Friday, 24 April 2015

Sebuah Catatan Akhir PENGANTAR SASTRA ARAB BAGI MAHASISWA BAHASA DAN SASTRA ARAB UIN MALIKI MALANG

Sebuah Catatan Akhir

PENGANTAR SASTRA ARAB
BAGI MAHASISWA BAHASA DAN SASTRA ARAB
UIN MALIKI MALANG

























TAHUN 2010
DAFTAR ISI

A.    BANGSA ARAB: AKAR BAHASA & SASTRA ARAB
1.      Bahasa dan Budaya Arab
2.      Sastra Bahasa (Adab Lughah)
3.      Pengertian Adab dari Masa ke Masa
B.     PEMBAGIAN KESUSASTRAAN ARAB
1.      PROSA (NATSR)
a.       Pengertian Prosa
b.      Amtsal
c.       Al-Hikam
d.      Al-Wasiyyah
e.       Khithobah
2.      PUISI (SYI’IR)
a.       Pengertian Syi’ir
b.      Awal Mula Timbulnya Syi’ir Arab
c.       Pembagian Jenis Syi’ir dan Tujuannya
C.    SEJARAH SASTRA ARAB
1.      Sejarah Sastra dan Fungsinya
2.      Periodesasi Sejarah Sastra Arab
D.    SASTRA ARAB JAHILIYAH
1.      Kedudukan Penyair dalam Masyarakat Arab Jahiliyah
2.      Perhatian Masyarakat Jahiliyah terhadap Sastra
3.      Faktor yang Mendukung Perkembangan Sastra Arab Jahiliyah
4.      Tingkatan Penyair Jahiliyah
5.      Karakteristik Syi’ir Jahiliyah
6.      Al-Mu’allaqat
E.     SASTRA ARAB MODERN
Perkembangan Kesusastraan Arab Modern
F.     SASTRAWAN ARAB











BAB I
BANGSA ARAB: AKAR BAHASA DAN SASTRA ARAB

A.    Bahasa dan Bangsa Arab
Bahasa Arab termasuk rumpun bahasa Semit, yaitu bahasa yang digunakan oleh bangsa-bangsa yang tinggal di sekitar sungai Tigris dan Furat, dataran Syiria, dan jazirah Arabia (Timur Tengah). Seperti bahasa Siryania, Finisia, Assyiria, Babilonia, Ibrania, dan Arabia. Dari sekian bahasa di atas yang dapat bertahan sampai sekarang hanya bahasa Arab dan Ibrani. Diperkirakan bahwa bahasa Arab adalah cabang bahasa Semit yang paling mendekati bahasa aslinya, karena bangsa Arab tidak banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain, dan tidak pernah lama di bawah kekuasaan bangsa asing.
Sebenarnya, bahasa Arab itu timbul sejak beberapa Abad sebelum Islam. Hanya saja pencatatan dari bahasa tersebut baru dimulai dua abad sebelum lahirnya Islam. Karena bukti peninggalan kesusastraan Arab yang dapat dicatat hanya dimulai sejak dua abad sebelum Islam. Sedangkan, hasil karya yang ada di masa sebelumnya dapat dikatakan hilang dimakan masa. Dengan demikian, kita tidak dapat mengetahui dengan pasti bagaimanakah bentuk bahasa Arab di masa lalu.
Demikian pula dengan berita-berita yang menerangkan keadaan bangsa Arab kuno, tidak dapat kita ketahui dari pencatatan sejarah. Hanya saja berita mengenai mereka dapat kita ketahui dari Al-Quran dan kitab suci lainnya, misalnya cerita mengenai kaum Aad, kaum Tsamud, kaum Nuh, dan lain-lain. Berita mengenai mereka hanya terdapat dalam kitab suci Al-Quran.
Menurut perkiraan yang kuat, keadaan bangsa Arab kuno, lebih maju daripada bangsa Arab yang lahir di masa timbulnya Islam. Karena dalam penggalian sejarah, ditemukan bekas peninggalan monumental dan kota besar yang dibangun oleh bangsa Arab kuno. Pendapat ini dikuatkan oleh Allah Swt di dalam Al-Quran. Sedangkan, bangsa Arab yang lahir di masa lahirnya Islam, mereka lebih dikenal sebagai bangsa Arab Badui (Nomaden), yang suka hidup berpindah-pindah mengikuti sumber kehidupan. Cara kehidupan seperti itu dapat membentuk karakter dan tabiat bangsa Arab seperti bangsa Barbar yang hidup ditempat lain.
Perlu diketahui bahwa sebelum bangsa Arab mempunyai bahasa persatuan, di setiap daerah telah mempunyai bahasa daerah sendiri yang berlainan satu dengan yang lainnya. Seperti penduduk Yaman, mereka memiliki bahasa sendiri yang dikenal dengan bahasa Himyar, orang Nejed memiliki bahasa yang dipakai di Nejed saja, dan lainnya. Walaupun setiap suku Arab mempunyai bahasa yang saling berbeda, namun berkat adanya Ka'bah di Mekkah, dimana mereka sering berkumpul di tempat itu setiap tahunnya, akhirnya bangsa Arab mempunyai bahasa persatuan yang dapat oleh setiap suku Arab.
Bahasa persatuan mereka adalah bahasa Mudlor yaitu bahasa yang dipakai oleh penduduk Hijaz, khususnya bahasa orang-orang Mekkah. Bahasa Mudlor itu juga berasal dari percampuran bahasa daerah yang ada di seluruh jazirah, ditambah dengan beberapa kata asing yang berasala dari bahasa Yunani, Persia, Sansekerta, dan Ibrani.
Sehingga, bahasa Mudlor inilah yang kelak dipilih menjadi bahasa Al-Quran dan As-Sunnah. Di mana berkat Al-Quran, maka bahasa Mudlor ini akan kekal dan dikenal di seluruh dunia Islam. Bangsa Arab terdiri dari tiga generasi, yaitu:
1.      Bangsa Arab al-Baidah yaitu bangsa Arab yang telah punah. Berita mengenai mereka yang sampai kepada kita tidak ada sedikit pun yang benar, kecuali yang dikisahkan Allah Swt dalam al-Quran dan yang banyak disebutkan dalam Hadist Nabi Saw. Di antara kabilah-kabilah mereka yang terkenal antara lain: Thasam, Jadis, ‘Ad, Tsamud, ‘Imliq, dan ‘Abdu Dakhm.
2.      Bangsa Arab al-‘Aribah, yaitu bangsa Arab murni, mereka adalah anak keturunan Qahthan, yang meninggalkan tempat asal mereka di sekitar sungai Euphrat, dan memilih Yaman sebagai tempat tinggal mereka. Bahasa mereka berbaur dengan bahasa pendahulu mereka di Yaman. Kemudian mereka menyebar ke berbagai pelosok Jazirah Arab. Di antara induk kabilah-kabilah mereka adalah Kahlan dan Himyar.
3.      Bangsa Arab al-Musta'ribah, yaitu bangsa Arab campuran. Mereka adalah anak keturunan Ismail bin Ibrahim a.s. yang mengalahkan orang-orang Qahthan dan berbaur dengan mereka, baik dalam bahasa maupun dalam silsilah keturunan/nasab, yang kemudian dikenal dengan sebutan orang-orang Adnan. Di antara induk kabilah-kabilah mereka adalah Rabi'ah, Mudlar, Iyyad, da Anmar.

Selain ketiga generasi bangsa Arab yang telah disebutkan di atas, ada juga yang disebut bangsa Arab Baru, yaitu bangsa Arab yang merupakan anak keturunan dari kabilah-kabilah tersebut di atas yang berbaur dengan anak-anak dari kabilah-kabilah lain dari Samudera Atlantik sampai seberang Laut Persi dan Sungai Tigris, dan juga dari sebelah hulu sungai Euphrat dan Sungai Tigris sampai ke seberang laut Jawa dan Sumatera. Mereka berbicara dengan dialek-dialek bangsa Arab ‘Amiyah (bahasa Arab pasaran) yang berbeda-beda yang dapat dikembalikan kepada bahasa Arab baku/fushha yang mereka ketahui melalui pembelajaran.

B.     Sastra Bahasa (Adabul Lughah)
Bahasa adalah ألفاظٌ يُعبرُ بها كل قومٍ عن مقاصدهم (lafal yang diungkapkan oleh setiap kaum atau masyarakat untuk mengungkapkan maksud mereka (baik isi hati maupun pemikiran mereka).
Adapun sastra bahasa (Adabul-Lughah) itu sendiri adalah kata-kata indah yang mengandung imajinasi yang cermat, pelukisan yang lembut, yang diwariskan atau dihasilkan oleh para penyair dan penulis, bertujuan untuk mendidik jiwa, menghaluskan rasa, dan membudayakan bahasa. Ada juga yang mendefinisikan bahwa sastra bahasa adalah segala bentuk prosa dan puisi yang dihasilkan oleh pikiran seseorang yang menggambarkan watak dan kebiasaan, daya khayal, serta batas kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa yang bertujuan mendidik jiwa, memperbaiki pikiran dan meluruskan lisan.
Terkadang kata "Adab" digunakan juga untuk menyebutkan segala pembahasan ilmiah dan cabang-cabang seni sastra yang dihasilkan oleh setiap bahasa. Sehingga kata "Adab" dapat mencakup segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal pikiran para ilmuan, penulis, dan penyair atau sastrawan.
Kesusastraan Arab (al-Adab al-Arabiy)  merupakan kesusastraan terkaya, karena merupakan kesusastraan yang tercipta sejak masa kanak-kanak manusia sampai runtuhnya kebudayaan Arab. Bahasa Mudlor, setelah masa Islam, bukan hanya menjadi bahasa suatu bangsa saja, tetapi menjadi bahasa bagi semua bangsa yang masuk ke dalam agama Allah (Islam), atau berada di bawah lindungannya. Mereka menciptakan makna-makna dan konsep-konsep, serta memperluas makna-makna dengan bantuan rahasia-rahasia bahasa mereka. Kemudian mereka menjelajah kepelosok bumi dengan membawa agama, sastra, budaya, dan ilmu. Lalu mereka berakulturasi dengan setiap bahasa yang didatangainya, serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan orang-orang masa lampau dan peradaban orang-orang-orang terdahulu, dari bangsa-bangsa Yunani, Persia, Yahudi, Hindu, dan Habsyi. Dia berdiri kokoh menghadapi halangan dan rintangan selama berabad-abad yang panjang. Dia menyaksikan pertarungan bahasa-bahasa di sekelilingnya dengan kepala tengadah dan langkah yang tegap, mewarisi hasil cipta rasa dan buah akal pikiran dari setiap peradaban (sastra/literature) dan kepercayaan. Bahasa bangsa-bangsa dengan beraneka ragam perbedaannya, bagaikan parit-parit dan sungai-sungai yang mengalir, lalu bercabang-cabang, kemudian berhimpun dan bermuara pada satu samudera, yaitu bahasa Arab.

C.    Pengertian Adab dari Masa ke Masa
Sebagai sebuah istilah, kata "Adab" mengalami perkembangan yang cukup panjang dalam sejarah kesusastraan Arab. Perkembangan kata "Adab" sejalan dengan perkembangan kehidupan bangsa Arab. Pengambilan kata itu dari masyarakat Arab Badui sampai masyarakat Arab perkotaan yang telah mempunyai peradaban. Kata "Adab" terdapat banyak perbedaan mengenai maknanya, dan perbedaan makna itu sangat dekat, maksudnya perkembangan dan perubahan makna itu tidak terlalu kontras dengan makna aslinya. Perubahan itu diketahui sampai sekarang melalui perkataan-perkataan dan tulisan-tulisan. Penafsirannya jelas hanya kecenderungan pendengar pendengar pada pengucapan kata "Adab" tersebut.
Pada zaman Jahiliyyah kata "Adab" berarti "الدعوة إلى الطعام" (mengajak makan atau undangan ke perjamuan makan), dan arti ini sudah jarang digunakan, kecuali pada kata "Ma'dubah" dari akar kata yang sama yaitu "Adab". Kata "Ma'dubah" berarti jamuan atau hidangan, dengan kata kerja "Adaba-ya'dibu" yang berarti menjamu atau menghidangkan makanan. Sebagaimana yang terdapat dalam perkataan Tharafah bin Abdul Bakri al-Wa'illi:

نحن فى المشتاة ندعو الجفلى  ¤    لا ترى الآدب فينا ينتفر

"Pada musim paceklik (musim kesulitan pangan), kami mengundang orang-orang ke perjamuan makan, dan engkau tidak akan melihat para penjamu dari kalangan kami memilih-milih orang yang diundang"

Kata "Adab" juga digunakan dalam arti "prilaku yang terpuji atau terhormat dan sifat-sifat yang mulia" seperti yang terdapat di dalam dialoq antara ‘Atabah dengan Hindun, puterinya. ‘Atabah berkata kepada puterinya tentang Abu Sufyan yang datang melamarnya:

"... .بدر أرومته وعزّ عشيرته يؤدب أهله ولا يؤدبونه..."

".... Asal-usulnya mulia, keluarganya terhormat, dia sopan dan hormat kepada keluarganya, meski diantara keluarganya ada yang tidak menghormatinya....".

Akhirnya Hindun pun setuju menikah dengan Abu Sufyan sambil berkata:

"إنى لأخلاق هذا لوامقة, وإنى له الموافقة, وسآخذه بأدب البعل مع لزوم قبتى وقلة تلفتى..." 

 "Sungguh, aku benar-benar menyukai akhlak dan perilaku yang demikian, dan aku setuju menikah dengannya dan akan kujadikan ia suami yang dihormati, dan dengan kesetiaan aku akan selalu berada di rumah, dan tidak akan berselingkuh dibelakangnya".  

Seperti yang dikemukakan oleh Bakalla (1984:34-36) bahwa pada zaman Pemulaan Islam, ketika agama Islam datang dengan membawa ajaran-ajaranya yang menyeru kepada akhlak mulia, maka kata "Adab" berarti "الدعوة إلى المحامد ومكارم الأخلاق" (ajakan untuk memuji dan berakhlak baik), dan juga mempunyai arti at-Tahdzib (pendidikan atau pengajaran), dan al-Khulqu (budi pekerti), seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw:

"أدبنى ربّى فأحسن تأديبى..."

"Tuhanku telah mendidikku, maka baiklah pendidikanku/akhlak"

Beliau Saw juga bersabda:

"إن هذا القرآن مأدبة الله فى الأرض فتعلموا من مأدبته"

"Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah sumber peradaban Allah di muka bumi, oleh karena itu belajarlah kalian pada sumber peradaban-Nya"

Umar bin Khattab berkata kepada puteranya:

"يا بنى انسب نفسك تصل رحمك, واحفظ محاسن الشعر يحسن أدبك..."

"Wahai anakku, nisbatkanlah (hubungkanlah silsilah keturunan) dirimu, niscaya akan bersambung hubungan dengan keluargamu, dan hafalkanlah puisi-puisi indah, niscaya akan menjadi lembut budi pekertimu"

Pada zaman Umayyah, kata Adab mempunyai arti at-Ta'lim (pengajaran), sehingga dari kata itu lahir kata turunan al-Mu'addibun yaitu sebutan bagi orang-orang yang masa itu bertugas memberikan pelajaran tentang puisi, khutbah, sejarah orang-orang Arab, mulai dari keturunan mereka sampai pada peristiwa-peristiwa yang mereka alami di zaman Jahiliyyah dan zaman permulaan Islam kepada putera-putera khalifah.
Sementara pada zaman Abbasiyyah yang terkenal dengan zaman kebangkitan ilmu pengetahuan, kata Adab mempunyai arti at-Tahdzibu wa at-Ta'liimu ma'an (pendidikan sekaligus pengajaran), atau berarti semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan umat manusia dan juga tata cara yang perlu diikuti dalam suatu disiplin tertentu. Arti "Adab" pada masa ini lebih mengacu pada kebudayaan. Seperti yang pernah ditulis oleh Ibn al-Muqaffa (wafat 142 H.) dalam bukunya yang berhudul al-Adab al-Kabir yang berisikan kumpulan-kumpulan surat-surat panjang Ibn al-Muqaffa' yang terbagi menjadi dua bagian yaitu khusus mengenai sultan, politik, dan pemerintahannya, dan yang berhubungan dengan persahabatan dan sejenisnya. Dan al-Adab al-Shaqir yang berisikan surat-surat pendek Ibn al-Muqaffa' yang berisi kumpulan wasiat mengenai budi pekerti, kemasyarakatan, dan mengenai apa yang harus dipersiapkan oleh manusia dalam kehidupannya seperti bagaimana bergaul dengan atasan, bawahan, dan sesamanya. Selain itu, kata "Adab" telah meluas artinya dan sering diterapkan pada puisi, prosa, peribahasa, dan balaghah, juga diterapkan pada bidang ilmu nahwu, sharf, ushul, dan sebagainya.
Pada Abad ke-4 H, kata "Adab" semakin memiliki arti yang luas, sehingga terkadang dari kata itu difahami sebagai segala sesuatu yang keberadaannya mengandung nilai pendidikan, peningkatan intelektual dan moral manusia baik dari segi sosial maupun budaya, serta pembentukan seseorang menjadi cemerlang, memiliki keistimewaan yang cocok bagi penampilan figur kelas elit dalam kehidupan intelektul sekaligus kehidupan material.  Kata "Adiib" yang berarti satrawan, mengarah kepada makna yang kita sekarang dari kata "mutsaqqif" yang berarti budayawan atau orang yang memiliki intelektual tinggi.
Dengan berakhirnya abad ke-4 H, seiring dengan berkembangnya ilmu bahasa dan sastra, kata "Adab" mengandung pengertian ungkapan-ungkapan yang indah, baik dalam bentuk puisi maupun prosa, dan ungkapan-ungkapan yang memerlukan penafsiran dan penjelasan yang bekenaan dengan segi-segi baik dan buruk yang terdapat didalamnya. Makna "Adab" yang demikian itu, masih dapat difahami dan digunakan pada masa sekarang (modern). Dari sini, kita dapat mengatakan bahwa kata "Adab" memiliki dua makna yang berbeda. Pertama, kata "Adab" dalam pengertian yang khusus berarti perkataan indah yang menimbulkan kenikmaan seni dalam jiwa pembaca atau pendengarnya, baik perkataan itu berbentuk puisi maupun prosa. Kedua, kata "Adab" dalam pengertian umum, yaitu hasil cipta rasa akal yang dilukiskan dalam kata-kata yang ditulis dalam buku-buku.
Puisi indah, essai yang memikat, orasi (khutbah) yang memukau, dan kisah yang mengesankan, semua ini termasuk "Adab" dalam pengertian khusus, karena ketika kita membaca atau mendengarkannya, anda mendapatkan kenikmatan seni seperti yang kita dapatkan ketika mendengarkan nyanyian seorang penyanyi, alunan musik, serta ketika  kita melihat lukisan atau patung yang mempesona. Dengan demikian, maka "Adab" atau satra adalah sesuatu yang berhubungan dengan citrarasa, perasaan, dan kesadaran kita. Sementara, dalam referensi Barat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "Adab" dalam pengertian literature adalah kumpulan peninggalan baik prosa atau puisi yang terdapat pada bahasa dan bangsa tertentu dan mempunyai keistimewaan dalam gaya dan idenya; Peninggalan yang berbentuk naskah atau cetakan khusus yang terdapat dalam sebuah bahasa atau bangsa tertentu; Semua tulisan yang membicarakan topik-topik tertentu, seperti adabul falak (tulisan tentang ilmu falak/penanggalan) atau adab az-Ziraa'at (tulisan tentang ilmu pertanian); atau sesuatu yang dihasilkan manusia dalam bentuk naskah atau cetakan, seperti buku tentang ilmu Nahwu, Sharf, filsafat, termasuk kata "Adab" dalam pengertian umum, karena itu merupakan gambaran atau konsepsi berbagai pengetahuan yang dihasilkan manusia, terlepas ketika membacanya akan menimbulkan kenikmatan seni dalam diri kita atau tidak (Mahmud Jad ‘Akawi dalam al-Mujaz fi al-Adab al-Arabi, 1972, jilid I hal: 5-9).
Kemudian pertanyaan yan timbul adalah apakah hubungan antara kata Adab yang bermakna umum dengan kata Adab yang bermakna khusus? Dahulu, bangsa Arab memiliki tata cara tentang prilaku dan sikap yang harus diikuti oleh kelas masyarakat tertentu, seperti para bangsawan Arab. Tata cara tersebut ditulis dalam bentuk karya sastra, seperti puisi, khutbah (pidato), amtsal (pribahasa), dan sebagainya. Berdasarkan konsep inilah, kemudian kata Adab ini diberi arti yang lebih spesifik yaitu sastra (Bakalla, 1984:113).
Teeuw (1988, 21-24) mengatakan bahwa kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa sanskerta. Akar kata sas- berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran -tra biasanya menunjukkan alat atau sarana. Sehingga kata sastra dapat diartikan alat untuk mengajar, buku petunjuk, atau buku pengajaran. Dalam bahasa Arab tidak ada sebuah kata yang artinya bertepatan dengan sastra. Kata yang paling mendekatai adalah kata Adab. Dalam arti yang sempit, kata Adab berarti belles-lettres, atau susastra. Awalan su- berarti indah atau baik. Kata susastra ini tidak terdapat dalam bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno, tetapi merupakan kata Jawa atau Melayu yang muncul kemudian. Kata Adab juga berarti kebudayaan, sivilisasi atau yang dalam bahasa Arab disebut Tamaddun. Sastra sebagai konsep yang khas tidak diberi istilah yang umum dalam kebudayaan Arab. Hal itu pasti berkaitan dengan pendirian orang Arab mengenai sastra.
















BAB II
PEMBAGIAN KESUSASTRAAN ARAB

Secara garis besar, kesusastraan Arab di bagi menjadi dua bagian, yaitu prosa (an-Natsr) dan puisi (syi'r). Prosa terdiri atas beberapa bagian, yaitu: kisah (Qishshah), peribahasa (amtsal) atau kata-kata mutiara (al-hikam), sejarah (tarikh) atau riwayat (sirah), dan karya ilmiah (abhats 'ilmiyyah).
Kisah (Qishshah) adalah cerita tentang berbagai hal, baik yang bersifat realistis maupun fiktif, yang disusun menurut urutan penyajian yang logis dan menarik. Kisah terdiri dari 4 macam yaitu:
1.      Riwayat adalah yaitu cerita panjang yang didasarkan atas kenyataan yang terjadi dalam masyarakat.
2.      Hikayat, yaitu cerita yang mungkin didasarkan atas fakta maupun rekaan (fiksi).
3.      Qishah qasirah, yaitu cerita pendek.
4.      Uqsusah, yaitu cerita yang lebih pendek daripada Qishah qasirah.

