ditumbuhi oleh tanaman, kecuali daerah-daerah seprti Yaman, Thaif, dan Madinah.
Oleh karena itu, tidak heran apabila tanah Arab boleh dikatakan tidak pernah di
datangi oleh penjajah asing, karena mereka segan untuk tinggal di daerah yang
amat mengerikan itu.
Keadaan Jazirah Arab yang demikian
itu, menjadikan bangsa Arab mempunyai watak dan rabiat yang keras dan tidak
pernah takut kepada siapa pun , kecuali kepada kepala suku mereka sendiri. Dari
sini, kita ketahui bahwa mereka tidak pernah bersatu dengan suku lain kecuali
bila terjadi tali persahabatan. Kesenangan mereka hanya terbatas untuk
kepentingan suku mereka saja. Seorang kepala suku akan bertindak seperti raja
yang akan bertanggung jawab hanya kepada anak buahnya
saja.
Sumber kehidupan bangsa Arab adalah
berdagang, karena tanah mereka sukar untuk ditanami. Walaupun demikian, ada
juga beberapa daerah yang sumber kehidupannya dari bercocok tanam, seperti
daerah Yaman, karena daerah ini terletak dekat katulistiwa. Selain itu, ada
juga daerah yang sangat subur seperti Irak, karena dialiri oleh dua sungai
besar yaitu sungai Furat dan Tigris. Selain kedua daerah tersebut, masih ada
daerah lain seperti Thaif dan Madinah yang kehidupannya bercocok tanam, namun
hasil yang diperoleh dapat dikatakan masih sangat terbatas.
Pada umumnya, telah menjadi
kebiasaan bangsa Arab untuk mengadakan perjalanan perdagangan antar kota-kota
besar. Bangsa Arab mengadakan perjalanan perdagangan dua kali setiap tahun,
yaitu ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim panas. Dalam perjalanan
itu, mereka akan singgah dahulu di kota Mekkah baik untuk melakukan ibadah Haji
maupun untuk melengkapi perbekalan dalam perjalanan.
Dan telah menjadi kebiasaan mereka
untuk mengadakan pasaran bersama di kota Mekkah setiap musim haji. Oleh karena
itu, di tiga tempat seperti Yaman, Syam, dan Mekkah timbul pusat peradaban
bangsa Arab saat itu.
Sebagaimana telah disebutkan di
atas, bahwa bangsa Arab memiliki watak dan tabiat yang keras. Akan tetapi,
perlu kita ketahui bahwa bangsa Arab juga memiliki watak dan tabiat yang terpuji,
seperti berani dalam membela yang hak dan benar, teguh pada janji dan bersikap
amanah, selalu memuliakan tamu yang berkunjung ke rumah, mereka sangat
menghormati kaum wanita, karena itu mereka sering memilih nama yang baik untuk
panggilan kaum wanita seperti Lu'lu' (permata), Wardah (mawar), Suroyah (nama
bintang), dan lain-lain. Melalui hal yang demikian, kita akan mendapatkan
berbagai macam sebutan dan sanjungan terhadapa wanita dalam syair mereka. Dan
yang paling menonjol sekali, mereka sangat gemar menunggang kuda dalam medan
peperangan. Oleh karena itu, bangsa Arab menyenangi kuda yang berasal dari
keturunan yang baik, sehingga tidak heran bila kita menemukan pada beberapa
bait syair Arab yang memuji kuda kesayangannya.
Pada saat itu bangsa Arab masih
belum mengenal ilmu pengetahuan dengan sempurna, karena kebanyakan dari mereka
tidak mengenal baca dan tulis. Oleh karena itu, nanti akan kita dapatkan bahwa
mereka lebih menyukai Syi'r daripada prosa, karena Syi'r lebih mudah dihafal.
Di samping itu, bangsa Arab juga
mengerti ilmu perbintangan. Karena mereka hidup di alam terbuka, dan sering
menggunakan bintang sebagai pedoman dalam perjalanan untuk menentukan arah. Dan
ditambah lagi bangsa Arab banyak mengenal jejak telapak kaki, karena
pengetahuan semacam itu sangat dibutuhkan untuk mengejar musuh mereka. Pada
dasarnya berbagai macam ilmu pengetahuan yang mereka miliki itu tidak bersumber
dari kitab atau buku pegangan, melainkan dari pengalaman sehari-hari.
Telah menjadi ketetapan kodrat,
bahwa setiap bangsa mempunyai kelebihan tersendiri. Bahwa jadi bahwa kelebihan
yang dimiliki oleh suatu bangsa tidak akan dimiliki oleh bangsa lain. Dalam
perkembangan sejarah umat manusia telah disebutkan bahwa bangsa Yunani kuno
mempunyai kelebihan dalam berpikir dan berfilsafat, sehingga bangsa tersebut
dapat melahirkan beberapa filosof yang amat terkenal seperti Plato,
Aristoteles, Socrates, dan lain-lain. Jasa baik yang mereka berikan dalam
bidang filsafat tidak akan dilupakan oleh umat manusia hingga akhir zaman.
Selain bangsa Yunani masih ada
bangsa lain yang juga mempunyai kontribusi besar dalam peradaban dunia. Sejarah
peradaban telah mencatat bahwa bangsa India, tiongkok, Mesir kuno, dan bangsa
Arab, keseluruhan bangsa tersebut telah mengenal peradaban tinggi sebelum
bangsa barat maju.
Keistimewaan bangsa Arab, mereka
mempunyai perhatian yang besar terhadap bahasa dan keindahan sastranya, karena
mereka mempunyai perasaan yang halus dan ketajaman penilaian terhadap sesuatu.
Dua sifat itulah yang menjadi faktor utama bagi mereka untuk mempunyai
kelebihan dan kemajuan dalam bahasa. Karena keindahan bahasa bersandarkan pada
perasaan halus dan daya khayal yang tinggi (imajinasi), maka dengan kedua
faktor inilah bangsa Arab dapat mengeluarkan segala sesuatu yang bergejolak
dalam jiwa mereka dalam bentuk syair-syair yang indah.
Di sini, perlu disebutkan mengenai
faktor-faktor yang mendorong bangsa Arab Jahiliyyah lebih cenderung pada bahasa
dan keindahannya, antara lain:
1.
Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi diantara sesama mereka untuk
menggambarkan dan menceritakan perjalanan mereka dalam mengarungi padang pasir,
dan juga digunakan untuk menceritakan mengenai keindahan binatang, maupun
menggambarkan ketangkasan kuda, dan banyaknya hasil rampasan perang yang mereka
menangkan.
2.
Bahasa digunakan untuk mengobarkan semangat perjuangan, menghasut api
pertikaian sesama mereka, seperti mengobarkan rasa balas dendam dan
menggambarkan kepahlawanan serta kemenangan yang diperolehnya. Dan untuk itu
semua mereka menggunakan syair sebagai sarananya.
3.
Bahasa digunakan untuk menerangkan segala kejadian penting dan nasihat yang
dibutuhkan oleh anak buahnya, seperti memberikan cerita mengenai keagungan
nenek moyang mereka.
Selain faktor-faktor di atas, ada
juga hal yang meningkatkan perhatian bangsa Arab Jahiliyyah terhadap bahasanya
sendiri. Misalnya mengadakan perlombaan deklamasi yang diadakan setiap tahun di
kota Mekkah, dan diikuti oleh semua bangsa Arab yang datang di Mekkah untuk
menunaikan ibadah Haji, yang sebelumnya mereka akan mengadakan pasaran bersama.
Di dalam suatu kesempatan,mereka juga mengadakan perlombaan bersyair, dan juka
dalam perlombaan itu ada seorang penyair yang menang, maka bait syairnya akan
ditulis dengan tinta emas dan digantungkan di dinding Ka'bah agar bait syair
itu dapat dikenal oleh setiap orang yang berthawaf.
Syair yang telah dihafal oleh
seseorang akan diajarkan kepada anak dan kaumnya, kemudian diteruskan sampai
turun-temurun sehingga syair itu akan dihafal oleh beberapa generasi mendatang.
Demikianlah seterusnya perkembangan
syair dari sejak zaman jahiliyah sampai masa sekarang. Gambaran di atas
menunjukkan kepada kita akan besarnya perhatian bangsa Arab terhadap bahasanya,
dan tidak terdapat pada bangsa lain, sehinggal itulah keistimewaan bangsa dan
bahasa Arab.
Bahasa dan kandungan Syi'r Arab
Jahiliyyah sangat sederhana, padat, jujur, dan lugas. Namun demikian, emosi dan
rasa bahasa serta nilai sastranya tetap tinggi, dikarenakan imajinasi dan
simbol yang dipakai sangat baik dan mengenai sasaran. Meskipun demikian, ada
beberapa Syi'r Arab Jahiliyyah yang sangat remang-remang atau sangat imajiner
dan simbolis. Syi'r seperti ini digubah dengan sangat padat dan sering
menggunakan simbol yang samar sehingga sulit dicerna oleh kalangan umum,
sehingga yang mampu mengapresiasikan Syi'r imajiner adalah kalangan tertentu
yang memiliki pengetahuan sejarah dan latar belakang sang penyair. Dari sudut
gaya, Syi'r Arab Jahiliyyah sangat mementingkan irama, ritme, rima, musik atau
lagu, serta sajak (dikenal dengan nama qafiyah). Tetapi semua ini dilakukan
secara wajar, bukan dengan memaksa mencari kata-kata hanya untuk kepentingan
ritme dan sajak.
C.
Faktor-Faktor
Yang Mendorong Perkembangan Sastra Jahiliyah
Kondisi geografis dan etnis
masyarakat Arab, menjadi faktor yang cukup dominan bagi perkembangan sastra
pada masa awal sejarah sastra
ِِِArab yaitu pada masa jahiliyah.
Menurut Juzif al-Hasyim (1968: 23) dalam bukunya al-Mufid, Ada banyak faktor
yang mempengaruhi perkembangan sastra, yaitu: Pertama adalah iklim dan tabiat
alam. Syi'r jahily terpengaruh begitu kuat dengan alam padang pasir dan
kehidupan kaum badui, kata-katanya keras menggambarkan kehidupan yang keras,
kesunyian, kerinduan. Uslubnya mirip-mirip antara penyair satu dengan yang lain
yang merupakan refleksi dari pemandangan gurun hampir sama, imajinasi penuh
dengan kesederhanaan. Kedua adalah ciri khas etnik, bangsa Arab menjadi bangsa
yang lahir untuk memuja dan memuji sastra. Tidak semua bangsa mencintai sastra,
seperti di Indonesia suku-suku yang memiliki sense sastra yang kuat seperti
suku Minang dan mayoritas orang Melayu yang lain. Ketiga peperangan, dan
keempat adalah faktor kemakmuran dan kemajuan, kelima agama, keenam ilmu
pengetahuan, ketujuh adalah politik, kedelapan adalah interaksi dengan berbagai
bangsa dan budaya.
Selain faktor-faktor yang telah
penulis sebutkan di atas, untuk perkembangan sastra zaman jahily, ada dua
faktor lain yang cukup dominan yang mempengaruhi perkembangan sastranya, yaitu
pasar sastra dan ayyam al-Arab.
1.
Pasar (al-Aswaq)
Menurut Khalil Abdul Karim (2002:
290) ada dua macam pasar jazirah Arab, yaitu pasar umum dan pasar khusus atau
lokal (Mahalliah), atau pasar luar dan pasar dalam.
Ukaz adalah contoh dari pasar dalam
pasar yang paling terkenal. Pasar ini dimulai sejak tanggal 1 sampai tanggal 20
Dzul Qa'dah. Kemudian pasar majannah, yang dimulai sejak tanggal 20 sampai
dengan tanggal 30 Dzul Qa'dah, sedangkan pasar Dzul Majaz dimulai pada awal
bulan Dzul Qa'dah sampai dengan tanggal 8, saat hari tarwiyah, dimana sejak itu
ibadah haji besar dimulai. Kemudian pasar Khaibar yang dilaksanakan setelah
musim haji sampai pada akhir bulan Muharram. Pasar Ukaz terletak di sebelah
tenggara kota Mekah, 30 mil dari kota Mekah dan 10 mil dari Thaif. Pasar ini
paling terkenal dan menjadi tempat berkumpul bagi orang-orang Quraisy, Hawazin,
Ghatfan, Khuza'ah, dan 'Adhal". Al-Idrisi menyebut pasar Ukaz sebagai
pasar umum.
Pasar Dzul Majaz dilaksanakan oleh
para saudagar sejak awal bulan Dzul Hijjah sampai pada hari tarwiyah; pasar
Majannah dilakukan oleh para saudagar sejak tanggal 20 sampai pada penghujung
bulan Dzul Hijjah, yaitu setelah pasar Ukaz berakhir. Ia terletak di dekat kota
Mekah. Sebagaimana telah penulis paparkan bahwa orang-orang Quraisy
menghubungkan pasar-pasar tersebut dengan musim haji besar, hal ini karena
sebagian besar pasar itu (Ukaz dan Majannah) berlangsung dekat dengan musim
haji. Pasar tersebut merupakan suatu keistimewaan yang hanya dapat dinikmati
oleh suku Quraisy dan hanya dilakukan di Mekah. Karena itu, musim haji menjadi
musim besar bagi para saudagar, terutama di Hijaz. Oleh sebab itu, layak bagi
penulis untuk memahami bahwa keistimewaan ini merupakan hasil perenungan para
saudagar Quraisy, bukan datang begitu saja. Karena dalam sehari-hari, mereka
mengedarkan barang dagangannya.
Kemudian mereka melakukan aktivitas
jual beli dan kembali dengan membawa keuntungan yang banyak. Untuk
menyelamatkan musim ini, orang Quraisy dengan sekuat kemampuannya menjadikan
hari-hari itu untuk melindungi para pendatang dan memberikan bantuan yang
pantas bagi mereka. Jadi orang Quraisy itulah yang memperluasnya menjadi
pasar-pasar di musim haji besar dan memberikan perlindungan serta bantuan
kepada para pendatang. Oleh karena itu, pasar-pasar tersebut dapat mendatangkan
keuntungan yang besar dan penghasilan yang mapan bagi para tokoh Mekah dan
Thaif, sebab jual beli merupakan penopang kekayaan bagi orang Quraisy
khususnya. Berbeda dengan suku-suku lain yang menggantungkan kekayaannya pada
hasil penyerbuan dan peperangan serta beberapa harta rampasan yang lain.
Ats-Tsa'alabi menjelaskan bahwa sebab-sebab penerimaan orang Quraisy terhadap
mata pencaharian berdagang adalah karena mereka memegang teguh agama, sehingga
mereka menjauhi dan membenci peperangan serta membenci tindakan menghalalkan
segala kekayaan. Ketika meninggalkan cara-cara perampokan maka mata pencaharian
yang ada hanyalah berdagang (Karim, 2002: 290).
Haji adalah musim terbesar yang
dapat mendatangkan keuntungan bagi orang Quraisy. Menurut Hamdan Abdul Majid
al-Kubaisi, sebagian pasar-pasar tersebut ada yang mungkin dapat dikategorikan
sebagai pasar luar. Pasar itu dilakukan di atas laut, seperti: Aden, Shan'a',
dan Amman. Pasar-pasar itu tidak sulit dijangkau oleh orang Quraisy,
sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya.
Fungsi pasar tidak sekedar
memberikan keuntungan yang besar bagi para konglomerat kota Mekah, Thaif,
Yamamah, dan Yatsrib yang merupakan pusat perkotaan di tengah-tengah Jazirah
Arab. Tetapi pasar itu juga mendatangkan keuntungan yang lain, yaitu memboyong
segala kesejahteraan ke Arab. Hal itu karena barang dagangan yang dibawa oleh
rombongan haji dan saudagar, yang dijual di pasar-pasar luar, khususnya di atas
air dan pelabuhan, mungkin sebagiannya dapat dikategorikan sebagai
barang-barang mewah; seperti pakaian sutera, parfum, minyak wangi, sandal
mewah, surban warna-warni, lampu warna-warni, dan pedang Hindia, yang harganya
hanya dapat dijangkau oleh orang-orang kaya yang menempati pusat-pusat
peradaban, dan juga kalangan terdidik serta para tokoh Quraisy; sesuatu yang
makin menjauhkan jarak antara orang-orang fakir dengan orang-orang yang kaya.
Pasar-pasar itu juga tidak hanya
terbatas di Jazirah Arab saja. Bahkan di beberapa pasar, bukan di Jazirah Arab
melainkan di negara-negara sekitarnya, terdapat diskusi-diskusi politik, dimana
para tokoh saudagar membahas hukum-hukum politik, karena sebenarnya hubungan
antara politik dan perdagangan merupakan persoalan yang ada sejak dahulu.
"Kota Mekah juga mengenal adanya diskusi politik yang tercermin dalam
pasar. Ini juga mencerminkan satu bentuk politik, dimana di sana terdapat
sekelompok manusia yang mempunyai kepentingan, ada juga muktamar-muktamar yang
memutuskan banyak hal yang memiliki hubungan dengan politik masing-masing suku
dan juga hubungan antar suku". Pasar-pasar tersebut juga mempunyai peran
yang jelas dalam bidang sosial budaya, sebagai tempat festival sastra (Karim,
2002: 294).
Secara praksis pasar-pasar itu juga
menjadi peran sastra dan budaya yang dihadiri oleh para penyair, kelas menengah
dan kelas bawah. Pada waktu itu kecintaan terhadap Syi'r dan penyair bagi
seluruh masyarakat Arab hampir menjadi sebuah naluri alamiah. Para penyair
besar melantunkan qashidah-qashidah dan Syi'r mu'allaqatnya untuk menentukan
siapa penyair yang menempati kelas dua, dan mendengarkan Syi'r para penyair
terkenal yang lain. Para khutaba' juga mendatangi pasar tersebut, seperti Qus
ibn Sa'adah al-Iyadi yang telah penulis sebutkan, dimana Nabi Muhammad SAW.
pernah mendengarkan khotbahnya di pasar Ukaz sebagaimana telah penulis singgung
di muka. Pada saat beliau mendatangi suku Iyad, beliau meminta kepada mereka
untuk mengulangi khotbah Qus ibn Sa'adah, maka kemudian beliau memujinya.
Mungkin lebih tepat jika pasar Ukaz dikatakan sebagai pesan sastra dan budaya
yang resmi.
Hal itu dikuatkan oleh pendapat
Burhanuddin Dallau, yang mengatakan, pasar Ukaz tidak saja merupakan tempat dan
pesan perdagangan sosial, tapi juga merupakan pesan diskusi sastra Arab secara
umum, dimana para penyair dan khutoba' berkumpul dan berlomba-lomba dalam
berSyi'r dan berkhotbah. Para sejarawan menceritakan bahwa Nabighah
adz-Dzubyani dibuatkan sebuah kubah dari kulit di pasar Ukaz. Di tempat
tersebut para penyair berkumpul dan mendendangkan Syi'rnya, diantaranya;
Khansa' binti Amr ibn Syarid dan Hassan ibn Tsabit. Ini tidak terbatas di pasar
Ukaz saja, tetapi termasuk juga pasar-pasar yang lain. Pasar-pasar tersebut
telah berperan dalam memunculkan pesan sastra dalam mempercepat proses ilmiah
(obyektif) untuk menatap keadaan sosial, ekonomi, dan budaya demi mencapai
persatuan (Karim, 2002: 312).
2. Ayyam
al-‘Arab
Salah satu fenomena sosial yang
menggejala di Arab menjelang kelahiran Islam adalah apa yang dikenal dengan
sebutan "hari-hari orang Arab" (ayyam al-Arab). Ayyam al-‘Arab
merujuk pada permusuhan antar suku yang secara umum muncul akibat persengketaan
seputar hewan ternak, padang rumput, atau mata air. Persengketaan itu
menyebabkan seringnya terjadi perampokan dan penyerangan, memunculkan sejumlah
pahlawan lokal, para pemenang dari suku-suku yang bersengketa, serta
menghasilkan perang syair yang penuh kecaman di antara penyair yang berperan
sebagai juru bicara setiap pihak yang bersengketa. Meskipun selalu siap
berperang, orang-orang Badui tidak serta-merta berani mati. Jadi, mereka
bukanlah manusia haus darah seperti yang mungkin dikesankan dari kisah-kisah
yang kita baca. Meskipun demikian, Ayyam al-‘Arab merupakan cara alami untuk
mengendalikan jumlah populasi orang - orang Badui, yang biasanya hidup dalam
kondisi semi kelaparan, dan yang telah menjadikan peperangan sebagai jati diri
dan watak sosial. Berkat Ayyam al-‘Arab itulah pertarungan antar suku menjadi
salah satu institusi sosial keagamaan dalam kehidupan mereka.
Rangkaian peristiwa dari
masing-masing hari ini, seperti yang diriwayatkan kepada kita, kurang lebih
mengikuti pola yang sama. Pada mulanya, sengketa hanya melibatkan segelintir
orang yang menyebabkan munculnya sengketa perbatasan dan penghinaan terhadap
seseorang. Pertikaian itu kemudian menjadi persoalan seluruh suku. Perdamaian
biasanya berakhir setelah ada campur tangan dari pihak yang netral. Suku yang
menderita korban lebih sedikit akan membayar sejumlah uang tebusan kepada suku
lawannya sesuai dengan selisih korban. Kenangan akan para pahlawan akan tetap
hidup selama berabad-abad kemudian (Hitti, 2005: 110).
Ayyam al- ‘Arab menjadi media yang
cukup efektif bagi pengembangan tema-tema Syi'r Arab. Peran penyair dalam
peperangan sangat besar; sebagai motivator atau untuk menjatuhkan lawan secara
psikologis dengan Syi'r-Syi'r hija'nya yang pedas. Syi'r-Syi'r legendaris juga
banyak lahir dari medan perang seperti Syi'r-Syi'rnya Antarah, Syanfara dan
lain-lainnya.