Kisah berkembang menurut zamannya. Pada masa jahiliyyah, yang berkembang adalah kisah mengenai berbagai hal yang berkenaan dengan kehidupan suku Badui, adapt, dan sifat-sifat mereka. Pada masa Islam, yang berkembang ialah kisah-kisah keagamaan, seperti cerita para nabi dan rasul yang bersumber dari kitab Taurat, Injil dan al-Qur'an. Kisah yang berkembang pada masa Abbasiyyah tidak hanya terbatas pada cerita keagamaan, tetapi sudah berkaitan dengan hal-hal lain yang lebih luas, seperti kisah filsafat.
Adapun pada masa modern, kisah berkembang lebih pesat lagi, karena perkembangan hubungan antara Islam dan peradaban-peradaban lain yang ada di dunia Barat. Kisah yang berkembang pada masa ini adalah cerita panjang yang bersambung. Missalnya Muntakhabat ar-Riwayat (cerita-cerita plihan) oleh Iskandar Kurku, Riwayah Zainab oleh Muhammad Husein Haikal (1888-1956), al-Khiyam fi Rubu' asy-Syam oleh Salim Bustani (1848-1884), Kifah Tayyibah (perjuangan terpuji) oleh Naguib Mahfudz (1912-?), dan al-Ajnihah al-Mutakassirah (sayap-sayap patah) oleh Gibran Khalil Gibran (1883-1931).
Peribahasa (amtsal) dan Kata-Kata Mutiara (al-hikam) adalah ungkapan-ungkapan singkat yang bertujuan memberikan pengarahan dan bimbingan untuk pembinaan kepribadian dan akhlak. Amtsal dan al-Hikam pada Masa Jahiliyyah lebih mengggambarkan bangsa Arab yang hidup dalam keadaan yang penuh dengan kefanatikan terhadap kelompok dan suku. Pencipta amtsal dan al-Hikam yang terkenal pada masa ini adalah Aksam bin Saifi at-Tamimi, Qus bin Sa'idah al-Iyadi, dan Zuhair bin Abi Sulma.
Amtsal dan al-Hikam pada masa Islam lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat religius serta berdasarkan pada al-Qur'an dan hadits. Tokoh yang terkenal pada masa ini ialah Ali bin Abi Talib dengan karyanya Nahj al-Balaghah. Adapun Amtsal dan al-Hikam pada masa Abbasiyah dan setelahnya lebih menggambarkan hal-hal yang berhubungan dengan filsafat sosial dan akhlak. Tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Ibnu al-Muqaffa (720-756).
Sejarah (tarikh) atau Riwayat (sirah), mencakup sejarah beberapa negeri dan kisah perjalanan yang dilakukan oleh para tokoh terkenal. Karya sastra terkenal dibidang ini, antara lain: Mu'jam al-Buldan (Ensiklopedi Kota dan Negara) oleh Yaqut ar-Rumi (1179-1229), Tarikh al-Hindi (Sejarah India) oleh al-Biruni (w. 448 H/1048 M), Tuhfah an-Nazzar fi Gara'ib Amsar wa 'Aja'ib al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Negeri-Negeri Asing dan Perjalanan Yang Menakjubkan) oleh Ibnu Batutah, Zakha'ir al-'Ulum wa Ma Kana fi Salif ad-Duhur (Perbendaharaan Ilmu dan Peristiwa Masa Lalu) oleh Abu Hasan Ali bin Husein bin Ali al-Mas'udi (w. 956), dan Muluk al-'Arab (Raja-raja Arab) oleh Amin ar-Raihan (1876-1940).
Karya Ilmiah (abhats 'ilmiyyah) adalah mencakup berbagai bidang ilmu. Karya-karya terkenal yang berkenaan dengan kajian ini ialah KItab al-Hayawan (Buku tentang Hewan) dan Kitab al-Bukhhala (Buku tentang Orang Bakhil) oleh al-Jahiz (w. 225 H/869 M), 'Aja'ib al-Makhluqat wa Gara'ib al-Maujudat (Makhluk-Makhluk Yang Menakjubkan dan Benda-benda Yang Aneh) dan Asar al-Bilad wa Akhbar al-'Ibad (Peninggalan Negeri-Negeri dan Berita Tentang Manusia) oleh Abu Yahya Zakaria bin Muhammad al-Qazwaini (1208-1283), dan Sirr an-Najah (Rahasia Kesuksesan), dan Siyar al-Abtal wa al-Qudama al-'Uzama (Sejarah Para Pahlawan dan Pembesar-Pembesar Terdahulu) oleh Ya'qub Sarruf (1852-1928).
Adapun puisi (Syi'r) terbagi atas dua bagian, yaitu asy-Syi'r al-Ginai dan asy-Syi'r al-Hikami atau asy-Syi'r at-Ta'limi. Asy-Syi'r al-Ginai merupakan puisi hiburan yang berisi ungkapan perasaan sang penyair. Puisi ini terdiri atas tiga bagian, yaitu:
1.      Asy-Syi'r al-Wijdani, adalah  puisi yang mengungkapkan perasaan penyair, seperti gembira, suka cita, dan berita. Para penyair yang dipandang sebagai tokoh dalam puisi jenis ini adalah Abu Firas al-Hamdani (932-968) dengan kumpulan puisinya yang terkenal Diwan Abi Firas yang diterbitkan pertama kali tahun 1873, dan al-Mutanabbi yang terkenal dengan kumpulan puisinya Diwan al-Mutanabbi.
2.      Asy-Syi'r al-Ratsai, adalah puisi hiburan yang diungkapkan oleh penyair ketika meratapi seseorang yang telah meninggal. Di antara sastrawan yang dianggap tokoh dalam puisi jenis ini adalah al-Muahhil (w. 531) dengan kumpulan puisinya yang terkenal Ratsa'uh li Akhihi Kulaib (Ratapannya kepada Saudaranya Kulaib), dan Abu Jazrah Jarir bin Atiyah (653-7330 dengan kumpulan puisinya yang terkenal Diwan Jarir fi al-Madh wa ar-Ratsa (Kumpulan Puisi Jarir tentang Sanjungan dan Ratapan).
3.      Asy-Syi'r al-Fakhr, adalah puisi yang menyanjung kebesaran dan keperkasaan seseorang atau kelompok tertentu. Yang dianggap sebagai tokoh dalam jenis puisi ini ialah Antarah bin Syaddad (w. 615) dengan kumpulan puisinya yang terkenal Diwan 'Antarah fi al-Fakhr wa al-Hamasah wa al-Gazal (Kumpulan Puisi Antara Tentang Kebanggaan, Semangat, dan Sajungan).

Adapun asy-Syi'r al-Hikami atau asy-Syi'r at-Ta'limi adalah puisi yang berisikan pendidikan atau pengajaran. Yang dianggap tokoh dalam jenis puisi ini ialah Zuhair bin Abi Sulma (530-627) dengan karyanya al-Hauliyyat, Labib bin Rabi'ah (560-661) yang terkenal dengan karyanya Hikmah ar-Ratsa (Mutiara-Mutiara Ratapan), Addi bin Zaid (w. 604) yang terkenal dengan puisi Hikam (Kata-Kata Mutiara) dan Zuhdiyyat (Kezuhudan), Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1058) yang terkenal dengan karyanya al-Luzumiyyat (Kebutuhan) dan Risalah al-GufranLamiyah ibn al-Wardi (Ratapan Ibnu al-Wardi), dan Nasif al-Yaziji (1800-1871) dengan puisinya yang terkenal Diwan Syi'r Nasif. (Risalah Pengampunan), Ibnu al-Wardi (1290-1349) dengan karyanya yang terkenal
Pada masa modern, penyair yang terkenal dalam jenis puisi ini adalah Ahmad Syauqi (1868-1932) dengan karyanya yang terkenal asy-Syauqiyyat (Puisi-Puisi Syauqi), dan Muhammad Hafiz Ibrahim (1872-1932) dengan kumpulan puisinya Diwan Hafiz Ibrahim (Kumpulan Puisi Hafiz Ibrahim).

A.    PROSA

1.      Pengertian Natsr (Prosa)
Terdapat banyak perbedaan definisi yang dikemukan oleh para ahli sastra Arab. Akan tetapi, perbedaan ini hanyak terletak bahasa penyampaiannya saja. Namun, mengenai hakikat sebuah prosa mereka memiliki pendapat yang sama, seperti yang dikemukakan di bawah ini :

والنثر : فهو ما ليس بشعر من الكلام المصقول المنمق, فهو لايتقيد بوزن ولا قافية

"Prosa adalah ungkapan atau tulisan yang tidak sama dengan Syi'r, ia tidak terkait dengan wazan atau qafiyah"

Sebagian para ahli sastra Arab berpendapat bahwa timbulnya natsr lebih dahulu daripada timbulnya syi'r, sebab prosa tidak terikat oleh sajak dan irama. Prosa itu bebas bagaikan derasnya air. Sedangkan timbulnya syi'r sangat erat hubungannya dengan kemajuan manusia dalam cara berpikir. Sehingga mereka berpendapat bahwa manusia baru dapat mengenal bentuk-bentuk syi'r setelah mencapai kemajuan dalam bidang bahasa. Terdapat dua jenis natsr yaitu natsr ghair fanni dan natsr fanni. natsr ghair fanni adalah ungkapan prosa yang keluar dari lisan mereka baik ketika terjadinya percakapan maupun ketika melakukan orasi (khutbah), yang mereka lakukan secara spontan. Sedangkan natsr fanni adalah prosa yang diungkapkan dengan keindahan nilai-nilai sastra yang membekas ke dalam jiwa dan perasan.
Secara umum natsr Jahiliyyah terbagi ke dalam beberapa jenis diantaranya : al-Khutbah, al-Wasiyat, al-Hikmah, al-Matsal (Amtsal), dan ada juga ahli sastra Arab memasukan Saj'u Khuhan (mantera dukun) ke dalam pembagian jenis prosa Arab Jahiliyyyah.
Adapun karakteristik yang dimiliki Natsr Jahiliyyah antara lain kalimat yang digunakan ringkas, lafaznya jelas, memiliki kedalaman makna, bersajak (mengakhiri setiap kalimat dengan huruf yang sama), terkadang sering dipadukan dengan syi'r, amtsal dan yang lainnya.

2.      Al-Amtsal (Pribahasa)
Pengertian Amtsal,
والأمثال هي جمل رصينة موجزة تشير إلى قصة أو حادثة يشبه بها حال الذى حكيت فيه بحال الذى قيلت لأجله
Amtsal adalah kalimat singkat yang diucapkan pada keadaan atau peristiwa tertentu, digunakan untuk menyerupakan keadaan atau peristiwa tertentu dengan keadaan atau peristiwa asal dimana matsal tersebut diucapkan.

Kata amtsal adalah bentuk jamak dari masalun dan mislun, yang mengandung arti bidal atau bandingan. Terdapat banyak arti kata masalun dan mislun yang dapat kita jumpai, misalnya persamaan, padanan, sederajat, sepangkat, sejalan (dengan), menurut kias, sama (dengan). Atau dalam terjemahan bahasa asing lainnya kita jumpai seperti simelar, equal dan analogous. Dalam sastra Indonesia amtsal ini sama dengan pribahasa atau pepatah.
Dalam sejarah Mesir Kuno banyak dikenal buku-buku bidal yang berisi pengajaran dan nasehat-nasehat dengan menggunakan kata-kata amtsal, misalnya: Al-Fallah al-Fasyih, Sibawaih dan Aibur. Koleksi buku-buku ini disebut Sifru al-Amtsal (Kitab Bidal/The Book of Proverbs). Di bawah ini terdapat beberapa contoh dari amtsal, di antaranya :

قبل الرمى تملأ الكنائن

"Sebelum memanah penuhi dahulu busur-busur"

Pribahasa di atas memiliki kesamaan dengan pribahasa "Sedia payung sebelum hujan" yang merupakan sebuah pesan agar sebelum bertindak kita haruslah mempersiapkan sesuatu yang berkaitan dengan tindakan yang akan dilakukan.

ضعف الطالب والمطلوب

"Si  peminta dan yang meminta lemah"

Pribahasa di atas merupakan sebuah ungkapan di waktu kita diminta seseorang agar membantunya berupa uang atau bantuan yang lain, pada kita sendiri tidak mempunyai uang atau bantuan yang dapat diberikan.
Diriwayatkan bahwa ada seorang Arab mengutus anaknya untuk mencari untanya yang hilang, namun anaknya tak kunjung pulang, maka pergilah sang ayah untuk mencari anaknya tersebut pada bulan haram, ditengah perjalanan ia bertemu dengan seorang pemuda dan menemaninya, sang pemuda tersebut kemudian berkata: beberapa waktu lalu aku bertemu dengan seorang pemuda dengan ciri-ciri begini dan begini dan aku rampas pedang ini darinya, sang ayah pun berfikir dan melihat pedang tersebut, barulah ia sadar bahwa pemuda inilah yang membunuh anaknya, sang ayah pun menebas pemuda tadi hingga mati, ketika masyarakat mengetahui hal tersebut mereka mengatakan " mengapa kau membunuh di bulan haram, sang ayah berkata :

سبق السيف العذل

"pedangku telah mendahului celaan kalian."

Diriwayatkan pula bahwa pada suatu musim panas seorang lelaki tua menikahi gadis muda yang cantik jelita, lelaki tadi memiliki begitu banyak unta dan kambing yang senantiasa memproduksi susu. Akan tetapi wanita ini tidak mencantai lelaki tua itu dan meminta untuk diceraikan, maka merekapun bercerai. Wanita tadi akhirnya menikah dengan seorang pemuda yang tampan namun miskin, tidak punya kambing apalagi unta, pada musim dingin wanita tadi melihat sekawanan kambing milik lelaki tua mantan suaminya dan memohon agar diberikan susu dari kambing-kambing tersebut, namun lelaki tua itu menolak dan berkata :
الصيف ضيعت اللبن

"Musim panas yang lalu kau telah menyia-nyiakan susu yang aku beri"

Matsal di atas diucapkan kepada seorang yang telah menyia-nyiakan kesempatan dimasa lalu namun kini mengharapnya kembali.

3.      Al-Hikam (Kata-Kata Mutiara)
Pengertian Hikam,
والحكم : قول موجز يشتمل على حكم صائب ورأى سديد.

"Hikam atau kata-kata mutiara adalah ucapan kalimat yang ringkas yang menyentuh yang bersumber dari pengalaman hidup yang dalam, di dalamnya terdapat ide yang lugas dan nasihat yang bermanfaat."

Terkadang kata-kata mutiara juga terdapat di dalam sebuah syi'r sebagaimana banyak ditemukan di dalam Syi'r Zuhair bin Abi Sulma. Adapun di antara para penghikmah yang terkenal, antara lain : Qus bin Sa'idah dan Dzul Isba' Al-‘Adwani. Di bawah terdapat beberapa contoh dari hikam atau kata-kata mutiara :

آفة الرأي الهوى
"Perusak akal sehat manusia adalah hawa nafsunya."

مصارع الرجال تحت برو ق الطمع
"Kehancuran seorang lelaki terletak dibawah kilaunya ketamakan"

4.      Al-Wasiat
Pengertian al-wasiat,

وهي كالخطابة, الكلام الذى يصدر من المرأة, لإبنـتها ومن الرجل لولده ومن الأمير لقواد جيشه ومن الحكيم لقومه, ويغلب ذلك عند الإحساس بالأجل أو العزم على الرحلة.

"Wasiat itu sama seperti khutbah yaitu ucapan atau pesan yang disampaikan oleh seseorang, baik dari orang tua kepada anaknya, dari pemimpin kepada anak buahnya, dari hakim kepada masyrakatnya. Biasanya wasiyat disampaikan oleh seseorang yang merasa bahwa ajalnya sudah dekat atau seseorang yang hendak melakukan perjalanan".

Wasiat memiliki banyak persamaan dengan khutbah hanya saja umumnya wasiat itu lebih ringkas. Di bawah ini adalah contoh wasiat yang disampaikan oleh Dzul Isba' Al-‘Adwani kepada anaknya yang bernama Usaid. Diriwayatkan bahwa disaat Dzul Isba' Al-‘adwani merasakan ajalnya ia memanggil anaknya Usaid, ia menasihati anaknya dengan beberapa nasihat demi mewujudkan kedudukan yang mulia ditengah manusia dan menjadikannya seorang yang mulia, terhormat dan dicintai oleh kaumnya. Ia berkata :

ألن جانبك لقومك يحبوك, وتواضع لهم يرفعوك, وابسط لهم وجهك يطيعوك, ولا تستأثر عليهم بشيء يسودوك,أكرم صغارهم كما تكرم كبارهم و يكبر على مودتك صغارهم, واسمح بمالك, و أعزز جارك وأعن من استعان بك, وأكرم ضيفك, وصن وجهك عن مسألة أحد شيئا, فبذلك يتم سؤددك

"Berlemah lembutlah kepada manusia maka mereka akan mencintaimu, dan bersikap rendah hatilah niscaya mereka akan mengangkat kedudukanmu, sambut mereka dengan wajah yang selalu berseri maka mereka akan mentaatimu, dan janganlah engkau bersikap kikir maka mereka akan menghormatimu. Muliakanlah anak kecil mereka sebagaimana engkau mencintai orang-orang dewasa diantara mereka, maka anak kecil tadi akan tumbuh dengan kecintaan kepadamu, mudahkanlah hartamu untuk kau berikan, hormatilah tetanggamu dan tolonglah orang yang meminta pertolongan, muliakanlah tamu dan selalulah berseri ketika menghadapi orang yang meminta-minta, maka dengan itu semua sempurnalah kharismamu."

5.      Khithobah (Orasi)
Senin, 13 April 2009 20:53:29 - oleh : admin
Pengertian khutbah atau orasi,

والخطابة هي كل كلام مؤثر يلقى على ملأ من الناس لإقناعهم بما فيه الخير لعامتهم فى حاضرهم ومستقبلهم.

Khithobah atau orasi adalah serangkaian perkataan yang jelas dan lugas yang disampaikan kepada khalayak ramai dalam rangka menjelaskan suatu perkara penting.

Adapun penyebab munculnya khithobah pada periode Jahiliyah antara lain : banyaknya perang yang terjadi antar kabilah, pola hubungan yang ada pada masyarakat Jahiliyyah seperti saling mengucapkan selamat, belasungkawa dan saling memohon bantuan perang, kekacauan politik yang ada kala itu, menyebarnya buta huruf, sehingga komunikasi lisan lebih banyak digunakan daripada tulisan, dan saling membanggakan nasab dan adat istiadat.
Ciri khas yang dimiliki oleh khithobah pada masa ini antara lain: penggunaan kalimat yang ringkas, lafaz yang jelas dan ringkas, makna yang mendalam, bersajak (berakhirnya setiap kalimat dengan huruf yang sama) dan terkadang sering terjadi perpaduan antara syi'r, hikmah dan matsal.
Khithobah memiliki peranan yang besar dalam kehidupan masyarakat Jahiliyyah pada waktu itu. Bagi mereka khutbah merupakan alat komunikasi untuk menunjukkan kehebatan suatu kabilah atau menjadi semangat dalam sebuah peperangan antar kabilah. Adapun tempat-tempat yang biasa dipakai untuk berorasi antara lain:
1.      Sebelum peperangan antar kabilah terjadi, dimana sang orator berdiri diatas kuda atau unta untuk memberikan semangat pada pasukannya agar dapat memenangkan peperangan.
2.      Ketika munafarah, yaitu dimana seseorang membanggakan diri di depan orang lain, atau membanggakan satu kabilah dengan kabilah yang lain. Dalam keadaan ini sang orator akan berorasi didepan khayalak ramai untuk membanggakan kabilahnya.
3.      Ketika berada di hadapan utusan raja atau amir, sang orator maju dihadapan para utusan tersebut dan berorasi untuk menyampaikan keinginan-keinginan mereka.
4.      Ketika acara pernikahan, khutbah pada acara pernikahan ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab sejak dahulu yang hingga saat ini masih dipertahankan, sebagaimana yang dilakukan paman Nabi SAW, Abu Thalin ketika menikahkan Beliau SAW dengan Siti Khadijah.

Di antara para orator yang terkenal pada masa Jahiliyyah, antara lain : Aktsam bin Shaifi, Qus bin Sa'idah al-Iyady (sang orator Ukadz), Amr bin Ma'dayakiribah Al-Zabidy.
Di bawah ini terdapat contoh khutbah yang disampaikan oleh Hani' Bin Qobishoh ketika terjadi peperangan Dzi-Qorin. Diriwayatkan bahwa Kisra ( Raja Persia ) memaksa Hani bin Qobishoh Asa-Syaibani agar menyerahkan harta amanah yang dititipkan kepadanya oleh Nu'man ibnul Mundzir-salah seorang penguasa Irak-. Hani menolak permintaan tersebut demi menjaga amanah yang dititipkan kepadanya sehingga terjadilah perang antara tentara Persia dengan kabilah Bakr yang dipimpin oleh Hani, pertempuran tersebut berlangsung pada sebuah tempat dekat Bashrah di Irak yang bernama Dzi-Qorin, pertempuran tersebut akhirnya dimenangkan oleh Kabilah Bakr, sebelum pertempuran tersebut berlangsung Hani' membakar semangat para pasukannya dengan perkataannya :

يا معشر بكر , هالك معذور خير من ناج فرور, إن الحذر لا ينخي من القدر, و إن الصبر من أسباب الظفر, المنية ولا الدنية, استقبال الموت خير من استدباره, و الطعن في ثغر النحور, أكرم منه في الأعجاز و الظهور, يا أبا بكر : قاتلوا فما للمنايا من بد

"Wahai sekalian kaum Bakr, orang yang kalah secara terhormat lebih baik dari orang yang selamat kar'na lari dari medan juang, sesungguhnya ketakutan tidak akan melepaskan kalian dari ketentuan Tuhan, dan sesungguhnya kesabaran adalah jalan kemenangan. Raihlah kematian secara mulia, jangan kalian memilih kehidupan yang hina ini. Menghadapi kematian lebih baik daripada lari darinya, tusukan tombak di leher-leher depan lebih mulia dibanding tikaman dipunggung kalian, wahai kaum Bakr..... Berperanglah!!!! Karena kematian adalah suatu kepastian.. "

B.     PUISI

1.      Pengertian Syi'r

والشعر هو الكلام الموزن المقفى المعبر عن الأخيلة البديعة والصّور المؤثرة البليغة.
Syi'r adalah ungkapan atau ungkapan yang berwazan dan berqafiah yang mengungkapkan imajinasi yang indah dan bentuk-bentuk ungkapan yang mengesankan lagi mendalam (Zayyat, 1996: 25).

Para penyair pada zaman jahiliyah dianggap sebagai kaum intelektual. Mereka dianggap golongan orang yang paling tahu berbagai macam ilmu yang dibutuhkan bangsa Arab pada masanya. Yaitu pengetahuan tentang nasab, kabilah-kabilah dan ilmu lain yang mashur pada masa itu. Menurut Ahmad Amin (1933: 55) secara etimologi kata sya'ara sendiri berarti 'alima (mengetahui). Seperti kalimat sya'artu bihi artinya alimtu. Dari sini dapat dipahami juga pada ayat berikut:

وَمَا يُشْعِرُكُمْ أَنَّهَا إِذَا جَاءَتْ لا يُؤْمِنُونَ.
"Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mukjizat datang mereka tidak akan beriman"(QS. 6: 109).

Dalam kamus lisan al-Arab, kata sya'ara (شعر) dimaknai ilmu dan makrifah. Karena itu kata asy-sya'ir (الشاعر) artinya (العالم) wa asy-syua'ara' artinya ulama. Kemudian kata syi'r berkembang menjadi sebuah istilah yang khusus, dalam al-lisan disebutkan:

و الشعر منظوم القول، غلب عليه لشرفه بالوزن و القافية، .

"Puisi itu merupakan rangkaian kata-kata, yang biasanya tersusun dalam bentuk wazan dan qafiyah"

Pada zaman jahiliyah para penyair adalah golongan masyarakat jahiliyah yang paling berilmu. Di samping golongan lain yang disebut dengan hukkam. Golongan ini memberi keputusan atas berbagai perselisihan antar anggota masyarakat dalam hal derajat dan nasab. Setiap kabilah memiliki satu hakim atau lebih, di antara hakim yang terkenal Aqsam ibn Saifi, Hajib ibn Zurarah, al-Aqra' ibn habis dan Amir ibn Gharb. Secara intelektual mereka ini lebih tinggi dari para penyair akan tetapi secara imajinasi para penyair lebih luas dan lebih membekas. Sehingga bangsa Arab menyatakan bahwa :

إن الشعر ديوان العرب

"Sesungguh puisi itu merupakan diwan bangsa Arab"

Yang dimaksud dengan diwan di sini adalah catatan bahwa Syi'r mencatat berbagai hal tentang tata krama, adat istiadat, agama dan peribadatan mereka serta keilmuan mereka, atau dengan kata lain mereka mencatat tentang diri mereka sendiri dalam Syi'r. Dahulu para sastrawan menggunakan syair Arab jahiliyah untuk memahami berbagai perang dan memahami kepahlawanan, kedermawanan dan kelicikan yang digunakan untuk menciptakan Syi'r madah dan hija' (Amin, 1933: 57).
Beberapa kumpulan diwan Arab jahiliyah adalah sebagai berikut: al-Mu'allaqat as-Sab'u yang dikumpulkan oleh Hammat ar-Rawiyah, al-Mufadhdholiyyat yang disusun oleh al-mufadhdhal adh-dhobiyyu terdiri dari 128 qasidah, diwan al-hammasah yang disusun oleh Abi Tamam yang berisi potongan-potongan syi'ir jahiliyah yang sangat banyak, al-Hammasah karangan al-Bukhturi, al-Aghani, asy-Syi'ru wa asy-Syu'ara' karangan Ibnu Kutaibah, Mukhtarat Ibnu Sajary, Jamharotu Asy'aru al-Arab karangan Abu Zaid al-Kurasyi, Syi'r jahiliyah yang sampai kepada kita tidak lebih dari 150 tahun sebelum kenabian, hasil pengamatan kepada Syi'r Arab menunjukkan tema-temanya tidak variatif, maknanya tidak melimpah, Syi'r-Syi'r jahiliyah, qasidah dan musiqahnya serta iramanya satu, tasybih dan isti'arahnya sering terulang, miskin kreasi dan miskin variasi (Amin, 1933: 58).
Syi'r menjadi panglima kehidupan pada zaman jahiliyah, menjadi idola dalam seluruh bidang kehidupan. Berbagai momen kehidupan baik ritual keagamaan, sosial politik, perang dan perdagangan menggunakan Syi'r sebagai alat motivasi handal. Syukri Faishol menggambarkan dominasi Syi'r pada masa jahiliyah sebagai berikut :

كَانَ الشِعْرُ مِن الْاَثرةِ واَلطُغْيَان بِحَيْثُ كَانَ يَسْتبد بِكُلَّ مَجَالاَت الْقَوْل ، فَى الْحَرْب وَالْسِلْم وَفِيْ الفَخْر وَالْهِجَاء، وَفِي التَأَمّل الدِّيْنِي وَالتّفْكِيْر الْفَلْسَفِي، فِي هذِهِ جَمْيعًا كَانَت الْحَيَاة الْجَاهِلِيّة تَتَنَفَّس هذَا التَنَفُّس الْشِعْرِي...وَحَتَّى حِيْنَ يَكُوْن الْنَثْر أَحْيَانًا عَلَى أَلْسِنَة الْكُهَّان، كَانَ نَثْرًا مَسْجُوْعًا.

"Syi'r begitu dominan menguasai berbagai macam bentuk ungkapan di berbagai bidang dalam peperangan, dalam perdamaian seperti fakhr dan hija' dalam penghayatan keagamaan, dalam pemikiran filosofis. Semua bidang tersebut pada masa jahiliyah tumbuh dalam suasana puitis, bahkan rotsa yang biasa digunakan para dukun-dukun jahiliyah pun bersajak sehingga dikenal dengan saja'ul-kuhhan. Hubungan antara keduanya begitu dekat dalam wazan dan qafiyahnya. Secara historis prosa liris tidak memiliki akar yang kuat dalam kehidupan jahiliyah tidak seperti jahiliyah, memiliki tradisi puitis dan memiliki sisi historis yang panjang. Yang menopang kekokohan keberadaannya dari segi produksi, sastrawan dan periwayatannya." (Syukri Faishol, 1973: 351).

2.      Awal Mula timbulnya Syi'r Arab
Sejarah mengenai awal mula Syi'r Arab merupakan sejarah yang sulit untuk menentukan batasannya. Akan tetapi para ahli sejarah sastra Arab berpendapat bahwa timbulnya Syi'r Arab telah lebih dahulu daripada prosa. Syi'r Arab Jahiliyyah yang sampai kepada kita saat ini hanya sebagian Syi'r yang pengumpulannya pada perang Busus sekitar 150 tahun sebelum Islam. Itupun tidak merupakan keseluruhan Syi'r yang dihasilkan bangsa Arab di masa tersebut. Sehingga Syi'r Jahiliyyah yang sampai kepada kita sekarang ini hanyalah sebagian kecil saja dari Syi'r Jahiliyyah yang dapat diselamatkan dari kepunahan.
Syi'r Jahiliyyah yang sempat dihapal oleh generasi yang datang di masa Islam akhirnya dicatat dan dibukukan dalam catatan-catatan pribadi, kemudian diajarkan kepada generasi berikutnya. Kemudian dari hapalan-hapalan tersebut lalu dikumpulkan oleh para pengumpul Syi'r, seperti Hammad Arrowy, Al-Asmaiy, Khallaf bin Amru dan Abu Bakar Hawarizmy. Merekalah yang mengumpulkan Syi'r yang masih ada pada suku Badui Arab. Karena suku Badui sangat terkenal dalam kekuatan hapalannya untuk menjaga adat istiadat dan hasil karya nenek moyang mereka. Selanjutnya, hasil karya sastra Arab yang telah dibukukan, kelak akan dijadikan sandaran bahasa Arab oleh para ahli linguistik Arab, ahli balaqhah, dan juga para penyair Islam yang datang di masa sesudahnya.
Mengenai sejarah awal mula timbulnya Syi'r Arab Jahiliyyah, sosok Muhalhil bin Rabiah Attaghliby dianggap sebagai orang pertama yang menciptakan Syi'r Arab. Hal ini dikarenakan dari sekian banyak Syi'r Arab yang ditemukan hanyalah sampai pada zaman Muhalhil, dan dari sekian banyak Syi'r Muhalhil yang dapat diselamatkan hanya sekitar 30 bait saja.
Anggapan bahwa Muhalhil adalah perintis pertama dalam menciptakan Syi'r Arab, bukan berarti bahwa permulaan timbulnya Syi'r Arab itu dimulai dari zaman Muhalhil. Bahkan jauh sebelum zaman Muhalhil, Syi'r Arab telah ada, hanya saja Syi'r Arab kuno yang ada sebelum zaman Muhalhil telah lenyap. Pendapat ini dikuatkan oleh Umru' Al-Qais yang menyatakan bahwa sebelum zaman Muhalhil, bangsa Arab telah mengenal Syi'r.

عوجا على الطّلل المحيل لأننا # نبكى الدّيار كما بكى ابن خذام

Mari kita kembali (mengenang) kepada puing-puing yang runtuh, karena kami akan mengenang (menangisi) kembali kekasih yang telah pergi, seperti yang telah dilakukan oleh Ibnu Al-Huzama.

Bait syi'r di atas memberikan penerangan kepada kita bahwa segala apa yang dilakukan penyair yang ada pada masa Jahiliyyah hanyalah sebuah tiruan atau pengulangan dari yang telah dilakukan oleh penyair masa sebelumnya. Pendapat Umru' Al-Qais ini dikuatkan oleh pendapat Zuhair bin Abi Sulma dalam bait syi'rnya di bawah ini

ما ارانا نقول إلاّ معارا # او معاذا من لفظنا مكرورا

Apa yang kami ucapkan waktu ini, tidak lain hanyalah jiplakan (tiruan) atau ulangan dari ucapan syair di masa lampu.

Dari kutipan-kutipan syi'r di atas dapatlah kita ketahui bahwa sejak sebelum Masehi, bangsa Arab telah mengenal syi'r, hanya saja karya mereka telah lenyap dimakan waktu. Adapun Muhalhil hanyalah sebagai seorang penerus atau perintis syi'r Arab Jahiliyyah.


3.      Pembagian Jenis-jenis Syi'r dan Tujuannya
Bahasa Arab pada zaman Jahiliyah ada dua bentuk prosa dan syair. Prosa berfungsi sebagai alat komunikasi tetapi kedudukannya tidak lebih tinggi dari syair, sehingga prosa ini kurang mendapat tempat dihati orang-orang Arab, anggapan mereka bahwa prosa tidak mengandung unsur keindahan dan seni dalam mengungkapkan apa yang hendak mereka ungkapkan. Lain lagi halnya dengan syair, bangsa Arab mempunyai ketajaman dalam menilai bahasa, keindahan dalan berucap  yang senantiasa disatukan dengan perasaan yang sangat halus yang merela miliki, sehingga mereka mampu berimajinasi dengan sangat tinggi. Faktor inilah yang menjadi modal dasar bangsa Arab untuk menggugah syair yang indah dengan berbagai tujuannya sesuai dengan apa yang sedang bergejolak dalam jiwanya. Karna menurut pandangan bangsa Arab syair merupakan puncak keindahan dalam sastra mereka dibanding dengan hasil sastra lainnya.
Syair -syair yang mereka lantunkan dapat memukau dan mempengaruhi jiwa sipendengarnya, sehingga sudah menjadi tradisi dan kebiasaan orang Arab untuk selalu menghafalkan apa yang telah mereka dengar sampai benar-benar hafal.  Kemudian syair-syair itu diajarkan kepada anak cucunya atau kerabat dalam kabilah itu  sehingga sampai kepada beberapa generasi berikutnya. Peran dan fungsi bahasa pada zaman Jahiliyah sangatlah sederhana seirama dengan kesederhanaan letak geografisnya, ketandusan wilayahnya yang menyebabkan mereka tidak dapat bertani, dan jalannya perdagangan sangat sulit dan rumit  akibat daerah yang satu dengan yang lainnya sangat berjauhan,  dan juga peperangan antar suku kerap terjadi. Hal seperti inilan membuat bahasa mereka sangat sederhana.
Adapun puisi (Syi'r) terbagi atas dua bagian, yaitu asy-Syi'r al-Ginai dan asy-Syi'r al-Hikami atau asy-Syi'r at-Ta'limi. Asy-Syi'r al-Ginai merupakan puisi hiburan yang berisi ungkapan perasaan sang penyair. Adapun asy-Syi'r al-Hikami atau asy-Syi'r at-Ta'limi adalah puisi yang berisikan pendidikan atau pengajaran.
Menurut Syauqi Dhaif (2001: 196) yang pertama kali melakukan tipologi tema Syi'r Arab dan membukukannya adalah Abu Tamam (w. 232 H). Abu Tamam membagi tema Syi'r Arab dalam 10 (sepuluh) tema yaitu Hammasah, Maratsi, Adab, Nasib, Hija`, Adyaf, Madih, Sifat, Sair, Nu'as, Milh, Mazammatu Nisa`. Tema-tema tersebut tidak teratur kadang Adyaf masuk dalam kategori madih, kadang masuk ke hammasah dan kadang masuk ke fakhr. Sedang tema siar dan nu'as masuk kepada tema sifat sebagaimana Madzammatun Nisa' masuk ke Hija' dan al-Milh sering tidak jelas maksudnya. Qudamah dalam bukunya Naqdu asy-Syi'ri membagi tema Syi'r Arab menjadi enam, yaitu madih, hija', nasif, maratsi wa al-wasfu wa at-tasybih. Kemudian dia mencoba untuk meringkasnya saja menjadi dua bab saja yaitu bab madah dan hija'. Ibnu Rasyiq membagi menjadi sepuluh dalam bukunya al-'Umdah yaitu an-nasib, al-madih, al-iftikhar, ar-ritsa, al-iqtidho', al-istinjas, al-'itab, al-wa'id, al-indzar, al-hija' dan al-i'tidzar. Sedangkan Abu Hilal al-'Askary mengatakan sebetulnya Syi'r Arab jahiliyah itu dibagi menjadi lima yaitu: al-madih, al-hija', al-wasf, at-tasybih dan al-miratsi. Sampai kemudian an-Nabighah menambahkan satu tema yaitu al-i'tidzar. Sesungguhnya ini adalah pembagian yang baik akan tetapi Abu Bakar al-Asy'ari melupakan satu tema yaitu al-hammasah, padahal tema ini yang paling banyak digunakan oleh orang Arab jahiliyah.
Dalam hal ini, jenis Syi'r Arab jahiliyah menurut tujuannya terbagi menjadi beberapa macam, sesuai bentuk dan warnanya yang berlainan antara yang satu dengan yang lain, yang semuanya mewarnai corak yang sesuai dengan tujuannya masing-masing.
a.      Tasybih/ghazal ialah suatu bentuk puisi yang di dalamnya menyebutkan wanita dan kecantikannya, Syi'r ini juga menyebutkan tentang kekasih, tempat tinggalnya dan segala apa saja yang berhubungan kisah percintaan. Seperti Syi'r A`sa ketika tidak tega ditinggal kekasihnya Harirah:

غَرَّاءٌ فَرْعَاءْ، مَصْقُوْلٌ عَوَارِضُهَا # تَمْشِى اْلهُوَيْنىَ كَمَا يَمْشِى اْلجى الوحل
كَأَنَّ مِشْيَتَهَا مِنْ بَيتِ # جَارَتِها مَرّ السَحَابَةِ لا رَيْثٌ و لا عَجَل

Seolah-olah jalannya dari rumah tetangganya
Seperti jalannya awan tidak lambat dan tidak juga cepat

Atau Syi'r Imru al-Qais menggambar keindahan Unaizah (kekasihnya) dalam bait Syi'rnya seperti di bawah ini:

فَلَمَّا أَجَزْنَا سَاحَةُ الحَيِّ وَ انْتَحَى بِنَا بَطْنُ خَبْْتٍ ذِى حِقَافٍ عَقَنْقَلِ
هَصَرْتُ بِفَوْدَىْ رَأْسِهَا فَتَمَايَلَتْ عَلَىَّ هَضِيْمَ الكَشْحِ رَياَّّ المُخَلْخَلِ
مُهَفْهَفَـةٌ بَيْضَـاءُ غَيْرُ مُفَاضَةٍ تَرَائِبـُهَا مَصْقُوْلَةٌ كاَلسَّجَنْجَـلِ
وَجِيْدٍ كَجِيْدِ الرِّئْمِ لَيْسَ بِفَاحِشٍ إِذَا هِـيَ نَصَّتـْهُ وَلاَ بِمُعـَطَّلٍ
وَ فَرْعٍ يَزِيْنُ الْمَتْنَ أَسْوَدَ فَاحِمٍ أَثِيـْثٍ كَقَنْـوِ النَّخْلَةِ الْمُتَعَثْكِلِ

Ketika kami berdua telah lewat dari perkampungan, dan sampai di tempat yang aman dari intaian orang kampung
Maka kutarik kepalanya sehingga Ia (Unaizah) dapat melekatkan dirinya kepadaku seperti pohon yang lunak
Wanita itu langsing, perutnya ramping dan dadanya putih bagaikan kaca
Lehernya jenjang seperti lehernya kijang, jika dipanjangkan tidak bercacat sedikit pun, karena lehernya dipenuhi kalung permata
Rambutnya yang panjang dan hitam bila terurai di bahunya bagaikan mayang kurma. (Al-Zauziny, 16-17 dan Al Muhdar, 1983: 48).

b.      Hammasah/Fakher, jenis Syi'r ini biasanya digunakan untuk berbangga dengan segala macam kelebihan dan keunggulan yang dimiliki oleh suatu kaum. Pada umumnya Syi'r ini digunakan untuk menyebutkan keberanian dan kemenangan yang diperoleh. Seperti Syi'r Rasyid ibn Shihab al- Yaskary yang menantang Qais ibn Mas`ud al-Syaibany di Pasar Ukaz;

وَلاَ تُوعِدنِّى إنـنى إن تـلاَقنى معى مَشْـرِفِىُّ في مضاربـه قَضَمْ
و ذمٌّ يُغَشِّى المرءَ خِزْياً و رهطه لدى السَّرْحة العَشَّاء في ظلها الأَدَمْ

Jangan mengancamku, sungguh bila kau menemui aku
Bersamaku pedang tajam dengan darah yang terus mengalir karena sayatannya
Dan celaan yang membuat pingsan korbannya karena malu dan hina
Disaksikan berbagai kabilah di bawah pohon (di pasar Ukaz) di Qubab Adam  (Dhaif, 2001: 200).

c.       Madah, Bentuk Syi'r ini digunakan untuk memuji seseorang dengan segala macam sifat dan kebesaran yang dimilikinya seperti kedermawanan dan keberanian maupun ketinggian budi pekerti seseorang. Seperti Syi'r Nabighah ketika memuji raja Nu`man:

فَإِنَّكَ شَمْسٌ وَ الْمَلُوكُ كَوَاكِبٌ إِذَا طَلَعَتْ لمَْ يَبْدُ مِنْهُنَّ كَوْكَبُ

Kamu adalah matahari sedang raja yang lain adalah bintang
Apabila matahari terbit maka bintang-bintang yang lain tidak mampu menunjukkan diri (Mursyidi, 97).

Atau seperti Syi'r A`sya ketika memuji kedermawanan Muhallik:

تَرَى الْجُوْدَ يَجْرِى ظَاهِرًا فَوْقَ وَجْهِهِ # كَمَا زَانَ مَتْنَ الْهِنْدُوَانِى رَوْنَقُ
يَدَاهُ يَدَا صِدْقٍ: فَكَفٌّ مُبِيْدَةٌ # وَ كَفٌّ إِذَا مَا ضُنُّ بِالمَالِ يُنْفَقُ

Kamu lihat kedermawanan di wajahnya seperti pedang yang berkilauan.
Kedua tangannya selalu benar, yang satu untuk membinasakan sedang yang lain untuk berderma (Al-Iskandary, 1978: 82-83).

Syi'r ini ditulis oleh an-Nabighah untuk memuji kaum Ghassasinah, khususnya kepada raja Amru ibn al-Harits al-Ghassany.

لَهُمْ شِيْمَةٌ لَمْ يُعْطِهَا اللهُ غَيْرَهُمْ مِنَ اْلجُوْدِ، وَاْلأَحْلاَمِ غَيْرَ عَوَازِبِ
رِقَافَ النِّعَالِ، طَيِّبٌ حُجُزَاتُهُمْ يُحَيَّوْنَ بِالرَّيْحَانِ يَوْمَ السَّبَاسِبِ
وَلاَ يَحْسَبُوْنَ اْلخَيْرَ لاَ شَرَّ بَعْدَهُ وَلاَ يَحْسَبُوْنَ الشَّرَّ ضَرْبَةَ لاَزِبِ

Mereka (kabilah Ghassan) memiliki sifat kedermawanan, dan cara berfikir cemerlang yang tidak diberikan oleh Allah kepada yang lain
Sandalnya halus, selalu mengendalikan diri, semua manusia menghormati mereka dengan wangi-wangian pada hari raya sabasib
Mereka sangat berpengalaman, kebaikan tidak melupakan mereka dari kesengsaraan-kesengsaraannya, demikian juga musibah dan penderitaan tidak membuat mereka berputus asa. (Mursyidi, t.t.:90).

Ini adalah Syi'r Khansa` yang sangat bangga pada saudaranya Shakhr

يُـؤَرِّقُنِى التَّذَكُّـرُ حِيْنَ أُمْسِى فَأُصْبِحُ قَدْ بُلِيْتُ بِفَرْطِ نَكْسٍ
عَلَى صَخْرٍ، وَ أَيُّ فَتًى كَصَخْرٍ لِيَوْمِ كَرِيْهَةٍ وَ طِعَانِ خَلَسِ ؟
فَلَـمْ أَرَ مِثْـلَهُ رُزْءًا لـِجِنٍ وَ لمَ أَرَ مِثـْلَهُ رُزْءًا لإِنْـسِ
أَشَدُّ عَلَى صُرُوْفِ الدَّهْرِ أَيْدًا وَ أَفْضَلُ فِي الخُطُوْبِ بِغَيْرِ لِبْسِ
وَ ضَيْـفٍ طَارِقٍ، أَوْ مُسْتَجِيْرٍ يُـرَوِّعُ قَلْبُهُ مِنْ كُلِّ جَـرْسِ
فَأَكْرَمَـهُ، وَ أَمَّنـَهُ، فَأَمْسَى خَلِيًـا بَـالُهُ مِنْ كُلِّ بُـؤْسِ

Setiap malam aku tersiksa oleh ingatanku
Dan di pagi hari kudapati diriku yang kemarin sembuh sakit kembali
Karena ingatanku kepada Sakhr, adakah pemuda yang seperti Sakhr Pada saat terjadi peperangan dan tebasan pedang bagai kilatan cahaya
Dan tak pernah kulihat musibah mengerikan itu yang menimpa jin
Juga tak pernah kulihat musibah sepertinya yang menimpa manusia
Lebih dahsyat dari bala' yang menimpa dunia sepanjang masa
Peristiwa yang luar biasa dan tidak orang yang bisa memungkirinya.
Setiap datang pengetuk pintu atau datang orang yang meminta perlindungan selalu menggetarkan hatinya, maka dia akan memuliakannya dan akan melindunginya.
Dan ketika datang malam hari hatinya menjadi tenteram dari segala kesialan.

d.     Rotsa', jenis Syi'r ini digunakan untuk mengingat jasa seorang yang sudah meninggal dunia. Seperti Syi'r Khansa` yang sangat terkenal dengan rangkaian Syi'r ratsa`nya;

يُذَكِّرُنِى طُلُوْعُ الشََّمْسِ صَخْرًا وَ أَذْكُرُهُ لِكُلِّ غُرُوْبِ شَمْسَ
فَلَوْلاَ كَثْـرَةُ البَـاكِيْنَ حَوْلِى عَلَى إِخْوَانِـهِمْ لَقَتَلْتُ نَفْسِى

Aku selalu teringat Sakhr, aku teringat padanya setiap matahari terbit.
Dan aku teringat padanya ketika matahari terbenam.
Aku teringat padanya antara keduanya.
Ingatanku padanya tidak bisa hilang.
Kalau bukan karena aku melihat banyak orang yang menangisi mayat-mayat saudaranya yang mati, mungkin aku sudah bunuh diri.

Juga Syi'rnya yang menggambar kesedihannya yang luar biasa sampai melupakan suaminya;

ألم وزهد في الحياة
فَلاَ وَ اللهِ لاَ أَنْسَاكَ، حَتَى أُفَارِقَ مُهْجَتِى وَ يُشَقَّ رَمْسِي
فَقَدْ وَدَّعْتُ يَوْمَ فِرَاقِ صَخْرِ أَبِى حَسَّانَ، لَذَّاتِي وَ أُنْسِي
فَيَالَهْفِي عَلَيْهِ وَ لَهْفَ أَمِّي أَيُصْبِحُ فِي التُرَابِ وَفِيْهِ يُمْسِى

Aku bersumpah demi Allah aku tidak akan melupakanmu sampai maut memisahkan diriku
Aku tinggalkan sejak aku berpisah dengan Shakhr,
Abi Hasan untuk diriku dan aku melupakannya
Aku merindukannya dan juga ibuku merindukannya
Apa dia telah menjadi tanah dan didalamnya dia berada.(Al-Maliji, 1989: 38-39).


e.      Hijaa', jenis puisi ini digunakan untuk mencaci dan mengejek seorang musuh dengan menyebutkan keburukan orang itu. Seperti Syi'r Zuhair yang mengancam al-Harits ibn Warqa` al-Asady yang merampas unta keluarganya. Warqa` terpaksa mengembalikan untanya yang dirampasnya.

لَيَأْتِـيـَنَّكَ مِنِّى مَنْطِقٌ قَذِعٌ بَاقٍ كَمَا دَنَّسَ اْلقُبْطِـيَّةَ الوَدَكُ

Kamu akan mendapatkan hujatan pedas yang mematikan dariku
Tidak akan bisa hilang seperti baju putih yang terkena lemak
(Dhaif, 2001: 197).

Atau seperti Syi'r Juhannam yang mengejek A`sya dengan menghina bapak dan pamannya.

أَبُوْكَ قَتِيْلُ الْجُوْعِ قَيْسُ بْنُ جَنْدَلٍ وَخَالُكَ عَبْدٌ مِنْ خُمَاعَةَ رَاضِعُ.

Bapakmu mati karena kelaparan (korban kelaparan) Qais ibn Jandal
Dan pamanmu hamba dari kabilah Khuma'ah yang rendahan (Dhaif, 2001:335).

f.        I'tidzar, Jenis puisi ini digunakan untuk mengajukan udzur dan alasan dalam suatu perkara dengan jalan mohon maaf dan mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya. Syi'r ini dibuat oleh A'sya untuk meminta maaf kepada Aus ibn Lam (dari kabilah Thayyi') yang sebelumnya dia ejek dengan Syi'r hija'nya

وَإِنِّى عَلىَ مَا كَانَ مِنّىِ لَنَادِمٌ وَإِنّىِ إِلَى أَوْسْ بِنْ لاَمٍ لَتَائِبُ
وَإِنِّى إِلَى أَوْسْ لَيَقِيْلُ عِذْرَتِى وَيُصَفِّحُ عَنىِّ- مَا حَيِيْتُ- لَرَاغِبُ
فَهَبْ لِى حَيَاتِى فَاْلحَيَاةُ لَقَائِمٌ بِشُكْرِكَ فِيْهَا، خَيْرُ مَا أَنْتَ وَاهِبُ
سَأَمْحُو بِمَدْحٍ فِيْكَ إِذْ أَناَ صَادِقٌ كِتَابُ هِجَاءٍ سَارَ إِذْ أَنَا كَاذِبُ

Sesungguhnya aku menyesal atas apa yang telah aku lakukan dan aku mohon ampunan kepada Aus ibn Lam, dan aku mohon ampunan dari Aus dan menghapus segala kesalahanku adalah keinginanku, berilah aku kehidupan dan kehidupan akan terjaga dengan kesyukuranku kepadamu dan pemberianmu adalah yang terbaik aku akan menghapus kesalahanku dengan pujian kepadamu dan ini adalah pengakuan yang jujur sedangkan ejekan kepadamu yang lalu sebenarnya adalah bohong (Al-Iskandary, 1978: 55).

Atau seperti Syi'r Nabighah yang terkenal dengan Syi'r i`tidzariyatnya, memohon maaf kepada raja Nu`man.

وَ لَكِنَّنِى كُنْتُ امْرَأً لِىَ جَانِبٌ مِنَ الأَرْضِ فِيْهِ مُسْتَرَادٌ وَ مَذْهَبُ
مَلُوْكٌ وَ إِخْوَانٌ إِذَا مَا أَتَيْتَهُمْ أُحَكَّمُ فِي أَمْوَالِهِمْ ، وَ أَقْرَبُ
كَفِعْلِكَ فِي قَوْمٍ أَرَاكَ اصْطَنَعْتَهُمْ فَلَمْ تَرَهُمْ فِي شُكْرِ ذَلِكَ أَذْنَبُوْا
فَلاَ تَتْرُكَنِّى بِالوَعِيْدِ، كَأَنَّنِى إِلَى النَّاسِ مَطْلِىٌ بِهِ القَارُ أَجْرَبُ
أَلمَْ تَرَ أَنَّ اللهَ أَعْطَاكَ سُوْرَةً تَرَى كُلَّ مَلْكٍ دُوْنَهَا يَتَذَبْذَبُ
فَإِنَّكَ شَمْسٌ، وَ المَلُوْكُ كَوَاكِبٌ إِذَا طَلَعَتْ لمَ يَبْدُ مِنْهُنَّ كَوْكَبُ
وَ لستَ بِمُسْتَبْقٍ أَخًا لاَ تَلمُّهُ عَلَى شَعَثٍ، أَى الرِّجَالِ المُهَذِّبُ؟

Tetapi sesungguhnya aku adalah orang yang punya tempat alternatif lain
Di bumi di mana aku mengais rizki dan tempat melarikan diri
Yaitu para raja dan teman-teman, yang jika aku datang pada mereka
Aku bisa menggunakan harta mereka semauku, dan mendekatkan diri
persis seperti apa yang kamu lakukan pada kaum yang kamu beri berbagai limpahan dan ternyata ketika mereka tidak bisa bersyukur, maka hal itu bagimu mereka telah berdosa
Jangan kau biarkan aku dalam ancamanmu, sehingga karena ancamanmu
aku seolah-olah dilumuri ramuan kudis, semua orang menjauh dariku karena takut ancamanmu
Tidakkah kau tahu bahwa Allah telah menganugerahkan kepadamu kedudukan yang tinggi, yang raja-raja selain kamu tidak mampu menyandangnya.
Kamu adalah matahari sedang raja yang lain adalah bintang
Apabila matahari terbit maka bintang-bintang yang lain tidak mampu menunjukkan diri.
Kamu tidak mungkin menemukan saudara yang tidak kamu cela karena kesalahan kecil.
Apakah mungkin ada orang yang tanpa cela (Mursyidi, t.t.: 95-97).

g.      Wasfun, Jenis Syi'r ini biasanya digunakan untuk menggambarkan sesuatu kejadian ataupun segala hal yang menarik seperti menggambarkan jalannya peperangan, keindahan alam dan sebagainya. Kebanyakan para penyair jahiliyah adalah orang Badui yang begitu menyatu dengan kehidupan alamnya. Sehingga begitu terpengaruh dengan lingkungannya. Mereka mengambarkan dalam Syi'rnya tentang padang pasir, langit, bintang, angin, hujan, tenda-tenda perkemahan, puing-puing perkampungan, tempat-tempat bermain anak-anak dan unta, tentang kuda dan ciri-cirinya, perjalanan, peperangan, alat-alat perang, perburuan dan peralatannya, hal ini terlihat jelas pada Syi'r-puisnya Imru'ul Qais. Imru al-Qais menggambarkan kudanya dengan ungkapan yang begitu indah;

وَقَدْ أَغْتَدِى وَالطَّيْرِ فِى وُكُنَاتِهَا بِمُنْجَرِدٍ قَيْدِ, الأَوَابِدِ, هَيْكَلِ
مُكِرٍّ مُفِرٍّ, مُقْبِلٍ, مُدْبِرٍ مَعًا كَجَلْمُوْدِ صَخْرٍ حَطَّهُ الِسيْلِ مِنْ عَلِ
يَزِلُّ الغُلاَمُ الجِفُّ عَنْ صَهَوَاتِهِ وبلْوى بِأَنْوَابِ العَنِيْفِ المُثَقَّلِ
لَهْ أيْطَلاَ ظَبْى, وَسَاقَا نَعَامَةٍ وَإِرْخَاءِ سِرْحَانٍ, وَتَقْرِيْبُ تَنْفَلِ

Pagi-pagi aku sudah pergi berburu saat itu burung-burung masih tidur disangkarnya
Mengendarai kuda yang bulunya pendek besar larinya cepat mampu mengejar binatang buas yang sedang berlari kencang
Maju dan mundur bersamaan secepat kilat seperti hanya satu gerakan
Seperti batu besar yang runtuh terbawa banjir dari tempat tinggi
Pemuda yang kurus akan kesulitan duduk di pelananya
Sebagaimana orang yang kasar dan besar juga akan kerepotan merapikan bajunya
Pinggangnya seperti pinggang beruang, kakinya panjang dan keras seperti kaki burung Unta
Kalau berlari ringan seperti larinya kijang, apabila berlari kencang mengangkat kedua kaki depannya bagai larinya serigala liar (Mursyidy, t.t.: 75-77).

h.      Hikmah: puisi ini berisi pelajaran kehidupan yang terkenal pada zaman jahiliyah Seperti Syi'rnya Labid,

اَلاَ كُلُّ شَيْئٍ مَا خَلاَ اللهِ بَاطِلُ وَ كُلُّ نَعِيْمٍ لاَ مَحَالَةَ زَائِلُ
وَ كُلُّ أُناَسٍ سَوْفَ تَدْخُلُ بَيْنَهُمْ دويهية تَصْفَرُّ مِنْهَا الأَنَامِلُ
وَ كُلُّ امْرِئٍ يَوْمًا سَيَعْلَمُ غَيْبَهُ إِذَا كُشِفَتْ عِنْدَ الالَهِ الْحَصَائِلُ

Sesungguhnya segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap
dan setiap kenikmatan pasti akan sirna.
Setiap orang pada suatu saat pasti akan didatangi oleh
maut yang memutihkan jari-jari.
Setiap orang kelak pada suatu hari pasti akan tahu amalannya
jika telah dibuka catatannya di sisi Tuhan (Al-Iskandary, 1978: 88-89).