D.
Tingkatan
Penyair Jahiliyah
Para ahli sejarah kesusastraan Arab
(al-Zayat, 1982:45) menyatakan bahwa ada empat tingkat para penyair pada masa
jahiliyah bila dilihat dari masa hidup para penyair tersebut, yaitu:
1. Jahiliyun;
Mereka yang hidup pada masa sebelum Islam, seperti: Imru'ul Qais, Zuhair ibn
Abi Sulma.
2. Mukhadhramun;
Mereka yang dikenal dengan puisinya di masa jahiliyah dan Islam, seperti:
Khansa', Hassan ibn Tsabit.
3. Islamiyyun;
Mereka yang hidup di masa Islam tetapi masih memegang tradisi Arab, dan mereka
ini para penyair bani Umayyah.
4. Muwalladun;
mereka yang telah rusak tradisi berbahasanya dan berusaha memperbaikinya,
mereka ini para penyair bani Abbas.
Bila ditinjau dari segi kualitas
puisinya, para penyair jahiliyah terbagi ke dalam tiga tingkatan:
1.
Tingkat pertama: Imru'ul Qais, Zuhair, Nabighah
2.
Tingkat kedua: al-A'sya, Labid, Tharfah.
3.
Tingkat ketiga: 'Antaroh, Duraid ibn ash-Shammah, Umayyah ibn Abi ash-Shallat.
Beberapa ahli bahasa dan sastra
sepakat dengan Broklemen (Lajnah ,1962: 64) membagi penyair jahiliyah menjadi
enam kelompok:
1.
Penyair al-Badiyah: yang terbagi menjadi dua kelompok;
·
Penyair
Sha'alik : Syanfara, Taabbata Syarran, Urwah ibn Ward
·
Ghair
Sha'alik : Muhalhil, Harits ibn Hilzah, Amru ibn Kaltsum, Antarah.
2.
Penyair al-Amir (Penyair Raja): Imru'ul Qais
3.
Penyair Bilath wa at-Takassub: Tharfah ibn 'Abd, Abid ibn al-Abrash, An-Nabighah
adz-Dzibyani, al-A'sya al-Akbar, al-Huthai'ah.
4.
Penyair Hikmah: Zuhair ibn Abi Sulma, Labid ibn Rabi'ah.
5.
Penyair al-Madzahib: As-Samau'ell, 'Adi ibn Zaid, Umayyah ibn Abi ash-Shullt.
6.
Penyair-penyair perempuan: al-Khansa'.
E.
Karakteristik
Syi'r Jahiliyyah
Pada umumnya karakteristik syi'r
Jahiliyyah adalah terletak pada corak pemikirannya yang terbatas, sesuai dengan
corak kehidupan mereka yang sangat sederhana. Hanya saja kebanyakan penyair
masa ini lebih banyak menyandarkan pada daya khayal yang ada ditambah dengan
pengalaman kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu, jika kita hendak
menilai keadaan suatu syi'r Jahiliyyah, maka kita tidak dapat terlepas dari
keadaan penyair itu sendiri.
Corak pemikiran yang sederhana ini dikarenakan
mereka belum banyak mengenal kebudayaan yang tinggi atau mendapat pengaruh dari
bangsa lain. Kehidupan mereka hanya terbatas dalam kehidupan Baduwi yang penuh
dengan dunia pengembaraan, peperangan, dan hidup bebas dari segala hukum dan
ikatan undang-undang.
Karakteristik yang paling menonjol
pada syi'r Arab Jahiliyyah adalah karakter yang mengedepankan sifat kejantanan
dan kepahlawanan, menceritakan segala macam pengalaman yang baik maupun yang
buruk, menggunakan bahasa yang indah, pemilihan kata-kata yang ringkas tetapi
mengandung makna yang dalam.
F.
Al-Mu'allaqat
Masyarakat Jahiliyyah sering
mengadakan fastival sastra secara periodik. Ada festival sastra mingguan,
bulanan, dan tahunan. Mereka juga membuat apa yang yang sekarang disebut dengan
pasar seni. Di pasar seni ini para pujangga saling unjuk kemampuan dalam
bersastra. Di antara pasar seni yang paling bergengsi pada zaman Jahiliyyah
adalah pasar Dzu al-Majaz, yang terletak di daerah Yanbu', dekat Sagar (kini
termasuk wilayah Madinah); pasar seni Dzu al-Majinnah di sebelah barat Mekkah,
dan pasar seni ‘Ukadz yang terletak di timur Mekkah, antara Nakhlah dan Tha'if.
Di tiga tempat ini, masyarakat Jahiliyyah melangsungkan festival seni selasa
selama 20 hari, sejak bulan Dzulqaidah.
Di pasar ‘Ukadz para penyair
berlomba mendendangkan karya-karya mereka di depan dewan juri yang terdiri dari
sejumlah pujangga yang telah memiliki reputasi. Karya-karya puisi yang
dinyatakan sebagai yang terbaik akan ditulis dengan tinta emas di atas kain
yang mewah, kemudian akan digantungkan di dinding Ka'bah, yang kemudian dikenal
dengan istilah al-Mu'allaqat (puisi-puisi yang digantungkan pada dinding
Ka'bah).
Sastra puisi Arab yang paling
terkenal pada zaman Jahiliyyah adalah puisi-puisi al-Mu'allaqat. Dinamakan al-Mu'allaqat,
karena puisi-puisi tersebut digantungkan pada dinding Ka'bah. Pada zaman
Jahiliyyah, menggantungkan sesuatu pada dinding Ka'bah bukanlah hal yang aneh,
karena setiapkali ada urusan yang penting, pasti akan digantungkan pada dinding
Ka'bah. Pada masa Rasulullah SAW, pernah terjadi konflik antara Beliau SAW dan
Suku Quraisy. Suku Quraisy sepakat untuk tidak lagi berhubungan dengan Bani
Hasyim. Mereka tidak akan kawin dan melakukan jual-beli dengan keturunan Bani
Hasyim. Kesepakatan tersebut ditulis di atas perkamen dan digantungkan pada
dinding Ka'bah.
Puisi al-Mu'allaqat berbentuk
qasidah (ode) panjang, dan memiliki tema bermacam-macam, yang
menggambarkan keadaan, cara, dan gaya hidup orang-orang Arab Jahiliyyah. Selain
memiliki sebutan al-Mu'allaqat, puisi-puisi yang digantungkan tersebut juga
memiliki sebutan lain, antara lain:
1. As-Sumut
(Kalung), karena menurut orang-orang Arab Jahiliyyah, rangkaian puisi-puisi
yang tergantung pada dinding Ka'bah berbentuk seperti kalung yang tergantung
pada dada wanita.
2. Al-Mudzahhabaat
(yang ditulis dengan tinta emas), karena puisi-puisi yang tergantung pada
dinding Ka'bah ditulis dengan menggunakan tinta yang terbuat dari emas.
3. Al-Qasha'id
al-Masyhuraat (Qasidah-qasidah yang terkenal), karena puisi-puisi yang
tergantung pada dinding Ka'bah tersebut adalah puisi-puisi terkenal yang ada
saat itu dibandingkan dengan puisi-puisi yang lainnya.
4. As-Sab'u
at-Tiwal (Tujuh buah puisi yang panjang-panjang), karena puisi-puisi
yang tergantung pada dinding Ka'bah tersebut terdiri dari tujuh buah puisi dan
panjang-panjang. Nama ini diberikan oleh orang yang berpendapat bahwa puisi
yang tergantung pada dinding Ka'bah tersebut ada tujuh buah.
5. Al-Qasha'id
al-Tis'u (Sembilan buah Qasidah), karena puisi-puisi yang tergantung
pada dinding Ka'bah itu terdiri dari sembilan buah puisi. Nama ini diberikan
oleh orang-orang yang berpendapat bahwa puisi-puisi yang tergantung tersebut
terdiri dari sembilan buah puisi.
6. Al-Qasha'id
al-‘Asru (Sepuluh buah qasidah), karena puisi-puisi yang tergantung
pada dinding Ka'bah itu terdiri dari sepuluh buah puisi. Nama ini diberikan
oleh orang-orang yang berpendapat bahwa puisi-puisi yang tergantung tersebut
terdiri dari sepuluh buah puisi.
Sejarah sastra Arab mencatat sepuluh
penyair al-Mu'allaqat, yaitu Umru al-Qais bin Hujrin bin al-Harits al-Kindi,
Zuhair bin Abi Sulma al-Muzani, an-Nabigah adz-Dzibyani, al-A'sya al-Qaisi,
Lubaid bin Rabi'ah al-Amiri, Amr bin Kultsum at-Taghlibi, Tharafah bin Abdul Bakri,
Antarah bin Syaddad al-Absi, al-Harits bin Hilliziah al-Bakri, dan Ummayah bin
ash-Shalt.
Penyair Jahiliyyah lain yang sangat
terkenal, tetapi tidak termasuk penyair al-Muallaqat, adalah al-Khansa (w. 664,
penyair wanita dari kabilah Mudhar yang akhirnya memeluk Islam), al-Khutaiyah
(w.679, juga berasal dari kabilah Mudhar dan masuk Islam), Adi bin Rabi'ah (w.
531, dikenal dengan nama al-Muhalhil), Sabit bin Aus al-Azdi (w.510, dikenal
dengan nama asy-syanfari).
BAB V
SASTRA ARAB MODERN
A.
Perkembangan Kesusastraan Arab
Modern
Penulisan prosa berupa cerita-cerita
pendek modern dalam bahasa Arab, demikian juga novel dan drama, baru dimulai
pada akhir abad lalu. Belakangan ini bentuk puisi juga mengalami perubahan yang
cukup besar.
Puisi-puisi Arab modern sudah banyak yang tidak terikat lagi pada gaya lama
yang dikenal dengan 'Ilm al-'Arūd. Meskipun sebagian penyair dewasa ini
senang juga menciptakan puisi bebas, tetapi masih banyak juga yang bertahan
dengan gaya lama kendati tidak lagi terikat pada persyaratan tertentu, seperti
penyair MAHMUD ALI TAHA (w.1949). puisi-puisinya sangat halus,
romantis, tetapi sangat religius. Beberapa pengamat menganggapnya banyak
terpengaruh oleh romantisme Perancis abad ke-19, terutama Lamartine. Mungkin
sudah terdapat jarak antara penyair ini dan penyair-penyair modern semi-klasik
sebelumnya, seperti Ahmad Syauqi atau Hafidz Ibrahim (1872-1932) yang dipandang
sebagai penyair-penyair besar.
Dalam sastra Arab modern, Mesir dapat dikatakan merupakan pembuka jalan
meskipun dari para sastrawan itu banyak yang berasal dari Libanon dan Suriah.
Mereka pindah ke Mesir untuk menyalurkan bakatnya di negeri ini.
Sastrawan dan pemikir besar menjelang pertengahan abad ke-20 adalah MUHAMMAD
IQBAL (1877-1938) yang lahir di Sialkot dan wafat di Lahore, Pakistan.
Ia mengungkapkan filsafatnya dengan puisi dalam bahasa Urdu dan Persia.
Beberapa prosanya ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab. Dari kumpulan
puisinya, yang terkenal adalah Asrari Khudi di samping karya
filsafatnya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam.
Dalam abad ke-19 kegiatan penerjemahan buku-buku ke dalam bahasa Arab sudah
mulai dirintis secara besar-besaran, yang sudah tentu sebagian besar berupa
karya-karya sastra Barat. Nama-nama mulai dari Villon sampai pada angkatan
Sartre dalam sastra Perancis, atau Marlowe sampai angkatan Auden dalam sastra
Inggris, sudah tidak asing lagi, di samping dari Eropa lainnya. Yang menjadi
pelopor dalam hal ini tentu mereka yang telah mendapatkan pendidikan Barat
sebagai akibat pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali (1769-1849) dan
sampai puncaknya sebagai gelombang kedua pada masa Khediwi (Khedive)
Ismail (1830-1895). Pada waktu itulah banyak karya sastra Barat, terutama karya
sastra Perancis, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, seperti Paul et
Virginie, dongeng-dongeng La Fontain dan Victor Hugo. Sungguhpun begitu,
sastra Arab baru ini masih tetap dapat bertahan pada tradisinya sendiri.
MUSTAFA LUTFI AL-MANFALUTI (1876-1924), sastrawan dan ulama dari
al-Azhar yang sudah amat dikenal di Indonesia, dapat digolongkan sebagai
pengarang cerita-cerita pendek bergaya semi-klasik semi-modern. Ia, yang juga
banyak menerjemahkan, sedikit banyak terpengaruh karya-karya pengarang Perancis
abad yang lalu. Dalam perkembangan selanjutnya penerjemahan tidak hanya
terbatas pada karya sastra Perancis, tetapi sudah meluas ke kawasan Eropa
lainnya, terutama Inggris, Rusia, dan Jerman dengan prinsip mengutamakan
terjemahan langsung dari bahasa asal.
Sesudah Perang Dunia I pemikiran-pemikiran intelektual di Mesir, Suriah, dan
Irak semakin terasa. Dalam kesusastraan mereka terbagi ke dalam dua kelompok
besar. Pada satu pihak pengarang-pengarang yang mempunyai latar belakang
pendidikan Barat cenderung pada sastra Perancis dan pada pihak lain lebih
cenderung pada sastra Inggris. Yang pertama diwakili oleh Muhammad Husein
Haekal (1888-1956) selain sebagai seorang sastrawan, ia juga dikenal
sebagai wartawan terkemuka dan pemikir, sedangkan yang kemudian dapat dikatakan
diwakili oleh Abbas Mahmud Al-Aqqad (1889-1973) dan Ibrahim
al-Mazini (1890-1949).
MUHAMMAD HUSEIN HAEKAL selain besar pengaruhnya dalam sastra Arab
mutakhir, juga mempunyai tempat yang penting dalam literatur Islam setelah
serangkaian bukunya tentang studi-studi Islam terbit, terutama sekali bukunya
yang berjudul Hayāh Muhammad (1936). Haekal dianggap perintis karya
sastra modern setelah novelnya. Zainab, terbit (1914). Ia juga banyak
menulis kritik sastra dan cerita pendek.
Al-Aqqad dan al-Mazini sama-sama tumbuh
mula-mula sebagai penyair pembaharuan yang melepaskan diri dari ikatan tradisi.
Selain puisi-puisinya, al-Aqqad juga terkenal karena novel semi-autobiorafinya,
Sarah. Pada tahun-tahun belakangan ia banyak mencurahkan perhatian pada
penulisan buku-buku ke-Islaman.
Pengarang-pengarang cerita pendek yang penting dicatat adalah MAHMUD
TAIMUR (1894-1973), pengarang dan seniman yang menjadi kebanggan Mesir.
Kritik-kritiknya sangat diperhatikan para ahli. Karya-karya Mahmud Taimur sudah
banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Ada beberapa pengarang kontemporer yang memiliki kecenderungan mengelolah
cerita lama sebagai bingkai dengan pakaian baru untuk memperbincangkan masalah
baru. Buku-buku seperti Seribu Satu Malam dan Kalīlah wa Dimnah
oleh pengarang-pengarang itu diolah kembali menjadi karya baru untuk kemudian
diisi dengan pikiran-pikiran mereka, seperti yang dilakukan oleh TAHA
HUSEIN, TAUFIK AL-HAKIM, YAHYA HAQQI, dan NAGUIB
MAHFUDZ.
Masing-masing negara berbahasa Arab mempunyai caranya sendiri dalam membenahi
budayanya sehingga tidak ada keseragaman mutlak. Sebagai contoh, udara sastra
di Irak mungkin lebih sering diwarnai oleh agitasi politik dan ideologi yang
mengakibatkan timbulnya pergolakan dan revolusi, seperti terjadi pada 1958 dan
1960 sampai pada Revolusi 68 yang dikatakan membawa angin baru kepada seni dan
budaya dengan diterbitkannya kembali buku-buku sastra. Banyak pengarang Irak
yang terpengaruh oleh suasana demikian sehingga pernah lahir yang disebut
Penulis Angkatan 60, dan sebagainya. Namun bagaimanapun ada beberapa penulis
cerpen Irak yang cukup dikenal di tanah airnya, seperti ABDUL MALIK NURI
(1923), FU'AD TAKERLI (1927), dan SYAKIR KHUSYBAK,
guru besar di Universitas Baghdad. Dari yang terakhir ini beberapa cerpennya
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Sebelum itu, yang dapat dinobatkan sebagai perintis puisi modern di Irak adalah
penyair JAMIL SIDQI AZ-ZAHAWI (1863-1936), penyair tua yang
bernada keras dan dikenal sebagai pembela hak-hak perempuan di samping MA'RUF
AR-RUSAFI (1877-1945).
Masih dalam dunia kepenyairan, seorang penyair yang mati muda, yang dianggap
penyair Arab terbesar sampai waktu itu adalah BADR SYAKIR AS-SAYYAB
(1926-1964). Dalam hidup dan pemikiran, ia selalu gelisah. Bersama ABDUL
WAHHAB AL-BAYYATI yang kekiri-kirian, ia menanamkan bibit neo-klasik
untuk menggantikan romantisme. Aliran yang belakangan ini memang tak dapat
bertahan lebih lama di Irak.
Kalangan kritik sastra Arab memang banyak menyoroti puisi-puisi AS-SAYYAB
yang beberapa antologinya yang tebal sudah diterbitkan bersamaan dengan
terbitnya buku-buku studi sastra tentang dia dan karyanya. Puisi-puisinya
sekitar tahun 50-an dinilai banyak terpengaruh oleh penyair-penyair kelompok
Apollo dan Mahjar yang lebih romantik - barangkali termasuk juga pengaruh
Shelley dan Keats - tetapi dalam teknik ada yang membandingkannya dengan Eliot.
Puisi-puisinya memang dalam, banyak diwarnai bahasa semiotik, hidup, dan indah,
tetapi tidak mudah ditangkap pembaca biasa (awam). Di Irak, yang pada sekitar
tahun 50-an menjadi tempat persinggahan Marxisme yang cukup subur dan
memaraknya paham nasionalisme yang menggebu-gebu, as-Sayyab membuat pembaharuan
yang cukup mengejutkan ketika kemudian ia menguak ke depan dengan membawa
puisi-puisinya yang banyak menyelip ayat al-Qur'an ke dalamnya, atau kadang
rima, simbolisme, atau nada musiknya; bahkan irama, gaya, dan kata-kata
al-Qur'an yang terasa kuat sekali pantulannya. Tokoh-tokoh dan
peristiwa-peristiwa dalam al-Qur'an dan dalam tradisi Islam sering
ditimbulkannya kembali untuk menggantikan mitologi dan pengaruh lain.
Sungguhpun ia bertahan dengan nilai lama yang lalu diperbaruinya, ia juga
terbuka menyerap puisi-puisi Eropa modern.
Di suriah, ABDUS SALAM AL-UJAILI (lahir. 1918), yang juga seorang
dokter medis, aktif dalam penulisan novel dan cerita pendek. Beberapa cerpennya
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Demikian juga WALID
IKHLASI (lahir. 1935), seorang dosen ekonomi pertanian.
Dari Sudan, yang agak menonjol dapat disebut nama penyair dan penulis cerita
pendek, TAYYIB SALEH. Demikian juga di Maroko, tak banyak yang
dapat dikenal. ABDUL QADIR AS-SAMIHI termasuk pengarang Maroko
yang cerpen-cerpennya sering muncul dalam majalah sastra terkemuka, seperti al-Adab
atau al-Majallah. TAHAR BEN JALOUN lebih dikenal sebagai
pengarang yang menulis ke dalam bahasa Perancis.
Karya-karya sastra Aljazair modern banyak yang dipengaruhi oleh iklim perang
kemerdekaan melawan Perancis. Namun sekaligus timbul paradoks, yakni banyak
sastrawan negera di Afrika Utara ini yang menulis karya-karya sastranya dalam
bahasa Perancis dan gaya penulisannya pun tidak jauh berbeda dengan gaya
pengarang Perancis. Bahkan pemikir dan ulama Aljazair terkemuka, MALIK
BIN NABI, menulis pikiran keagamaannya dalam bahasa Perancis. Beberapa
karya sastra Aljazair ada yang sudah diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia.
Dari kawasan Teluk, termasuk Arab Saudi, belum banyak yang dapat disebutkan.
Yang dikenal dengan sebutan as-Sā'ir al-Mahjar atau The Emigran Poet ialah
penyair-penyair yang berimigrasi umumnya ke Amerika Selatan.
Perkembangan bahasa pun mengalami perubahan dari gaya tradisional, kalimat yang
panjang-panjang, dan berbunga-bunga akibat pengaruh pleonasme dan penggunaan
kosakata klasik berganti dengan gaya yang sejalan dengan zaman, serba singkat,
dan serba cepat. Ciri khas perkembangan bahasa dalam sastra Arab Modern ialah
digunakannya bahasa percakapan (vernacularism) dalam dialog, sekalipun
dalam pemerian tetap dengan bahasa baku. Kecenderungan seperti ini ada
pembelanya, tetapi juga banyak penentangnya. Bahkan pernah ada kecenderungan
sebagian kalangan yang ingin mengubah huruf Arab sedemikian rupa supaya dapat
juga dibaca dalam huruf Latin. Di Libanon malah ada sekelompok sastrawan yang
mencoba menggantikan huruf Arab dengan huruf Latin. Bahkan sudah ada novel yang
terbit dalam bahasa Arab dengan menggunakan huruf Latin.
BAB VI
SASTRAWAN ARAB
1.
UMAYAH
BIN ABI ASH-SHALT
Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama aslinya adalah Abu Utsman Umayyah bin Abi ash-Shalt
Abdullah ibn Abi Rabi'ah ibn Auf Ats-Tsaqafi. Ia merupakan penyair Tsaqif dan
termasuk salah seorang pencari agama yang benar pada masa Jahiliyyah. Ia
dibesarkan di Thaif. Ayahnya adalah seorang penyair terkenal, ia banyak belajar
kepada sang ayah dalam berpuisi, untuk bekal pandangan-pandangan agama ia
mencarinya kepada Ahlul Kitab.
Umayyah bin Abi ash-Shalt merupakan salah seorang yang
banyak meriwayatkan berita-berita tentang orang-orang Yahudi, Nasrani, dan
sisa-sisa agama Ibrahim serta Ismail, berita tentang kisah penciptaan langit,
bumi, malaikat, jin, syari'at para nabi dan rasul yang masih tersimpan dalam
ingatan para sesepuh Arab Jahiliyyah. Ia selalu aktif beribadah dan mengenakan
pakaian pengembara. Dia juga merupakan seseorang yang mengharamkan Khamr
(minuman keras/arak) dan meragukan kepercayaan terhadap berhala.
Di dalam kitab-kitab yang dibacanya, ia menemukan berita
gembira tentang akan diutusnya seorang Nabi dari bangsa Arab. Mendengar berita
mengenai hal itu, ia pun berambisi menjadi seorang Nabi yang dimaksudkan
tersebut. Hingga suatu ketika, Rasulullah Saw diutus, hati Umayyah bin Abi
ash-Shalt ragu dan memendam rasa dengki dan iri, ia berusaha melawan dan
mengingkari agama yang dibawa oleh beliau Saw, meskipun dia tahu bahwa agama
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw itu benar. Umayyah mengajak dan mendorong
orang-orang Quraisy untuk mengingkari Nabi Saw, dan meratapi orang-orang
Quraisy yang meninggal dalam perang Badar.
Nabi Muhammad Saw. melarang periwayatan puisinya yang
berkenaan dengan hal itu. Sehingga berkenaan dengan kejadiaan tersebut,
turunkanlah ayat al-Qur'an yang berbunyi:
"واتل
عليهم نبأ الذى آتيناه آياتنا فانسلخ منها فأتبعه الشيطان فكان من الغاوين"
"Dan
bacakanlah kepada mereka berita tentang seseorang yang telah kami berikan
kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab) kemudian dia
melepaskan diri dari ayat-ayat itu (mengingkarinya), lalu dia diikuti oleh
setan-setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk golongan
orang-orang yang sesat" (Al-A'raf,
7: 175).
Dan apabila Nabi Saw mendengar puisi Umayah yang berkenaan
dengan tauhid, keimanan, dan pujian kepada Allah Swt, maka beliau Saw.
bersabda:
آمن
لسانه وكفر قلبه
"Dia beriman lidahnya, tetapi hatinya kafir"
Kebanyakan puisi-puisi pujian (madah) Umayyah bin Abi
ash-Shalt pada masa Jahiliyyah dikhususkan kepada Abdullah ibn Jud'an, salah
seorang bangsawan dan hartawan Quraisy, sehingga dia menempati kedudukan
seperti kedudukan Zuhair bin Abi Sulma pada Haram ibn Sinan. Dia menghabiskan
sisa-sisa hidupnya di Thaif sampai meninggal dalam kekafiran pada tahun ke-9
Hijrah.
Puisi-Puisinya
Umayyah bin Abi ash-Shalt temasuk salah seorang pembesar
penyair pedesaan, meskipun dikalangan mereka sedikit sekali puisi yang beredar.
Hanya saja yang membuat puisinya tercela dalam pandangan sebagaian sarjana
bahasa Arab, sehingga mereka mengugurkan untuk berargumen dengan puisinya
adalah karena dalam puisinya banyak menggunakan bahasa serapan dari bahasa
Ibrani dan Suryani. Seakan-akan mereka mengingkari kebenaran adanya ta'rib
(serapan ke dalam bahasa Arab) karena seringnya berbaur dengan orang-orang
asing, meski bahasa Arabnya jelas. Sebagaimana mereka mengingkari Adi ibn Zaid
karena dia banyak memasukkan kata-kata dari bahasa Persia ke dalam puisinya
karena dia lama bergaul dengan mereka.
Umayyah bin Abi ash-Shalt menyebut langit (as-sama`/السماء )
dengan shooquuroh (صاقورة). Dia menyatakan bahwa bulan memiliki
kulit penutup yang jika terjadi gerhana bulan ia masuk ke dalamnya, ia
menamakan dengan as-saahuur (الساهور), serta ia menamakan Allah dalam puisinya
dengan as-Sulthith (السلطيط), At-Taghruur (التغرور),
dan sebagainya.
Puisi yang diciptakannya berbeda dengan puisi para penyair
lainnya, dengan kemudahan dalam kosakatanya dan dengan menyebutkan
keajaiban-keajaiban dari kisah-kisah fiksi dan legenda-legenda, penciptaan alam
dan kehancurannya, keadaan akhirat, sifat-sifat Sang Pencipta dan kekhusyukan
pada-Nya. Dalam menyebutkan hal tersebut Umayyah menggunakan kata-kata yang
belum pernah digunakan oleh seorang penyair pun sebelumnya. Puisinya juga
diselingi oleh kata-kata hikmah dan pribahasa. Diantara puisi-puisinya adalah:
الحمد
لله ممسان ومصبحنا ¤ بالخير صبحنا ربى ومسانا
رب
الحنيفة لم تنفد خزائنه ¤ مملوءة طبق الآفاق سلطانا
ألا
نبى لنا منا فيخبرنا ¤ ما بعد غايتنا من رأس محيانا
وقد
علمنا لوان العلم ينفعنا ¤ أن سوف تلحق أخرانا بأولانا
"Segala
puji milik Allah kala kita berada di saat pagi dan petang, semoga Tuhanku
memberikan kebaikan pada kita pada pagi dan petang"
"Tuhan Ibrahim yang Hanif, yang tak habis-habis
simpanan-Nya, memenuhi cakrawala dengan kekuasaan-Nya yang tak terbatas"
"Ingatlah, ada seorang Nabi diantara kita yang diangkat
dari kalangan kita, lalu memberitahukan kepada kita munculnya pemimpin yang
menjadi tujuan kita"
"Kami telah mengetahuii berbagai ilmu yang bermanfaat
bagi kami, bahwa orang-orang yang terakhir akan mengikuti orang-orang yang
terdahulu dari kami"
Dia mencela anaknya dengan mengatakan:
عذوتك
مولودا ومنتك يافعا ¤ تلعل بما أجنى إليك وتنهل
إذا
ليلة نابتك بالشجو لم أبت ¤ لشكواك إلا ساهرا أتململ
كأنى
أنا المطروق دونك بالذى ¤ طرقت به دونى فعنى تهمل
تخاف
الردى نفس عليك وإننى ¤ لأعلم أن الموت حتم مؤجل
فلما
بلغت السن والغاية التى ¤ إليها مدى ما كنت فيك أؤمل
جعلت
جزائى غلظة وفظاظة ¤ كأنك أنت المنعم المتفضل
"Pagi
hari kau lahir, siang hari kau besar, semoga demikian adanya yang aku petik
darimu dan yang kau reguk dari minum pertamamu"
"Ketika di suatu malam kau terluka, semalaman aku tak
bias tidur, buka karena mendengar keluhannya, tetapi karena terjaga dan rasa
bosan"
"Seakan-akan aku sendiri yang memukul-mukulmu dengan
pukulan-pukulan yang dipukulkan padaku sehingga merasa kelelahan"
"Kau takut hal yang terburuk menimpa jiwamu, padahal
sesungguhnya aku tahu bahwa sang maut pasti datang menjemput"
"Ketika kau telah mencapai usia dewasa dan mencapai
tujuan, yang kau gapai sejauh kau dapat menggapainya. Aku pun tak dapat lagi
mengharapkan apa-apa darimu"
"Kau jadikan balasan buatku kekasaran dan kebencian,
seakan engkau sendiri yang memberikan kesenangan yang berlebihan"
Di antara puisi madah-nya (puisi yang berisikan pujian) :
عطاؤك
زين لامرئ قد جبو ته ¤ بخير وما كل العطاء يزين
وليس
يشين لامرئ بذل وجهه ¤ إليك كما بعض السؤال يشين
"Pemberianmu
adalah hiasan bagi orang yang telah kau berikan kebaikan, padahal tidak setiap
pemberian dapat menjadi perhiasan"
"Bukanlah sesuatu yang dikehendaki oleh seseorang
adalah akan mengarahkan wajahnya padamu, seperti sebagian yang diminta bukanlah
yang dikendaki"
Di antara puisi-puisinya yang berisikan mengenai kematian
ketika datang menjemputnya adalah:
إن
نغفر اللهم نغفر جما ¤ و أى عبد لك لا ألما
"Jika
Engkau berkenan mengampuni, Ya Allah Tuhanku, ampunilah semuanya, sebab hamba
mana yang tiada berharap mendapat ampunan-Mu"
2.
LUBAID
BIN RABI'AH
Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama lengkapnya adalah Lubaid bin Rabi'ah bin Malik. Ia
sering juga dijuluki Abu 'Uqail al-'Amiry. Ia termasuk salah satu penyair yang
disegani pada masa jahiliyyah. Ia berasal dari kabilah Bani 'Amir Ibnu
Sho'sho'ah, yaitu salah satu pecahan dari kabilah Hawazin Mudhar[1]. Ibunya berasal dari kabilah 'Abas. Lubai dilahirkan
sekitar tahun 560 M. Selain sebagai penyair, ia juga dikenal sebagai orang
dermawan dan pemberani. Sifat kedermawanannya diwarisi dari ayahnya yang
dijuluki dengan "Rabi' al-Muqtarin". Sedangkan sifat keberaniannya
diwarisi dari kabilahnya.
Lubaid bin Rabi'ah al-Amiri adalah penyair Jahiliyyah yang
memiliki usia yang panjang. Dia berumur 145 tahun, dan sempat mendapatkan masa
Islam. Namun, penyair ini tetap digolongkan ke dalam penyair Jahiliyyah, karena
sesudah masuk Islam, ia tidak mengucapkan puisi lagi kecuali hanya satu bait
saja.
Dahulu, di antara kabilah Bani 'Amir dengan kabilah Bani
'Abas terjadi permusuhan yang sengit. Hingga akhirnya kedua utusan dari kedua
kabilah tersebut dipertemukan dihadapan al-Nu'man bin al Mundzir. Dari Bani
'Abas diantaranya ada al-Rabi' bin Ziyad dan dari Bani Amir diantaranya ada
para pendekar. Pada saat itu al Rabi' dan al Nu'mân duduk-duduk bersama
menikmati hidangan makan dan minum. Ia merasa iri dengan orang-orang dari Bani
Amir, maka iapun menyebut-nyebut aib dan kekejian mereka. Maka ketika utusan
dari mereka masuk menemui al-Nu'man, ia tak memperdulikannya dan memalingkan
mukanya. Hal inilah yang kemudian membuat mereka jengkel, dan kemudian keluar
dengan wajah memerah karena kemarahan. Pada saat kejadian itu, Lubaid masih
kecil, sehingga ketika ia bertanya tentang siapa saja para ahli pidato dari
mereka, ia pun diejeknya karena dianggap belum cukup umur. Ia begitu sangat
berharap bisa bergabung dengan mereka. Iapun bersumpah akan memberi pelajaran
kepada al-Rabi' kelak nanti di hadapan al-Nu'man. Sumpahnya akhirnya terwujud,
al-Nu'man akhirnya membenci al-Rabi' dan ia tak lagi mau menemuinya serta
melaknatnya. Setelah itulah, Bani 'Amir mulai terangkat. Raja menghormati
mereka dan memenuhi segala kebutuhannya. Inilah awal dari popularitas Lubaid.
Ia melantunkan puisi-puisi singkat dan puisi-puisi panjangnya. Ketika puisinya
dilantunkan, an-Nabighah pun mengakui bahwa Lubaid adalah seorang penyair yang
paling ulung dari kalangan Kabilah Hawazin dengan usia yang masih relatif muda.
Puisi yang membuat al Nâbighah terbius adalah puisi pada mu'allaqahnya
yang bait pertamanya berbunyi :
عفت
الديار محلها فمقامها ¤ بمنى بأبد غولها فرجامها
"Bekas-bekas
reruntuhan perkampungan itu telah lenyap, tempatnya di Mina, tanahnya rendah
dan tingginya menyeramkan"
Mendengarkan puisinya itu, lalu an-Nabighah berkata:
"Pergilah hai anak, sesungguhnya kamu akan menjadi
penyair suku Qais yang terkenal[2]".
Para ahli sastra Arab menggolongkan puisinya ke dalam kelas
tinggi, yang dilihat dari segi kesopanan dan lebih condong kepada ketuhanan.
Dalam puisinya banyak menunjukkan sifat mulia dan kemauannya yang keras dalam
mencapai martabat yang tinggi. Yang paling menonjol sekali dari puisinya, ia
tidak pernah mengejek atau menjelek-jelekan siapa pun, dan juga tidak pernah
merendahkan diri kepada orang besar (raja atau bangsawan). Karena penyair ini
tidak menjadikan puisinya sebagai modal untuk mencari kedudukan ataupun harta
kekayaan seperti yang banyak dilakukan oleh penyair Jahiliyyah lainnya.
Sebaliknya ia selalu membanggakan kaumnya yang selalu berusaha mendapatkan
kemuliaan dalam menolong orang yang lemah.
Ketenaran penyair ini juga tidak menghalanginya untuk
beriman kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam suatu riwayat diceritakan, bahwa pada
suatu hari ketika rombongan yang diperintahkan oleh Nabi Saw untuk mendakwahkan
Islam di Madinah, dan Lubaid mulai tertarik akan agama Islam yang dibawa oleh
Nabi Saw. Akan tetapi, pada saat itu ia masih belum menyatakan keislamannya.
Setelah beberapa tahun kemudian barulah ia bersama rombongannya datang kepada
Rasulullah Saw untuk menyatakan keislamannya, dan ia kembali pulang ke
kabilahnya dan menerangkan mengenai surga, neraka, hari kebangkitan, dan
mengajarkan al-Quran kepada kaumnya.
Puisi-Puisinya
Diwan Lubaid telah dikodifikasikan oleh banyak sekali para
sastrawan terkenal. Sedangkan periwayatan yang ada hanyalah periwayatan dari
Ali bin Abdullah al-Thusy yaitu salah seorang murid dari Ibn al-'Araby yang
meninggal pada tahun 231 H/844 M.
Pada masa Umar bin al Khathab - Setelah terjadi pembukaan
beberapa kota - Lubaid pergi ke Kufah. Lubaid tinggal dan hidup di sana cukup
lama, sampai ajal menjemputnya pada awal masa kekhalifahan Mu'awiyyah pada
tahun 41 H / 661 M.[3] Ada yang mengatakan bahwa usianya
mencapai 130 tahun. Ia termasuk salah satu pemilik mu'allaqat. Ia
memiliki sebanyak kurang lebih 122 qasidah dan 1322 bait puisi.
Sebagian para ahli kesusastraan Arab menggolongkan Lubaid
sebagai penyair Jahiliyyah, karena sesudah masuk Islam, penyair ini tidak lagi
mengucapkan puisi, kecuali hanya satu bait saja, sebuah puisi yang diucapkannya
ketika menyatakan diri ke dalam Islam seperti yang terdapat di bawah ini[4]:
الحمد
لله أن لم يأتنى أجلى ¤ حتّى لبست من الإسلام سربالا
"Al-Hamdulillah,
ajalku tidak datang sebelum aku menjadi seorang muslim"
Akan tetapi, sebagian ahli kesusastraan Arab yang lain
menggolongkan Lubaid ke dalam penyair Islam, karena ia banyak menghasilkan
puisi-puisi yang bernafaskan Islam, dan puisi-puisinya telah terpengaruh oleh
ayat-ayat suci al-Quran.
Pada zaman Jahiliyyah puisi-puisinya banyak membicarakan
seputar pujian (madah), mencaci atau mengejek (hija'), bahkan banyak dari
puisinya yang berisikan kebanggaan terhadap kaumnya. Seperti yang terdapat
dalam kutipan puisi di bawah ini[5]:
إنا
إذا التقت المجامع لم يزل ¤ منا لزاز عظيمة جشامها
ومقسّم
يعطى العشيرة حقها ¤ ومغذمر لحقوقها هضامها
فضلا
وذو كريم يعين على الندى ¤ سمح كسوب رغائب غنامها
من
معشر سنّت لهم آباؤهم ¤ ولكل قوم سنة وإمامها
لايطبعون
ولايبور فعالهم ¤ إذ لا يميل مع الهوى احلامها
وهم
السّعاة إذا العشيرة افظعت ¤ وهم فوارسها وهم حكّامها
وهم
ربيع للمجاور فيهم ¤ والمرملات إذا تطاول عامها
"Bila
beberapa kabilah sedang berkumpul, maka kaumku akan menandingi mereka dalam
berdebat ataupun bertanding"
"Kaumku
adalah pembagi yang adil, yang memberikan hak keluarganya, dan kaumku adalah
sangat pemarah kepada siapa pun yang merampas hak keluarganya"
"Kaumku menolong dengan suka rela, karena mereka suka
menolong, suka memaafkan, dan suka pada suatu kemuliaan"
"Kaumku berasal dari keturunan yang suka pada
kemuliaan, dan bagi setiap kaum pasti mempunyai adat dan pemimpin sendiri"
"Kaumku tidak pernah merusak kehormatannya dan tidak
suka mengotori budi pekertinya, karena mereka tidak senang mengikuti hawa
nafsu"
"Bila keluarganya sedang tertimpa musibah, mereka akan
membantu, merekalah pahlawan bila keluarga sedang terserang dan merekalah yang
akan menundukkan musuh"
"Kaumku adalah penolong bagi siapa pun yang meminta
pertolongan, dan pembantu bagi janda yang tertimpa kemalangan"
Kemudian, pada masa permulaan Islam, puisi-puisinya sudah
banyak terpengaruh oleh gaya bahasa al-Quran dan isinya banyak mengandung
ajaran-ajaran yang bernafaskan Islam, dikarenakan setelah memasuki Islam,
Lubaid lebih tekun mempelajari ajaran-ajaran agama Islam yang terkandung dalam
ayat-ayat suci al-Quran, seperti dalam salah satu bait-bait puisinya yang
menerangkan keimanannya terhadap hari kebangkitan, di bawah ini[6]:
الا
كلّ شيئ ما خلا الله باطل ¤ وكلّ نعيم لا محالة زائل
وكلّ
أناس سوف تدخل بينهم ¤ دويهية تصفرّ منها الأنامل
وكلّ
امرئ يوما سيعلم غيبه ¤ إذا كشفت عند الاله الحصائل
"Sesungguhnya
segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap dan setiap kenikmatan pasti akan
sirna"
"Dan
pada suatu saat, setiap orang pasti akan didatangi oleh maut yang memutihkan
jari-jari"
"Setiap orang kelak pada suatu hari pasti akan
mengetahui amalannya jika telah dibuka catatannya di sisi Tuhan".
Dalam menanggapi kemantapan isi bait puisi di atas, Nabi
Muhammad Saw berkomentar dalam suatu sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim[7]:
اصدق
كلمة قالها شاعر كلمة لبيد (الا كلّ شيئ ما خلا الله باطل)
"Sebaik-baik
puisi yang pernah diucapkan seorang penyair adalah ucapan Lubaid yang berbunyi:
"Sesungguhnya segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap"
3.
AL-HARITS
BIN HILLIZIAH AL-BAKRI
Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama aslinya adalah Al-Harits bin
Hillizah al-Yasykuri al-Bakri, ia merupakan salah seorang pemilik puisi
mu'allaqat yang terkenal dengan satuan bait-bait puisinya, pemikirannya bagus
dan spontanitas, menjadi pribahasa dalam puisi hammasah (patriotik) dan
fakhr-nya (berbangga). Silsilah keturunannya sampai kepada Bakr bin Wail.
Posisinya dalam kabilah itu seperti
posisi Amru bin Kultsum dalam kabilah Taghlib. Peninggalan karya puisinya
hanyalah puisi-puisi pendek yang sederhana dan puisi mu'allaqat-nya, yang
permulaannya adalah:
آذنتـنا
يبينها أسـماء ¤ رب ثاو يمل منـه الثــواء
"Perpisahannya dengan kami
memberitahukan nama-nama dewa yang bersemayam di sana dibuat bosan bersemayam
di sana"
Adalah dikarenakan oleh
mu'allaqqat-nya inilah Amru bin Hindun, salah seorang raja Hirah mendamaikan
antara kabilah Bakr dan kabilah Taghlib menyusul peperangan antara kedua
kabilah tersebut yang terkenal dengan perang al-Basus, serta mengambil dari
masing-masing kedua belah pihak jaminan tanggungan dari anggota kabilah untuk
menghentikan pertikaian satu sama lainnya dan untuk mengikat bagi pihak yang
menyerang dan diserang. Kemudian terjadi peristiwa bahwa raja meminta ganti
serombangan ternak dari kabilah Taghlib dalam suatu keperluan. Kabilah Taghlib
mengatakan bahwa hewan-hewan ternak itu menjarah air milik kabilah Bakr, lalu
mereka menghalaunya dan menggiringnya ke daerah padang pasir yang gersang
hingga ternak-ternak itu mati kehausan. Sementara kabilah Bakr mengatakan bahwa
mereka memberi minum dan menggiring mereka ke arah jalan pulang, tetapi mereka
lalu tersesat dan mati. Kedua pihak saling membela diri dihadapan Amru bin
Hindun. Amru bin Hindun kemudian memihak kepada kabilah Taghlib, maka dengan
spontanitas al-Harist bin Hillizah mencercanya dengan puisinya. Hal itu terjadi
di majelis pertemuan dalam keadaan dia menutupi dirinya dengan tirai agar tidak
kelihatan oleh raja, itu dikarenakan al-Harits menderita penyakit campak.