Juga Syi'rnya Zuhair yang luar biasa:

رَأَيْتُ الْمَنَايَا خَبْطَ عَشْوَاء مَنْ تُصِبْ تُمِتهُ وَ مَنْ تُخْطِئْ يُعَمَّرْ فَيَهْرَمِ
وَ مَنْ يَجْعَلِ المَعْرُوْفَ مِنْ دُوْنِ عِرْضِهِ يَفْرْهُ وَ مَنْ لاَ يَتَّقِ الشَّتْمَ يُشْتَمِ
وَ مَنْ يُوْفِ لاَ يُذْمَمْ وَ مَنْ يُهْد قَلْبُهُ إِلَى مُطْمَئِنِّ البِرِّ لاَ يَتَجَمْجَمِ
وَ مَنْ هَابَ اَسْبَـابَ المَنَايَا يَنَلْنَـهُ وَ إِنْ يَرْقَ اَسْبَابَ السَّمَاءِ بِسُلَّمِ

Aku lihat maut itu datang tanpa permisi dulu, siapa yang didatangi pasti mati dan siapa yang luput dia akan lanjut usia.
Siapa yang selalu menjaga kehormatannya maka dia akan terhormat dan siapa yang tidak menghindari cercaan orang, maka dia akan tercela.
Siapa yang menepati janji tidak akan tercela, siapa yang terpimpin hatinya maka dia akan selalu berbuat baik.
Siapa yang takut mati pasti dia akan bertemu juga dengan maut walaupun dia naik ke langit dengan tangga (melarikan diri) (Az-Zauzini, tt.: 73-76 dan Al Muhdar, 1983: 55-56).





















BAB III
SEJARAH SASTRA ARAB

A.    Sejarah Sastra (Tarikhul Adab) dan Fungsinya
Tarikhul Adab atau Sejarah sastra adalah suatu ilmu yang membahas mengenai keadaan bahasa serta sastra seperti puisi dan prosa yang diciptakan oleh anak-anak pengguna bahasa itu dalam berbagai masa, sebab-sebab kemajuan dan kemudurannya, serta kehancuran yang mengancam kedua produk sastra tersebut, serta mengalihkan perhatiannya terhadap para tokoh terkemuka dari kalangan penulis dan ahli bahasa, serta melakukan kritik terhadap karya-karya mereka, dan menjelaskan pengaruh mereka dalam ide, penciptaan, dan gaya bahasa (uslub).
Tarikhul Adab atau sejarah sastra dalam pengertian seperti di atas merupakan ilmu yang baru tumbuh, dan dicetuskan oleh penulis Itali pada abad ke-18 M. Di kawasan timur, sejarah sastra baru dikenal ketika pergaulan antara Kawasan Timur dan Kawasan Barat semakin menguat. Orang yang pertama kali mentransfer ilmu mengenai sejarah sastra ke dalam dunia sastra Arab ialah al-Ustadz Hasan Taufiq al-‘Adl, setelah kepulangannya dari Jerman, dan selanjutnya beliau mengajar di Universitas Daarul ‘Ulum (Bunyamin, 2003:6).
Pengertian sejarah sastra di atas adalah pengertian Tarikhul Adab/sejarah sastra secara dalam arti khusus. Sedangkan pengertian Tarikhul Adab/sejarah sastra dalam pengertian umum adalah ilmu yang mempelajari deskripsi kronologis sesuai perjalanan zaman yang terhimpun dalam buku-buku, tercatat dalam lembaran-lembaran, dan yang terpahat dalam batu-batu prasasti, yang mengungkapkan perasaan (emosi), ide, pengajaran tentang suatu ilmu atau seni, pengabdian suatu cerita, suatu realitas, termasuk di dalamnya penyebutan orang-orang yang muncul dan terkenal (terkemuka) dari kalangan para ilmuan, para filosuf, dan para pengarang, serta menjelaskan referensi yang mereka gunakan, aliran-aliran yang mereka anut, dan posisi mereka dalam bidang seni yang digeluti, yang semua itu akan menunjukkan kemajuan atau kemunduran dari semua ilmu pengetahuan.
Pada umumnya, bangsa-bangsa yang maju dan berkebudayaan mempunyai hasil karya kesusastraan dari bahasa nasionalnya. Dan hasil karya sastra yang ditinggalkan itu akan dikenal oleh generasi yang mendatang melalui pembelajaran sejarah kesusastraan. Demikian pula dengan hasil karya kesusastraan Arab dapat dikenal dari sejarah kesusastraan Arab. Sehingga dapatlah didefinisikan bahwa sejarah kesusastraan Arab ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari bahasa Arab yang ditinjau dari segi hasil karya sastranya, baik dari segi puisi maupun prosanya, dari sejak timbulnya dengan segala perkembangan menurut periodesasinya.
Ahmad al-Iskandari dan Musthafa ‘Anani dalam al-Wasith fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi (1934:5) mengemukakan bahwa manfaat mempelajari sejarah sastra khususnya sejarah kesusastraan Arab, antara lain:
a.       Mengetahui sebab-sebab kemajuan dan kemunduran sastra, yang ditinjau ari segi agama, sosial, maupun politik.
b.      Mengetahui gaya-gaya (uslub) bahasa, cabang-cabang seninya, pemikiran-pemikiran penggunanya, dan istilah-istilah yang mereka ciptakan, perbedaan cipta rasa mereka dalam prosa dan puisi mereka, sehingga dapat memberikan wawasan baru kepada kita setelah mengkaji ilmu ini untuk membedakan antara bentuk-bentuk bahasa pada suatu masa dengan bentuk-bentuk bahasa pada masa yang lain.
c.       Mengenal dan mempejari tokoh-tokoh yang berpengaruh dari kalangan ahli bahasa dan sastra pada setiap masa, serta mengetahui sesuatu yang baik dan buruk yang terdapat dalam puisi dan prosa dalam karya-karya mereka, sehingga kita dapat meneladani contoh-contoh yang baik dan menjauhkan diri dari contoh-contoh yang tidak baik.

B.     Periodesasi Sejarah Sastra Arab
Berbicara mengenai periodesasi kesusastraan Arab, seringkali kita dibuat bingung dengan adanya perbedaan penulisan periodesasi yang ditulis masing-masing penulis sejarah kesusastraan Arab, baik dari segi peristilahannya maupun dari segi waktunya.
Pada umumnya, periodesasi kesusastraan dibagi sesuai dengan perubahan politik. Sastra dianggap sangat tergantung pada revolusi sosial atau politik suatu negara dan permasalahan menentukan periode diberikan pada sejarawan politik dan sosial, dan pembagian sejarah yang ditentukan oleh mereka  itu biasanya diterima begitu saja tanpa dipertanyakan lagi (Wellek, 1989:354). Penentuan mulainya atau berakhirnya masa setiap periodesasi hanyalah perkiraan, tidak dapat ditentukan dengan pasti, dan biasanya untuk mengetahui perubahan dalam sastra itu biasanya akibat perubahan sosial dan politik (Jami'at, 1993:18). Di bawah ini akan dipaparkan bentuk penulisan periodesasi yang dilakukan oleh para ahli kesusastraan Arab, antara lain:
Hana al-Fakhuriyyah membaginya ke dalam lima periodesasi, yaitu:
1.      Periode Jahiliyyah, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini dibagi atas dua bagian, yaitu masa sebelum abad ke-5, dan masa sesudah abad ke-5 sampai dengan Hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah (1 H/622 M).
2.      Periode Islam, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini berlangsung sejak tahun 1 H/622 M hinggga 132 H/750 M, yang meliputi: masa Nabi Muhammad SAW dan Khalifah ar-Rasyidin (1-40 H/662-661 M), dan masa Bani Umayyah (41-132 H/661-750 M).
3.      Periode Abbasiyah, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini berlangsung sejak 132 H/750 M sampai 656 H/1258 M.
4.      Periode kemunduran kesusastraan Arab (656-1213 H/1258-1798 M), periode ini di mulai sejak Baghdad jatuh ke tangan Hulagu Khan, pemimpin bangsa Mongol, pada tahun 1258 M, sampai Mesir dikuasai oleh Muhammad Ali Pasya (1220 H/1805 M).
5.      Periode kebangkitan kembali kesusastraan Arab; periode kebangkitan ini dimulai dari masa pemerintahan Ali Pasya (1220 H/1805 M) hingga masa sekarang.

Adapun Muhammad Sa'id dan Ahmad Kahil (1953: 5-6) membagi periodesasi kesusastraan Arab ke dalam enama periode sebagai berikut:
1.      Periode Jahiliyyah, dimulai sekitar satu tengah abad sebelum kedatangan Islam sekitar dan berakhir sampai kedatangan Islam.
2.      Periode permulaan Islam (shadrul Islam); dimulai sejak kedatangan Islam dan berakhir sampai kejatuhan Daulah Umayyah tahun 132 H.
3.      Periode Abbasiyah I, dimulai sejak berdirinya Daulah Abbasiyah tahun 132 H dan berakhir sampai banyak berdirinya daulah-daulah atau negara-negara bagian pada tahun 334 H.
4.      Periode Abbasiyah II, dimulai sejak berdirinya daulah-daulah dalam pemerintahan Abbasiyah dan berakhir dengan jatuhnya Baghdad di tangan bangsa Tartar atau Mongol pada tahun 656 H.
5.      Periode Turki, dimulai sejak jatuhnya Baghdad di tangan bangsa Mongol dan berakhir dengan datangnya kebangkitan modern sekitar tahun 1230 H.
6.      Periode Modern, dimulai sejak datangnya kebangkitan modern sampai sekarang.

Sedangkan Ahmad Al-Iskandi dan Mustafa Anani dalam Al-Wasit Al-Adab Al-Arobiyah Wa Tarikhihi (1916:10) membagi periodesasi kesusastraan Arab ke dalam lima periode, yaitu:
1.      Periode Jahiliyah, periode ini berakhir dengan datangnya agama Islam, dan rentang waktunya sekitar 150 tahun.
2.      Periode permulaan Islam atau shadrul Islam, di dalamnya termasuk juga periode Bani Umayyah, yakni dimulai dengan datangnya Islam dan berakhir dengan berdirinya Daulah Bani Abbas pada tahun 132 H.
3.      Periode Bani Abbas, dimulai dengan berdirinya dinasti mereka dan berakhir dengan jatuhnya Bagdad di tangan bangsa Tartar pada tahun 656 H.
4.      Periode dinasti-dinasti yang berada di bawah kekuasaan orang-orang Turki, di mulai dengan jatuhnya Baghdad dan berakhir pada permulaan masa Arab modern.
5.      Periode Modern, dimulai pada awal abad ke-19 Masehi dan berlangsung sampai sekarang ini.

Adanya Perbedaan istilah dalam penulisan periodesasi kesusastraan Arab seperti dua contoh di atas, merupakan suatu hal yang wajar, seperti yang dikemukakan Teeuw (1988: 311-317) bahwa perbedaan itu disebabkan empat pendekatan utama, yaitu:
1.      Mengacu pada perkembangan sejarah umum, politik atau budaya.
2.      Mengacu pada karya atau tokoh agung atau gabungan dari kedua hal tersebut.
3.      Mengacu pada motif atau tema yang terdapat dalam karya sepanjang zaman.
4.      Mengacu pada asal-usul karya sastra.






BAB IV
SASTRA ARAB JAHILIYYAH

A.    Kedudukan Penyair Dalam Masyarakat Arab Jahiliyah
Bangsa Arab sangat gemar menggubah syair, mereka memandang bahwa setiap penyair mempunyai kedudukan yang sangat penting dan terhormat di dalam masyarakat, manakala ia telah mampu mengangkat derajat kaumnya atau kabilahnya melalui gubahan syair-syairnya. Mengingat perannya yang begitu penting dalam suatu tatanan dalam masyarakat jahili, maka para penyair mempunyai  banyak fungsi, diantaranya :
1.      Sebagai pemberi semangat, dorongan dan motifasi kepada pasukan yang akan berperang, sehingga  diharapkan dorongan dan motifasi yang dikobarkan penyair lewat syairnya mampu mempengaruhi  jiwa dan semangat pasukan yang  berperang diharapkan nantinya akan mendapatkan kemenangan yang gemilang.
2.      Sebagai Pemberi dukungan terhadap kontestan yang akan dipilih atau  diangkat sebagai ketua adat, atau  kepala kabilah. Bila seorang penyair  telah mempunyai status social yang tinggi, syair-syairnya popular dan terkenal, maka penyair ini akan lebih mudah mempengaruhi  jiwa  sipemilih  sehingga diharapkan akan mendapat perolehan suara yang terbanyak bagi kontestan yang diunggulkan penyair itu.
3.      Seringkali  terjadi antar kabilah itu berperang, dan selalu memakan waktu  yang cukup lama, korban yang tidak sedikit, kerugian-kerugian lainnya yang telah  mereka terima, kemudian, acapkali sering mengalami kebuntuan dalam mencari jalan penyelesaiannya. Maka dengan kefasihan bahasa syairnya, seorang penyair  dalam melantunkan syairnya,, ia mampu mempengaruhi kubu-kubu yang sedang bertikai. Berbagai pergolakan  dalam konflik dapat dilumpuhkan dengan cara  memberikan gambaran -gambaran kenyamanan jiwa yang damai, nasihat-nasihat, memberikan penjelasan-penjelasan dari suatu kerugian yang diakibatkan peperangan dan lain sebagainya.

Bangsa Arab adalah bangsa yang amat senang terhadap puisi, karena itu mereka memandang para penyair sebagai orang yang memiliki kedudukan penting dalam masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi karena seorang penyair dapat membela kehormatan kaum, keluarga, atau bangsanya. Bila di dalam sebuah kaum atau bangsa mereka menemukan seorang pemuda yang pandai dalam mencipta dan menggubah puisi, maka pemuda tersebut akan dimuliakan oleh seluruh anggota kabilah dari suku itu. Karena mereka beranggapan bahwa pemuda itu pasti akan menjadi tunas yang akan membela kaum atau bangsa dari segala serangan dan ejekan dari penyair kaum atau bangsa lain.
Bagi bangsa Arab, para penyair memiliki kedudukan yang tinggi, keputusan yang dikeluarkan oleh seorang penyair akan selalu dilaksanakan. Bagi mereka seorang penyair merupakan penyambung lidah yang dapat mengungkapkan kebanggaan dan kemuliaan mereka. Ibnu Rasyik meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul ‘Umdah, ia mengatakan:

"Biasanya setiap kabilah bangsa Arab yang mendapatkan seorang pemuda yang dapat merangkum sebuah gubahan puisi, maka anggota kabilah itu berdatangan untuk memberi ucapan selamat, dan mereka menyediakan berbagai aneka macam makanan. Sementara kaum wanita pun ikut berdatangan sambil memainkan rebana seperti yang biasa mereka mainkan dalam sebuah acara perkawinan. Kaum laki-laki, baik yang tua maupun yang muda, sama-sama bergembira. Karena mereka beranggapan bahwa penyair adalah seorang pembela kabilah dari serangan dan ejekan penyair dari kabilah lain, dan penyair itu pasti akan menjaga nama baik kabilahnya sendiri, yang akan mengabadikan kebanggaan-kebanggaan mereka dan yang akan menyebarluakan kebaikan-kebaikan mereka. Kebiasaan tidak memberikan sambutan hangat, kecuali kepada anak bayi yang baru dilahirkan ibunya, kepada seorang penyair, dan kepada kuda kesayangan"

Bangsa Arab telah menganggap betapa pentingnya peranan seorang penyair. Sehingga seringkali mereka mengiming-imingi seorang penyair yang dapat memberikan semangat dalam perjuangan dengan memberikan sokongan suara bagi seseorang agar dapat diangkat sebagai kepala kabilah. Adapula yang menggunakan mereka sebagai perantara untuk mendamaikan pertikaian yang terjadi antara kabilah, bahkan ada juga yang menggunakan penyair untuk memintakan maaf dari seseorang penguasa.
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa di kota Mekkah ada seorang miskin yang bernama Muhallik, orang itu mempunyai tiga orang puteri yang belum mempunyai jodoh dikarenakan kemiskinan mereka. Pada suatu waktu, keluarga ini mendengar kedatangan al-A'sya seorang penyair Arab Jahiliyyah yang terkenal ke kota Mekkah, maka isterinya meminta kepada suaminya untuk mengundang al-A'sya ke rumahnya. Setelah al-A'sya datang ke rumah miskin itu, maka isterinya memotong seekor unta untuk menjamu al-A'sya. Penyair ini sangat heran dengan kedermawanan orang miskin ini. Ketika ia keluar dari rumah itu, ia langsung pergi ke tempat orang-orang yang sedang berkumpul untuk mengabadikan kedermawanan Muhallik dalam suatu bait puisinya yang sangat indah. Setelah ia membacakan puisi itu, sehingga dalam waktu yang tidak beberapa lama banyak orang yang datang meminang ketiga puteri Muhallik. Adapun bait puisi yang diucapkan al-A'sya seperti dibawah ini:

ارقت وما هذا السّهاد المؤرّق # وما بى من سقم وما بى تعشّق
لعمرى قد لاحت عيون كثيرة # إلى ضوء نار فى اليفاع تحرق
تشبّ لمقرورين يصطليانها # وبات على الناّر النّدى والمحلّق
رضيعى لبان ثدى أمّ تقاسما # باسحم داج عوض لا تتفرّق
ترى الجود يجرى ظاهرا فوق وجهه # كما زان متن الهند وانى رونق
يداه يدا صدق فكفّ مبيدة # وكفّ إذا ما ضنّ بالمال تنفق

"Aku tidak dapat tidur di malam hari, bukan karena sakit ataupun cinta"
"Sungguh banyak mata yang melihat api yang menyala di atas bukit itu"
"Api itu dinyalakan untuk menghangatkan tubuh kedua orang yang sedang kedinginan di malam itu, dan di tempat itulah Muhallik dan kedermawanannya sedang bermalam"
"Di malam yang gelap itu keduanya saling berjanji untuk tetap bersatu"
"Kamu lihat kedermawanan di wajahnya seperti pedang yang berkilauan"
"Kedua tangannya selalu benar, yang satu untuk membinasakan sedang yang lain untuk berderma"

Dalam riwayat lain diceritakan. ketika al-A'sya mendengar diutusnya Nabi Muhammad Saw dan berita mengenai kedermawanannya, maka penyair ini sengaja datang ke kota Mekkah dengan membawa suatu kasidah yang telah dipersiapkan untuk memuji Nabi Muhammad Saw. Namun, sayang sekali maksud baik ini dapat digagalkan oleh pemuka bangsa Quraisy. Ketika Abu Sufyan mendengar kedatangan al-A'sya, Abu Sufyan langsung berkata kepada para pemuka Quraisy:

والله لئن أتى محمدا أو اتبعه ليضرّ منّ عليكم نيران العرب بشعره, فاجمـعوا له مائة من الإبل, ففعلوا وأخذها الأعشى ورجع...

"Demi Tuhan, bila al-A'sya bertemu dengan Muhammad dan memujinya, maka pasti dia akan mempengaruhi bangsa Arab untuk mengikuti Muhammad. Karena itu, sebelum itu terjadi, kumpulkanlah seratus ekor unta dan berikan kepadanya agar tidak pergi menemui Muhammad".

Kemudian, saran Abu Sufyan ini, dituruti oleh bangsa Quraisy, yang akhirnya al-A'sya mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan beliau. Adapun puisi yang telah dipersiapkan olehnya untuk memuji Nabi Muhammad Saw. seperti dibawah ini:

فآليت لا أرنى لها من كلالة # ولا من وجيّ حتى تلاقى محمدا
متى ما تناخى عند باب هاشم # تراحى وتلقى من فواضله ندا
نبىّ يرى مالا ترون وذكره # أغار لعمرى فى البلاد وأنجدا
له صدقات ما تغب ونائل # وليس عطاء اليوم يمنعه غدا

"Demi Allah, onta ini tidak akan aku kasihani dari keletihannya, dan dari sakit kakinya sebelum dapat bertemu dengan Muhammad"
"Nanti jika kau telah sampai ke pintu Ibnu Hasyim, kau akan dapat beristirahat dan akan mendapatkan pemberiannya yang berlimpah-limpah"
"Seorang Nabi yang dapat mengetahui sesuatu yang tak dapat dilihat oleh mereka, dan namanya telah tersiar di seluruh negeri dan di daerah Nejed"
"Pemberiannya tidak akan terputus selamanya, dan pemberiaannya sekarang tidak akan mencegah pemberiannya di hari esok"


Kisah-kisah seperti yang disebutkan di atas, merupakan sedikit dari banyaknya kisah yang dapat memberikan keterangan kepada kita mengenai betapa besar peranan seorang penyair dalam kehidupan masyarakat Arab. Peranan penyair ini tidak saja berhenti pada masa Jahiliyyah. Bahkan dalam penyiaran modern ini, penyair memiliki peranan yang cukup besar. Karena orang-orang Quraisy dalam melancarkan serangan mereka terhadap Islam tidak terbatas hanya dengan senjata (peperangan). Bahkan mereka juga menggunakan lidah penyair untuk menyerang dan menjelek-jelekan Islam. Untuk menghadapi hal ini, Nabi Muhammad Saw juga mempersiapkan penyair Islam untuk menghadapi ejekan orang kafir. Nabi Saw sangat menyukai puisi para penyair Islam, seperti Abdullah bin Ruwaihah, Ka'ab bin Malik, dan Hassan bin Tsabit. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Khattib dan Ibnu Asakir, bahwa Nabi SAW pernah memerintahkan Hassan bin Tsabit untuk membalas ejekan kaum musyrikin Quraisy;

روي الخطيب وابن عساكر عن حسّان إنّ النبى صلّى عليه وسلّم قال له : اهج المشركين وجبريل معك إذا حارب اصحابي بالسّلاح فحارب أنت باللسان

"Balaslah ejekan kaum musyrikin itu, semoga Jibril selalu menyertaimu. Jika para sahabatku yang lain berjuang dengan senjata, maka berjuanglah kamu dengan lisanmu (kepandaian syairmu)".

Dari gambaran di atas dapat kita simpulkan bahwa peranan penyair dalam kehidupan bangsa Arab sangat tinggi, sebab bangsa Arab merupakan bangsa yang sangat gemar terhadap puisi.
Kedudukan puisi dan penyairnya sangat tinggi di mata orang Arab Jahiliyyah. Sebuah karya puisi dapat mempengaruhi, bahkan mengubah sikap atau posisi seseorang atau sekelompok orang terhadap sikap atau posisi orang dan kelompok lainnya. Para penyair, dengan demikian juga berfungsi sebagai agen perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Kedudukan atau pengaruh sedemikian ini hanya dapat ditandingi oleh para politisi tingkat tinggi di zaman modern ini. Kekuatan penyair bersumber dari kekuatan isi karyanya. Kedudukan puisi Arab Jahiliyyah  juga diakui, atau setidak-tidaknya diberi kesaksian, oleh Islam. Salah satu surat dalam al-Quran bahkan bernama asy-Syu'ara (para penyair).
Puisi tidak jarang menjadi rujukan umum dalam berbagai kesempatan dan penyairnya sering dijadikan sebagai ensiklopedi berjalan. Untuk menafsirkan kata-kata konotatif (kalimat musytarak) dalam al-Quran atau hadits Nabi Saw, para ulama sering menggunakan kata-kata yang terdapat dalam puisi sebagai penguat atau perbandingan dalam mengartikan kata-kata konotatif itu.