Puisinya itu diungkapkan dengan spontanitas, di dalam puisi itu ia membanggakan
kaumnya, menyanjung perbuatan mereka, serta kebaikan mereka dalam mendampingi
dan menyertai raja dalam sebagian besar peperangan-peperangannya. Begitu
al-Harits selesai berpuisi, raja berpindah ke samping kabilah Bakr, dan
mendekati al-Harits serta membuka tirai yang menutupinya, lalu mereka berdua
duduk bersama dalam tempat duduknya. Al-Harits berusia panjang, sehingga
sebagian ulama sastra menyatakan bahwa sesungguhnya dia mendendangkan puisinya
ini dalam usia seratus tiga puluh lima tahun".
Puisi-Puisinya
Kebanyakan para perawi dan kritikus
puisi terkagum-kagum dengan spontanitas al-Harits bin Hillizah dalam
menciptakan puisi yang demikian panjangnya, dengan tepatnya susunan, banyaknya
kata-kata unik (asing), teknik dan temanya variatif serta mengandung banyak
informasi tentang peperangan bangsa Arab dan peristiwa-peristiwa pentingnya.
Di antara kata-katanya yang di
dalamnya mengandung sesuatu yang demikian ringkas padat adalah kata-katanya
yang melukiskan kepandaiannya dalam menciptakan puisi dengan spontan,
kebenaran, dan kejelasannya dalam menggambarkan kenyataan:
أجمعوا
أمرهم عشاء فلـما ¤ أصبحوا أصبحت لهم ضوضاء
من
مناد ومن مجيب ومن تصـ ¤ ـهال خيل, خلال ذاك رغـاة
"Mereka menyepakati urusan mereka
waktu Isya, tapi manakala pagi hari tiba mereka ribut, hiruk pikuk"
"Ada yang memanggil-manggil, ada yang
menjawab bergalau dengan suara-suara ringkikan kuda diselingi dengan
suara-suara unta"
Di antara perkataannya:
لايقيم
العزيز بالبلد السهـ ¤ ـل ولا ينفع الذليل النجـاء
ليس
ينجى موائلا من خذار ¤ رأس طود وحــرة رجـلاء
"Orang mulia tidak akan tinggal di
negeri yang datar, orang lemah dan hina tidak berguna, bagi orang cerdas akan
berjalan cepat"
"Tidak akan selamat orang yang
melarikan diri menjauhi puncak gunung dan jalan berbatuan hitam walau dengan
telapak kaki kuda yang tebal"
Di antara perkataannnya di luar mu'allaqat-nya
adalah:
من
حاكم بينـى وبيـ ¤ ـن الدهر مـال علـىّ عـمدا
أودى
بسـادتن اوقـد ¤ تركوا لنا حلق اوجــردا
خيلى
وفارسـها ورب ¤ م أبيك كـان أعز فقدا
فلو
أن مـا يأوى إلــىّ ¤ م أصـاب من ثهـلان هدّا
فضـعى
قـناعك إن ريـ ¤ ـب الدهر قد أفنــى معدّا
فلكم
رأيت معـاشــرا ¤ قد جمّعوا مــالا وولـدا
وهم
ربــاب حــائر ¤ لا يسمع الآذان رعــدا
فعشن
بجـد لا يضـر ¤ ك النوك مــا لا قيـت جدا
والعـيش
خير فى ظــلا ¤ ل النوك ممـن عاش كــدّا
"Barang siapa menghakimi di
antara aku dengan sang masa, maka ia akan memihakku secara sengaja"
"Tebusan telah tampak pada para
pemimpinkami, dan mereka telah meninggalkan pada kami senjata dan kuda"
"Kudaku dan penunggangnya dan
ayahmu lebih banyak bersedih karena kehilangan"
"Andaikan ada yang berlindung
kepadaku, niscaya tak akan tertimpa gunung Tsahlan yang runtuh"
"Maka tanggalkanlah kerudung
penutup kepalamu, sesungguhnya bencana sang waktu telah melenyapkan kaum
Ma'ad"
"Pada kalian aku melihat
sekelompok orang, mereka telah mengumpulkan harta dan anak-anak"
"Mereka adalah gumpalan awan
yang diam terpekur, yang tidak lagi mendengarkan gelegar halilintar"
"Hiduplah kamu dengan terus
bekerja keras, kebodohan itu tidak akan membahayakan sepanjang kau mau terus
bekerja keras"
"Lebih baik hidup di bawah
naungan kebodohan, daripada hidup di bawah himpitan kesengsaraan"
Di antara perkataannya yang lain
adalah:
إن
السعيد له فى غيره عظة ¤ وفى التجارب تحكيم ومعتبر
"Sesungguhnya orang yang bahagia,
adalah orang yang memiliki pengajaran bagi orang lain, dan di dalam berbagai
pengalaman hidup terdapat kemampuan mengadili dan memberi pelajaran
4.
AL-A'SYA
BIN AL-QAISI
Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama lengkap dari penyair ini adalah
Maimun al-A'sya bin al-Qaisi bin Jundul al-Qaisyi, dilahirkan di Manfuhah
dikawasan Yumamah. Ia berasal dari kabilah Bakar bin Wail yang menurut riwayat
kabilah ini merupakan bagian dan kelompok di Jazirah Timur yaitu lembah sungai
Eufrat sampai Yamamah. Adapun keturunan (bani) yang lebih dan banyak dikenal
dari kabilah ini ialah bani Syaiban, bani Yasykur, bani Jusyam, bani I'jul yang
berada di lembah sungai Eufrat, bani Hanifah, dan bani Qais bin Tsa'labah yang
berada dikawasan Yamamah. Dari bani-bani tersebut, bani Qais-lah yang lebih
utama, yang secara turun-temurun berlanjut kepada bani-bani lainnya. Salah
satunya adalah bani Malik bin Dubai'ah dari kerabat mereka yaitu bani Jahdar dan
bani Sa'ad bin Dubai'ah, dari bani-bani inilah yang kemudian merupakan asal
usul (satu keturunan) dari penyair al-A'sya bin al-Qais.
Nama al-A'sya merupakan julukan
baginya, karena ia memiliki kadar penglihatan yang lemah (rabun). Nama pada
saat karier kepenyairannya meningkat, ia dijuluki Abu Basir yang berarti orang
yang mempunyai penglihatan. Konon ayahnya mempunyai julukan "Orang yang
mati kelaparan", karena pada suatu ketika ayahnya memasuki sebuah
goa hanya untuk berteduh di dalamnya dari cuaca panas, tetapi malang baginya
tiba-tiba sebuah batu besar jatuh dari atas gunung dan menutupi mulut goa, yang
menyebabkan ayahnya mati kelaparan di dalamnya. Mengenai kejadian itu, juhunnam
seorang penyair membuat sebuah puisi hija' (sindiran) untuk ayahnya yaitu:
"Ayahmu Qais bin Jundul mati
kelaparan, kemudian pamanmu itu disusui oleh budak dari Khuma'ah".
Khuma'ah adalah tempat kelahiran ibu
dari al-A'sya. Saudara kakeknya, Musayyub bin ‘Alas mempunyai jasa yang besar
dalam mengabadikan puisi al-A'sya.
Para ahli sastra Arab menganggapnya
sebagai orang keempat setelah ketiga penyair yang telah disebutkan di atas.
Penyair ini ditakuti akan ketajaman lidahnya, sebaliknya ia juga disenangi
orang bila ia telah memuji seseorang, dan orang itu seketika itu pula akan
menjadi terkenal.
Puisi-puisi al-A'sya banyak
menceritakan pengembaraannya ke sebagian daerah jazirah Arab untuk memuji para
pemimpin (kepala suku) dan para bangsawan. Sehingga di dalam diwan-nya
(kumpulan puisi), dia banyak memuji Aswad bin Mundzir dan saundaranya yaitu
Nu'man bin Mundzir dan Iyas bin Qubaisah. Dia juga banyak membicarakan mengenai
perdamaian antara salah seorang penguasa di Yaman dengan bani Abdul Madin bin
Diyan di Najran, dan penguasa yang bernama Hauzah bin ‘Ala Sayid dari bani Hanifah,
yang tidak diketahui latar belakang mengenai perselisihan di antara ketiganya.
al-A'sya sering melakukan
pengembaraan dan mengunjungi kawasan Hirah, Yaman, dan Diyar (sebuah daerah
berbukit di Yaman), dan Najran, begitu pula dengan daerah Syam, Persia, dan
Jerussalem. Khususnya di daerah Yaman, Nejed, dan Hirah, ia memuji para pejabat
teras di sana. Begitu pula dengan kepergiaannya ke Diyar, ia mendapatkan hadiah
sebagai balasan atas puisi-puisi yang telah diucapkannya dengan indah kepada
bani ‘Amr.
Louis seorang orientalis barat,
menganggap bahwa penyair ini penganut Nasrani, ia berpendapat dengan kesukaan
al-A'sya dalam menyusun lagu-lagu rohani. Puisi madah-nya banyak memuji para
uskup Najran, dan kebanyakan bait-bait puisi-nya berkaitan dengan orang-orang
nasrani di Hirah. Namun, hal ini tidak dapat dibenarkan, karena kepercayaan
Nasrani telah lama dianut dan merupakan agama nenek moyang. Sehingga setelah ia
menerima ajaran ini, kebiasaan buruk dalam melakukan perbuatan dosa dan
kemaksiatan telah ada pada diri al-A'sya. Hal ini dapat dilihat jelas dalam
puisi-nya yang banyak menggambarkan kesenangannya akan mabuk-mabukkan dan
pencinta harta. Dan untuk meneliti lebih lanjut tentang puisi al-A'sya dapat
dilihat dalam kitab Sy'ir was Syuara' karya Ibnu al-Qutaibah, kitab al-Jamhara,
dan kitab al-Aghany karya al-Asfahany.
Puisi-Puisinya
Kumpulan puisi al-A'sya banyak
diterbitkan oleh Jayir di London pada tahun 1928. Jayir menyalinnya dari
Isykuriyal yang diambil dari Tsa'labah pada tahun 291 H. Sebagian dari
puisi-nya juga diterbitkan oleh Daar al-Kutub, Mesir. Jumlah kasidahnya tidak
kurang dari 77 bait kasidah, ditambah lagi l15 kasidah yang tidak diketahui
asalnya, tetapi diyakini sebagai puisinya. Namun, kemungkinan besar puisi
pilihan itu dikumpulkan oleh Tsa'labah. Selanjutnya Daar al-Kutub menemukan 40
bait kasidah al-A'sya yang diambil dari salinan di kantor perwakilan Yaman. Hal
ini diketahui dari kalimat pendahuluan oleh penyusun diwan-nya.
Puisi-puisi al-A'sya memiliki ciri
khas tersendiri, seperti pemakaian kasidah yang panjang, sebagaimana yang
terlihat dalam puisinya terdapat pemborosan kata-kata. Puisinya banyak
mengandung pujian, sindiran atau ejekan, kemegahan atau kebesaran, kenikmatan
khamr (arak), menggambarkan atau melukisakan sesuatu, dan mengenai percintaan.
Tidak seperti penyair lainnya, dalam
hal pengungkapan puisi madah, al-A'sya hanya ingin berusaha mendapatkan
pemberian atau hadiah, seperti dalam pengembaraannya kesebagian jazirah Arab,
yaitu untuk memuji para pemimpin dan pejabat di sana. Pemberian atau hadiah itu
dapat berupa unta, budak perempuan, piring yang terbuat dari logam perak, atau
pakaian yang terbuat dari kain sutera yang bermotif lukisan.
Dalam puisi madah-nya banyak
mengisahkan mengenai kemuliaan, keberanian, kesetiaan, pertolongan terhadap
kaum lemah, dan pujian terhadap tentara yang berlaga di medan peperangan. Puisi
madah-nya banyak mengandung ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan secara bebas
(spontanitas). Oleh karena itu, al-A'sya juga ditakuti akan ketajaman lidahnya,
karena bila seseorang telah mendapatkan pujian darinya, maka orang itu akan
enjadi terkenal.
Dalam suatu riwayat, diceritakan
bahwa di kota Mekkah ada seorang miskin yang bernama Muhallik, orang itu
mempunyai tiga orang puteri yang belum mempunyai jodoh dikarenakan kemiskinan
mereka. Pada suatu waktu, keluarga ini mendengar kedatangan al-A'sya di Mekkah,
maka isterinya meminta kepada suaminya untuk mengundang al-A'sya ke rumahnya.
Setelah al-A'sya datang ke rumah miskin itu, maka isterinya memotong seekor
unta untuk menjamu al-A'sya. Penyair ini sangat heran dengan kedermawanan orang
miskin ini. Ketika ia keluar dari rumah itu, ia langsung pergi ke tempat
orang-orang yang sedang berkumpul untuk mengabadikan kedermawanan Muhallik
dalam suatu bait puisinya yang sangat indah. Setelah ia membacakan puisi itu,
maka banyak orang yang datang meminang ketiga puteri Muhallik. Adapun bait
puisi yang diucapkan al-A'sya seperti dibawah ini[1]:
ارقت
وما هذا السّهاد والمؤرّق ¤ وما بى من سقم وما بى تعشّق
لعمرى
قد لاحت عيون كثيرة ¤ الى ضوء نار فى اليفاع تحرق
تشبّ
لمقرورين يصطليانها ¤ وبات على النار الندى والمحلّق
رضيعى
لبان ثدى أمّ تقاسما ¤ باسحم داج : عوض لا نتفرّق
ترى
الجود يجرى ظاهرا فوق وجهه ¤ كما زان متن الهند وإنى رونق
يداه
يدا صدق : فكفّ مبيدة ¤ وكفّ إذا ما ضنّ بالمال ينفق
"Aku tidak dapat tidur di malam hari,
bukan karena sakit ataupun cinta"
"Sungguh banyak mata yang
melihat api yang menyala di atas bukit itu"
"Api itu dinyalakan untuk
menghangatkan tubuh kedua orang yang sedang kedinginan di malam itu, dan di
tempat itulah Muhallik dan kedermawanannya sedang bermalam"
"Di malam yang gelap itu
keduanya saling berjanji untuk tetap bersatu"
"Kamu lihat kedermawanan di
wajahnya seperti pedang yang berkilauan"
"Kedua tangannya selalu benar,
yang satu untuk membinasakan sedang yang lain untuk berderma"
Di dalam suatu riwayat lain juga
diceritakan bahwa ketika al-A'sya mendengar diutusnya Nabi Muhammad Saw dan
berita mengenai kedermawanannya, maka penyair ini sengaja datang ke kota Mekkah
dengan membawa suatu kasidah yang telah dipersiapkan untuk memuji Nabi Muhammad
Saw. Namun, sayang sekali maksud baik ini dapat digagalkan oleh pemuka bangsa
Quraisy.
Ketika Abu Sufyan mendengar
kedatangan al-A'sya, Abu Sufyan langsung berkata kepada para pemuka Quraisy:
"Demi Tuhan, bila al-A'sya bertemu dengan Muhammad dan memujinya, maka
pasti dia akan mempengaruhi bangsa Arab untuk mengikuti Muhammad. Karena itu, sebelum
itu terjadi, kumpulkanlah seratus ekor unta dan berikan kepadanya agar tidak
pergi menemui Muhammad". Kemudian, saran Abu Sufyan ini, dituruti oleh
bangsa Quraisy, yang akhirnya al-A'sya mengurungkan niatnya untuk bertemu
dengan beliau. Adapun puisi yang telah dipersiapkan olehnya untuk memuji Nabi
Muhammad Saw. seperti dibawah ini[2]:
فآليت
لا ارثى لها من كلالة ¤ ولا من حفى حتّى تلاقى محمدا
متى
ما تناخى عند باب ابن هاشم ¤ تراخى وتلقى من فواضله ندى
نبىّ
يرى ما لا يرون وذكره ¤ اغار (لعمرى) فى البلاد وانجدا
له
صدقات ما تغب ونائل ¤ وليس عطاء اليوم يمنعه غدا
"Demi Allah, onta ini tidak akan
aku kasihani dari keletihannya, dan dari sakit kakinya sebelum dapat bertemu
dengan Muhammad"
"Nanti jika kau telah sampai ke
pintu Ibnu Hasyim, kau akan dapat beristirahat dan akan mendapatkan
pemberiannya yang berlimpah-limpah"
"Seorang Nabi yang dapat
mengetahui sesuatu yang tak dapat dilihat oleh mereka, dan namanya telah
tersiar di seluruh negeri dan di daerah Nejed"
"Pemberiannya tidak akan
terputus selamanya, dan pemberiaannya sekarang tidak akan mencegah pemberiannya
di hari esok"
THARAFAH BIN ABDUL BAKRI AL-WA'ILLI
Nasab Keluarga Dan Kabilah
Amru bin al-`Abd al-Bakri adalah
salah seorang tokoh terkemuka pada zaman Jahiliyyah, dan berumur pendek. Ia
juga seorang penyair yang memiliki puisi-puisi panjang dan indah, dan yang
paling bagus dalam melukiskan unta dalam puisinya. Ayahnya meninggal dunia
ketika ia masih kecil, kemudian ia diasuh oleh para pamannya. Ia cenderung
melakukan hal-hal yang buruk, hidup berfoya-foya, dan suka mengambil hak milik
orang lain, sehingga keluarga dan kaumnya mencercanya, bahkan Amru bin Hindun
salah seorang raja Arab yang memimpin kerajaan Hirah pun ikut mencercanya,
meskipun ia mencari kebajikan dan pemberian raja tersebut.
Sampailah berita kepada Amru bin
Hindun tentang cercaan Tharafah kepadanya, maka Amru bin Hindun pun
membencinya. Ketika Tharafah datang kepadanya bersama pamannya, al-Multamis,
untuk meminta hadiah, sementara Amru bin Hindun telah mendapat kabar tentang
al-Multamis seperti kabar tentang Tharafah.
Akan tetapi, agar kebencian Amru bin
Hindun tetap memperlihatkan sikap ceria dan kesukaan mereka keduanya. untuk
menenangkan mereka berdua dan memerintahkan kepada masing-masing mereka diberi
hadiah. Sang raja menulis surat untuk masing-masing mereka yang ditujukan
kepada Gubenur Bahrain untuk melaksanakan isi surat itu. Ketika keduanya dalam
perjalanan menuju Bahrain, al-Multamis merasa curiga dengan surat itu, lalu ia
menghentikan perjalanannya dan meminta salah seorang budak untuk membacakan isi
surat itu. Namun, Tharafah tidak mau berhenti, ia terus melanjutkan
perjalanannya. Setelah dibuka ternyata isi surat itu adalah perintah kepada
Gubenur Bahrain untuk membunuh mereka berdua. Al-Multamis melemparkan surat itu
dan bermaksud menyusul Tharafah, tetapi tidak dapat tersusul, lalu ia melarikan
diri dan meminta perlindungan kepada raja Ghassan. Sementara itu, Tharafah
terus melanjutkan perjalanannya untuk menjumpai Gubenur Bahrain. Di sanalah ia
terbunuh dalam usia sekitar dua puluh lima tahun.
Puisi-Puisinya
Tharafah menciptakan puisi sejak ia
masih kanak-kanak dan dia muncul dalam bidang itu sehingga dalam usia belum
mencapai dua puluh tahun ia sudah terhitung sebagai tokoh penyair terkemuka.
Puisi panjangnya yang melukiskan unta uang terdiri dari 35 bait, merupakan
puisi yang belum pernah ada seorang penyair pun yang menciptakan puisi seperti
itu sebelumnya. Mu'allaqat-nya termasuk mu'allaqat yang paling indah, paling
banyak memuat kata-kata unik, sarat dengan makna, dan tepat dalam penempatan
kata (diksi). Diriwayatkan pula selain mu'allaqat, puisinya ada berbentuk lain,
tetapi sangat sedikit bila dibandingkan dengan populeritasnya. Kiranya hal ini
menunjukkan kepada kenyataan bahwa perawi itu tidak mengetahui lebih banyak
mengenai puisinya atau dengan kata lain mereka (para perawi) kehilangan jejak
dari kebanyakan puisi Tharafah.