B.     Perhatian Masyarakat Jahiliyyah Terhadap Sastra Bahasa
Kehidupan masyarakat Arab pra-Islam atau masyarakat zaman Jahiliyyah dapat dilihat dalam karya sastra yang merupakan produk zaman itu, karena sastra Arab Jahiliyyah adalah cerminan langsung bagi keseluruhan kehidupan bangsa Arab zaman Jahiliyyah tersebut, dari hal-hal yang bersifat pribadi sampai persoalan masyarakat umum. Dalam wacana kesusastraan Arab ini tergambar jelas kehidupan "kemah", alam sekitar, masyarakat, budaya, dan peradaban, baik yang masih murni maupun yang telah dipengaruhi oleh bangsa asing, seperti Persia, Yunani, India, dan Romawi.
Sebenarnya sastra Arab Jahiliyyah berakar jauh sekali, bahkan pada masa-masa ribuan tahun sebelum Islam muncul. Akan tetapi, dalam catatan sejarah kesusastraan Arab, sastra Jahiliyyah dikenal sejak kira-kira satu abad menjelang Islam lahir sampai tahun pertama Hijriah. Hanna al-Fakhuri, seorang kritikus dan sastrawati dari Libanon, mengatakan bahwa sastra Jahiliyyah baru mulai (dianggap) ada pada akhir abad ke-5 dan mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-6.
Pada umumnya kesusastraan Arab Jahiliyyah mendeskripsikan keberadaan kemah[1] , hewan sebagai kendaraan tunggangan, kehidupan mewah para bangsawan agar dengan begitu para pujangga mendapatkan imbalan materi dan pujian tertentu, alam sekitar, keberanian seseorang atau sekelompok kabilah, atau kecantikan seorang wanita pujaan. Hal lain yang menjadi tujuan atau kecenderungan sastra Arab Jahiliyyah adalah ritsa' (ratapan), ode (pujian), satire (serangan terhadap kabilah tertentu), fakhr (kebanggaan kelompok tertentu), anggur sebagai lambang eksentrik para sastrawan atau untuk kebanggaan memiliki suasana trance (keadaan tak sadarkan diri). Akan tetapi, deskripsi dalam sastra tersebut senantiasa diselipi dengan nasihat atau filsafat hidup tertentu.
Genre sastra Arab Jahiliyyah yang paling populer adalah jenis Syi'r/syair di samping sedikit amtsal (semacam pepatah atau kata-kata mutiara), dan pidato pendek yang disampaikan oleh para pujangga yang disebut sebagai prosa liris. Dan semua itu dihapal di luar kepala secara turun-temurun.
Dalam sastra Jahiliyyah, terdapat perbedaan antara Syi'r dan prosa. Dibandingkan dengan jenis sastra Syi'r, sastra prosa Jahiliyyah tercatat dalam sejarah sastra lebih terbelakang. Hal itu disebabkan karena sastra prosa lebih membutuhkan kepandaian menulis atau pentadwinan (pengumpulan), sementara keterampilan menulis baru dikuasai oleh orang Arab pada masa-masa belakangan setelah Islam lahir. Dan hal ini tidak terjadi pada Syi'r/puisi yang telah "dicatat" dalam ingatan para ruwat, pencerita, atau "pencatat benak", tanpa harus mencatatnya dalam pengertian yang sebenarnya. Di samping itu, Syi'r merupakan bahasa wujdan, emosi, dan imajinasi yang sifatnya lebih personal, sedangkan prosa lebih merupakan bahasa intelek, dan juga prosa lebih cenderung ke hal-hal yang bersifat kolektif. Dengan kata lain, sastra Syi'r lebih berdimensi psikologis, sementara sastra prosa lebih bersifat sosiologis.
Para ruwat, pencerita, merupakan para penghapal Syi'r dan silsilah para tokoh dari setiap kabilah Arab. Dengan begitu kelangsungan transmisi sastra Syi'r itu bisa terjaga dari generasi ke generasi. Diantara para pencerita yang dipandang memiliki hapalan paling kuat dari suku Quraisy pada masa Jahiliyyah adalah Mukhrimah bin Naufal dan Khuwaitib bin Abdul Uzza.
Menurut dugaan para sejarawan sastra Arab lama, hanya sedikit Syi'rArab Jahiliyyah itu yang dapat direkam sejarah. Karya yang tidak tertulis dan kemudian hilang jauh lebih banyak. Hal itu disebabkan bahwa sebagian tersebut tidak sempat dikenal kemudian dihafal, sementara yang telah dihafal oleh sastrawan lain juga hilang bersamaan dengan meninggalnya mereka.
Bentuk semenanjung Arab memanjang tidak sama ukurannya. Sebelah utara berbatasan dengan Palestina dan dataran Syam, sebelah timur berbatasan dengan dataran Irak dan teluk Persia, sebelah selatan berbatasan dengan lautan Hindia, dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Merah. Jika ditinjau dari segi letak geografisnya Jazirah Arab memang sangat strategis, karena dibatasi oleh tiga laut dari tiga jurusan, ditambah dengan ketandusan Jazirah Arab itu sendiri sehingga kedua faktor inilah yang dapat melindungi jazirah itu dari serangan pihak luar.
Apabila kita mengikuti keadaan gambaran Jazirah Arab, akan kita dapatkan bahwa dataran ini sangat mengerikan sekali. Karena dataran yang luas itu tidak ada sumber mata air yang cukup. Curah hujan yang turun boleh dikatakan hanya sedikit sekali, hampir seluruh tanahnya diliputi gunung batu dan pasir yang membentang luas. Di tambah lagi dengan suhu udara yang amat panas, sehingga tanah yang luas itu sukar untuk ditumbuhi oleh tanaman, kecuali daerah-daerah seprti Yaman, Thaif, dan Madinah. Oleh karena itu, tidak heran apabila tanah Arab boleh dikatakan tidak pernah di datangi oleh penjajah asing, karena mereka segan untuk tinggal di daerah yang amat mengerikan itu.
Keadaan Jazirah Arab yang demikian itu, menjadikan bangsa Arab mempunyai watak dan rabiat yang keras dan tidak pernah takut kepada siapa pun , kecuali kepada kepala suku mereka sendiri. Dari sini, kita ketahui bahwa mereka tidak pernah bersatu dengan suku lain kecuali bila terjadi tali persahabatan. Kesenangan mereka hanya terbatas untuk kepentingan suku mereka saja. Seorang kepala suku akan bertindak seperti raja yang akan bertanggung jawab hanya kepada anak buahnya saja.      
Sumber kehidupan bangsa Arab adalah berdagang, karena tanah mereka sukar untuk ditanami. Walaupun demikian, ada juga beberapa daerah yang sumber kehidupannya dari bercocok tanam, seperti daerah Yaman, karena daerah ini terletak dekat katulistiwa. Selain itu, ada juga daerah yang sangat subur seperti Irak, karena dialiri oleh dua sungai besar yaitu sungai Furat dan Tigris. Selain kedua daerah tersebut, masih ada daerah lain seperti Thaif dan Madinah yang kehidupannya bercocok tanam, namun hasil yang diperoleh dapat dikatakan masih sangat terbatas.
Pada umumnya, telah menjadi kebiasaan bangsa Arab untuk mengadakan perjalanan perdagangan antar kota-kota besar. Bangsa Arab mengadakan perjalanan perdagangan dua kali setiap tahun, yaitu ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim panas. Dalam perjalanan itu, mereka akan singgah dahulu di kota Mekkah baik untuk melakukan ibadah Haji maupun untuk melengkapi perbekalan dalam perjalanan.
Dan telah menjadi kebiasaan mereka untuk mengadakan pasaran bersama di kota Mekkah setiap musim haji. Oleh karena itu, di tiga tempat seperti Yaman, Syam, dan Mekkah timbul pusat peradaban bangsa Arab saat itu.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa bangsa Arab memiliki watak dan tabiat yang keras. Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa bangsa Arab juga memiliki watak dan tabiat yang terpuji, seperti berani dalam membela yang hak dan benar, teguh pada janji dan bersikap amanah, selalu memuliakan tamu yang berkunjung ke rumah, mereka sangat menghormati kaum wanita, karena itu mereka sering memilih nama yang baik untuk panggilan kaum wanita seperti Lu'lu' (permata), Wardah (mawar), Suroyah (nama bintang), dan lain-lain. Melalui hal yang demikian, kita akan mendapatkan berbagai macam sebutan dan sanjungan terhadapa wanita dalam syair mereka. Dan yang paling menonjol sekali, mereka sangat gemar menunggang kuda dalam medan peperangan. Oleh karena itu, bangsa Arab menyenangi kuda yang berasal dari keturunan yang baik, sehingga tidak heran bila kita menemukan pada beberapa bait syair Arab yang memuji kuda kesayangannya.
Pada saat itu bangsa Arab masih belum mengenal ilmu pengetahuan dengan sempurna, karena kebanyakan dari mereka tidak mengenal baca dan tulis. Oleh karena itu, nanti akan kita dapatkan bahwa mereka lebih menyukai Syi'r daripada prosa, karena Syi'r lebih mudah dihafal.
Di samping itu, bangsa Arab juga mengerti ilmu perbintangan. Karena mereka hidup di alam terbuka, dan sering menggunakan bintang sebagai pedoman dalam perjalanan untuk menentukan arah. Dan ditambah lagi bangsa Arab banyak mengenal jejak telapak kaki, karena pengetahuan semacam itu sangat dibutuhkan untuk mengejar musuh mereka. Pada dasarnya berbagai macam ilmu pengetahuan yang mereka miliki itu tidak bersumber dari kitab atau buku pegangan, melainkan dari pengalaman sehari-hari.
Telah menjadi ketetapan kodrat, bahwa setiap bangsa mempunyai kelebihan tersendiri. Bahwa jadi bahwa kelebihan yang dimiliki oleh suatu bangsa tidak akan dimiliki oleh bangsa lain. Dalam perkembangan sejarah umat manusia telah disebutkan bahwa bangsa Yunani kuno mempunyai kelebihan dalam berpikir dan berfilsafat, sehingga bangsa tersebut dapat melahirkan beberapa filosof yang amat terkenal seperti Plato, Aristoteles, Socrates, dan lain-lain. Jasa baik yang mereka berikan dalam bidang filsafat tidak akan dilupakan oleh umat manusia hingga akhir zaman.
Selain bangsa Yunani masih ada bangsa lain yang juga mempunyai kontribusi besar dalam peradaban dunia. Sejarah peradaban telah mencatat bahwa bangsa India, tiongkok, Mesir kuno, dan bangsa Arab, keseluruhan bangsa tersebut telah mengenal peradaban tinggi sebelum bangsa barat maju.
Keistimewaan bangsa Arab, mereka mempunyai perhatian yang besar terhadap bahasa dan keindahan sastranya, karena mereka mempunyai perasaan yang halus dan ketajaman penilaian terhadap sesuatu. Dua sifat itulah yang menjadi faktor utama bagi mereka untuk mempunyai kelebihan dan kemajuan dalam bahasa. Karena keindahan bahasa bersandarkan pada perasaan halus dan daya khayal yang tinggi (imajinasi), maka dengan kedua faktor inilah bangsa Arab dapat mengeluarkan segala sesuatu yang bergejolak dalam jiwa mereka dalam bentuk syair-syair yang indah.
Di sini, perlu disebutkan mengenai faktor-faktor yang mendorong bangsa Arab Jahiliyyah lebih cenderung pada bahasa dan keindahannya, antara lain:
1.      Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi diantara sesama mereka untuk menggambarkan dan menceritakan perjalanan mereka dalam mengarungi padang pasir, dan juga digunakan untuk menceritakan mengenai keindahan binatang, maupun menggambarkan ketangkasan kuda, dan banyaknya hasil rampasan perang yang mereka menangkan.
2.      Bahasa digunakan untuk mengobarkan semangat perjuangan, menghasut api pertikaian sesama mereka, seperti mengobarkan rasa balas dendam dan menggambarkan kepahlawanan serta kemenangan yang diperolehnya. Dan untuk itu semua mereka menggunakan syair sebagai sarananya.
3.      Bahasa digunakan untuk menerangkan segala kejadian penting dan nasihat yang dibutuhkan oleh anak buahnya, seperti memberikan cerita mengenai keagungan nenek moyang mereka.

Selain faktor-faktor di atas, ada juga hal yang meningkatkan perhatian bangsa Arab Jahiliyyah terhadap bahasanya sendiri. Misalnya mengadakan perlombaan deklamasi yang diadakan setiap tahun di kota Mekkah, dan diikuti oleh semua bangsa Arab yang datang di Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji, yang sebelumnya mereka akan mengadakan pasaran bersama. Di dalam suatu kesempatan,mereka juga mengadakan perlombaan bersyair, dan juka dalam perlombaan itu ada seorang penyair yang menang, maka bait syairnya akan ditulis dengan tinta emas dan digantungkan di dinding Ka'bah agar bait syair itu dapat dikenal oleh setiap orang yang berthawaf.
Syair yang telah dihafal oleh seseorang akan diajarkan kepada anak dan kaumnya, kemudian diteruskan sampai turun-temurun sehingga syair itu akan dihafal oleh beberapa generasi mendatang.
Demikianlah seterusnya perkembangan syair dari sejak zaman jahiliyah sampai masa sekarang. Gambaran di atas menunjukkan kepada kita akan besarnya perhatian bangsa Arab terhadap bahasanya, dan tidak terdapat pada bangsa lain, sehinggal itulah keistimewaan bangsa dan bahasa Arab. 
Bahasa dan kandungan Syi'r Arab Jahiliyyah sangat sederhana, padat, jujur, dan lugas. Namun demikian, emosi dan rasa bahasa serta nilai sastranya tetap tinggi, dikarenakan imajinasi dan simbol yang dipakai sangat baik dan mengenai sasaran. Meskipun demikian, ada beberapa Syi'r Arab Jahiliyyah yang sangat remang-remang atau sangat imajiner dan simbolis. Syi'r seperti ini digubah dengan sangat padat dan sering menggunakan simbol yang samar sehingga sulit dicerna oleh kalangan umum, sehingga yang mampu mengapresiasikan Syi'r imajiner adalah kalangan tertentu yang memiliki pengetahuan sejarah dan latar belakang sang penyair. Dari sudut gaya, Syi'r Arab Jahiliyyah sangat mementingkan irama, ritme, rima, musik atau lagu, serta sajak (dikenal dengan nama qafiyah). Tetapi semua ini dilakukan secara wajar, bukan dengan memaksa mencari kata-kata hanya untuk kepentingan ritme dan sajak.

C.    Faktor-Faktor Yang Mendorong Perkembangan Sastra Jahiliyah
Kondisi geografis dan etnis masyarakat Arab, menjadi faktor yang cukup dominan bagi perkembangan sastra pada masa awal sejarah sastra ِِِArab yaitu pada masa jahiliyah. Menurut Juzif al-Hasyim (1968: 23) dalam bukunya al-Mufid, Ada banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan sastra, yaitu: Pertama adalah iklim dan tabiat alam. Syi'r jahily terpengaruh begitu kuat dengan alam padang pasir dan kehidupan kaum badui, kata-katanya keras menggambarkan kehidupan yang keras, kesunyian, kerinduan. Uslubnya mirip-mirip antara penyair satu dengan yang lain yang merupakan refleksi dari pemandangan gurun hampir sama, imajinasi penuh dengan kesederhanaan. Kedua adalah ciri khas etnik, bangsa Arab menjadi bangsa yang lahir untuk memuja dan memuji sastra. Tidak semua bangsa mencintai sastra, seperti di Indonesia suku-suku yang memiliki sense sastra yang kuat seperti suku Minang dan mayoritas orang Melayu yang lain. Ketiga peperangan, dan keempat adalah faktor kemakmuran dan kemajuan, kelima agama, keenam ilmu pengetahuan, ketujuh adalah politik, kedelapan adalah interaksi dengan berbagai bangsa dan budaya.
Selain faktor-faktor yang telah penulis sebutkan di atas, untuk perkembangan sastra zaman jahily, ada dua faktor lain yang cukup dominan yang mempengaruhi perkembangan sastranya, yaitu pasar sastra dan ayyam al-Arab.

1.      Pasar (al-Aswaq)
Menurut Khalil Abdul Karim (2002: 290) ada dua macam pasar jazirah Arab, yaitu pasar umum dan pasar khusus atau lokal (Mahalliah), atau pasar luar dan pasar dalam.
Ukaz adalah contoh dari pasar dalam pasar yang paling terkenal. Pasar ini dimulai sejak tanggal 1 sampai tanggal 20 Dzul Qa'dah. Kemudian pasar majannah, yang dimulai sejak tanggal 20 sampai dengan tanggal 30 Dzul Qa'dah, sedangkan pasar Dzul Majaz dimulai pada awal bulan Dzul Qa'dah sampai dengan tanggal 8, saat hari tarwiyah, dimana sejak itu ibadah haji besar dimulai. Kemudian pasar Khaibar yang dilaksanakan setelah musim haji sampai pada akhir bulan Muharram. Pasar Ukaz terletak di sebelah tenggara kota Mekah, 30 mil dari kota Mekah dan 10 mil dari Thaif. Pasar ini paling terkenal dan menjadi tempat berkumpul bagi orang-orang Quraisy, Hawazin, Ghatfan, Khuza'ah, dan 'Adhal". Al-Idrisi menyebut pasar Ukaz sebagai pasar umum.
Pasar Dzul Majaz dilaksanakan oleh para saudagar sejak awal bulan Dzul Hijjah sampai pada hari tarwiyah; pasar Majannah dilakukan oleh para saudagar sejak tanggal 20 sampai pada penghujung bulan Dzul Hijjah, yaitu setelah pasar Ukaz berakhir. Ia terletak di dekat kota Mekah. Sebagaimana telah penulis paparkan bahwa orang-orang Quraisy menghubungkan pasar-pasar tersebut dengan musim haji besar, hal ini karena sebagian besar pasar itu (Ukaz dan Majannah) berlangsung dekat dengan musim haji. Pasar tersebut merupakan suatu keistimewaan yang hanya dapat dinikmati oleh suku Quraisy dan hanya dilakukan di Mekah. Karena itu, musim haji menjadi musim besar bagi para saudagar, terutama di Hijaz. Oleh sebab itu, layak bagi penulis untuk memahami bahwa keistimewaan ini merupakan hasil perenungan para saudagar Quraisy, bukan datang begitu saja. Karena dalam sehari-hari, mereka mengedarkan barang dagangannya.
Kemudian mereka melakukan aktivitas jual beli dan kembali dengan membawa keuntungan yang banyak. Untuk menyelamatkan musim ini, orang Quraisy dengan sekuat kemampuannya menjadikan hari-hari itu untuk melindungi para pendatang dan memberikan bantuan yang pantas bagi mereka. Jadi orang Quraisy itulah yang memperluasnya menjadi pasar-pasar di musim haji besar dan memberikan perlindungan serta bantuan kepada para pendatang. Oleh karena itu, pasar-pasar tersebut dapat mendatangkan keuntungan yang besar dan penghasilan yang mapan bagi para tokoh Mekah dan Thaif, sebab jual beli merupakan penopang kekayaan bagi orang Quraisy khususnya. Berbeda dengan suku-suku lain yang menggantungkan kekayaannya pada hasil penyerbuan dan peperangan serta beberapa harta rampasan yang lain. Ats-Tsa'alabi menjelaskan bahwa sebab-sebab penerimaan orang Quraisy terhadap mata pencaharian berdagang adalah karena mereka memegang teguh agama, sehingga mereka menjauhi dan membenci peperangan serta membenci tindakan menghalalkan segala kekayaan. Ketika meninggalkan cara-cara perampokan maka mata pencaharian yang ada hanyalah berdagang (Karim, 2002: 290).
Haji adalah musim terbesar yang dapat mendatangkan keuntungan bagi orang Quraisy. Menurut Hamdan Abdul Majid al-Kubaisi, sebagian pasar-pasar tersebut ada yang mungkin dapat dikategorikan sebagai pasar luar. Pasar itu dilakukan di atas laut, seperti: Aden, Shan'a', dan Amman. Pasar-pasar itu tidak sulit dijangkau oleh orang Quraisy, sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya.
Fungsi pasar tidak sekedar memberikan keuntungan yang besar bagi para konglomerat kota Mekah, Thaif, Yamamah, dan Yatsrib yang merupakan pusat perkotaan di tengah-tengah Jazirah Arab. Tetapi pasar itu juga mendatangkan keuntungan yang lain, yaitu memboyong segala kesejahteraan ke Arab. Hal itu karena barang dagangan yang dibawa oleh rombongan haji dan saudagar, yang dijual di pasar-pasar luar, khususnya di atas air dan pelabuhan, mungkin sebagiannya dapat dikategorikan sebagai barang-barang mewah; seperti pakaian sutera, parfum, minyak wangi, sandal mewah, surban warna-warni, lampu warna-warni, dan pedang Hindia, yang harganya hanya dapat dijangkau oleh orang-orang kaya yang menempati pusat-pusat peradaban, dan juga kalangan terdidik serta para tokoh Quraisy; sesuatu yang makin menjauhkan jarak antara orang-orang fakir dengan orang-orang yang kaya.
Pasar-pasar itu juga tidak hanya terbatas di Jazirah Arab saja. Bahkan di beberapa pasar, bukan di Jazirah Arab melainkan di negara-negara sekitarnya, terdapat diskusi-diskusi politik, dimana para tokoh saudagar membahas hukum-hukum politik, karena sebenarnya hubungan antara politik dan perdagangan merupakan persoalan yang ada sejak dahulu. "Kota Mekah juga mengenal adanya diskusi politik yang tercermin dalam pasar. Ini juga mencerminkan satu bentuk politik, dimana di sana terdapat sekelompok manusia yang mempunyai kepentingan, ada juga muktamar-muktamar yang memutuskan banyak hal yang memiliki hubungan dengan politik masing-masing suku dan juga hubungan antar suku". Pasar-pasar tersebut juga mempunyai peran yang jelas dalam bidang sosial budaya, sebagai tempat festival sastra (Karim, 2002: 294).
Secara praksis pasar-pasar itu juga menjadi peran sastra dan budaya yang dihadiri oleh para penyair, kelas menengah dan kelas bawah. Pada waktu itu kecintaan terhadap Syi'r dan penyair bagi seluruh masyarakat Arab hampir menjadi sebuah naluri alamiah. Para penyair besar melantunkan qashidah-qashidah dan Syi'r mu'allaqatnya untuk menentukan siapa penyair yang menempati kelas dua, dan mendengarkan Syi'r para penyair terkenal yang lain. Para khutaba' juga mendatangi pasar tersebut, seperti Qus ibn Sa'adah al-Iyadi yang telah penulis sebutkan, dimana Nabi Muhammad SAW. pernah mendengarkan khotbahnya di pasar Ukaz sebagaimana telah penulis singgung di muka. Pada saat beliau mendatangi suku Iyad, beliau meminta kepada mereka untuk mengulangi khotbah Qus ibn Sa'adah, maka kemudian beliau memujinya. Mungkin lebih tepat jika pasar Ukaz dikatakan sebagai pesan sastra dan budaya yang resmi.
Hal itu dikuatkan oleh pendapat Burhanuddin Dallau, yang mengatakan, pasar Ukaz tidak saja merupakan tempat dan pesan perdagangan sosial, tapi juga merupakan pesan diskusi sastra Arab secara umum, dimana para penyair dan khutoba' berkumpul dan berlomba-lomba dalam berSyi'r dan berkhotbah. Para sejarawan menceritakan bahwa Nabighah adz-Dzubyani dibuatkan sebuah kubah dari kulit di pasar Ukaz. Di tempat tersebut para penyair berkumpul dan mendendangkan Syi'rnya, diantaranya; Khansa' binti Amr ibn Syarid dan Hassan ibn Tsabit. Ini tidak terbatas di pasar Ukaz saja, tetapi termasuk juga pasar-pasar yang lain. Pasar-pasar tersebut telah berperan dalam memunculkan pesan sastra dalam mempercepat proses ilmiah (obyektif) untuk menatap keadaan sosial, ekonomi, dan budaya demi mencapai persatuan (Karim, 2002: 312).


2.      Ayyam al-‘Arab
Salah satu fenomena sosial yang menggejala di Arab menjelang kelahiran Islam adalah apa yang dikenal dengan sebutan "hari-hari orang Arab" (ayyam al-Arab). Ayyam al-‘Arab merujuk pada permusuhan antar suku yang secara umum muncul akibat persengketaan seputar hewan ternak, padang rumput, atau mata air. Persengketaan itu menyebabkan seringnya terjadi perampokan dan penyerangan, memunculkan sejumlah pahlawan lokal, para pemenang dari suku-suku yang bersengketa, serta menghasilkan perang syair yang penuh kecaman di antara penyair yang berperan sebagai juru bicara setiap pihak yang bersengketa. Meskipun selalu siap berperang, orang-orang Badui tidak serta-merta berani mati. Jadi, mereka bukanlah manusia haus darah seperti yang mungkin dikesankan dari kisah-kisah yang kita baca. Meskipun demikian, Ayyam al-‘Arab merupakan cara alami untuk mengendalikan jumlah populasi orang - orang Badui, yang biasanya hidup dalam kondisi semi kelaparan, dan yang telah menjadikan peperangan sebagai jati diri dan watak sosial. Berkat Ayyam al-‘Arab itulah pertarungan antar suku menjadi salah satu institusi sosial keagamaan dalam kehidupan mereka.
Rangkaian peristiwa dari masing-masing hari ini, seperti yang diriwayatkan kepada kita, kurang lebih mengikuti pola yang sama. Pada mulanya, sengketa hanya melibatkan segelintir orang yang menyebabkan munculnya sengketa perbatasan dan penghinaan terhadap seseorang. Pertikaian itu kemudian menjadi persoalan seluruh suku. Perdamaian biasanya berakhir setelah ada campur tangan dari pihak yang netral. Suku yang menderita korban lebih sedikit akan membayar sejumlah uang tebusan kepada suku lawannya sesuai dengan selisih korban. Kenangan akan para pahlawan akan tetap hidup selama berabad-abad kemudian (Hitti, 2005: 110).
Ayyam al- ‘Arab menjadi media yang cukup efektif bagi pengembangan tema-tema Syi'r Arab. Peran penyair dalam peperangan sangat besar; sebagai motivator atau untuk menjatuhkan lawan secara psikologis dengan Syi'r-Syi'r hija'nya yang pedas. Syi'r-Syi'r legendaris juga banyak lahir dari medan perang seperti Syi'r-Syi'rnya Antarah, Syanfara dan lain-lainnya.

D.    Tingkatan Penyair Jahiliyah
Para ahli sejarah kesusastraan Arab (al-Zayat, 1982:45) menyatakan bahwa ada empat tingkat para penyair pada masa jahiliyah bila dilihat dari masa hidup para penyair tersebut, yaitu:
1.      Jahiliyun; Mereka yang hidup pada masa sebelum Islam, seperti: Imru'ul Qais, Zuhair ibn Abi Sulma.
2.      Mukhadhramun; Mereka yang dikenal dengan puisinya di masa jahiliyah dan Islam, seperti: Khansa', Hassan ibn Tsabit.
3.      Islamiyyun; Mereka yang hidup di masa Islam tetapi masih memegang tradisi Arab, dan mereka ini para penyair bani Umayyah.
4.      Muwalladun; mereka yang telah rusak tradisi berbahasanya dan berusaha memperbaikinya, mereka ini para penyair bani Abbas.
Bila ditinjau dari segi kualitas puisinya, para penyair jahiliyah terbagi ke dalam tiga tingkatan:
1.      Tingkat pertama: Imru'ul Qais, Zuhair, Nabighah
2.      Tingkat kedua: al-A'sya, Labid, Tharfah.
3.      Tingkat ketiga: 'Antaroh, Duraid ibn ash-Shammah, Umayyah ibn Abi ash-Shallat.
Beberapa ahli bahasa dan sastra sepakat dengan Broklemen (Lajnah ,1962: 64) membagi penyair jahiliyah menjadi enam kelompok:
1.      Penyair al-Badiyah: yang terbagi menjadi dua kelompok;
·         Penyair Sha'alik : Syanfara, Taabbata Syarran, Urwah ibn Ward
·         Ghair Sha'alik : Muhalhil, Harits ibn Hilzah, Amru ibn Kaltsum, Antarah.
2.      Penyair al-Amir (Penyair Raja): Imru'ul Qais
3.      Penyair Bilath wa at-Takassub: Tharfah ibn 'Abd, Abid ibn al-Abrash, An-Nabighah adz-Dzibyani, al-A'sya al-Akbar, al-Huthai'ah.
4.      Penyair Hikmah: Zuhair ibn Abi Sulma, Labid ibn Rabi'ah.
5.      Penyair al-Madzahib: As-Samau'ell, 'Adi ibn Zaid, Umayyah ibn Abi ash-Shullt.
6.      Penyair-penyair perempuan: al-Khansa'.

E.     Karakteristik Syi'r Jahiliyyah
Pada umumnya karakteristik syi'r Jahiliyyah adalah terletak pada corak pemikirannya yang terbatas, sesuai dengan corak kehidupan mereka yang sangat sederhana. Hanya saja kebanyakan penyair masa ini lebih banyak menyandarkan pada daya khayal yang ada ditambah dengan pengalaman kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu, jika kita hendak menilai keadaan suatu syi'r Jahiliyyah, maka kita tidak dapat terlepas dari keadaan penyair itu sendiri.
Corak pemikiran yang sederhana ini dikarenakan mereka belum banyak mengenal kebudayaan yang tinggi atau mendapat pengaruh dari bangsa lain. Kehidupan mereka hanya terbatas dalam kehidupan Baduwi yang penuh dengan dunia pengembaraan, peperangan, dan hidup bebas dari segala hukum dan ikatan undang-undang.
Karakteristik yang paling menonjol pada syi'r Arab Jahiliyyah adalah karakter yang mengedepankan sifat kejantanan dan kepahlawanan, menceritakan segala macam pengalaman yang baik maupun yang buruk, menggunakan bahasa yang indah, pemilihan kata-kata yang ringkas tetapi mengandung makna yang dalam.

F.     Al-Mu'allaqat
Masyarakat Jahiliyyah sering mengadakan fastival sastra secara periodik. Ada festival sastra mingguan, bulanan, dan tahunan. Mereka juga membuat apa yang yang sekarang disebut dengan pasar seni. Di pasar seni ini para pujangga saling unjuk kemampuan dalam bersastra. Di antara pasar seni yang paling bergengsi pada zaman Jahiliyyah adalah pasar Dzu al-Majaz, yang terletak di daerah Yanbu', dekat Sagar (kini termasuk wilayah Madinah); pasar seni Dzu al-Majinnah di sebelah barat Mekkah, dan pasar seni ‘Ukadz yang terletak di timur Mekkah, antara Nakhlah dan Tha'if. Di tiga tempat ini, masyarakat Jahiliyyah melangsungkan festival seni selasa selama 20 hari, sejak bulan Dzulqaidah.
Di pasar ‘Ukadz para penyair berlomba mendendangkan karya-karya mereka di depan dewan juri yang terdiri dari sejumlah pujangga yang telah memiliki reputasi. Karya-karya puisi yang dinyatakan sebagai yang terbaik akan ditulis dengan tinta emas di atas kain yang mewah, kemudian akan digantungkan di dinding Ka'bah, yang kemudian dikenal dengan istilah al-Mu'allaqat (puisi-puisi yang digantungkan pada dinding Ka'bah).
Sastra puisi Arab yang paling terkenal pada zaman Jahiliyyah adalah puisi-puisi al-Mu'allaqat. Dinamakan al-Mu'allaqat, karena puisi-puisi tersebut digantungkan pada dinding Ka'bah. Pada zaman Jahiliyyah, menggantungkan sesuatu pada dinding Ka'bah bukanlah hal yang aneh, karena setiapkali ada urusan yang penting, pasti akan digantungkan pada dinding Ka'bah. Pada masa Rasulullah SAW, pernah terjadi konflik antara Beliau SAW dan Suku Quraisy. Suku Quraisy sepakat untuk tidak lagi berhubungan dengan Bani Hasyim. Mereka tidak akan kawin dan melakukan jual-beli dengan keturunan Bani Hasyim. Kesepakatan tersebut ditulis di atas perkamen dan digantungkan pada dinding Ka'bah.
Puisi al-Mu'allaqat berbentuk qasidah  (ode) panjang, dan memiliki tema bermacam-macam, yang menggambarkan keadaan, cara, dan gaya hidup orang-orang Arab Jahiliyyah. Selain memiliki sebutan al-Mu'allaqat, puisi-puisi yang digantungkan tersebut juga memiliki sebutan lain, antara lain:
1.      As-Sumut (Kalung), karena menurut orang-orang Arab Jahiliyyah, rangkaian puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka'bah berbentuk seperti kalung yang tergantung pada dada wanita.
2.      Al-Mudzahhabaat (yang ditulis dengan tinta emas), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka'bah ditulis dengan menggunakan tinta yang terbuat dari emas.
3.      Al-Qasha'id al-Masyhuraat (Qasidah-qasidah yang terkenal), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka'bah tersebut adalah puisi-puisi terkenal yang ada saat itu dibandingkan dengan puisi-puisi yang lainnya.
4.      As-Sab'u at-Tiwal (Tujuh buah puisi yang panjang-panjang), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka'bah tersebut terdiri dari tujuh buah puisi dan panjang-panjang. Nama ini diberikan oleh orang yang berpendapat bahwa puisi yang tergantung pada dinding Ka'bah tersebut ada tujuh buah.
5.      Al-Qasha'id al-Tis'u (Sembilan buah Qasidah), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka'bah itu terdiri dari sembilan buah puisi. Nama ini diberikan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa puisi-puisi yang tergantung tersebut terdiri dari sembilan buah puisi.
6.      Al-Qasha'id al-‘Asru (Sepuluh buah qasidah), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka'bah itu terdiri dari sepuluh buah puisi. Nama ini diberikan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa puisi-puisi yang tergantung tersebut terdiri dari sepuluh buah puisi.

Sejarah sastra Arab mencatat sepuluh penyair al-Mu'allaqat, yaitu Umru al-Qais bin Hujrin bin al-Harits al-Kindi, Zuhair bin Abi Sulma al-Muzani, an-Nabigah adz-Dzibyani, al-A'sya al-Qaisi, Lubaid bin Rabi'ah al-Amiri, Amr bin Kultsum at-Taghlibi, Tharafah bin Abdul Bakri, Antarah bin Syaddad al-Absi, al-Harits bin Hilliziah al-Bakri, dan Ummayah bin ash-Shalt.
Penyair Jahiliyyah lain yang sangat terkenal, tetapi tidak termasuk penyair al-Muallaqat, adalah al-Khansa (w. 664, penyair wanita dari kabilah Mudhar yang akhirnya memeluk Islam), al-Khutaiyah (w.679, juga berasal dari kabilah Mudhar dan masuk Islam), Adi bin Rabi'ah (w. 531, dikenal dengan nama al-Muhalhil), Sabit bin Aus al-Azdi (w.510, dikenal dengan nama asy-syanfari).





BAB V
SASTRA ARAB MODERN

A.    Perkembangan Kesusastraan Arab Modern
Penulisan prosa berupa cerita-cerita pendek modern dalam bahasa Arab, demikian juga novel dan drama, baru dimulai pada akhir abad lalu. Belakangan ini bentuk puisi juga mengalami perubahan yang cukup besar.
            Puisi-puisi Arab modern sudah banyak yang tidak terikat lagi pada gaya lama yang dikenal dengan 'Ilm al-'Arūd. Meskipun sebagian penyair dewasa ini senang juga menciptakan puisi bebas, tetapi masih banyak juga yang bertahan dengan gaya lama kendati tidak lagi terikat pada persyaratan tertentu, seperti penyair MAHMUD ALI TAHA (w.1949). puisi-puisinya sangat halus, romantis, tetapi sangat religius. Beberapa pengamat menganggapnya banyak terpengaruh oleh romantisme Perancis abad ke-19, terutama Lamartine. Mungkin sudah terdapat jarak antara penyair ini dan penyair-penyair modern semi-klasik sebelumnya, seperti Ahmad Syauqi atau Hafidz Ibrahim (1872-1932) yang dipandang sebagai penyair-penyair besar.
            Dalam sastra Arab modern, Mesir dapat dikatakan merupakan pembuka jalan meskipun dari para sastrawan itu banyak yang berasal dari Libanon dan Suriah. Mereka pindah ke Mesir untuk menyalurkan bakatnya di negeri ini.
            Sastrawan dan pemikir besar menjelang pertengahan abad ke-20 adalah MUHAMMAD IQBAL (1877-1938) yang lahir di Sialkot dan wafat di Lahore, Pakistan. Ia mengungkapkan filsafatnya dengan puisi dalam bahasa Urdu dan Persia. Beberapa prosanya ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab. Dari kumpulan puisinya, yang terkenal adalah Asrari Khudi di samping karya filsafatnya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam.
            Dalam abad ke-19 kegiatan penerjemahan buku-buku ke dalam bahasa Arab sudah mulai dirintis secara besar-besaran, yang sudah tentu sebagian besar berupa karya-karya sastra Barat. Nama-nama mulai dari Villon sampai pada angkatan Sartre dalam sastra Perancis, atau Marlowe sampai angkatan Auden dalam sastra Inggris, sudah tidak asing lagi, di samping dari Eropa lainnya. Yang menjadi pelopor dalam hal ini tentu mereka yang telah mendapatkan pendidikan Barat sebagai akibat pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali (1769-1849) dan sampai puncaknya sebagai gelombang kedua pada masa Khediwi (Khedive) Ismail (1830-1895). Pada waktu itulah banyak karya sastra Barat, terutama karya sastra Perancis, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, seperti Paul et Virginie, dongeng-dongeng La Fontain dan Victor Hugo. Sungguhpun begitu, sastra Arab baru ini masih tetap dapat bertahan pada tradisinya sendiri.
            MUSTAFA LUTFI AL-MANFALUTI (1876-1924), sastrawan dan ulama dari al-Azhar yang sudah amat dikenal di Indonesia, dapat digolongkan sebagai pengarang cerita-cerita pendek bergaya semi-klasik semi-modern. Ia, yang juga banyak menerjemahkan, sedikit banyak terpengaruh karya-karya pengarang Perancis abad yang lalu. Dalam perkembangan selanjutnya penerjemahan tidak hanya terbatas pada karya sastra Perancis, tetapi sudah meluas ke kawasan Eropa lainnya, terutama Inggris, Rusia, dan Jerman dengan prinsip mengutamakan terjemahan langsung dari bahasa asal.
            Sesudah Perang Dunia I pemikiran-pemikiran intelektual di Mesir, Suriah, dan Irak semakin terasa. Dalam kesusastraan mereka terbagi ke dalam dua kelompok besar. Pada satu pihak pengarang-pengarang yang mempunyai latar belakang pendidikan Barat cenderung pada sastra Perancis dan pada pihak lain lebih cenderung pada sastra Inggris. Yang pertama diwakili oleh Muhammad Husein Haekal (1888-1956) selain sebagai seorang sastrawan, ia juga dikenal sebagai wartawan terkemuka dan pemikir, sedangkan yang kemudian dapat dikatakan diwakili oleh Abbas Mahmud Al-Aqqad (1889-1973) dan Ibrahim al-Mazini (1890-1949).
            MUHAMMAD HUSEIN HAEKAL selain besar pengaruhnya dalam sastra Arab mutakhir, juga mempunyai tempat yang penting dalam literatur Islam setelah serangkaian bukunya tentang studi-studi Islam terbit, terutama sekali bukunya yang berjudul Hayāh Muhammad (1936). Haekal dianggap perintis karya sastra modern setelah novelnya. Zainab, terbit (1914). Ia juga banyak menulis kritik sastra dan cerita pendek.
              Al-Aqqad dan al-Mazini sama-sama tumbuh mula-mula sebagai penyair pembaharuan yang melepaskan diri dari ikatan tradisi. Selain puisi-puisinya, al-Aqqad juga terkenal karena novel semi-autobiorafinya, Sarah. Pada tahun-tahun belakangan ia banyak mencurahkan perhatian pada penulisan buku-buku ke-Islaman.
            Pengarang-pengarang cerita pendek yang penting dicatat adalah MAHMUD TAIMUR (1894-1973), pengarang dan seniman yang menjadi kebanggan Mesir. Kritik-kritiknya sangat diperhatikan para ahli. Karya-karya Mahmud Taimur sudah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
            Ada beberapa pengarang kontemporer yang memiliki kecenderungan mengelolah cerita lama sebagai bingkai dengan pakaian baru untuk memperbincangkan masalah baru. Buku-buku seperti Seribu Satu Malam dan Kalīlah wa Dimnah oleh pengarang-pengarang itu diolah kembali menjadi karya baru untuk kemudian diisi dengan pikiran-pikiran mereka, seperti yang dilakukan oleh TAHA HUSEIN, TAUFIK AL-HAKIM, YAHYA HAQQI, dan NAGUIB MAHFUDZ.
            Masing-masing negara berbahasa Arab mempunyai caranya sendiri dalam membenahi budayanya sehingga tidak ada keseragaman mutlak. Sebagai contoh, udara sastra di Irak mungkin lebih sering diwarnai oleh agitasi politik dan ideologi yang mengakibatkan timbulnya pergolakan dan revolusi, seperti terjadi pada 1958 dan 1960 sampai pada Revolusi 68 yang dikatakan membawa angin baru kepada seni dan budaya dengan diterbitkannya kembali buku-buku sastra. Banyak pengarang Irak yang terpengaruh oleh suasana demikian sehingga pernah lahir yang disebut Penulis Angkatan 60, dan sebagainya. Namun bagaimanapun ada beberapa penulis cerpen Irak yang cukup dikenal di tanah airnya, seperti ABDUL MALIK NURI (1923), FU'AD TAKERLI (1927), dan SYAKIR KHUSYBAK, guru besar di Universitas Baghdad. Dari yang terakhir ini beberapa cerpennya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
            Sebelum itu, yang dapat dinobatkan sebagai perintis puisi modern di Irak adalah penyair JAMIL SIDQI AZ-ZAHAWI (1863-1936), penyair tua yang bernada keras dan dikenal sebagai pembela hak-hak perempuan di samping MA'RUF AR-RUSAFI (1877-1945).
            Masih dalam dunia kepenyairan, seorang penyair yang mati muda, yang dianggap penyair Arab terbesar sampai waktu itu adalah BADR SYAKIR AS-SAYYAB (1926-1964). Dalam hidup dan pemikiran, ia selalu gelisah. Bersama ABDUL WAHHAB AL-BAYYATI yang kekiri-kirian, ia menanamkan bibit neo-klasik untuk menggantikan romantisme. Aliran yang belakangan ini memang tak dapat bertahan lebih lama di Irak.
            Kalangan kritik sastra Arab memang banyak menyoroti puisi-puisi AS-SAYYAB yang beberapa antologinya yang tebal sudah diterbitkan bersamaan dengan terbitnya buku-buku studi sastra tentang dia dan karyanya. Puisi-puisinya sekitar tahun 50-an dinilai banyak terpengaruh oleh penyair-penyair kelompok Apollo dan Mahjar yang lebih romantik - barangkali termasuk juga pengaruh Shelley dan Keats - tetapi dalam teknik ada yang membandingkannya dengan Eliot. Puisi-puisinya memang dalam, banyak diwarnai bahasa semiotik, hidup, dan indah, tetapi tidak mudah ditangkap pembaca biasa (awam). Di Irak, yang pada sekitar tahun 50-an menjadi tempat persinggahan Marxisme yang cukup subur dan memaraknya paham nasionalisme yang menggebu-gebu, as-Sayyab membuat pembaharuan yang cukup mengejutkan ketika kemudian ia menguak ke depan dengan membawa puisi-puisinya yang banyak menyelip ayat al-Qur'an ke dalamnya, atau kadang rima, simbolisme, atau nada musiknya; bahkan irama, gaya, dan kata-kata al-Qur'an yang terasa kuat sekali pantulannya. Tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa dalam al-Qur'an dan dalam tradisi Islam sering ditimbulkannya kembali untuk menggantikan mitologi dan pengaruh lain. Sungguhpun ia bertahan dengan nilai lama yang lalu diperbaruinya, ia juga terbuka menyerap puisi-puisi Eropa modern.
            Di suriah, ABDUS SALAM AL-UJAILI (lahir. 1918), yang juga seorang dokter medis, aktif dalam penulisan novel dan cerita pendek. Beberapa cerpennya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Demikian juga WALID IKHLASI (lahir. 1935), seorang dosen ekonomi pertanian.
            Dari Sudan, yang agak menonjol dapat disebut nama penyair dan penulis cerita pendek, TAYYIB SALEH. Demikian juga di Maroko, tak banyak yang dapat dikenal. ABDUL QADIR AS-SAMIHI termasuk pengarang Maroko yang cerpen-cerpennya sering muncul dalam majalah sastra terkemuka, seperti al-Adab atau al-Majallah. TAHAR BEN JALOUN lebih dikenal sebagai pengarang yang menulis ke dalam bahasa Perancis.
            Karya-karya sastra Aljazair modern banyak yang dipengaruhi oleh iklim perang kemerdekaan melawan Perancis. Namun sekaligus timbul paradoks, yakni banyak sastrawan negera di Afrika Utara ini yang menulis karya-karya sastranya dalam bahasa Perancis dan gaya penulisannya pun tidak jauh berbeda dengan gaya pengarang Perancis. Bahkan pemikir dan ulama Aljazair terkemuka, MALIK BIN NABI, menulis pikiran keagamaannya dalam bahasa Perancis. Beberapa karya sastra Aljazair ada yang sudah diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia.
            Dari kawasan Teluk, termasuk Arab Saudi, belum banyak yang dapat disebutkan. Yang dikenal dengan sebutan as-Sā'ir al-Mahjar atau The Emigran Poet ialah penyair-penyair yang berimigrasi umumnya ke Amerika Selatan.
            Perkembangan bahasa pun mengalami perubahan dari gaya tradisional, kalimat yang panjang-panjang, dan berbunga-bunga akibat pengaruh pleonasme dan penggunaan kosakata klasik berganti dengan gaya yang sejalan dengan zaman, serba singkat, dan serba cepat. Ciri khas perkembangan bahasa dalam sastra Arab Modern ialah digunakannya bahasa percakapan (vernacularism) dalam dialog, sekalipun dalam pemerian tetap dengan bahasa baku. Kecenderungan seperti ini ada pembelanya, tetapi juga banyak penentangnya. Bahkan pernah ada kecenderungan sebagian kalangan yang ingin mengubah huruf Arab sedemikian rupa supaya dapat juga dibaca dalam huruf Latin. Di Libanon malah ada sekelompok sastrawan yang mencoba menggantikan huruf Arab dengan huruf Latin. Bahkan sudah ada novel yang terbit dalam bahasa Arab dengan menggunakan huruf Latin.


BAB VI
SASTRAWAN ARAB

1.      UMAYAH BIN ABI ASH-SHALT

Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama aslinya adalah Abu Utsman Umayyah bin Abi ash-Shalt Abdullah ibn Abi Rabi'ah ibn Auf Ats-Tsaqafi. Ia merupakan penyair Tsaqif dan termasuk salah seorang pencari agama yang benar pada masa Jahiliyyah. Ia dibesarkan di Thaif. Ayahnya adalah seorang penyair terkenal, ia banyak belajar kepada sang ayah dalam berpuisi, untuk bekal pandangan-pandangan agama ia mencarinya kepada Ahlul Kitab.
Umayyah bin Abi ash-Shalt merupakan salah seorang yang banyak meriwayatkan berita-berita tentang orang-orang Yahudi, Nasrani, dan sisa-sisa agama Ibrahim serta Ismail, berita tentang kisah penciptaan langit, bumi, malaikat, jin, syari'at para nabi dan rasul yang masih tersimpan dalam ingatan para sesepuh Arab Jahiliyyah. Ia selalu aktif beribadah dan mengenakan pakaian pengembara. Dia juga merupakan seseorang yang mengharamkan Khamr (minuman keras/arak) dan meragukan kepercayaan terhadap berhala.
Di dalam kitab-kitab yang dibacanya, ia menemukan berita gembira tentang akan diutusnya seorang Nabi dari bangsa Arab. Mendengar berita mengenai hal itu, ia pun berambisi menjadi seorang Nabi yang dimaksudkan tersebut. Hingga suatu ketika, Rasulullah Saw diutus, hati Umayyah bin Abi ash-Shalt ragu dan memendam rasa dengki dan iri, ia berusaha melawan dan mengingkari agama yang dibawa oleh beliau Saw, meskipun dia tahu bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw itu benar. Umayyah mengajak dan mendorong orang-orang Quraisy untuk mengingkari Nabi Saw, dan meratapi orang-orang Quraisy yang meninggal dalam perang Badar.
Nabi Muhammad Saw. melarang periwayatan puisinya yang berkenaan dengan hal itu. Sehingga berkenaan dengan kejadiaan tersebut, turunkanlah ayat al-Qur'an yang berbunyi:

"واتل عليهم نبأ الذى آتيناه آياتنا فانسلخ منها فأتبعه الشيطان فكان من الغاوين"

"Dan bacakanlah kepada mereka berita tentang seseorang yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab) kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu (mengingkarinya), lalu dia diikuti oleh setan-setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk golongan orang-orang yang sesat" (Al-A'raf, 7: 175).

Dan apabila Nabi Saw mendengar puisi Umayah yang berkenaan dengan tauhid, keimanan, dan pujian kepada Allah Swt, maka beliau Saw. bersabda:
آمن لسانه وكفر قلبه
"Dia beriman lidahnya, tetapi hatinya kafir"

Kebanyakan puisi-puisi pujian (madah) Umayyah bin Abi ash-Shalt pada masa Jahiliyyah dikhususkan kepada Abdullah ibn Jud'an, salah seorang bangsawan dan hartawan Quraisy, sehingga dia menempati kedudukan seperti kedudukan Zuhair bin Abi Sulma pada Haram ibn Sinan. Dia menghabiskan sisa-sisa hidupnya di Thaif sampai meninggal dalam kekafiran pada tahun ke-9 Hijrah.