Tharafah bagus sekali ketika
memaparkan washf dalam puisinya, dengan singkat dan menjelaskan hakekat dengan
tujuan yang melampaui batas, terikat dalam sebagian susunan kata dan lepas
bebas dalam penjelasan kata dan makna yang tersembunyi. Demikian pula puisi
hija'-nya (cercaan) nadanya keras sekali. Bait puisi mu'allaqat-nya adalah:
لخولة
أطلال ببرقة ثهمد ¤ تلوح كباقى الوشم فى ظاهر اليد
"Untuk mengenang Khaulah ada
reruntuhan di tanah berbatuan Tsahmada yang menyembul bagai kulit mengeras di
permukaan telapak tangan"
Di antara bait-bait puisinya yang
paling indah adalah:
أرى
الموت يعتام الكرام ويصطفى ¤ عقيلة مال الفاحش المتشدد
ألاى
العيش كنـزا ناقصا كل ليلة ¤ وما تنقص الأيام والدهر ينفد
لعمرك
إن الموت (ما أخطأ الفتى) ¤ لكالطول المرخى وثنياه باليد
متى
ما يشأ يوما يقده لحتفه ¤ ومن يك فى حبل المنية ينقد
"Aku melihat sang maut memilih orang
mulia sejati, juga memilih orang mulia karena harta yang dia dapatkan melalui
perbuatan jahat dan kejam"
"Aku lihat kehidupan adalah
harta simpanan yang terus berkurang setiap malam"
"Demi Tuhan pemberi usiamu,
sungguh sang maut itu (tidak akan menerkam pemuda) sungguh, dia bagaikan tali
pengikat binatang yang salah satu ujungnya di genggaman tangan"
"Di suatu hari, kapan saja dia
mau, dia akan menyeretmu, barang siapa dalam ikatan kematian, dia pasti akan
mati"
Di antara bait-bait puisinya yang
tersebar luas di tengah-tengah masyarakat adalah:
وظلم
ذوى القربى أشد مضاضة ¤ على المرء من وقع الحسام المهند
أرى
الموت أعداد النفوس ولا أرى ¤ بعيدا غدا ما أقرب اليوم من غد
ستبدى
لك الأيام ما كنت جاهلا ¤ ويأتيك بالأخبار من لم تزود
"Orang yang mendzalimi kerabat dekat
lebih jahat daripada tusukan panah beracun"
"Kulihat sang maut merenggut
jiwa-jiwa dan esok hari tidak kulihat sebagai saat yang jauh, betapa dekatnya
hari ini dari hari esok"
"Hari-hari akan memperlihatkan
kepadamu apa yang dulu kau tidak ketahuim, akan datang kepadamu dengan membawa
berbagai berita
قد
يبعث الأمر الصغير كبيره ¤ حتى تظل له الدماء تصبب
"Kadang kala persoalan kecil
tumbuh menjadi besar, hingga karenanya darah pun terus mengucur"
Di antara puisi-puisi fakhr-nya
adalah:
نحن
فى المشتاة ندعو الجفلى ¤ لا ترى الآدب فينا ينتقر
حين
قال الناس فى مجلسهم ¤ أقتار ذاك أم ريح قطر
بجفان
تعترى نادينا ¤ من سديف حين هاج الصنبر
كالجوانى
لاتنى مترعة ¤ لقرى الأضياف أو للمتحضر
ثم
لا لا يخزن فينا لحمها ¤ إنما يخزن لحم المدخر
ولقد
تعلم بكر أننا ¤ آفة الجزر مساميح يسر
ولقد
تعلم بكر أننا ¤ فاضلو الرأى وفى الروع وقر
يكشفون
الضر عن ذى ضرهم ¤ ويبرون على الآبى المبر
فضل
أحلامهم عن جارهم ¤ رحب الأذرع بالخير أمر
ذلق
فى غارة مسفوحة ¤ ولدى البأس حماة ما نفر
نمسك
الخيل على مكروهها ¤ حين لا يمسكها إلا الصير
"Di musim paceklik, kami mengundang
semua orang ke perjamuan, dan kamu tidak akan melihat para pejamu dari kami
memilih-milih orang yang diundang"
"Di kala orang-orang berkata di
tempat duduk mereka, apakah ini aroma daging bakar atau harum kayu
cendana?"
"Kami tahu dan anggota
perkumpulan kami pada datang mengerumuni perapian berminyak lemak kala dingin
kian menusuk"
"Bagaikan telaga besar yang
airnya terus mengalir untuk memuliakan para tamu atau untuk orang-orang yang
hadir bersama kami"
"Lalu daging-daging itu
tidaklah kami simpan yang disimpan hanyalah daging yang dikeringkan"
"Kabilah Bakr sungguh telah
tahu bahwa kami mudah menyembelih kambing dan mudah berderma"
"Kabilah Bakr sungguh telah
bahwa kami mengutamakan akal, sehingga dalam menghadapi bencana tidak
terguncang"
"Kami dapat menyingkap bencana
dari mereka yang dihimpit oleh kesulitan dan kami mampu mengalahkan orang-orang
yang sebelumnya tidak terkalahkan"
"Mimpi-mimpi mereka lebih
unggul daripada tetangga mereka tangannya luas dengan berbagai kebajikan"
"Bersegera menghunus pedang maju
ke medan perang untuk menumpahkan darah, menghadapi keganasan medan perang
tetap tegar tidak melakukan desersi"
"Memegang teguh kendali kuda,
walaupun kuda itu menjadi semakin liar, yang mampu mengendalikannya saat itu
hanyalah orang-orang yang tangguh"
‘AMR BIN KULTSUM
Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama lengkapnya adalah Abu al-Aswad
‘Amr bin Kultsum bin Malik at-Taghlibi dari kabilah Taghlib. Lahir dari
kalangan keluarga bangsawan dan juga sangat ahli dalam menunggang kuda. Penyair
ini merupakan seorang tokoh Arab dan penyair yang terkenal dengan puisinya yang
tersendiri dan yang bagus sekali dalam puisi fakhr-nya. Ibunya bernama Laila
binti Muhalhil, saudara Kulaib.
Di dalam lingkungan kabilah Taghlib
di Jazirah Euphrat, Amru tumbuh dan berkembang sebagai sosok yang pemberani dan
penuh semangat serta sebagai orator yang memiliki sifat-sifat mulia. Dia telah
menjadi pemimpin kaumnya dalam usia lima belas tahun, dan memimpin pasukan
perangnya yang selalu mendapatkan kemenangan dalam berbagai peperangan mereka.
Kebanyakan kekacauan dan peperangan
yang dihadapi kabilah Taghlib adalah peperangan dalam menghadapi saudaranya
sendiri, yaitu kabilah Bakr bin Wail yang menyebabkan terjadinya peperangan
sengit yang terkenal dengan al-Basus. Perdamaian terakhir mereka adalah di
tangan Amru bin Kultsum. Raja Hirah terakhir dari keluarga al-Mundzir. Tidak
selang beberapa lama setelah perjanjian perdamaian terwujud, terjadilah
perhelatan dan pesta besar di tempat Amru bin Kultsum, yang dalam acara itu
para penyair kabilah Bakr, yaitu Al-Harist bin Hiliziah mendendangkan puisi
terkenalnya.
Begitu selesai acara tersebut,
tampaklah bagi Amru bin Kultsum bahwa Ibnu Hindun mengincar kerajaan bersama
kabilah Bakr. Amru bin Kultsum pun pulang dengan hati penuh kecurigaan. Kemudian
terbetiklah dalam hati Ibnu Hindun untuk memecah belah kekuatan kabilah Taghlib
dengan menghinakan pemimpinnya, yaitu Amru bin Kultsum. Kemudian Ibnu Hindun
mengundang Amru bin Kultsum dan ibunya, Laila binti Muhalhil, dan mengelabui
ibunya untuk membantunya dalam menyelesaikan salah satu urusannya. Laila
berteriak: "Oh, alangkah hinanya!". Teriakan ibunya itu membuat Amru
bin Kultsum marah dan seketika itu juga ia membunuh Ibnu Hindun di Majelis
pertemuannya. Selanjutnya Amru bin Kultsum segera pergi, kembali ke negerinya
di al-Jazirah, dan menyusun mu'allaqat-nya, yang bait awalnya berbunyi:
ألا
هبى بصحتك فاصبحينا ¤ ولا تبقى خمور الأندرينا
"Ingatlah, hidangkan gelas anggurmu,
kita minum di pagi hari ini dan tidak menyisakan sedikit pun khamr (arak)
buatan Andarina"
Dalam mu'allaqat-nya ia melukiskan
peristiwa mengenai dirinya dengan Ibnu Hindun, ia membanggakan
pertempuran-pertempuran kaumnya dan peperangan-peperangan mereka yang terkenal.
Ia juga berorasi di pasar Ukadz dan pasar-pasar lainnya. Anak keturunan Taghlib
banyak yang menghafal puisinya dan banyak orang yang meriwayatkannya. Amru bin
Kultsum meninggal dunia sekitar setengah abad sebelum lahirnya Islam.
Puisi-Puisinya
Amru bin Kultsum termasuk orang
besar, bangsawan, dan pahlawan bangsa Arab Jahiliyyah yang lebih disibukkan
dengan tugas-tugasnya sebagai pemimpin dan terjun di medan peperangan daripada
berkonsentrasi untuk berpuisi dan membuka pintu-pintunya seperti kebiasaan para
penyair yang menjadikan puisi-puisi mereka sebagai profesi dan bisnis dalam
mencari kekayaan. Oleh karena itu, Amru bin Kultsum tidak terkenal kecuali dengan
satu mu'allaqat-nya, yang menduduki posisi sebagai puisi yang memenuhi
persyaratan, karena kata-katanya indah, komposisi ungkapannya begitu rapi,
maknanya jelas, stil bahasanya mempesona, dan kebanggannya tinggi dan tujunnya
agung. Andaikan di dalam puisinya ia tidak membanggakan dan tidak
menyebut-nyebut warisan peninggalan kaumnya, puisinya tidak akan diingat orang.
Di riwayatkan juga puisi-puisi
muqaththa'at (puisi-puisi pendek)-nya yang tujuannya tidak jauh berbeda dengan
tujuan-tujuan mu'allaqat-nya. Kiranya populeritasnya dengan orasi tidaklah
kurang dari populeritasnya dengan puisi. Di antara puisi fakhr-nya yang tinggi
dalam mu'allaqat-nya adalah:
وقد
علم القبائل من معد ¤ إذا قبب بأبطحها بنينا
بأن
المطعمون إذا قدرنا ¤ وأنا المهلكون إذا ابتلينا
وأنا
المانعون لما أردنا ¤ وأنا النازلون بحيث شينا
وأنا
التاركون إذا سخطنا ¤ وأنا الآخذون إذا رضينا
ونشرب
إن وردنا الماء صفوا ¤ ويشرب غيرنا كدرا وطينا
إذا
ما الملك سام الناس خسفا ¤ أبينا أن نقر الذل فينا
لنا
الدنيا ومن أمسى عليها ¤ ونبطش حين نبطش قادرينا
بغاة
ظالمين وما ظلمنا ¤ ولكنا سنبدأ ظالمينا
ملأنا
البرّ حتى ضاق عنا ¤ ونحن البحر نملؤه سفينا
إذا
بلغ الرضيع لنا فطاما ¤ تخر له الجبابر ساجدينا
"Kabilah-kabilah telah
mengetahui siapa yang berbahagia, jika berkemah di dataran luas kami pun
membangun perkemahan"
"Bahwa kami adalah orang-orang
yang bisa makan, bila kami mampu mendapatkan makanan"
"Dan kami adalah orang-orang
yang porak-poranda, bila kami tak henti dihantam bencana"
"Kami adalah orang-orang yang
mampu menahan diri, tidak sembarangan menggapai apa yang kami kehendaki, dan
kami adalah orang-orang yang tinggal dimana kami suka,
"Dan kami adalah orang-orang
yang meninggalkan sesuatu bila kami tidak suka, dan kami adalah orang-orang
yang mengambil bila kami memang suka"
"Kami minum bila menemukan
sumber air yang jernih, sedangkan selain kami mau minum dari air yang keruh
bercampur tanah"
"Jika seorang raja mengungguli
manusia dengan perbuatan rendah, maka kami akan menolak dan tidak membiarkan
diri kami berbuat rendah"
"Kami memiliki dunia dengan
semua orang yang berada di atasnya, kami berkuasa ketika kami mampu
menguasai"
"Orang-orang dzalim berbuat
kejam dan kami tidak mau mendzalimi, tetapi kami akan mulai melawan orang-orang
yang mendzalimi kami"
"Kami telah memenuhi daratan
sehingga kami merasa sesak terjepit, dan kami memenuhi lautan dengan
perahu-perahu kami"
"Bila bayi di kalangan kami
mencapi usia dipisah dari menyusuinya, orang-orang perkasa pilihan pada
tersungkur bersujud padanya"
Amru bin Kultsum berkata mengancam
Amru bin Hujr al-Ghassani:
ألا
فاعلم (أبيت اللعن) أنا ¤ على عمد سنأتى ما نريد
تعلم
أن محملنا ثقيل ¤ وأن ذياد كبتنا شديد
وأنا
ليس حتى من معد ¤ يوازننا إذا لبس الحديد
"Ingatlah dan ketahuilah (kau
tak akan mau melakukan sesuatu perbuatan yang membuat kau dikutuk orang) dan
sesungguhnya kami, kapan pun kami mau akan sengaja datang"
"Kau tahu bahwa pelana kami
sangatlah berat, dan serangan pasukan kami sangatlah kuat"
"Dan bahwasanya kami tidak
hidup dari persiapan yang kami pertimbangkan bila baju besi dikenakan"
بأيّ
مشيئة عمرو بن هند ¤ نكون لقيل لقيلكم فيها قطينا
بأيّ
مشيئة عمرو بن هند ¤ تطيع بنا الوشاة وتزدرينا
"Wahai Amr bin Hindin, mana
mungkin kami mau menjadi pelayan para pembantumu"
"Wahai Amr bin Hindin, mana
mungkin kami mau taat kepada orang-orang hina, dan engkau sendiri telah
mengetahui siapa kami"
Puisi di atas diucapkan oleh Amr bin
Kultsum kepada Amr bin Hindin, seorang raja yang zalim dan sombong. Ia menghina
ibu amr bin Kultsum dengan menjadikan ibunya sebagai pelayan ibu Amr bin
Hindin, sehingga Amr bin Kultsum marah dan membunuhnya dengan sebilah pedang.
Dalam puisinya di bawah ini[2]:
إذا
بلغ الفطام لنا صبيّ ¤ تخرّ له الجبابر ساجدينا
"Apabila anak kita sudah sampai
waktu penyapihan (berhenti menyusu), maka orang-orang besar dan sombong akan
tunduk sujud kepadanya"
ANTARAH BIN SYADDAD AL-ABSI
Nasab Keluarga Dan Kabilah
Penyair ini dilahirkan dari ayah
seorang bangsawan Absi dan ibu dari kalangan budak Habsyi. Ia mewarisi kulit
hitam dari ibunya, sehingga orang mengira ia bukan berdarah Arab, bibirnya
terbelah (memble) seperti ibunya, sehingga orang sering memanggilnya dengan julukan
Antarah al-Falha'u yaitu "Antarah si bibir memble". Dalam
adat-istiadat Jahiliyyah, anak yang terlahir dari ibu seorang budak, tidak akan
mendapatkan pengakuan dari sang ayah, kecuali dia dapat memiliki sifat mulia
berupa kedermawanan dan keberanian. Oleh karena itu, ayah penyair ini tidak mau
mengakuinya sebagai anak kandung, bahkan menganggapnya sebagai seorang budak
yang dapat disuruh untuk mengembala ternak. Perlakuan ayahnya itu, telah
membuat hati penyair ini sangat tertekan. Bahkan pamannya sendiri telah ikut
menghalangi puteri yang bernama Ablah untuk bercinta dengannya, sebab pamannya
menganggap bahwa tidaklah pantas mengawinkan puterinya dengan seorang anak
budak.
Tekanan-tekanan psikologis itu telah
membuatnya keras terhadap semua orang, bahkan terhadap ayahnya sendiri.
Kebenciaannya terhadap sang ayah, terlihat ketika ayahnya memerintahkannya
untuk berperang melawan musuh yang datang menyerbu, mendengar ajakan ayahnya
itu, ia berkata[1]:
"Sesungguhnya seorang budak
tidaklah layak untuk berperang, tetapi hanya layak untuk menjaga ternah dan
memerah susu saja".
Ucapan Antarah tersebut dirasakan
oleh ayahnya sebagai penderitaan batin seorang anak, maka setelah mendengar
ucapannya itu, akhirnya sang ayah mengakuinya sebagai anak, dengan berkata:
"Berperanglah kamu, karena sesungguhnya kamu adalah seorang yang merdeka
(bukan lagi seorang budak)". Dan sejak saat itu nama nasab orang tuanya
selalu diikutkan dengan nama asli penyair ini. Dan sejak itu pula nama penyair
ini selalu disebut orang dalam segala macam pertempuran.
Keberanian Antarah mengilhami
keberanian orang Arab dalam berperang di dalam maupun di luar jazirah Arab,
seperti ketika melawan Romawi, Ethopia, Iran, Perancis, Afrika Utara, dan
Andalus melawan tentara Salib. Bahkan dengan namanya yang agak terdengar
angker, penyair ini lebih dikenal sebagai seorang pahlawan yang amat ditakuti
oleh lawan-lawannya. Sehingga pribadi penyair ini, kelak pada masa Daulat
Fatimiyyah, sering diagungkan dengan penulisan kisah kepahlawanan yang
dinisbatkan kepada pribadi penyair ini.
Puisi-Puisinya
Pada mulanya penyair ini tidak
terkenal sebagai penayir ulung, tetapi untungnya sejak muda penyair ini telah
menyimpan bakat untuk berpuisi. Dan bakat inilah yang mendorong untuk
meningkatkan prestasinya dalam berpuisi. Kebanyakan puisinya dikumpulkan dalam
mu'allaqadnya yang sangat panjang.
Adapun penyebab yang mendorongnya
untuk mencipatakan mu'allaqadnya adalah bahwa pada suatu hari penyair ini
diejek orang di majelis ayahnya setelah diakuinya sebagai anak oleh ayahnya, di
mana ia diejek dari keturunan ibunya yang merupakan seorang budak, sehingga
membuatnya marah dan berkata:
"إنى
لاحضر البأس واوفى المغنم واعفّ عند المسئلة واجود بما ملكت يدى وأفصّل الخطة
والصّماء, قال له الرجل : "أنا أشعر منك" قال: "ستعلم
ذلك"
"Aku adalah seorang yang gemar
menghadiri pertempuran, aku adalah orang yang paling adil, dan aku tidak pernah
meminta dan aku selalu dermawan dengan yang kumiliki dan aku adalah pembuka
jalan buntu. Orang yang menejeknya berkata: "Aku lebih fasih dalam
berpuisi daripada kamu". Lalu Antarah berkata: "Akan kamu lihat kelak
kefasihanku!"
Sejak saat itu, Antarah mulai merangkum
kasidah mu'allaqadnya yang mengisahkan percintaan dengan kekasihnya yang
bernama Ablah. Selain itu, ia juga mengisahkan tentang keberanian dan keagungan
dirinya dalam medan pertempuran.
Para ahli sastra Arab menggolongkan
puisi Antarah ke dalam kelas tertinggi dalam menggambarkan dan mensifati segala
kejadian yang dialaminya. Dalam salah sati bait puisinya, penyair ini
menerangkan kepada kekasihnya bahwa ia adalah seorang yang baik bila ia tidak
diganggu dan dirampas miliknya. Akan tetapi, jika ia diganggu, maka ia akan
membalas perbuatan orang itu dengan kekerasan yang dapat dijadikan pelajaran
selama hidup orang yang menggangunya. Seperti contoh di bawah ini[2]:
اثنى
عليّ بما علمت فإننى ¤ سمح مخالفتى اذا لم اظلم
واذا
أظلمت فإنى ظلمى باسل ¤ مرّ مذاقته كطعم العلقم
"Pujilah aku (wahai kekasihku) dari
apa yang kamu ketahui dari kelakuan baikku. Sesungguhnya aku adalah seorang
yang lemah lembut bila tidak dizalimi oleh siapa pun"
"Namun, jika aku dizalimi oleh
seseorang, maka aku akan membalasnya dengan balasan yang lebih keras dari
kezalimannya"
Selain itu penyair ini mempunyai
sifat dermawan kepada siapa pun, karena sifat inilah yang paling disukai oleh
bangsa Arab dan selalu dibanggakan. Dalam hal ini penyair ini menyebutkan bahwa
dirinya adalah seorang yang sangat dermawan dan suka menolong orang lain
walaupun itu dalam keadaan yang tidak sadar, seperti dalam keadaan mabuk, yang
mana biasanya dalam keadaan seperti itu tidak mungkin seorang akan berlaku baik
ataupun berderma. Namun, penyair ini masih tetap bisa melakukan kebaikan dan
berderma walaupun dalam keadaan mabuk, hal itu dapat dilihat dari bait puisinya
di bawah ini[3]:
فإذا
شربت فإننى مستهلك ¤ مالى وعرضى وافر لم يكلم
وإذا
صحوت فما أقصّر عن ندى ¤ وكما علمت شمائلى وتكرّمى
"Jika aku sedang minum arak, maka aku
akan menghabiskan seluruh hartaku untuk menjamu kawan-kawanku, dan hal itu
tidak akan merusak kehormatanku"
"Dan jika aku telah sadar dari
mabukku, maka aku akan menghamburkan hartaku untuk berderma, sebagaimana telah
kamu ketahui akan budi perkerti baikku ini (berbanggalah wahai kekasihku dengan
segala budi pekertiku seperti ini)"
Antarah selain terkenal sebagai
penyair ulung, juga terkenal sebagai seorang pahlawan yang gagah berani di
medan peperangan. Gambaran akan kegagahannya dalam berperang dapat dilihat
dalam bait puisi di bawah ini[4]:
هلاّ
سألت الخيل ياابنة ملك ¤ إن كنت جاهلة بما لم تعلمى
إذ
لا أزال على رحالة سابح ¤ نهد تعاوره الكماة مكلّم
طورا
يجرّد للطّعان وتارة ¤ يأوى إلى حصد القسىّ عرمرم
يخبرك
من شهد الوقيعة أنّنى ¤ اغشى الوغى واعفّ عند المغنم
ومدجّج
كره الكماة نزاله ¤ لا ممعن هربا ولا مستسلم
جادت
له كفّى بعاجل طعنة ¤ بمثقّف صدق الكعوب مقوّم
فشككت
بالرّمح الأصمّ ثيابه ¤ ليس الكريم على القنا بمحرّم
فتركته
جزر السّباع ينشنه ¤ يقضمن حسن بنائه والمعصم
"Wahai puteri Malik, tidakkah engkau
tanyakan kepada ksatria itu tentang diriku di medan peperangan, jika
engkau tidak tahu?"
"Tidakkah engkau tanyakan
kepada ksatria itu tentang diriku ketika aku sedang berada di atas kuda yang
dilukai oleh musuh?"