Puisi-Puisinya
Umayyah bin Abi ash-Shalt temasuk salah seorang pembesar penyair pedesaan, meskipun dikalangan mereka sedikit sekali puisi yang beredar. Hanya saja yang membuat puisinya tercela dalam pandangan sebagaian sarjana bahasa Arab, sehingga mereka mengugurkan untuk berargumen dengan puisinya adalah karena dalam puisinya banyak menggunakan bahasa serapan dari bahasa Ibrani dan Suryani. Seakan-akan mereka mengingkari kebenaran adanya ta'rib (serapan ke dalam bahasa Arab) karena seringnya berbaur dengan orang-orang asing, meski bahasa Arabnya jelas. Sebagaimana mereka mengingkari Adi ibn Zaid karena dia banyak memasukkan kata-kata dari bahasa Persia ke dalam puisinya karena dia lama bergaul dengan mereka.
Umayyah bin Abi ash-Shalt menyebut langit (as-sama`/السماء ) dengan shooquuroh (صاقورة). Dia menyatakan bahwa bulan memiliki kulit penutup yang jika terjadi gerhana bulan ia masuk ke dalamnya, ia menamakan dengan as-saahuur (الساهور), serta ia menamakan Allah dalam puisinya dengan as-Sulthith (السلطيط), At-Taghruur (التغرور), dan sebagainya.
Puisi yang diciptakannya berbeda dengan puisi para penyair lainnya, dengan kemudahan dalam kosakatanya dan dengan menyebutkan keajaiban-keajaiban dari kisah-kisah fiksi dan legenda-legenda, penciptaan alam dan kehancurannya, keadaan akhirat, sifat-sifat Sang Pencipta dan kekhusyukan pada-Nya. Dalam menyebutkan hal tersebut Umayyah menggunakan kata-kata yang belum pernah digunakan oleh seorang penyair pun sebelumnya. Puisinya juga diselingi oleh kata-kata hikmah dan pribahasa. Diantara puisi-puisinya adalah:

الحمد لله ممسان ومصبحنا  ¤  بالخير صبحنا ربى ومسانا
رب الحنيفة لم تنفد خزائنه  ¤  مملوءة طبق الآفاق سلطانا
ألا نبى لنا منا فيخبرنا  ¤  ما بعد غايتنا من رأس محيانا
وقد علمنا لوان العلم ينفعنا  ¤  أن سوف تلحق أخرانا بأولانا 

"Segala puji milik Allah kala kita berada di saat pagi dan petang, semoga Tuhanku memberikan kebaikan pada kita pada pagi dan petang"
"Tuhan Ibrahim yang Hanif, yang tak habis-habis simpanan-Nya, memenuhi cakrawala dengan kekuasaan-Nya yang tak terbatas"
"Ingatlah, ada seorang Nabi diantara kita yang diangkat dari kalangan kita, lalu memberitahukan kepada kita munculnya pemimpin yang menjadi tujuan kita"
"Kami telah mengetahuii berbagai ilmu yang bermanfaat bagi kami, bahwa orang-orang yang terakhir akan mengikuti orang-orang yang terdahulu dari kami"

Dia mencela anaknya dengan mengatakan:

عذوتك مولودا ومنتك يافعا  ¤  تلعل بما أجنى إليك وتنهل
إذا ليلة نابتك بالشجو لم أبت  ¤  لشكواك إلا ساهرا أتململ
كأنى أنا المطروق دونك بالذى  ¤  طرقت به دونى فعنى تهمل
تخاف الردى نفس عليك وإننى  ¤  لأعلم أن الموت حتم مؤجل
فلما بلغت السن والغاية التى  ¤  إليها مدى ما كنت فيك أؤمل
جعلت جزائى غلظة وفظاظة  ¤  كأنك أنت المنعم المتفضل

"Pagi hari kau lahir, siang hari kau besar, semoga demikian adanya yang aku petik darimu dan yang kau reguk dari minum pertamamu"
"Ketika di suatu malam kau terluka, semalaman aku tak bias tidur, buka karena mendengar keluhannya, tetapi karena terjaga dan rasa bosan"
"Seakan-akan aku sendiri yang memukul-mukulmu dengan pukulan-pukulan yang dipukulkan padaku sehingga merasa kelelahan"
"Kau takut hal yang terburuk menimpa jiwamu, padahal sesungguhnya aku tahu bahwa sang maut pasti datang menjemput"
"Ketika kau telah mencapai usia dewasa dan mencapai tujuan, yang kau gapai sejauh kau dapat menggapainya. Aku pun tak dapat lagi mengharapkan apa-apa darimu"
"Kau jadikan balasan buatku kekasaran dan kebencian, seakan engkau sendiri yang memberikan kesenangan yang berlebihan"

Di antara puisi madah-nya (puisi yang berisikan pujian) :

عطاؤك زين لامرئ قد جبو ته  ¤  بخير وما كل العطاء يزين
وليس يشين لامرئ بذل وجهه  ¤  إليك كما بعض السؤال يشين

"Pemberianmu adalah hiasan bagi orang yang telah kau berikan kebaikan, padahal tidak setiap pemberian dapat menjadi perhiasan"
"Bukanlah sesuatu yang dikehendaki oleh seseorang adalah akan mengarahkan wajahnya padamu, seperti sebagian yang diminta bukanlah yang dikendaki"

Di antara puisi-puisinya yang berisikan mengenai kematian ketika datang menjemputnya adalah:

إن نغفر اللهم نغفر جما  ¤  و أى عبد لك لا ألما

"Jika Engkau berkenan mengampuni, Ya Allah Tuhanku, ampunilah semuanya, sebab hamba mana yang tiada berharap mendapat ampunan-Mu"

2.       LUBAID BIN RABI'AH

Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama lengkapnya adalah Lubaid bin Rabi'ah bin Malik. Ia sering juga dijuluki Abu 'Uqail al-'Amiry. Ia termasuk salah satu penyair yang disegani pada masa jahiliyyah. Ia berasal dari kabilah Bani 'Amir Ibnu Sho'sho'ah, yaitu salah satu pecahan dari kabilah Hawazin Mudhar[1]. Ibunya berasal dari kabilah 'Abas. Lubai dilahirkan sekitar tahun 560 M. Selain sebagai penyair, ia juga dikenal sebagai orang dermawan dan pemberani. Sifat kedermawanannya diwarisi dari ayahnya yang dijuluki dengan "Rabi' al-Muqtarin". Sedangkan sifat keberaniannya diwarisi dari kabilahnya.
Lubaid bin Rabi'ah al-Amiri adalah penyair Jahiliyyah yang memiliki usia yang panjang. Dia berumur 145 tahun, dan sempat mendapatkan masa Islam. Namun, penyair ini tetap digolongkan ke dalam penyair Jahiliyyah, karena sesudah masuk Islam, ia tidak mengucapkan puisi lagi kecuali hanya satu bait saja.
Dahulu, di antara kabilah Bani 'Amir dengan kabilah Bani 'Abas terjadi permusuhan yang sengit. Hingga akhirnya kedua utusan dari kedua kabilah tersebut dipertemukan dihadapan al-Nu'man bin al Mundzir. Dari Bani 'Abas diantaranya ada al-Rabi' bin Ziyad dan dari Bani Amir diantaranya ada para pendekar. Pada saat itu al Rabi' dan al Nu'mân duduk-duduk bersama menikmati hidangan makan dan minum. Ia merasa iri dengan orang-orang dari Bani Amir, maka iapun menyebut-nyebut aib dan kekejian mereka. Maka ketika utusan dari mereka masuk menemui al-Nu'man, ia tak memperdulikannya dan memalingkan mukanya. Hal inilah yang kemudian membuat mereka jengkel, dan kemudian keluar dengan wajah memerah karena kemarahan. Pada saat kejadian itu, Lubaid masih kecil, sehingga ketika ia bertanya tentang siapa saja para ahli pidato dari mereka, ia pun diejeknya karena dianggap belum cukup umur. Ia begitu sangat berharap bisa bergabung dengan mereka. Iapun bersumpah akan memberi pelajaran kepada al-Rabi' kelak nanti di hadapan al-Nu'man. Sumpahnya akhirnya terwujud, al-Nu'man akhirnya membenci al-Rabi' dan ia tak lagi mau menemuinya serta melaknatnya. Setelah itulah, Bani 'Amir mulai terangkat. Raja menghormati mereka dan memenuhi segala kebutuhannya. Inilah awal dari popularitas Lubaid. Ia melantunkan puisi-puisi singkat dan puisi-puisi panjangnya. Ketika puisinya dilantunkan, an-Nabighah pun mengakui bahwa Lubaid adalah seorang penyair yang paling ulung dari kalangan Kabilah Hawazin dengan usia yang masih relatif muda. Puisi yang membuat al Nâbighah terbius adalah puisi pada mu'allaqahnya yang bait pertamanya berbunyi : 

عفت الديار محلها فمقامها  ¤  بمنى بأبد غولها فرجامها

"Bekas-bekas reruntuhan perkampungan itu telah lenyap, tempatnya di Mina, tanahnya rendah dan tingginya menyeramkan"
Mendengarkan puisinya itu, lalu an-Nabighah berkata:
"Pergilah hai anak, sesungguhnya kamu akan menjadi penyair suku Qais yang terkenal[2]".
Para ahli sastra Arab menggolongkan puisinya ke dalam kelas tinggi, yang dilihat dari segi kesopanan dan lebih condong kepada ketuhanan. Dalam puisinya banyak menunjukkan sifat mulia dan kemauannya yang keras dalam mencapai martabat yang tinggi. Yang paling menonjol sekali dari puisinya, ia tidak pernah mengejek atau menjelek-jelekan siapa pun, dan juga tidak pernah merendahkan diri kepada orang besar (raja atau bangsawan). Karena penyair ini tidak menjadikan puisinya sebagai modal untuk mencari kedudukan ataupun harta kekayaan seperti yang banyak dilakukan oleh penyair Jahiliyyah lainnya. Sebaliknya ia selalu membanggakan kaumnya yang selalu berusaha mendapatkan kemuliaan dalam menolong orang yang lemah.
Ketenaran penyair ini juga tidak menghalanginya untuk beriman kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam suatu riwayat diceritakan, bahwa pada suatu hari ketika rombongan yang diperintahkan oleh Nabi Saw untuk mendakwahkan Islam di Madinah, dan Lubaid mulai tertarik akan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Saw. Akan tetapi, pada saat itu ia masih belum menyatakan keislamannya. Setelah beberapa tahun kemudian barulah ia bersama rombongannya datang kepada Rasulullah Saw untuk menyatakan keislamannya, dan ia kembali pulang ke kabilahnya dan menerangkan mengenai surga, neraka, hari kebangkitan, dan mengajarkan al-Quran kepada kaumnya.

Puisi-Puisinya
Diwan Lubaid telah dikodifikasikan oleh banyak sekali para sastrawan terkenal. Sedangkan periwayatan yang ada hanyalah periwayatan dari Ali bin Abdullah al-Thusy yaitu salah seorang murid dari Ibn al-'Araby yang meninggal pada tahun 231 H/844 M.
Pada masa Umar bin al Khathab - Setelah terjadi pembukaan beberapa kota - Lubaid pergi ke Kufah. Lubaid tinggal dan hidup di sana cukup lama, sampai ajal menjemputnya pada awal masa kekhalifahan Mu'awiyyah pada tahun 41 H / 661 M.[3] Ada yang mengatakan bahwa usianya mencapai 130 tahun. Ia termasuk salah satu pemilik mu'allaqat. Ia memiliki sebanyak kurang lebih 122 qasidah dan 1322 bait puisi.
Sebagian para ahli kesusastraan Arab menggolongkan Lubaid sebagai penyair Jahiliyyah, karena sesudah masuk Islam, penyair ini tidak lagi mengucapkan puisi, kecuali hanya satu bait saja, sebuah puisi yang diucapkannya ketika menyatakan diri ke dalam Islam seperti yang terdapat di bawah ini[4]:

الحمد لله أن لم يأتنى أجلى  ¤  حتّى لبست من الإسلام سربالا

"Al-Hamdulillah, ajalku tidak datang sebelum aku menjadi seorang muslim"

Akan tetapi, sebagian ahli kesusastraan Arab yang lain menggolongkan Lubaid ke dalam penyair Islam, karena ia banyak menghasilkan puisi-puisi yang bernafaskan Islam, dan puisi-puisinya telah terpengaruh oleh ayat-ayat suci al-Quran.
Pada zaman Jahiliyyah puisi-puisinya banyak membicarakan seputar pujian (madah), mencaci atau mengejek (hija'), bahkan banyak dari puisinya yang berisikan kebanggaan terhadap kaumnya. Seperti yang terdapat dalam kutipan puisi di bawah ini[5]:

إنا إذا التقت المجامع لم يزل  ¤  منا لزاز عظيمة جشامها
ومقسّم يعطى العشيرة حقها  ¤ ومغذمر لحقوقها هضامها
فضلا وذو كريم يعين على الندى  ¤  سمح كسوب رغائب غنامها
من معشر سنّت لهم آباؤهم  ¤  ولكل قوم سنة وإمامها
لايطبعون ولايبور فعالهم  ¤  إذ لا يميل مع الهوى احلامها
وهم السّعاة إذا العشيرة افظعت  ¤  وهم فوارسها وهم حكّامها
وهم ربيع للمجاور فيهم  ¤  والمرملات إذا تطاول عامها

 "Bila beberapa kabilah sedang berkumpul, maka kaumku akan menandingi mereka dalam berdebat ataupun bertanding"
"Kaumku adalah pembagi yang adil, yang memberikan hak keluarganya, dan kaumku adalah sangat pemarah kepada siapa pun yang merampas hak keluarganya"
"Kaumku menolong dengan suka rela, karena mereka suka menolong, suka memaafkan, dan suka pada suatu kemuliaan"
"Kaumku berasal dari keturunan yang suka pada kemuliaan, dan bagi setiap kaum pasti mempunyai adat dan pemimpin sendiri"
"Kaumku tidak pernah merusak kehormatannya dan tidak suka mengotori budi pekertinya, karena mereka tidak senang mengikuti hawa nafsu"
"Bila keluarganya sedang tertimpa musibah, mereka akan membantu, merekalah pahlawan bila keluarga sedang terserang dan merekalah yang akan menundukkan musuh"
"Kaumku adalah penolong bagi siapa pun yang meminta pertolongan, dan pembantu bagi janda yang tertimpa kemalangan"

Kemudian, pada masa permulaan Islam, puisi-puisinya sudah banyak terpengaruh oleh gaya bahasa al-Quran dan isinya banyak mengandung ajaran-ajaran yang bernafaskan Islam, dikarenakan setelah memasuki Islam, Lubaid lebih tekun mempelajari ajaran-ajaran agama Islam yang terkandung dalam ayat-ayat suci al-Quran, seperti dalam salah satu bait-bait puisinya yang menerangkan keimanannya terhadap hari kebangkitan, di bawah ini[6]:

الا كلّ شيئ ما خلا الله باطل  ¤  وكلّ نعيم لا محالة زائل
وكلّ أناس سوف تدخل بينهم  ¤  دويهية تصفرّ منها الأنامل
وكلّ امرئ يوما سيعلم غيبه  ¤  إذا كشفت عند الاله الحصائل

 "Sesungguhnya segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap dan setiap kenikmatan pasti akan sirna"
"Dan pada suatu saat, setiap orang pasti akan didatangi oleh maut yang memutihkan jari-jari"
"Setiap orang kelak pada suatu hari pasti akan mengetahui amalannya jika telah dibuka catatannya di sisi Tuhan".
    
Dalam menanggapi kemantapan isi bait puisi di atas, Nabi Muhammad Saw berkomentar dalam suatu sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim[7]:

اصدق كلمة قالها شاعر كلمة لبيد (الا كلّ شيئ ما خلا الله باطل)

"Sebaik-baik puisi yang pernah diucapkan seorang penyair adalah ucapan Lubaid yang berbunyi: "Sesungguhnya segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap"

3.      AL-HARITS BIN HILLIZIAH AL-BAKRI

Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama aslinya adalah Al-Harits bin Hillizah al-Yasykuri al-Bakri, ia merupakan salah seorang pemilik puisi mu'allaqat yang terkenal dengan satuan bait-bait puisinya, pemikirannya bagus dan spontanitas, menjadi pribahasa dalam puisi hammasah (patriotik) dan fakhr-nya (berbangga). Silsilah keturunannya sampai kepada Bakr bin Wail.
Posisinya dalam kabilah itu seperti posisi Amru bin Kultsum dalam kabilah Taghlib. Peninggalan karya puisinya hanyalah puisi-puisi pendek yang sederhana dan puisi mu'allaqat-nya, yang permulaannya adalah:

آذنتـنا يبينها أسـماء  ¤  رب ثاو يمل منـه الثــواء

"Perpisahannya dengan kami memberitahukan nama-nama dewa yang bersemayam di sana dibuat bosan bersemayam di sana"

Adalah dikarenakan oleh mu'allaqqat-nya inilah Amru bin Hindun, salah seorang raja Hirah mendamaikan antara kabilah Bakr dan kabilah Taghlib menyusul peperangan antara kedua kabilah tersebut yang terkenal dengan perang al-Basus, serta mengambil dari masing-masing kedua belah pihak jaminan tanggungan dari anggota kabilah untuk menghentikan pertikaian satu sama lainnya dan untuk mengikat bagi pihak yang menyerang dan diserang. Kemudian terjadi peristiwa bahwa raja meminta ganti serombangan ternak dari kabilah Taghlib dalam suatu keperluan. Kabilah Taghlib mengatakan bahwa hewan-hewan ternak itu menjarah air milik kabilah Bakr, lalu mereka menghalaunya dan menggiringnya ke daerah padang pasir yang gersang hingga ternak-ternak itu mati kehausan. Sementara kabilah Bakr mengatakan bahwa mereka memberi minum dan menggiring mereka ke arah jalan pulang, tetapi mereka lalu tersesat dan mati. Kedua pihak saling membela diri dihadapan Amru bin Hindun. Amru bin Hindun kemudian memihak kepada kabilah Taghlib, maka dengan spontanitas al-Harist bin Hillizah mencercanya dengan puisinya. Hal itu terjadi di majelis pertemuan dalam keadaan dia menutupi dirinya dengan tirai agar tidak kelihatan oleh raja, itu dikarenakan al-Harits menderita penyakit campak. Puisinya itu diungkapkan dengan spontanitas, di dalam puisi itu ia membanggakan kaumnya, menyanjung perbuatan mereka, serta kebaikan mereka dalam mendampingi dan menyertai raja dalam sebagian besar peperangan-peperangannya. Begitu al-Harits selesai berpuisi, raja berpindah ke samping kabilah Bakr, dan mendekati al-Harits serta membuka tirai yang menutupinya, lalu mereka berdua duduk bersama dalam tempat duduknya. Al-Harits berusia panjang, sehingga sebagian ulama sastra menyatakan bahwa sesungguhnya dia mendendangkan puisinya ini dalam usia seratus tiga puluh lima tahun".



Puisi-Puisinya
Kebanyakan para perawi dan kritikus puisi terkagum-kagum dengan spontanitas al-Harits bin Hillizah dalam menciptakan puisi yang demikian panjangnya, dengan tepatnya susunan, banyaknya kata-kata unik (asing), teknik dan temanya variatif serta mengandung banyak informasi tentang peperangan bangsa Arab dan peristiwa-peristiwa pentingnya.
Di antara kata-katanya yang di dalamnya mengandung sesuatu yang demikian ringkas padat adalah kata-katanya yang melukiskan kepandaiannya dalam menciptakan puisi dengan spontan, kebenaran, dan kejelasannya dalam menggambarkan kenyataan:

أجمعوا أمرهم عشاء فلـما  ¤  أصبحوا أصبحت لهم ضوضاء
من مناد ومن مجيب ومن تصـ  ¤  ـهال خيل, خلال ذاك رغـاة

"Mereka menyepakati urusan mereka waktu Isya, tapi manakala pagi hari tiba mereka ribut, hiruk pikuk"
"Ada yang memanggil-manggil, ada yang menjawab bergalau dengan suara-suara ringkikan kuda diselingi dengan suara-suara unta"

Di antara perkataannya:

لايقيم العزيز بالبلد السهـ  ¤  ـل ولا ينفع الذليل النجـاء
ليس ينجى موائلا من خذار  ¤  رأس طود وحــرة رجـلاء

"Orang mulia tidak akan tinggal di negeri yang datar, orang lemah dan hina tidak berguna, bagi orang cerdas akan berjalan cepat"
"Tidak akan selamat orang yang melarikan diri menjauhi puncak gunung dan jalan berbatuan hitam walau dengan telapak kaki kuda yang tebal"

Di antara perkataannnya di luar mu'allaqat-nya adalah:

من حاكم بينـى وبيـ  ¤  ـن الدهر مـال علـىّ عـمدا
أودى بسـادتن اوقـد  ¤  تركوا لنا حلق اوجــردا
خيلى وفارسـها ورب  ¤ م أبيك كـان أعز فقدا
فلو أن مـا يأوى إلــىّ  ¤  م أصـاب من ثهـلان هدّا
فضـعى قـناعك إن ريـ  ¤  ـب الدهر قد أفنــى معدّا
فلكم رأيت معـاشــرا  ¤ قد جمّعوا مــالا وولـدا
وهم ربــاب حــائر  ¤  لا يسمع الآذان رعــدا
فعشن بجـد لا يضـر  ¤  ك النوك مــا لا قيـت جدا
والعـيش خير فى ظــلا  ¤  ل النوك ممـن عاش كــدّا

"Barang siapa menghakimi  di antara aku dengan sang masa, maka ia akan memihakku secara sengaja"
"Tebusan telah tampak pada para pemimpinkami, dan mereka telah meninggalkan pada kami senjata dan kuda"
"Kudaku dan penunggangnya dan ayahmu lebih banyak bersedih karena kehilangan"
"Andaikan ada yang berlindung kepadaku, niscaya tak akan tertimpa gunung Tsahlan yang runtuh"
"Maka tanggalkanlah kerudung penutup kepalamu, sesungguhnya bencana sang waktu telah melenyapkan kaum Ma'ad"
"Pada kalian aku melihat sekelompok orang, mereka telah mengumpulkan harta dan anak-anak"
"Mereka adalah gumpalan awan yang diam terpekur, yang tidak lagi mendengarkan gelegar halilintar"
"Hiduplah kamu dengan terus bekerja keras, kebodohan itu tidak akan membahayakan sepanjang kau mau terus bekerja keras"
"Lebih baik hidup di bawah naungan kebodohan, daripada hidup di bawah himpitan kesengsaraan"

Di antara perkataannya yang lain adalah:

إن السعيد له فى غيره عظة  ¤  وفى التجارب تحكيم ومعتبر

"Sesungguhnya orang yang bahagia, adalah orang yang memiliki pengajaran bagi orang lain, dan di dalam berbagai pengalaman hidup terdapat kemampuan mengadili dan memberi pelajaran

4.      AL-A'SYA BIN AL-QAISI

 Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama lengkap dari penyair ini adalah Maimun al-A'sya bin al-Qaisi bin Jundul al-Qaisyi, dilahirkan di Manfuhah dikawasan Yumamah. Ia berasal dari kabilah Bakar bin Wail yang menurut riwayat kabilah ini merupakan bagian dan kelompok di Jazirah Timur yaitu lembah sungai Eufrat sampai Yamamah. Adapun keturunan (bani) yang lebih dan banyak dikenal dari kabilah ini ialah bani Syaiban, bani Yasykur, bani Jusyam, bani I'jul yang berada di lembah sungai Eufrat, bani Hanifah, dan bani Qais bin Tsa'labah yang berada dikawasan Yamamah. Dari bani-bani tersebut, bani Qais-lah yang lebih utama, yang secara turun-temurun berlanjut kepada bani-bani lainnya. Salah satunya adalah bani Malik bin Dubai'ah dari kerabat mereka yaitu bani Jahdar dan bani Sa'ad bin Dubai'ah, dari bani-bani inilah yang kemudian merupakan asal usul (satu keturunan) dari penyair al-A'sya bin al-Qais.
Nama al-A'sya merupakan julukan baginya, karena ia memiliki kadar penglihatan yang lemah (rabun). Nama pada saat karier kepenyairannya meningkat, ia dijuluki Abu Basir yang berarti orang yang mempunyai penglihatan. Konon ayahnya mempunyai julukan "Orang yang mati kelaparan", karena pada suatu ketika ayahnya  memasuki sebuah goa hanya untuk berteduh di dalamnya dari cuaca panas, tetapi malang baginya tiba-tiba sebuah batu besar jatuh dari atas gunung dan menutupi mulut goa, yang menyebabkan ayahnya mati kelaparan di dalamnya. Mengenai kejadian itu, juhunnam seorang penyair membuat sebuah puisi hija' (sindiran) untuk ayahnya yaitu:

"Ayahmu Qais bin Jundul mati kelaparan, kemudian pamanmu itu disusui oleh budak dari Khuma'ah".