"Ada kalanya aku bawa kuda itu
untuk menyerang musuh, namun adakalanya aku membawa kudaku untuk bergabung
dengan pasukan yang banyak"
"Jika kamu bertanya tentang
diriku pada orang yang hadir dalam peperangan itu, maka mereka akan
memberitahukan kepadamu bahwa aku adalah orang yang selalu maju (berada di
depan) dalam setiap peperangan dan aku orang yang tidak tamak dalam pembagian
rampasan perang"
"Adakalanya ada ksatria yang
berani dan sangat ditakuti oleh musuhnya dan tidak mau menyerah"
"Namun tanganku buru-buru
menerkamnya dengan tusukan tombak yang kuat"
"Dan ketika ksatria itu aku
tusuk dengan tombak yang keras, yang dapat menembus baju jirahnya. Dan orang
bangsawan pun tidak mustahil untuk terbunuh"
"Setelah ksatria itu terbunuh,
maka aku tinggalkan begitu saja agar menjadi santapan binatang buas yang akan
menghancurkan jari tangan dan lengannya yang bagus itu"
Sebenarnya kita masih dapat
mengikuti puisinya yang menerangkan keagungan pribadi penyair ini, untuk itu
dapat kita lihat dalam kasidah al-Mu'allaqat-nya yang panjang.
ZUHAIR BIN ABI SULMA
Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama lengkapnya adalah Zuhair bin Abi Sulma bin Rabi'ah bin
Rayyah al-Muzani. Ayahnya bernama Rabi'ah yang berasal dari kabilah Muzainah.
Pada zaman Jahiliyyah kabilah ini hidup berdekatan dengan kabilah bani Abdullah
Ghatafaniyyah yang menghuni di daerah Hajir, Nejed, sebelah timur kota Madinah.
Kabilah ini juga bertetangga dengan kabilah Bani Murrah bin Auf bin Saad bin
Zubyan. Ia adalah salah seorang dari tiga serangkai dari penyair Jahiliyyah
setelah Umru al-Qais dan An-Nabighah az-Zibyani. Penyair ini amat terkenal
karena kesopanan kata-kata puisinya. Pemikirannya banyak mengandung hikmah dan
nasehat. Sehingga banyak orang yang menjadikan puisi-puisinya itu sebagai
contoh hikmah dan nasehat yang bijaksana.
Rabi'ah bersama isteri dan anak-anaknya tinggal dalam
lingkungan kabilah Bani Murrah (kabilah Zubyan) dan kabilah Bani Abdullah
Ghatafaniyyah. Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Aus bin
Hujr, seorang penyair terkenal dari Bani Tamim. Sementara Zuhair dan
saudara-saudaranya, Sulma dan al-Khansa`, diasuh oleh Basyamah bin al-Ghadir,
paman mereka yang juga seorang penyair. Dengan demikian Zuhair adalah keturunan
kabilah Muzainah yang dibesarkan di tengah-tengah kabilah Bani Ghatafaniyyah.
Dibesarkan Dalam Lingkungan Penyair
Zuhair dibesarkan dalam keluarga penyair dan sejak kecil ia
belajar puisi dari pamannya sendiri yang bernama Basyamah bin al-Ghadir dan Aus
bin Hujur. Basyamah termasuk tokoh Arab Jahiliyyah yang terhormat, kaya-raya,
dan sangat dihormati oleh kaumnya. Di samping sebagai penyair, Basyamah juga
seorang yang cerdas dan memiliki pendirian yang lurus, dia menjadi tempat
bertanya kaumnya dalam menghadapi berbagai persoalan. Ketika ia meninggal
dunia, seluruh hartanya diwariskan kepada keluarganya termasuk kepada Zuhair.
Disamping mendapatkan harta warisan, Zuhair juga mendapatkan warisan kemampuan
berpuisi dan kemuliaan akhlak yang diajarkan Basyamah.
Zuhair bin Abi Sulma, tumbuh dan besar dalam lingkungan
keluarga penyair. Rabi'ah ayahnya, Aus bin Hujr ayah tirinya, dan Basyamah
pamannya, mereka ada para penyair, dan saudaranya Sulma dan al-Khansa`, mereka
berdua juga penyair. Oleh karena itulah ia sudah terkenal pandai berpuisi sejak
kecil. Selain terkenal akan bakat puisi yang dimilikinya sejak kecil, ia juga
disenangi oleh seluruh kaumnya akan budi pekertinya yang luhur, sehingga setiap
pendapat yang dikeluarkannya selalu diterima baik oleh kaumnya.
Zuhair menikah dengan dua orang wanita, pertama dengan Ummu
Aufa, yang banyak disebut-sebut dalam puisinya, termasuk dalam mu'allaqat-nya.
Kehidupan rumah tangganya bersama Ummu Aufa kurang bahagia, dan itu terjadi
setelah Ummu Aufa melahirkan anak-anaknya yang kesemuanya meninggal dunia, lalu
ia pun menceraikannya. Setelah itu ia menikah lagi dengan Kabsyah binti ‘Amr
al-Ghatafaniyyah, dan dari isteri keduanya ini lahirlah putera-puteranya, yaitu
Ka'ab, Bujair, dan Salim. Salim meninggal dunia ketika Zuhair masih hidup,
sehingga banyak dari puisinya yang menggambarkan ratapannya terhadap kematian
anaknya itu. Sedangkan Ka'ab dan Bujair, keduanya hidup sampai datangnya masa
Islam, dan mereka berdua masuk Islam dan juga menjadi penyair yang terkenal.
Hidup Dalam Situasi Peperangan
Zuhair hidup dalam masa terjadinya peperangan yang
berlarut-larut selama 40 tahun antara kabilah Abbas dan Bani Dzubyan, yang
terkenal dengan peperangan Dahis dan Gabra'. Dalam peristiwa perang ini, ia pun
turut ambil bagian dalam usaha mendamaikan dua suku yang sedang berperang
tersebut. Dalam usaha perdamaian itu, ia mengajurkan kepada para pemuka bangsa
Arab untuk mengumpulkan dana guna membeli tiga ribu ekor unta untuk membayar
tebusan yang dituntut oleh salah satu dari kedua suku yang sedang berperang
itu. adapun yang sanggup menanggung keuangan itu adalah dua orang pemuka bangsa
Arab yang bernama Haram bin Sinan dan Harits bin Auf. Sehingga berkat usaha
kedua orang ini, peperangan yang telah terjadi selama 40 tahun dapat
dihentikan. Untuk mengingat kejadian yang amat penting itu, Zuhair mengabadikan
dalam salah satu puisi muallaqat-nya, seperti di bawah ini[1]:
فاقسمت
بالبيت الذى طاف حوله ¤ رجال بنوه من قريش وجرهم
يمينا
لنعم السيّـــدان وجـدتما ¤ على كل حال من سحيل ومبرم
تداركتما
عبسا وذبيان بعدمــا ¤ تفانوا ودقوا بينهم عطر منشم
وقد
قلتما إن ندرك السلم واسعا ¤ بمال ومعروف من القول نسلم
فاصبحتما
منها على خير موطن ¤ بعيدين فيها من عقوق ومأثـم
عظيمين
فى عليا معدّ هديتمـا ¤ ومن يستبح كنـزا من المجد يعظم
"Aku
bersumpah dengan Ka'bah yang ditawafi oleh anak cucu Quraisy dan Jurhum".
Aku bersumpah, bahwa kedua orang (yang telah menginfakkan
uangnya untuk perdamaian itu) adalah benar-benar pemuka yang mulia, baik bagi
orang yang lemah, maupun bagi orang yang perkasa".
"Sesungguhnya mereka berdua telah dapat kesempatan
untuk menghentikan pertumpahan darah antara bani Absin dan Dhubyan, setelah
saling berperang diantara mereka".
"Sesungguhnya mereka bedua telah berkata: "Jika
mungkin perdamaian itu dapat diperoleh dengan uang banyak dan perkataan yang
baik, maka kami pun juga bersedia untuk berdamai".
"Sehingga dalam hal ini kamu berdua adalah termasuk
orang yang paling mulia, yang dapat menjauhkan kedua suku itu dari permusuhan
dan kemusnahan".
"Kamu berdua telah berhasil mendapatkan perdamaian,
walaupun kamu berdua dari kelurga yang mulia, semoga kalian berdua mendapatkan
hidayah, dan barang siapa yang mengorbankan kehormatannya pasti dia akan
mulia"
Kemunculan Zuhair Sebagai Penyair
Kemunculan Zuhair sebagai penyair tidak lepas dari pengaruh
guru-guru utamanya, yaitu Rabi'ah ayahnya, Aus ibn Hujr ayah tirinya, dan
Bisyamah pamannya. Dari ketiga penyair itulah Zuhair didikkan dalam
menciptakan puisi. Dia juga meriwayatkan puisi-puisi dari ketiga penyair
tersebut. Sebagai seorang yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga penyair,
Zuhair pun kemudian mendedikasikan hidupnya untuk puisi. Dia menciptakan puisi
dan mengajarkan penciptaan puisi kepada orang lain, terutama kepada kedua
putranya Ka'ab dan Bujair. Di antara penyair yang kemudian muncul dari hasil
didikkannya, selain kedua putranya adalah al-Khutaiyyah (Syauqi Dlaif,
1960:303).
Kalangan para perawi puisi menyatakan bahwa Zuhair lambat
dalam menciptakan puisi. Hal itu dikarenakan dalam menciptakan puisi dia
menempuh langkah-langkah: penggagasan, pngolahan, dan penyeleksian
(penyuntingan), sebelum kemudia puisi tersebut dipublikasikan (dibacakan
dihadapan khalayak ramai). Oleh karena itulah kepadanya disandarkan kisah
proses penciptaan puisi hauliyaat[2]. Hal itu dapat dilihat pula Ka'ab
dan Al-khutaiyyah yang mengikuti alirannya (Taha Husein, 1936: 284).
Keistimewaan karyanya terletak pada kekuatan bahasa dan
susunan kata-katanya, banyak terdapat kata-kata asing (sulit) dalam puisinya,
dia berupaya untuk mencari hakekat makna asli untuk mengeluarkannya pada konkrisitas
materi yang sebenarnya. Dengan kekuatan akal dan wawasannya dalam
penggambaran-penggambaran dan imajinasinya. Pada umumnya, apa yang
diungkapkannya tidaklah jauh dari hakekat realitas yang konkret. Zuhair juga
termasuk penyair masa Jahiliyyah yang terkenal dalam pengungkapan kata-kata
hikmah dan pribahasa. Dalam kehidupannya ia terkenal dengan konsistensi dan
kecerdasannya. Pendapatnya sesuai dengan kehidupannya. Posisi kesusastraannya,
menurut kebanyakan para kritikus sastra Arab, dibangun atas hikmah dan
kata-kata bijak yang dikenal pada masanya (Karum al-Bustani, 1953:6).
Kepercayaan Hanief
Pada umumnya, masyarakat Arab masa Jahiliyyah adalah
penganut kepercayaan berhala. Meskipun demikian, Zuhair bin Abi Sulma termasuk
penyair Arab Jahiliyyah yang percaya akan adanya hari Kiamat, adanya Hisab
(perhitungan amal perbuatan), dan adanya siksaan serta balasan. Penyair ini
memang tidak sempat merasakan masa ketika diutusannya Nabi Muhammad Saw. Akan
tetapi, penyair ini sudah percaya akan datangnya hari Kiamat dan hari
pembalasan. Seperti terlihat pada bait puisinya dibawah ini[3]:
فلا
تكتمنّ الله ما فى نفوسكم ¤ ليخفى ومهما يكتم الله يعلم
يؤخر
فيوضع فى كتاب فيدخر ¤ ليوم الحساب أو يعجل فينقم
"Janganlah
sekali-kali kalian menyembunyikan kepada Allah (penghianatan dan pelanggaran
atas sumpah kalian) dalam hati kalian dengan tujuan untuk menyembunyikannya,
tetapi ingatlah!! Walau kalaian sembunyikan, Allah maha mengetahui".
"Ditangguhkan, lalu dicatat dalam buku amal dan
disimpan untuk kemudian diungkapkan di hari perhitungan, atau disegerakan
pembalasannya dalam kehidupan dunia ini".
Jika benar bait-bait puisi di atas dinisbatkan kepada Zuhair
bin Abi Sulma, maka hal itu dapat dijadikan petunjuk bahwa dia termasuk salah
seoorang penyair masa Jahiliyyah yang mempunyai kepercayaan yang hanief
(lurus), dan kepercayaan keberhalaannya diragukan. Bahkan ada yang berpendapat
bahwa dia termasuk golongan orang-orang yang mengharamkan khamr (arak atau
minuman keras), mabuk, dan mengundi nasib dengan panah (Syauqi Dhoif,
1960:303). Zuhair berumur panjang dan meninggal sekitar setahun sebelum Nabi
Muhammad Saw diangkat menjadi Rasul.
Puisi-Puisinya
Kumpulan puisi Zuhair telah diterbitkan bersama
kumpulan-kumpulan puisi dari lima penyair terkenal lainnya, yaitu Umru al-Qais,
an-Nabighah, Tharafah, Antarah, dan al-Qamah. Kumpulan puisi yang lain diterbitkan
pada tahun 1889 dalam bentuk serial yang berjudul "Tharafa
Arabiyyah", kemudian dicetak ulang di Mesir dan di kota-kota lain yang
diusahakan oleh Musthafa Saqa.
Ada dua sumber mengenai kumpulan puisi Zuhair, Pertama,
berasal dari ulama Basrah yang mengatakan bahwa ada 18 kasidah, sebagaimana ada
komentar yang berbunyi: "Mencakup semua kasidah Zuhair yang sampai pada
kita atas dasar riwayat yang ada". Adapun sumber kedua, berasal dari ulama
Kufah yang mengatakan bahwa ada tambahan sepuluh kasidah, tetapi bahwa tambahan
itu adalah ulah tangan orang lain.
Para ahli sastra Arab berpendapat bahwa puisi Zuhair bin Abi
Sulma termasuk ke dalam katagori yang tinggi, dan hampir dapat disamakan dengan
puisi Umru al-Qais dan An-Nabighah az-Zibyani. Dalam hal itu mereka beralasan
bahwa Zuhair memiliki keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut:
1. Ijaz-nya bagus dan suka
membuang tambahan pembicaraan serta kata-kata yang kurang dipelukan, sehingga
ia menciptakan sedikit kata banyak makna, seperti dalam kata-katanya di bawah
ini:
فما
يك من خير أتوه فإنما ¤ توارثه آباء آبائهم قبل
"Tak
ada kebaikan yang mereka persembahkan. Sesungguhnya kebaikan yang mereka miliki
hanyalah warisan dari nenek moyang mereka sebelumnya"
2. Madah-nya bagus dan
menjauhi kedustaan di dalamnya. Dia tidak memuji seseorang melainkan karena
akhlaknya dan sifat-sifat terpuji yang diketahuinya, seperti dalam kata-katanya
di bawah ini:
على
مكثريهم رزق من يعتريهم ¤ وعند المقلين السماحة والبذل
"Terhadap
mereka yang banyak hartanya ia sediakan pemberian untuk orang-orang yang
meminjam dari mereka. Pada orang yang berkurangan, ia sangat bertoleran dan
memberi bantuan"
3. Kata-katanya jauh dari
ta'qid (komplikasi) kata dan makna, serta jauh dari pembicaraan yang tidak
perlu dan asing (sulit dicari maknanya), seperti dalam kata-katanya di bawah
ini:
ولو
أن حمدا يخلد الناس أخلدوا ¤ ولكن حمد الناس ليس بمخلد
"Jika
pujian dapat membuat seseorang menjadi abadi, mereka pun pasti akan abadi.
Tetapi, pujian orang-orang tidak akan bisa membuatnya abadi"
4. Puisinya sedikit sekali
mengandung kata-kata yang buruk. Oleh karena itu, puisi-puisinya bersih dan
sedikit sekali adanya cercaan di dalamnya. Pernah suatu kali, ia mencerca suatu
kaum, namun ia sedih dan menyesali apa yang telah diperbuatnya.
5. Banyak mengungkapkan amtsal
(pribahasa) dan kata-kata hikmah, sehingga penyair ini dianggap sebagai orang
yang pertama dalam menciptakan kata-kata hikmah dalam puisi Arab, yang kelak
akan diikuti oleh penyair lainnya, seperti Shalih bin Abdul Kudus, Abu
al-Atahiyah, Abu Tamam, al-Mutanabby, dan Abu al-Ala' al-Ma'ary dari kalangan
Arab peranakan (al-Muwalidin). Di antara kata-katanya yang berisikan amtsal dan
kata hikmah seperti terdapat di bawah ini:
وأعلم
ما فى اليوم والأمس قبله ¤ ولكنى عن علم ما فى غد عم
ومن
يجعل المعروف من دون عرضه ¤ يفره ومن لا يتق الشتم يشتم
ومن
يك ذا فضل فيـبخل بفضله ¤ على قومه يستغن عنه ويذمم
ومن
يوف لايذمم ومن يهد قلبه ¤ إلى مطمئن البر لا يتجمجم
رأيت
المنايا خبط عشواء من تصب ¤ تمته ومن تخطئ يعمّر فيهرم
ومن
هاب اسباب المنايا ينلنه ¤ وإن يرق اسباب السماء بسلّم
ومن
يجعل المعروف فى غير أهله ¤ يكن حمده ذماّ عليه ويندم
"Aku
dapat mengetahui segala yang terjadi pada hari ini dan kemarin, tetapi aku
tetap tidak akan tahu apa yang akan terjadi esok hari"
"Barang siapa berbuat kebaikan dari kedalaman harga
dirinya, ia akan terpelihara, dan barang siapa yang tidak melindungi diri dari
cercaan, ia akan
dicerca"
"Barang siapa memiliki kelebihan harta, lalu ia
bakhil (pelit) dengan hartanya itu terhadap kaumnya, maka ia tidak akan berguna
dan akan dicerca"
"Barang siapa memenuhi kewajibannya, ia tidak akan
dicerca, barang siapa hatinya mendapat petunjuk menuju ketentraman dalam
berbuat kebaikan, maka ia tidak akan terguncang oleh ketegangan"
"Aku lihat maut itu datang tanpa permisi terlebih
dahulu, barang siapa yang didatangi pasti akan mati, dan barang siapa yang
luput dia akan mengalami lanjut usia".
"Barang siapa yang takut mati, pasti ia akan bertemu
juga dengan kematian itu, walaupun ia naik ke langit dengan tangga"
"Barang siapa yang menolong orang yang tidak berhak
untuk ditolong, maka ia akan menerima resikonya dan akan menjadikan penyesalan
baginya".
AN-NABIGHAH ADZ-DZIBYANI
Nasab Keluarga Dan Kabilahnya
Penyair ini memiliki nama asli An-Nabighah Az-Zibyani Abu
Umamah Ziyad bin Muawiyah. Namun, ia lebih terkenal dengan panggilan
an-Nabighah, yang berarti seorang yang pandai berpuisi, karena memang sejak
muda ia pandai berpuisi. An-Nabighah merupakan salah seorang tokoh penyair
terkemuka Arab Jahiliyyah dan juga menjabat sebagai dewan hakim dalam perlombaan
puisi yang diadakan di pasar Ukadz.
Penyair ini selalu berusaha mendekatkan dirinya kepada para
pembesar dan menjadikan puisinya sebagai alat yang paling ampuh untuk
mendapatkan kedudukan dan kekayaan. Oleh karena itulah ia kerapkali dihasut
oleh lawannya.
An-Nabighah termasuk salah seorang pemimpin para bangsawan
kabilah Dzubyan, hanya saja karena usahanya mendapatkan harta melalui puisi,
mengurangi kemuliaannya. Hampir seluruh umurnya, ia habiskan di kalangan
keluarga raja Hira, sehingga raja Hira yang bernama Nu'man bin Mundzir sangat
cinta kepadanya, sehingga dalam suatu riwayat dikatakan bahwa penyair ini di
kalangan raja Hira selalu memakai bejana dari emas dan perak, dan hal itu
menunjukkan kedudukannya yang tinggi di sisi raja Hira. Hal itu berlangsung
cukup lama, sampai salah seorang saingannya memfitnahnya dan menghasut Nu'man,
sehingga ia marah dan merencanakan untuk membunuh An-Nabighah. Salah seorang
pengawal Nu'man secara diam-diam menyampaikan berita tersebut, sehingga
An-Nabighah pun segera melarikan diri dan meminta perlindungan kepada raja-raja
Ghossan yang menjadi saingan raja-raja Manadzirah dalam memperebutkan
penguasaan atas bangsa Arab.
Namun, karena lamanya persahabatan yang ia jalin dengan
Nu'man bin Mundzir, An-Nabighah berusaha untuk membersikan diri atas fitnah
yang ditujukan kepadanya dan meminta maaf kepadanya dengan puisi-puisinya untuk
melenyapkan kebencian Nu'man dan meluluhkan hatinya, serta menempatkan kembali
posisinya semula di sisi raja Nu'man bin Mundzir. Hal tersebut dapat dilihat
dalam puisi i'tidzariyat (permohonan maaf)-nya di bawah ini:
فإنك
شمس والملوك كواكب ¤ إذا طلعت لو يبد منهنّ كوكب
"Sesungguhnya
engkau bagaikan malam yang kujelang meski aku didera kehampaan, tapi tempat
berharap maaf darimu sungguh luas membentang"
An-Nabighah berusia panjang dan meninggal menjelang keutusan
Nabi Muhammad Saw.
Kedudukan Puisinya
Sebagian besar ahli sastra Arab mendudukan puisi an-Nabighah
pada deretan ketiga sesudah sesudah Umru al-Qais dan Zuhair bin Abi Sulma.
Hanya saja penilaian ini sangat relatif sekali, karena setiap orang pasti
mempunyai penilaian masing-masing. Walaupun demikian karya puisi merupakan
puisi yang sangat tinggi nilainya. Karena pribadi penyair ini sangat berbakat
dalam berpuisi. Oleh sebab itu, tidak heran bila penyair ini diangkat sebagai
dewan juri dalam setiap perlombaan berdeklamasi dan berpuisi tiap tahun di
pasar Ukadz.
Dalam perlombaan deklamasi dan berpuisi itu, para penyair
berdatangan dari segala penjuru tanah Arab semuanya berkumpul di pasar Ukadz,
Daumat al-Jandal, dan Dzil Majanah. Dalam kesempatan ini, mereka mendirikan
panggung untuk dewan juri, dan salah seorang dari dewan juri itu adalah
an-Nabighah sendiri, karena dia dikenal sebagai seorang yang mahir dalam
menilai puisi. Dan apabila ada puisi yang dinilai baik, maka puisi itu akan
ditulis dalam lembaran khusus dengan menggunakan tinta emas, kemudian
digantungkan pada dinding Ka'bah sebagai penghormatan bagi penyairnya.
Keistimewaan puisi an-Nabighah bila dibandingkan dengan
puisi Umru al-Qais dan Zuhair bin Abi Sulma, maka puisi an-Nabighah lebih indah
dan kata-katanya lebih mantap, bahasanya sederhana sehingga mudah dimengerti
oleh semua orang. Dan para penyair lain pun tidak jarang yang meniru gaya
an-Nabighah dalam berpuisi, sehingga orang yang suka akan kelembutannya
puisinya, seperti Jarir, menganggap bahwa ia merupakan penyair Jahiliyyah yang
paling piawai. Ketergiurannya untuk mencari penghidupan dengan puisi, justru
membuka teknik baru dalam jenis puisi madah (pujian) serta melakukan perluasan
dan pendalaman dalam jenis puisi itu, sehingga dia mampu memuji sesuatu yang
kontradiktif.
Kepiawaiannya itu terlihat ketika pada suatu hari ia hendak
memuji raja Nu'man bin Mundzir yaitu seorang raja yang paling disukainya. Waktu
itu ia melihat matahari yang sedang terbit dengan terang. Oleh karena itu raja
Nu'man diumpamakan dalam puisinya sebagai matahari yang terbit, dimana matahari
bila sedang terbit, maka sinarnya itu akan mengalahkan sinar bintang di malam
hari. Untuk itu penyair itu berkata seperti di bawah ini[1]:
فإنك
شمس والملوك كواكب ¤ إذا طلعت لو يبد منهنّ كوكب
"Sesungguhnya
kamu adalah matahari dan raja-raja selainmu adalah bintang-bintangnya, yang
mana bila matahari terbit, maka bintang-bintang itupun akan hilang dari
penglihatan".
Selain dari bait puisi di atas, masih banyak lagi dari
kumpulan puisinya yang diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh
Monsiur Dierenburg pada tahun 1868, karena puisinya banyak digemari orang.
Puisi-Puisinya
An-Nabighah mempunyai diwan (antologi) puisi yang dikomentari
oleh Batholius (Ibnu Sayyid al-Batholius) yang telah berulang-ulang dicetak,
meskipun antologi puisinya itu tidak menghimpun seluruh puisinya. Di antara
puisinya yang paling indah adalah yang terdapat di dalam mu'allaqat-nya yang
bait-bait pertamanya berbunyi:
عوجوا
فحيوا لنعم دمنة الدار ¤ ماذا تحيون لوى وأحجار
أقوى
وأقفز من نعم وغيره ¤ هوج الرياح بهلبى الترب موار
وقفت
فيها سراة اليوم أسألها ¤ عن آل نعم أمونا عبر أسفار
فاستعجمت
دار نعم ما تكلمنا ¤ والدار لو كلمنا ذات أخبار
"Berhentilah
kalian untuk menyapa, menyalami, sungguh indah reruntuhan perkampungan, apa
yang kalian salami adalah timbunan tanah dan bebatuan"
"Tanah
lenggang, sepi dari binatang liar, dan telah diubah oleh hembusan badai serta
hujan yang datang dan pergi"
"Aku berdiri di atasnya, ditengah reruntuhan dan
bertanya kepadanya tentang serombongan unta yang biasa lewat di sana"
"Reruntuhan rumah yang indah , demikian asing, membisu
tak mau berbicara pada kami, dan reruntuhan rumah itu, andai ia mau berbicara
pada kami, pasti ia punya banyak cerita"
Di antara kata-katanya yang paling bagus dalam puisi i'tidzar-nya
seperti yang terdapat di bawah ini:
أتانى
(أبيت اللعن) أنك لمتنى ¤ وتلك التى أهتم منها وأنصب
فبت
كأن العائدات فرشن لى ¤ هواسا به فراشى ويقشب
حلفت
فلم أترك لنفسك ريبة ¤ وليس وراء الله للمرء مذهب
لئن
كنت قد بلغت عنى جناية ¤ لمبلغك الواشى أغشى وأكذب
ولكننى
كنت امرءا لى جانب ¤ من الأرض فيه مستراد ومهرب
"Telah
sampai berita padaku tentang abaital la'ni bahwa engkau mencercaku, itulah yang
membuat penting dan aku menjadi sangat lelah" "semalaman, seakan para
pembesuk menjengukku, menebar duri-duri tajam di atas tempat tidur dan
menusuk-nusukku"
"Aku
bersumpah tidak akan meninggalkan keraguan pada dirimu. Setelah Allah, bagi
seseorang tidak ada lagi tempat kembali"
"Jika berita mengenai dosa yang aku lakukan telah
sampai padamu, yang menyampaikan berita padamu itu, sungguh penjilat yang
paling jahat dan paling dusta"
"Tetapi aku adalah orang yang memiliki tempat yang lain
di bumi, di mana aku mengais rizqi dan tempat melarikan diri"
Di antara puisi-puisinya yang lain,
وأنت
كالدهر مبثوثا حبائله ¤ والدهر لا ملجأ منه ولا هرب
أضحت
خلاء وأضحى أهلها احتملوا ¤ أخنى عليها الذى أخنى على لبد
نبئت
أن أبا قابوس أوعدنى ¤ ولا قرار على زأر من الأسد
فلو
كفى اليمين بغتك خونا ¤ لأفردت اليمين عن الشمال
"Engkau
bagaikan sang masa, terbentang luas tali-tali kasihnya. Sang masa, tak ada
tempat berlindung dan tempat melarikan diri selainnya"
"Sahara menjadi lengang, penduduknya memikul beban,
yang menghancurkan Lubad telah dihancurkannya"
"Aku mendapat berita bahwa Abu Qabus mengancamku, tapi
dalam auman singa tak ada yang pasti"
"Jika golongan kanan cukup menimbulkan kebencianmu,
karena berkhianat. Sungguh aku sendiri dari golongan kanan yang berasala dari
golongan kiri"
UMRU' AL-QAIS BIN HUJRIN
Kabilah Dan Keluarga Umru' Al-Qais
Penyair ini memiliki nama lengkap
Umru' al-Qais bin Hujrin bin al-Harits al-Kindi, dan berasal dari suku Kindah,
yaitu suatu suku yang pernah berkuasa penuh di daerah Yaman. Karena itu, ia
lebih dikenal sebagai penyair Yaman (Hadramaut). Kabilah ini adalah keturunan
dari bani Harits yang berasal dari Yaman, daerah Hadramaut Barat. Mereka
mendiami daerah Nejed sejak pertengahan abad ke-5 Masehi.
Suku Kindah merupakan salah satu
kabilah bangsawan Arab yang harus menghadapi dua saingan kerajaan yang cukup
kuat, yaitu Malik al-Khairah dan Husasanah. Keduanya saling berusaha untuk
menghalang-halangi pengaruh suku Kindah terhadap suku-suku lain, sehingga
mengakibatkan terjadinya peperangan terus-menerus dan turun-menurun.
Nasab penyair ini termasuk ke dalam
kalangan terhormat, ia anak seorang raja Yaman yang bernama Hujur al-Kindi,
sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Rabiah saudara Kulaib Taghlibiyyah,
yaitu seorang pewira Arab yang amat terkenal dalam peperangan al-Basus dan
saudara dari Muhalhil, yang juga seorang penyair.
Hujur al-Kindi adalah ayah Umru'
al-Qais, yang meninggal dibunuh oleh kabilah Bani Asad. Namun, para sastrawan
dan kritikus sastra Arab berselisih pendapat tentang sebab terbunuhnya ayah Umru'
al-Qais. Salah satunya adalah pendapat pengarang kitab al-Aghāni (Ibnu Mandzur,
tt:248). Ia berpendapat bahwa penyebab kematiannya terdapat empat riwayat,
yaitu:
1.
Diriwayatkan dari Hisam ak-Kalabi (w.204 H), menyatakan sebab terbunuhnya Hujur
al-Kindi adalah sebagai tindakan balas dendam bani Asad terhadapnya. Karena
pemimpin mereka Amr bin Mas'ud al-Asadi dipenjara dan harta kekayaan mereka
dirampas serta mereka diusir dari rumah tempat tinggal mereka.
2.
Diriwayatkan dari Abu Faraj dan Abi Amr as-Saibani (w. 213 H), berpendapat
bahwa terbunuhnya Hujur al-Kindi merupakan akibat kelalaian dirinya sendiri
ketika ia berlindung kepada Uwair bin Sijnah karena rasa takutnya kepada bani
Asad.
3.
Diriwayatkan dari Abu Faraj dari Ibnu Sikkit (w. 244 H), berpendapat bahwa
Hujur al-Kindi meninggal terbunuh oleh seorang pemuda ketika berperang melawan
bani Asad sebagai balas dendam kepadanya.
4.
Diriwayatkan dari Abu Faraj dari Hisam bin 'Adi (w. 206 H), pendapat ini sama
dengan pendapat no. 2, hanya saja ia dibunuh sebab kelengahannya ketika
berperang dengan bani Asad.
Namun, menurut Syauqi Dhaif[1], ia berpendapat bahwa riwayat yang paling benar adalah
riwayat terakhir.
Kehidupan Umru' Al-Qais
Di dalam buku-buku atau lteratur
sastra Arab telah terjadi perselisihan pendapat mengenai siapa sebenarnya nama
Umru' al-Qais Terdapat bermacam-macam nama bagi penyair ini, yaitu Hunduj,
'Adiyan, dan Mulaikah. Nama pendeknya Abu Wahab, Abi Zaid, dan Abu Harits. Ada
juga yang mengatakan bahwa ia dijuluki dengan nama Dzu al-Qurut[2] dan al-Malik ad-Dlalil[3]. Akan tetapi julukan (laqab)nya yang paling terkenal adalah
Umru' al-Qais. Julukan al-Qais diambil dari nama salah satu berhala di masa
Jahiliyyah. Mereka mengagungkannya dan menisbatkan segala sesuatu
kepadanya.
Sebagian ahli sastra Arab
berpendapat bahwa nasab Umru' al-Qais dari ayahnya Semith bin Umru'
al-Qais bin Amr al-Kindi. Adapun nasab ibunya, Tamaluk bin Amr bin Zubaid bin
Madzhad dari Suku Amr bin Ma'ad Yakrub. Diriwayatkan bahwa di masa Jahiliyyah
terdapat enam belas penyair Arab yang kesemuanya bernama Umru' al-Qais,
sehingga terjadi perselisihan di antara satu sama lain[4]. Adapun tentang kapan dilahirkannya, para ahli sejarah
sastra Arab tidak mengetahui dengan pasti kapan dia dilahirkan. Namun, ada yang
mengatakan bahwa ia dilahirkan pada permulaan abad ke-6 M.
Dari segi nasab tersebut, sangat
berpengaruh terhadap kepribadian penyair Yaman ini. Sejak kecil penyair ini
dibesarkan di Nejed, di tengah-tengah Bani Asad, rakyat ayahnya. Ia hidup di
dalam kalangan keluarga bangsawan yang gemar berfoya-foya. Kehidupannya sebagai
anak seorang raja berpengaruh sekali dalam pembentukan kepribadiannya. Ia
memiliki kebiasaan bermain cinta, bermabuk-mabukkan, dan melupakan segala
kewajiban sebagai anak raja yang seharusnya pandai mawas diri dan berlatih
untuk memimpin masyarakat. Ia kerapkali dimarahi oleh ayahnya karena
perangainya yang buruk, bahkan akhirnya dia diusir dari istana.
Selama masa pembuangan, Umru'
al-Qais bergabung dengan para penyamun, preman/brandalan, serta tunawisma Arab
yang sebaya dengannya. Ia mengembara ke sebagian besar daerah jazirah Arab
untuk menghabiskan waktunya bersama masyarakat Badui. Orang-orang Badui ini
gemar sekali mengikutinya karena disamping mereka butuh akan hartanya, mereka
juga membutuhkan spritit lewat puisi-puisinya untuk menghadapi lawan-lawan
mereka.
Masa pengembaraan penyair ini
berlangsung cukup lama. Dan pengalaman pengembaraannya itu kelak akan membawa
pengaruh yang amat kuat pada puisi-puisinya. Selama pengembaraannya itu, ia
mendapatkan pengetahuan, pelajaran, dan pengalaman yang baru yang dituangkan
dalam karya-karyanya. Dibandingkan dengan penyair lain yang tidak banyak
berkelana, puisi Umru' al-Qais memiliki nilai lebih, baik dari keindahan maupun
sistematika bahasa.
Kebiasaan buruk Umru' al-Qais yang
senang berfoya-foya, tidak juga hilang meskipun ia dalam masa pembuangan. Suatu
hari, ketika ia sedang berada di salah satu warung minuman dan hiburan di
Dammun, datang seorang kurir menyampaikan berita mengenai kematian orang tuanya
yang terbunuh di tangan kabilah Bani Asad, yaitu sebuah kabilah yang sedang
memberontak terhadap kekuasaan ayahnya. Mendengar berita kematian orang tuanya
itu tidak membuatnya terkejut dan menuntut balas, tetapi berita itu tidak
disambut baik olehnya, bahkan dengan malas-malasan ia berkata[5]:
"ضيعني
صغيرا, وحـملني دمه كبيرا, لا صحو اليوم, ولا سكر غدا, اليوم خمر, وغدا أمر"
"Dulu, sewaktu aku kecil, aku
dibuang, dan kini setelah aku dewasa, aku dibebani dengan darahnya, biarkan
saja urusan itu, sekarang waktunya untuk bermabuk-mabukan, dan esok barulah
waktu untuk menuntut darahnya"[6].
Namun akhirnya, ia berangkat juga
menuju Nejed untuk menuntut balas atas kematian orang tuanya. Dalam menunaikan
pembalasannya itu, ia terpaksa meminta bantuan kepada kabilah-kabilah Arab yang
berada di sekitarnya. Sehingga pertempuran itu berkecamuk lama, dan akhirnya ia
melarikan diri menuju kerajaan Romawi Timur (Byzantium) di Turki. Di tengah
perjalanan, penyair itu terbunuh oleh musuhnya dan di makamkan di kota Angkara,
Turki, dan tidak diketahui secara pasti tahun berapa ia terbunuh, diperkirakan
kurang lebih 82 sebeum Hijriyyah atau 530-540 Masehi.
Karya Sastra Umru' Al-Qais
Sebagian besar ahli sastra Arab
berpendapat bahwa diantara puisi-puisi al-Mu'allaqat, puisi Umru' al-Qais
merupakan puisi yang palin terkenal dan menduduki posisi penting dalam khazanah
kesusastraan Arab Jahiliyyah. Mu'allaqat Umru' al-Qais merupakan peninggalan
yang paling monumental yang mempunyai peranan penting dalam perkembangan
kesusastraan Arab pada masa-masa selanjutnya. Puisi-puisinya seringkali dipakai
sebagai referensi dalam kajian ilmu-ilmu bahasa Arab seperti nahwu, sharf,
maupun balaghah.
Keistimewaan puisi-puisinya,
bersandarkan pada kekuatan daya khayalnya dan pengalaman dalam pengembaraannya.
Bahasa yang digunakan sangat tinggi dan isinya padat. Bait-bait puisinya
menggambarkan cerita yang panjang, satu bait puisinya memiliki tujuan yang
sangat banyak. Ia juga dianggap sebagai orang pertama yang menciptakan cara
menarik perhatian dengan cara istikafus-Shahby[7], cara seperti ini sangat menarik bila digunakan dalam puisi
ghazal dan tasybib (cara untuk merayu wanita), dan cara seperti itulah yang
amat digemari penyair Arab untuk membuka kasidahnya untuk menarik perhatian
orang. Ia juga dianggap sebagai penyair pertama dalam mensifati kecantikan
seorang wanita dengan mengumpamakannya seperti seekor kijang yang panjang
lehernya, karena seorang wanita yang panjang lehernya, menandakan sebagai
seorang wanita yang cantik.
Orang yang mempelajari puisi karya
Umru' al-Qais dengan mendalam, maka akan ditemukan bahwa keindahan penyair ini
terletak pada caranya yang halus dalam puisi ghazal-nya. Ditambah dengan gaya
isti'arah (kata-kata kiasan dan perumpamaan). Sehingga banyak yang beranggapan
bahwa ialah orang pertama yang menciptakan perumpamaan dalam puisi Arab.
Walauun terkadang puisi-puisinya juga tidak luput dari perumpamaan yang cabul,
tetapi itu tidak mengurangi nilai dalam puisinya, karena bentuk kecabulannya
itu tidak terlalu berlebihan, dan perumpamaan semacam itu merupakan kebiasaan
dari para penyair Arab.
Secara garis besar bait-bait
puisinya yang terkumpul dalam kasidah mu'allaqat-nya meliputi beberapa tema,
antara lain:
·
Mengenai
perpisahan seorang sahabat yang membekas dan memilukan, yang menyebabkan air
mata bercucuran menyertai kepergfiannya untuk mengembara.
·
Mengenang
hari daratul jaljal sebagai cerminan kisah romantis. Tema ini merupakan
ungkapan cinta sejati yang tidak mungkin terlupakan. Dan konon tema inilah yang
membuat Umru' al-Qais terpilih menjadi penyair al-Mu'allaqat.
·
Mengenai
senda gurau yang diibaratkan pertarungan dengan seorang pelacur.
·
Mengenai
doa untuk kekasihnya Unaizah, sebagai persembahan cinta yang sejati.
·
Mengenai
pertarungan untuk merebut idaman hati.
·
Menggambarkan
malam dan waktu-waktu yang dilaluinya, serta kejadian-kejadian luar biasa yang
dialaminya.
·
Mengenai
penderitaan akan kegagalan.
·
Mengenai
simbolisasi kuda dengan kecepatan yang luar biasa.
·
Mengenai
pengibaratan pemimpin suku Badui dengan kilat dan hujan, sedangkan pengikutnya
dengan jurang yang dalam dan pegunungan yang tinggi.
Walaupun pemakaian kata-kata kiasan,
pengibaran dengan alam, dan simbolisasinya, tidak hanya didominasi oleh
puisi-puisi Umru' al-Qais, tetapi dilakukan juga oleh para penyair lain. Akan
tetapi, para ahli puisi Arab, berpendapat bahwa ialah orang yang pertama kali
menciptakan puisi-puisi kontoversial pada zamannya, dan tidak jarang kata-kata
yang bernada sinisme juga dipakai oleh Umu al-Qais dalam puisi-puisinya.
Terkadang ia juga berkata vulgar
yang mengarah ke pornografi dalam ungkapan-ungkapan komparasi dan
pembicaraannya mengenai wanita. Tercium pula aroma kecerdasan dan
kepiawaiannya, serta tersirat pula indikasi-indikasi kepemimpinannya. Hal itu
diantaranya terdapat dalam kata-katanya di bawah ini:
فظل
العذرى يرتمين بلحمها ¤ وشحم كهداب الدمقس المفتل
وظل
طهاة اللحم من بين منضج ¤ صفيف شواء أو قدير معجل
"Gadis-gadis itu terus melahap
dagingnnya dan lemaknya bagaikan kain sutra putih"
"Mereka terus memasak daging
antara yang matang dengan dipanggang, dan ada yang direbus setengah
matang"
ولو
أن ما أسعى لأدنى معيشة ¤ كفانى ولم أطلب قليل من المال
ولكنما
أسعى لمجد مؤثل ¤ وقد يدرك المجد المؤثل أمثال
"Seandainya yang kuusahakan ini untuk
kehidupan yang rendah, aku sudah kecukupan, dan tak perlu lagi mencari secuil
harta"
"Akan tetapi, aku berusaha
untuk suatu keagungan sejati, yang terkadang keagungan sejati itu mampu
tergapainya orang-orang sepertiku"
Di bawah ini merupakan contoh puisi
Umru' al-Qais dalam bab Ghazal yang menceritakan perjalanan bersama kekasihnya
yang bernama Unaizah, seperti di bawah ini[8]:
ويوم
دخلت الخدر خدر عنيزة ¤ فقالت لك الويلات إنك مرجلى
تقول
وقد مال الغبيط بنا معا ¤ عقرت بعيرى يا امرأ القيس فانزل
فقلت
لها سيرى وارخى زمامه ¤ ولا تبعدينى من جناك المعلّل
"Suatu hari ketika aku sedang
masuk ke dalam Haudat[9]
kekasihnya Unaizah, maka Unaizah berkata kepadaku: "Celakalah kamu, jangan
kamu beratkan untaku".
"Ketika punggung untanya agak
condong ke bawah (karena berat), maka ia berkata kepadaku: "Turunlah
hai Umru al-Qais, janganlah kamu ganggu jalan untaku ini".
"Di saat itu, kukatakan
kepadanya: "Teruskanlah perjalananmu dan lepaskanlah tali kekangnya,
janganlah engkau jauhkan aku dari sisimu".
Penyair ini juga mensifati kecantikan
kekasihnya, Unaizah, seperti dalam bait puisi di bawah ini[10]:
فلمّا
اجزنا ساحة الحىّ وانتحى ¤ بنا بطن خبت ذى حقاف عقنقل
هصرت
بفودى رأسها فتمايلت ¤ على هضيم الكشح ريّا المخلخل
مهفهفة
بيضاء غير مفاضة ¤ ترائبها مصقولة كالسّجنجل
وجيد
كجيد الرئم ليس بفاحش ¤ اذا هي نصته ولا بمتعطل
وفرع
يزين المتن اسود فاحم ¤ انيث كقنو النخلة المتعثكل
"Ketika kami berdua telah melewati
perkampungan, dan sampai di tempat yang aman dari intaian orang kampung"
"Maka kutarik dirinya sehingga
ia dapat merapat kepadaku, perutnya ramping dan dadanya putih bagaikan
kaca".
"Lehernya jenjang bak leher
kijangi, jika dipanjangkan tidak bercacat sedikit pun, karena lehernya dipenuhi
kalung permata".
"Rambutnya yang panjang dan
hitam bila terurai di bahunya bagaikan mayang korma".
Pada bait puisi di atas Umru'
al-Qais menggambarkan kecantikan kekasihnya dengan gayanya yang khas, dan
gambaran yang seindah itu tidak dapat terlukiskan, kecuali bagi orang yang
mempunyai daya khayal yang tinggi, ditambah dengan pengalaman yang luas,
sehingga dengan itu semua ia dapat melukiskan sesuatu dengan berbagai macam
perumpamaan dan sepertinya benar-benar terjadi.
Contoh lain yang menunjukkan
kemahiran penyair ini dalam menggambarkan suatu kejadian dengan gayanya yang
khas sehingga bayangan yang ada benar-benar terjadi. Seperti kesusahan yang
dialaminya pada malam hari, seperti dibawah ini[11]:
وليل
كموج البحر مرخ سدوله ¤ عليّ بأنواع الهموم ليبتلى
فقلت
له لمـّا تمطّى بصلبه ¤ واردف اعجازا وناء بكلكل
الا
ايّها اللّيل الطويل الا انجلى ¤ بصبح وما الإصباح منك بأمثل
"Di kala gelap malam bagaikan badai
laut yang tengah meliputiku dengan berbagai macam keresahan untuk
mengujiku (kesabaranku)".
"Di kala malam itu tengah
memanjangkan waktunya, maka aku katakan padanya".
"Hai malam yang panjang,
gerangan apakah yang menghalangimu untuk berganti dengan pagi hari? Ya walaupun
pagi itu pun belum tentu akan sebaik kamu".
Pada bait-bait puisi di atas,
sebenarnya penyair ini ingin mengutarakan betapa malang nasibnya. Di mana
keresahan hatinya akan bertambah susah bila malam hari tiba. Karena saat itu ia
merasa seolah-olah malam itu sangat panjang sekali. Sehingga ia mengharapakan
waktu pagi segera tiba, agar keresahannya dapat berkurang, namun sayang sekali
keresahannya itu tidak juga berkurang walaupun pagi hari telah tiba. Puisi di
atas, tidak lain merupakan contoh dari kepandaian Umru' al-Qais dalam
menggambarkan suatu keadaan. Sehingga seolah-olah itu benar-benar terjadi.
Bait puisinya terkumpul semuanya
dalam kasidah mu'allaqat-nya. Mu'allaqat Umru' al-Qais sangat terkenal
dikalangan setiap orang yang mempelajari kesusastraan Arab. Penyair ini
menciptakan kasidah muallaqadnya tidak lain adalah untuk mengabadikan suatu
kejadian yang dialaminya. Seperti kejadian yang dialaminya besama sang kekasih
Unaizah.
Pada suatu ketika Umru' al-Qais
ingin bertemu kekasihnya, namun keinginannya itu selalu dihalangi oleh
pamannya, karena ia takut anak puterinya itu akan terbujuk dengan puisi Umru'
al-Qais. Karena itulah, Umru' al-Qais berusaha dengan sekuat tenaga untuk
mendapatkan kesempatan agar dapat bertemu dengan anak pamannya yang bernama
Unaizah. Dan pada suatu ketika, ia berhasil bertemu dengan Unaizah dan
bersepakat bertemu dalam kesempatan lain bila anggota kabilahnya sedang pergi
mengambil air. Dan telah menjadi kebiasaan kabilah itu, bila hendak mengambil
air kaum lelaki berjalan terlebih dahulu, kemudian barulah diikuti kaum wanita
dari belakang.
Sewaktu kaum lelaki pergi ke mata
air, Umru' al-Qais tidak keluar bersama mereka, bahkan penyair ini menunggu
keberangkatan kaum wanita. Dan ketika kaum wanita keluar menuju mata air, maka
Umru' al-Qais keluar mendahului mereka agar dapat sampai lebih dahulu.
Sesampainya di mata air yang bernama Juljul yang terletak di daerah Kindah
(Nejed), penyair ini langsung bersembunyi di balik batu yang tidak terlalu jauh
dari tempat itu.
Ketika rombongan wanita yang di
dalamnya terdapat kekasihnya tiba di mata air Juljul, maka mereka langsung
menanggalkan pakaiannya masing-masing, dan meletakkannya di atas batu. Setelah
mereka masuk ke dalam air, maka Umru' al-Qais yang tengah asyik memperhatikan
dari balik batu, langsung mengambil pakaian mereka semua, dan berjanji tidak
mengembalikannya kecuali bila mereka keluar dari mata air itu dengan
keadaan telanjang bulat. Melihat kejadian itu, semua kaum wanita terkejut dan meminta
Umru' al-Qais untuk mengembalikan pakaian mereka. Namun Umru' al-Qais tetap
bersikeras tidak mengembalikan pakaian mereka bila mereka tidak mau keluar
dalam keadaan telanjang bulat.
Akhirnya, dengan keadaan terpaksa
kaum wanita itu keluar dari mata air Juljul dalam keadaan telanjang bulat untuk
mengambil pakaian mereka dari tangan Umru' al-Qais, tetapi hanya Unaizah yang
tidak mau keluar dari mata air, dan ia meminta Umru' al-Qais untuk
mengembalikan pakaiannya. Setelah ia mengetahui bahwa Umru' al-Qais tidak akan
mengembalikan pakaiannya, maka dengan terpaksa Unaizah keluar dari mata air
dengan keadaan telanjang dan meminta Umru' al-Qais untuk mengembalikan
pakaiannya. Dan kemenangannya itu, diabadikannya dalam kasidah mu'allaqat-nya.
Umru' al-Qais juga memiliki
puisi-puisi panjang dan pendek. Puisi panjangnya yang paling terkenal dan
menjadi buah bibir orang dalam kepopulerannya, terdapat dalam kumpulan
mu'allaqat-nya seperti terdapat di bawah ini:
قفا
نبك من ذكرى حبيب ومنـزل ¤ بسقط اللوى بين الدحول فحومل
فتوضح
بالمقراة لم يعف رسمها ¤ لما نسجتها من جنوب وشمال
"Marilah kita berhenti untuk menangis
(mengenang) kekasih dan rumahnya di Siqthi liwa antara Dakhul dan Haumal"
"Tudlih dan Miqrat,
bekas-bekasnya belumlah lenyap karema hembusan angina selatan dan angina
utara"
Umru' al-Qais juga memiliki puisi
yang berisikan hikmah-himah atau kata-kata mutiara, seperti yang terdapat di
bawah ini:
إذا
المرءا لم يخزن عليه لسانه ¤ فليس على شيئ سواه بخزان
فإنك
لم يفخر عليك كفاخر ¤ ضعيف ولم يغلبك مثل مغلب
"Seseorang, bila lisannya tidak dapat
memelihara dirinya, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat dipeliharanya"
"Sesungguhnya kamu tidak akan
dibanggakan sebagai orang lemah kamu tidak akan dikalahkan oleh orang yang
berkali-kali kalah"
Dīwan (kumpulan puisi-puisi) Umru'
al-Qais telah mengalami cetakan berulang-ulang. Pertama kali dicetak di Paris
pada tahun 1837 M oleh De Slane. Pada tahun 1870 dibukukan kembali oleh
Ahlwardt dan pada tahun 1958 Muhammad Abu Fadl Ibrahim bersama lembaga Dār
al-Ma'arif Kairo telah mengeluarkan kembali Dīwan Umru' al-Qais yang baru,
yaitu dengan mengambil dari nushah yang ditulis oleh De Slane. Dīwan tersebut
meliputi 28 kasidah dengan sarah (penjelasan) Assantamri (riwayat dari orang
Kufah)[12].
Hani Bin Qabishah Bin Hani Bin
Mas'ud Asy-Syaibani
Hani bin Qabishah bin Hani bin
Mas'ud asy-Syaibani adalah seorang kepala kabilah dari bani Syaiban, yang
terkenal dengan keberaniannya pada akhir zaman Jahiliyyah.
Mengenai keberaniannya, suatu hari,
ia diminta oleh Raja Kisra dari Persia, untuk memberikan amanat kepada Nu'man
bin al-Mandzur, salah seorang Raja Munadzirat di Hira, Irak, tetapi ia menolak.
Maka, terjadilah peperangan antara Persia dan Bakr, suku bani Hani, di sebuah
tempat dekat Basrah di Irak, yang dikenal dengan perang Dzi Qaar (yaumu Dzi
Qaar), dalam peperangan itu suku Bakr memperoleh kemenangan. Di bawah ini
adalah pidato Hani kepada kaumnya pada perang tersebut:
"يا
معشر بكر, هالك معذور, خير من ناج فرور, إن الحذر لا ينجى من القدر, وإن الصبر من
أسباب الظفر, المنية ولا الدنية, استقبال الموت خير من استدباره, الطعن فى
ثغرالنحور, أكرم منه فى الأعجاز والظهور, يا آل بكر, قاتلوا فما للمنايا من
بد".
"Wahai segenap orang-orang kabilah
Bakr, mati dalam medan peperangan lebih baik daripada orang yang selamat dengan
lari dari perang. Melarikan diri (ketakutan) tidak akan menyelamatkan dari
takdir. Sesungguhnya kesabaran merupakan salah satu faktor penyebab kemenangan.
Kematian bukanlah sebuah kehinaan. Menyongsong kematian (maut) lebih baik
daripada menghindarinya. Tusukan di tenggorakan lebih mulia daripada tusukan di
leher dan pundak. Wahai keluarga Bakr, berperanglah! Janganlah kalian takut
akan mati, karena kematian akan dimana pun akan menghadang kalian"
Aktsam bin Shaifi
Aktsam bin Shaifi dikenal sebagai
orator bangsa Arab Jahiliyyah yang paling bijak, ia juga dikenal sebagai
seorang yang paling mengetahui silsilah keturunan bangsa Arab. Di dalam
orasinya ia banyak menyisipkan kata-kata hikmah dan peribahasa. Pendapat yang
dikeluarkan selalu tepat dan argumentasinya kuat. Selain dikenal sebagai
seorang orator yang ulung, ia juga sebagai hakim yang dihormati dan disegani.
Aktsam bin Shaifi memiliki kedudukan
yang tinggi disisi kaumnya dan termasuk tokoh pemimpin yang dimuliakan, dan
juga penguasa pembesar di kalangan mereka. Sangat sedikit pada masanya, orator
yang dapat menandinginya dalam keluasan pengetahuan di bidang silsilah
keturunan bangsa Arab, dalam penciptaan pribahasa, dan kata-kata hikmah, juga
dalam memecahkan berbagai permasalahan, dan dalam keluhuran pemikirannya.
Aktsam bin Shaifi merupakan ketua
dari para orator yang diutus oleh Raja Nu'man untuk menghadap Raja Kisra,
Persia. Raja Kisra sangat kagum terhadap Aksam, sehingga ia menyatakan:
"Seandainya bangsa Arab tidak memiliki lagi orator sepertimu, kamu sendiri
pun sudah cukup".
Aktsam bin Shaifi memiliki usia yang
panjang, ia sempat mengalami masa diutusnya Nabi Muhammad Saw, Ketika ia
mendapat berita mengenai di utusnya Nabi Muhammad Saw, ia mengumpulkan kaumnya
dan mengajak mereka untuk beriman kepada Nabi Muhammad Saw.
Di dalam pidato-pidatonya, Aktsam
jarang menggunakan kata-kata majaz, kalimat-kalimat pidatonya begitu ringkas,
padat, merdu, dan mengandung makna yang luas. Pidato-pidatonya juga banyak
dihiasi dengan kata-kata mutiara dan pribahasa. Ungkapan orasinya tidak begitu
mementingkan persajakan (rima), tetapi lebih cenderung untuk memuaskan
pendengarnya dengan argumentasi yang baik dan bukti. Dia menyandarkan
orasinya pada kekuatan pengaruh dan kesan yang ditimbulkan dari kepiawaiannya
dalam berorasi. Di bawah ini adalah salah satu contoh orasinya (pidato) yang
disampaikan dihadapan Raja Kisra, Persia:
"إن
أفضل الأشياء أعاليها, وأعلى الرجال ملوكم, وأفضل الملوك أعمها نفعا, وخير الأزمنة
أخصبها, وأفضل الخطباء أصدقها, الصدق منجاة, والكذب مهواة, والشرّ لجاجة, الحزم
مركب صعب, والعجز مركب وطئو آفة الرأى الهوى, والعجز مفتاح الفقر, وخير الأمور
الصبر, وحسن الظن ورطة, وسوء الظن عصمة, إصلاح فساد الرعية خير من إصلاح فساد
الرأعى, من فسدت بطانته كان كالغاص بالماء, شرّ البلاد بلاد لا أمير بها, شرّ
الملوك من خافه البرئ, المرء يعجز لا المحالة. أفضل الأولاد البررة, خير الأعوان
من لم يراء بالنصيحة, أحق الجنود بالنصر من حسنت سريرته, بكفيك من الزاد ما بلغك
المحل, حسبك من شر سماعه, الصمت حكم وقليل فاعله, البلاغة الإيجاز, من شدد نفر,
ومن تراخى تألف"
"Sesungguhnya, seutama-utamanya
sesuatu adalah yang paling tinggi. Setinggi-tinggi orang adalah raja mereka.
Seutama-utama raja adalah yang paling merata kemamfaatannya. Sebaik-baik masa
adalah masa yang paling subur (jaya). Seutama-utama orator adalah orator yang
paling jujur. Kejujuran adalah penyelamat. Kedustaan adalah lembah kehancuran.
Kejahatan adalah berlarutnya pertikaian. Tekad kuat adalah kendaraan yang
paling sulit dinaiki. Kelemahan adalah kendaraan yang paling mudah dinaiki.
Penyakit berpikir adalah hawa nafsu. Kelemahan adalah kunci kefakiran.
Sebaik-baik perkara adalah kesabaran. Baik sangka adalah sesuatu yang
menyulitkan. Buruk sangka adalah suatu perlindungan. Memperbaiki kerusakan
rakyat lebih baik daripada memperbaiki kerusakan penguasa. Barang siapa yang
rusak kawan-kawan dan kroni-kroninya, bagaikan tenggelam dalam air.
Seburuk-buruk negeri adalah negeri yang tidak memiliki pemimpin. Sejahat-jahat
raja adalah raja adalah raja yang ditakui oleh orang-orang bersih. Seorang akan
menjadi lemah jika tidak memiliki usaha. Sebaik-baik pembantu adalah orang yang
tidak menentang nasihat. Sebaik-baik tentara yang berhak mendapatkan kemenangan
adalah tentara yang baik intusi perangnya. Cukuplah bekal buatmu, yang dapat
menghantarkan sampai ke tempat tujuan. Cukuplah kejahatan itu, kamu
mendengarnya saja. Balaghah adalah ijaz (kata ringkas dan padat makna). Barang
siapa yang kasar akan dijauhi orang, dan barang siapa yang ramah akan didekati
orang".
Qus bin Sa'idah Al-Iyadi
Qus bin Sa'idah al-Iyyadi merupakan
seorang orator ulung Arab Jahiliyyah dan menjadi idola dalam ke-balaghah-an
orasinya, kata-katanya banyak mengandung hikmat dan nasihat-nasihat yang baik.
Ia menganut kepercayaan tauhid dan beriman kepada hari kebangkitan. Ia menyeru
masyarakatnya untuk menghentikan penyembahan terhadap berhala, dan berusaha membimbing
mereka untuk menyembah kepada Yang Maha Pencipta (al-Khaliq). Dia mengorasikan
hal itu kepada masyarakatnya dalam berbagai acara dan pada musim-musim pasaran.
Sebagian ahli sastra Arab menyatakan
bahwa Qus bin Sa'idah al-Iyyadi adalah orator pertama yang berorasi di tempat
yang tinggi, orator pertama yang mengatakan dalam orasinya kata-kata "amma
ba'du" (kemudian dari itu/selanjutnya), dan orator pertama yang berorasi
sambil bertelekan (memegang) pedang dan tongkat. Masyarakat banyak yang datang
kepadanya untuk meminta pengadilan dan penyelesaian terhadap sebuah
permasalahan, dan ia pun mampu mengadili mereka dengan pemikiran yang jernih
dan keutusan yang tepat.
Qus bin Sa'idah al-Iyyadi juga orang
pertama yang mengatakan: "Pembuktian atas orang yang mendakwa dan sumpah
atas orang yang mengingkari". Ia pernah menjadi duta (wakil) yang diutus
kepada Kaisar Romawi. Pada suatu ketika Kaisar Romawi bertanya kepadanya:
"Akal apakah yang paling
mulia?"
Qus menjawab: "Akal yang
membuat seseorang dapat mengenal dirinya".
Kaisar bertanya: "Ilmu apakah
yang paling utama?"
Qus menjawab: "Ilmu yang dapat
membuat seseorang melindungi dirinya".
Kaisar bertanya: "Sifat apakah
yang paling mulia dari seorang ksatria?"
Qus menjawab: "Yaitu sifat
ksatria seseorang akan mampu mengendalikan air mukanya".
Kaisar bertanya: "Harta apakah
yang paling mulia?"
Qus menjawab: "Harta yang dapat
membuat seseorang dapat menyelesaikan hak-haknya".
Nabi Muhammad Saw sebelum diutus
menjadi pernah mendengar Qus berorasi di pasar Ukadz di atas unta yang berwarna
kelabu. Beliau Saw begitu mengagumi keindahan kata-katanya dan mengagumi
kelurusannya serta memujinya. Qus berusia panjang dan meninggal menjelang Nabi
Muhammad Saw diutus menjadi Rasul.
Kata-kata yang digunakan dalam
berorasi begitu selektif, sehingga kesan yang ditimbulkan sangat kuat, jauh
dari kesalahan, dan senda gurau. Saja' (prosa bersajak), pharase-pharase
pendek-pendek, selalu muncul secara spontan dalam setiap orasinya. Di antara
pidatonya, adalah pidato yang disampaikannya di pasar Ukadz, sebagaimana yang
terdapat dalam kitab Shubhi al-A'sya (1: 212), seperti yang terdapat di bawah
ini:
أيها
الناس, أسمعوا وعوا, من عاش مات, ومن مات فات, وكل ما هو آت آت, ليل داج, ونهار
ساج, وسماء ذات أبراجو ونجوم تزهر, وبحار تزحر, وجبال مرساة, وأرض مدحاة, وأنهار
مجراة, إن فى السماء لخبرا, وإن فى الأرض لعبرا, ما بال الناس يذهبون ولا يرجعون؟
أرضوا فأقاموا؟ أم تركوا فناموا؟ يقسم قس بالله قسما لا إثم فيه: إن لله دينا هو
أرضى لكم وأفضل من دينكم الذى أنتم عليه. إنكم لتأتون من منكرا".
"Wahai segenap manusia dengarlah dan
sadarlah. Sesungguhnya orang yang hidup itu akan mati. Orang yang mati itu
telah berlalu. Segala yang akan datang itu pasti datang. Malam yang gelap
gulita, siang yang terang benderang, langit yang berhias bintang-bintang. Bintang
gemintang yang berkerlap-kerlip, lautan yang bergelombang, gunung-gunung yang
tinggi menjulang, bumi yang menghampar, dan sungai-sungai yang mengalir.
Sesungguhnya di langit itu ada kabar berita, dan di bumi itu penuh dengan
pengajaran. Bagaimanakah gerangan berita tentang orang-orang yang telah pergi
dan tak kembali? Adakah gerangan karena mereka suka dan mereka menetap di sana?
Qus bersumpah demi Allah, suatu sumpah yang tidak mengandung dosa: Sesungguhnya
Allah memiliki agama yang lebih disukai-Nya buat kalian, dan lebih utama
daripada agama yang kalian jalani. Sesungguhnya kalian benar-benar mendatangkan
urusan yang mungkar (yang tidak disukai)".
Diriwayatkan bahwa setelah berorasi
itu, Qus mendendangkan Syi'rnya:
فى
الذاهبـين الأوليـ ¤ ـن من القرون لنا بصائر
لما
رأيـت مـواردا ¤ للموت ليس لها مصادر
ورأيت
قومى نحوهـا ¤ تمض: الأكابر والأصاغر
لا
يرجع المـاضى إلى ¤ ولا من الباقين غـابر
أيقنت
أنى لا محــا ¤ لة حيث صار القوم صائر
"Pada orang-orang terdahulu yang telah
berlalu pergi berabad-abad silam, kita mendapatkan berbagai pelajaran"
"Ketika kulihat meeka
beramai-ramai menuju telaga kematian yang tidak dapa dihindari"
"Da kulihat kaumku pun menuju
ke arah sana dengan tidak perduli, mereka yang tua renta maupun mereka yang
muda belia"
"Yang telah berlalu tak akan
kembali lagi kepadaku, dan sementara mereka yang masih tersisa tak akan pernah
tetap berada"
"Aku pun yakin, bahwa tak ayal
lagi aku pun pasti berlalu pergi, menuju tempat ke mana kaumku pergi"
No comments:
Post a Comment