Khuma'ah adalah tempat kelahiran ibu dari al-A'sya. Saudara kakeknya, Musayyub bin ‘Alas mempunyai jasa yang besar dalam mengabadikan puisi al-A'sya.   
Para ahli sastra Arab menganggapnya sebagai orang keempat setelah ketiga penyair yang telah disebutkan di atas. Penyair ini ditakuti akan ketajaman lidahnya, sebaliknya ia juga disenangi orang bila ia telah memuji seseorang, dan orang itu seketika itu pula akan menjadi terkenal.
Puisi-puisi al-A'sya banyak menceritakan pengembaraannya ke sebagian daerah jazirah Arab untuk memuji para pemimpin (kepala suku) dan para bangsawan. Sehingga di dalam diwan-nya (kumpulan puisi), dia banyak memuji Aswad bin Mundzir dan saundaranya yaitu Nu'man bin Mundzir dan Iyas bin Qubaisah. Dia juga banyak membicarakan mengenai perdamaian antara salah seorang penguasa di Yaman dengan bani Abdul Madin bin Diyan di Najran, dan penguasa yang bernama Hauzah bin ‘Ala Sayid dari bani Hanifah, yang tidak diketahui latar belakang mengenai perselisihan di antara ketiganya.
al-A'sya sering melakukan pengembaraan dan mengunjungi kawasan Hirah, Yaman, dan Diyar (sebuah daerah berbukit di Yaman), dan Najran, begitu pula dengan daerah Syam, Persia, dan Jerussalem. Khususnya di daerah Yaman, Nejed, dan Hirah, ia memuji para pejabat teras di sana. Begitu pula dengan kepergiaannya ke Diyar, ia mendapatkan hadiah sebagai balasan atas puisi-puisi yang telah diucapkannya dengan indah kepada bani ‘Amr.
Louis seorang orientalis barat, menganggap bahwa penyair ini penganut Nasrani, ia berpendapat dengan kesukaan al-A'sya dalam menyusun lagu-lagu rohani. Puisi madah-nya banyak memuji para uskup Najran, dan kebanyakan bait-bait puisi-nya berkaitan dengan orang-orang nasrani di Hirah. Namun, hal ini tidak dapat dibenarkan, karena kepercayaan Nasrani telah lama dianut dan merupakan agama nenek moyang. Sehingga setelah ia menerima ajaran ini, kebiasaan buruk dalam melakukan perbuatan dosa dan kemaksiatan telah ada pada diri al-A'sya. Hal ini dapat dilihat jelas dalam puisi-nya yang banyak menggambarkan kesenangannya akan mabuk-mabukkan dan pencinta harta. Dan untuk meneliti lebih lanjut tentang puisi al-A'sya dapat dilihat dalam kitab Sy'ir was Syuara' karya Ibnu al-Qutaibah, kitab al-Jamhara, dan kitab al-Aghany karya al-Asfahany.



Puisi-Puisinya
Kumpulan puisi al-A'sya banyak diterbitkan oleh Jayir di London pada tahun 1928. Jayir menyalinnya dari Isykuriyal yang diambil dari Tsa'labah pada tahun 291 H. Sebagian dari puisi-nya juga diterbitkan oleh Daar al-Kutub, Mesir. Jumlah kasidahnya tidak kurang dari 77 bait kasidah, ditambah lagi l15 kasidah yang tidak diketahui asalnya, tetapi diyakini sebagai puisinya. Namun, kemungkinan besar puisi pilihan itu dikumpulkan oleh Tsa'labah. Selanjutnya Daar al-Kutub menemukan 40 bait kasidah al-A'sya yang diambil dari salinan di kantor perwakilan Yaman. Hal ini diketahui dari kalimat pendahuluan oleh penyusun diwan-nya.
Puisi-puisi al-A'sya memiliki ciri khas tersendiri, seperti pemakaian kasidah yang panjang, sebagaimana yang terlihat dalam puisinya terdapat pemborosan kata-kata. Puisinya banyak mengandung pujian, sindiran atau ejekan, kemegahan atau kebesaran, kenikmatan khamr (arak), menggambarkan atau melukisakan sesuatu, dan mengenai percintaan.
Tidak seperti penyair lainnya, dalam hal pengungkapan puisi madah, al-A'sya hanya ingin berusaha mendapatkan pemberian atau hadiah, seperti dalam pengembaraannya kesebagian jazirah Arab, yaitu untuk memuji para pemimpin dan pejabat di sana. Pemberian atau hadiah itu dapat berupa unta, budak perempuan, piring yang terbuat dari logam perak, atau pakaian yang terbuat dari kain sutera yang bermotif lukisan.
Dalam puisi madah-nya banyak mengisahkan mengenai kemuliaan, keberanian, kesetiaan, pertolongan terhadap kaum lemah, dan pujian terhadap tentara yang berlaga di medan peperangan. Puisi madah-nya banyak mengandung ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan secara bebas (spontanitas). Oleh karena itu, al-A'sya juga ditakuti akan ketajaman lidahnya, karena bila seseorang telah mendapatkan pujian darinya, maka orang itu akan enjadi terkenal.
Dalam suatu riwayat, diceritakan bahwa di kota Mekkah ada seorang miskin yang bernama Muhallik, orang itu mempunyai tiga orang puteri yang belum mempunyai jodoh dikarenakan kemiskinan mereka. Pada suatu waktu, keluarga ini mendengar kedatangan al-A'sya di Mekkah, maka isterinya meminta kepada suaminya untuk mengundang al-A'sya ke rumahnya. Setelah al-A'sya datang ke rumah miskin itu, maka isterinya memotong seekor unta untuk menjamu al-A'sya. Penyair ini sangat heran dengan kedermawanan orang miskin ini. Ketika ia keluar dari rumah itu, ia langsung pergi ke tempat orang-orang yang sedang berkumpul untuk mengabadikan kedermawanan Muhallik dalam suatu bait puisinya yang sangat indah. Setelah ia membacakan puisi itu, maka banyak orang yang datang meminang ketiga puteri Muhallik. Adapun bait puisi yang diucapkan al-A'sya seperti dibawah ini[1]:

ارقت وما هذا السّهاد والمؤرّق  ¤  وما بى من سقم وما بى تعشّق
لعمرى قد لاحت عيون كثيرة  ¤  الى ضوء نار فى اليفاع تحرق
تشبّ لمقرورين يصطليانها  ¤  وبات على النار الندى والمحلّق
رضيعى لبان ثدى أمّ تقاسما  ¤  باسحم داج : عوض لا نتفرّق
ترى الجود يجرى ظاهرا فوق وجهه  ¤  كما زان متن الهند وإنى رونق
يداه يدا صدق : فكفّ مبيدة  ¤  وكفّ إذا ما ضنّ بالمال ينفق

"Aku tidak dapat tidur di malam hari, bukan karena sakit ataupun cinta"
"Sungguh banyak mata yang melihat api yang menyala di atas bukit itu"
"Api itu dinyalakan untuk menghangatkan tubuh kedua orang yang sedang kedinginan di malam itu, dan di tempat itulah Muhallik dan kedermawanannya sedang bermalam"
"Di malam yang gelap itu keduanya saling berjanji untuk tetap bersatu"
"Kamu lihat kedermawanan di wajahnya seperti pedang yang berkilauan"
"Kedua tangannya selalu benar, yang satu untuk membinasakan sedang yang lain untuk berderma"

Di dalam suatu riwayat lain juga diceritakan bahwa ketika al-A'sya mendengar diutusnya Nabi Muhammad Saw dan berita mengenai kedermawanannya, maka penyair ini sengaja datang ke kota Mekkah dengan membawa suatu kasidah yang telah dipersiapkan untuk memuji Nabi Muhammad Saw. Namun, sayang sekali maksud baik ini dapat digagalkan oleh pemuka bangsa Quraisy.
Ketika Abu Sufyan mendengar kedatangan al-A'sya, Abu Sufyan langsung berkata kepada para pemuka Quraisy: "Demi Tuhan, bila al-A'sya bertemu dengan Muhammad dan memujinya, maka pasti dia akan mempengaruhi bangsa Arab untuk mengikuti Muhammad. Karena itu, sebelum itu terjadi, kumpulkanlah seratus ekor unta dan berikan kepadanya agar tidak pergi menemui Muhammad". Kemudian, saran Abu Sufyan ini, dituruti oleh bangsa Quraisy, yang akhirnya al-A'sya mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan beliau. Adapun puisi yang telah dipersiapkan olehnya untuk memuji Nabi Muhammad Saw. seperti dibawah ini[2]:

فآليت لا ارثى لها من كلالة  ¤  ولا من حفى حتّى تلاقى محمدا
متى ما تناخى عند باب ابن هاشم  ¤  تراخى وتلقى من فواضله ندى
نبىّ يرى ما لا يرون وذكره  ¤  اغار (لعمرى) فى البلاد وانجدا
له صدقات ما تغب ونائل  ¤  وليس عطاء اليوم يمنعه غدا

 "Demi Allah, onta ini tidak akan aku kasihani dari keletihannya, dan dari sakit kakinya sebelum dapat bertemu dengan Muhammad"
"Nanti jika kau telah sampai ke pintu Ibnu Hasyim, kau akan dapat beristirahat dan akan mendapatkan pemberiannya yang berlimpah-limpah"
"Seorang Nabi yang dapat mengetahui sesuatu yang tak dapat dilihat oleh mereka, dan namanya telah tersiar di seluruh negeri dan di daerah Nejed"
"Pemberiannya tidak akan terputus selamanya, dan pemberiaannya sekarang tidak akan mencegah pemberiannya di hari esok" 


THARAFAH BIN ABDUL BAKRI AL-WA'ILLI


Nasab Keluarga Dan Kabilah
Amru bin al-`Abd al-Bakri adalah salah seorang tokoh terkemuka pada zaman Jahiliyyah, dan berumur pendek. Ia juga seorang penyair yang memiliki puisi-puisi panjang dan indah, dan yang paling bagus dalam melukiskan unta dalam puisinya. Ayahnya meninggal dunia ketika ia masih kecil, kemudian ia diasuh oleh para pamannya. Ia cenderung melakukan hal-hal yang buruk, hidup berfoya-foya, dan suka mengambil hak milik orang lain, sehingga keluarga dan kaumnya mencercanya, bahkan Amru bin Hindun salah seorang raja Arab yang memimpin kerajaan Hirah pun ikut mencercanya, meskipun ia mencari kebajikan dan pemberian raja tersebut.
Sampailah berita kepada Amru bin Hindun tentang cercaan Tharafah kepadanya, maka Amru bin Hindun pun membencinya. Ketika Tharafah datang kepadanya bersama pamannya, al-Multamis, untuk meminta hadiah, sementara Amru bin Hindun telah mendapat kabar tentang al-Multamis seperti kabar tentang Tharafah.
Akan tetapi, agar kebencian Amru bin Hindun tetap memperlihatkan sikap ceria dan kesukaan mereka keduanya. untuk menenangkan mereka berdua dan memerintahkan kepada masing-masing mereka diberi hadiah. Sang raja menulis surat untuk masing-masing mereka yang ditujukan kepada Gubenur Bahrain untuk melaksanakan isi surat itu. Ketika keduanya dalam perjalanan menuju Bahrain, al-Multamis merasa curiga dengan surat itu, lalu ia menghentikan perjalanannya dan meminta salah seorang budak untuk membacakan isi surat itu. Namun, Tharafah tidak mau berhenti, ia terus melanjutkan perjalanannya. Setelah dibuka ternyata isi surat itu adalah perintah kepada Gubenur Bahrain untuk membunuh mereka berdua. Al-Multamis melemparkan surat itu dan bermaksud menyusul Tharafah, tetapi tidak dapat tersusul, lalu ia melarikan diri dan meminta perlindungan kepada raja Ghassan. Sementara itu, Tharafah terus melanjutkan perjalanannya untuk menjumpai Gubenur Bahrain. Di sanalah ia terbunuh dalam usia sekitar dua puluh lima tahun.

Puisi-Puisinya
Tharafah menciptakan puisi sejak ia masih kanak-kanak dan dia muncul dalam bidang itu sehingga dalam usia belum mencapai dua puluh tahun ia sudah terhitung sebagai tokoh penyair terkemuka. Puisi panjangnya yang melukiskan unta uang terdiri dari 35 bait, merupakan puisi yang belum pernah ada seorang penyair pun yang menciptakan puisi seperti itu sebelumnya. Mu'allaqat-nya termasuk mu'allaqat yang paling indah, paling banyak memuat kata-kata unik, sarat dengan makna, dan tepat dalam penempatan kata (diksi). Diriwayatkan pula selain mu'allaqat, puisinya ada berbentuk lain, tetapi sangat sedikit bila dibandingkan dengan populeritasnya. Kiranya hal ini menunjukkan kepada kenyataan bahwa perawi itu tidak mengetahui lebih banyak mengenai puisinya atau dengan kata lain mereka (para perawi) kehilangan jejak dari kebanyakan puisi Tharafah.
Tharafah bagus sekali ketika memaparkan washf dalam puisinya, dengan singkat dan menjelaskan hakekat dengan tujuan yang melampaui batas, terikat dalam sebagian susunan kata dan lepas bebas dalam penjelasan kata dan makna yang tersembunyi. Demikian pula puisi hija'-nya (cercaan) nadanya keras sekali. Bait puisi mu'allaqat-nya adalah:

لخولة أطلال ببرقة ثهمد  ¤  تلوح كباقى الوشم فى ظاهر اليد

 "Untuk mengenang Khaulah ada reruntuhan di tanah berbatuan Tsahmada yang menyembul bagai kulit mengeras di permukaan telapak tangan"

Di antara bait-bait puisinya yang paling indah adalah:

أرى الموت يعتام الكرام ويصطفى  ¤  عقيلة مال الفاحش المتشدد
ألاى العيش كنـزا ناقصا كل ليلة  ¤  وما تنقص الأيام والدهر ينفد
لعمرك إن الموت (ما أخطأ الفتى)  ¤  لكالطول المرخى وثنياه باليد
متى ما يشأ يوما يقده لحتفه  ¤  ومن يك فى حبل المنية ينقد

"Aku melihat sang maut memilih orang mulia sejati, juga memilih orang mulia karena harta yang dia dapatkan melalui perbuatan jahat dan kejam"
"Aku lihat kehidupan adalah harta simpanan yang terus berkurang setiap malam"
"Demi Tuhan pemberi usiamu, sungguh sang maut itu (tidak akan menerkam pemuda) sungguh, dia bagaikan tali pengikat binatang yang salah satu ujungnya di genggaman tangan"
"Di suatu hari, kapan saja dia mau, dia akan menyeretmu, barang siapa dalam ikatan kematian, dia pasti akan mati"

Di antara bait-bait puisinya yang tersebar luas di tengah-tengah masyarakat adalah:

وظلم ذوى القربى أشد مضاضة  ¤  على المرء من وقع الحسام المهند
أرى الموت أعداد النفوس ولا أرى  ¤  بعيدا غدا ما أقرب اليوم من غد
ستبدى لك الأيام ما كنت جاهلا  ¤  ويأتيك بالأخبار من لم تزود

"Orang yang mendzalimi kerabat dekat lebih jahat daripada tusukan panah beracun"
"Kulihat sang maut merenggut jiwa-jiwa dan esok hari tidak kulihat sebagai saat yang jauh, betapa dekatnya hari ini dari hari esok"
"Hari-hari akan memperlihatkan kepadamu apa yang dulu kau tidak ketahuim, akan datang kepadamu dengan membawa berbagai berita

قد يبعث الأمر الصغير كبيره  ¤  حتى تظل له الدماء تصبب

 "Kadang kala persoalan kecil tumbuh menjadi besar, hingga karenanya darah pun terus mengucur"

Di antara puisi-puisi fakhr-nya adalah:
نحن فى المشتاة ندعو الجفلى  ¤  لا ترى الآدب فينا ينتقر
حين قال الناس فى مجلسهم  ¤  أقتار ذاك أم ريح قطر
بجفان تعترى نادينا  ¤  من سديف حين هاج الصنبر
كالجوانى لاتنى مترعة  ¤  لقرى الأضياف أو للمتحضر
ثم لا لا يخزن فينا لحمها  ¤  إنما يخزن لحم المدخر
ولقد تعلم بكر أننا  ¤  آفة الجزر مساميح يسر
ولقد تعلم بكر أننا  ¤  فاضلو الرأى وفى الروع وقر
يكشفون الضر عن ذى ضرهم  ¤  ويبرون على الآبى المبر
فضل أحلامهم عن جارهم  ¤  رحب الأذرع بالخير أمر
ذلق فى غارة مسفوحة  ¤  ولدى البأس حماة ما نفر
نمسك الخيل على مكروهها  ¤  حين لا يمسكها إلا الصير

"Di musim paceklik, kami mengundang semua orang ke perjamuan, dan kamu tidak akan melihat para pejamu dari kami memilih-milih orang yang diundang"
"Di kala orang-orang berkata di tempat duduk mereka, apakah ini aroma daging bakar atau harum kayu cendana?"
"Kami tahu dan anggota perkumpulan kami pada datang mengerumuni perapian berminyak lemak kala dingin kian menusuk"
"Bagaikan telaga besar yang airnya terus mengalir untuk memuliakan para tamu atau untuk orang-orang yang hadir bersama kami"
"Lalu daging-daging itu tidaklah kami simpan yang disimpan hanyalah daging yang dikeringkan"
"Kabilah Bakr sungguh telah tahu bahwa kami mudah menyembelih kambing dan mudah berderma"
"Kabilah Bakr sungguh telah bahwa kami mengutamakan akal, sehingga dalam menghadapi bencana tidak terguncang"
"Kami dapat menyingkap bencana dari mereka yang dihimpit oleh kesulitan dan kami mampu mengalahkan orang-orang yang sebelumnya tidak terkalahkan"
"Mimpi-mimpi mereka lebih unggul daripada tetangga mereka tangannya luas dengan berbagai kebajikan"
"Bersegera menghunus pedang maju ke medan perang untuk menumpahkan darah, menghadapi keganasan medan perang tetap tegar tidak melakukan desersi"
"Memegang teguh kendali kuda, walaupun kuda itu menjadi semakin liar, yang mampu mengendalikannya saat itu hanyalah orang-orang yang tangguh"

‘AMR BIN KULTSUM


Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama lengkapnya adalah Abu al-Aswad ‘Amr bin Kultsum bin Malik at-Taghlibi dari kabilah Taghlib. Lahir dari kalangan keluarga bangsawan dan juga sangat ahli dalam menunggang kuda. Penyair ini merupakan seorang tokoh Arab dan penyair yang terkenal dengan puisinya yang tersendiri dan yang bagus sekali dalam puisi fakhr-nya. Ibunya bernama Laila binti Muhalhil, saudara Kulaib.
Di dalam lingkungan kabilah Taghlib di Jazirah Euphrat, Amru tumbuh dan berkembang sebagai sosok yang pemberani dan penuh semangat serta sebagai orator yang memiliki sifat-sifat mulia. Dia telah menjadi pemimpin kaumnya dalam usia lima belas tahun, dan memimpin pasukan perangnya yang selalu mendapatkan kemenangan dalam berbagai peperangan mereka.
Kebanyakan kekacauan dan peperangan yang dihadapi kabilah Taghlib adalah peperangan dalam menghadapi saudaranya sendiri, yaitu kabilah Bakr bin Wail yang menyebabkan terjadinya peperangan sengit yang terkenal dengan al-Basus. Perdamaian terakhir mereka adalah di tangan Amru bin Kultsum. Raja Hirah terakhir dari keluarga al-Mundzir. Tidak selang beberapa lama setelah perjanjian perdamaian terwujud, terjadilah perhelatan dan pesta besar di tempat Amru bin Kultsum, yang dalam acara itu para penyair kabilah Bakr, yaitu Al-Harist bin Hiliziah mendendangkan puisi terkenalnya.
Begitu selesai acara tersebut, tampaklah bagi Amru bin Kultsum bahwa Ibnu Hindun mengincar kerajaan bersama kabilah Bakr. Amru bin Kultsum pun pulang dengan hati penuh kecurigaan. Kemudian terbetiklah dalam hati Ibnu Hindun untuk memecah belah kekuatan kabilah Taghlib dengan menghinakan pemimpinnya, yaitu Amru bin Kultsum. Kemudian Ibnu Hindun mengundang Amru bin Kultsum dan ibunya, Laila binti Muhalhil, dan mengelabui ibunya untuk membantunya dalam menyelesaikan salah satu urusannya. Laila berteriak: "Oh, alangkah hinanya!". Teriakan ibunya itu membuat Amru bin Kultsum marah dan seketika itu juga ia membunuh Ibnu Hindun di Majelis pertemuannya. Selanjutnya Amru bin Kultsum segera pergi, kembali ke negerinya di al-Jazirah, dan menyusun mu'allaqat-nya, yang bait awalnya berbunyi:

ألا هبى بصحتك فاصبحينا  ¤  ولا تبقى خمور الأندرينا

"Ingatlah, hidangkan gelas anggurmu, kita minum di pagi hari ini dan tidak menyisakan sedikit pun khamr (arak) buatan Andarina"

Dalam mu'allaqat-nya ia melukiskan peristiwa mengenai dirinya dengan Ibnu Hindun, ia membanggakan pertempuran-pertempuran kaumnya dan peperangan-peperangan mereka yang terkenal. Ia juga berorasi di pasar Ukadz dan pasar-pasar lainnya. Anak keturunan Taghlib banyak yang menghafal puisinya dan banyak orang yang meriwayatkannya. Amru bin Kultsum meninggal dunia sekitar setengah abad sebelum lahirnya Islam.

Puisi-Puisinya
Amru bin Kultsum termasuk orang besar, bangsawan, dan pahlawan bangsa Arab Jahiliyyah yang lebih disibukkan dengan tugas-tugasnya sebagai pemimpin dan terjun di medan peperangan daripada berkonsentrasi untuk berpuisi dan membuka pintu-pintunya seperti kebiasaan para penyair yang menjadikan puisi-puisi mereka sebagai profesi dan bisnis dalam mencari kekayaan. Oleh karena itu, Amru bin Kultsum tidak terkenal kecuali dengan satu mu'allaqat-nya, yang menduduki posisi sebagai puisi yang memenuhi persyaratan, karena kata-katanya indah, komposisi ungkapannya begitu rapi, maknanya jelas, stil bahasanya mempesona, dan kebanggannya tinggi dan tujunnya agung. Andaikan di dalam puisinya ia tidak membanggakan dan tidak menyebut-nyebut warisan peninggalan kaumnya, puisinya tidak akan diingat orang.
Di riwayatkan juga puisi-puisi muqaththa'at (puisi-puisi pendek)-nya yang tujuannya tidak jauh berbeda dengan tujuan-tujuan mu'allaqat-nya. Kiranya populeritasnya dengan orasi tidaklah kurang dari populeritasnya dengan puisi. Di antara puisi fakhr-nya yang tinggi dalam mu'allaqat-nya adalah:

وقد علم القبائل من معد  ¤  إذا قبب بأبطحها بنينا
بأن المطعمون إذا قدرنا  ¤  وأنا المهلكون إذا ابتلينا
وأنا المانعون لما أردنا  ¤  وأنا النازلون بحيث شينا
وأنا التاركون إذا سخطنا  ¤  وأنا الآخذون إذا رضينا
ونشرب إن وردنا الماء صفوا  ¤  ويشرب غيرنا كدرا وطينا
إذا ما الملك سام الناس خسفا  ¤  أبينا أن نقر الذل فينا
لنا الدنيا ومن أمسى عليها  ¤  ونبطش حين نبطش قادرينا
بغاة ظالمين وما ظلمنا  ¤  ولكنا سنبدأ ظالمينا
ملأنا البرّ حتى ضاق عنا  ¤  ونحن البحر نملؤه سفينا
إذا بلغ الرضيع لنا فطاما  ¤  تخر له الجبابر ساجدينا

 "Kabilah-kabilah telah mengetahui siapa yang berbahagia, jika berkemah di dataran luas kami pun membangun perkemahan"
"Bahwa kami adalah orang-orang yang bisa makan, bila kami mampu mendapatkan makanan"
"Dan kami adalah orang-orang yang porak-poranda, bila kami tak henti dihantam bencana"
"Kami adalah orang-orang yang mampu menahan diri, tidak sembarangan menggapai apa yang kami kehendaki, dan kami adalah orang-orang yang tinggal dimana kami suka,
"Dan kami adalah orang-orang yang meninggalkan sesuatu bila kami tidak suka, dan kami adalah orang-orang yang mengambil bila kami memang suka"
"Kami minum bila menemukan sumber air yang jernih, sedangkan selain kami mau minum dari air yang keruh bercampur tanah"
"Jika seorang raja mengungguli manusia dengan perbuatan rendah, maka kami akan menolak dan tidak membiarkan diri kami berbuat rendah"
"Kami memiliki dunia dengan semua orang yang berada di atasnya, kami berkuasa ketika kami mampu menguasai"
"Orang-orang dzalim berbuat kejam dan kami tidak mau mendzalimi, tetapi kami akan mulai melawan orang-orang yang mendzalimi kami"
"Kami telah memenuhi daratan sehingga kami merasa sesak terjepit, dan kami memenuhi lautan dengan perahu-perahu kami"
"Bila bayi di kalangan kami mencapi usia dipisah dari menyusuinya, orang-orang perkasa pilihan pada tersungkur bersujud padanya"

Amru bin Kultsum berkata mengancam Amru bin Hujr al-Ghassani:

ألا فاعلم (أبيت اللعن) أنا  ¤  على عمد سنأتى ما نريد
تعلم أن محملنا ثقيل  ¤  وأن ذياد كبتنا شديد
وأنا ليس حتى من معد  ¤  يوازننا إذا لبس الحديد

 "Ingatlah dan ketahuilah (kau tak akan mau melakukan sesuatu perbuatan yang membuat kau dikutuk orang) dan sesungguhnya kami, kapan pun kami mau akan sengaja datang"
"Kau tahu bahwa pelana kami sangatlah berat, dan serangan pasukan kami sangatlah kuat"
"Dan bahwasanya kami tidak hidup dari persiapan yang kami pertimbangkan bila baju besi dikenakan"

Amr bin Kultsum berkata dalam puisinya di bawah ini[1]:

بأيّ مشيئة عمرو بن هند  ¤  نكون لقيل لقيلكم فيها قطينا
بأيّ مشيئة عمرو بن هند  ¤  تطيع بنا الوشاة وتزدرينا

 "Wahai Amr bin Hindin, mana mungkin kami mau menjadi pelayan para pembantumu"
"Wahai Amr bin Hindin, mana mungkin kami mau taat kepada orang-orang hina, dan engkau sendiri telah mengetahui siapa kami"

Puisi di atas diucapkan oleh Amr bin Kultsum kepada Amr bin Hindin, seorang raja yang zalim dan sombong. Ia menghina ibu amr bin Kultsum dengan menjadikan ibunya sebagai pelayan ibu Amr bin Hindin, sehingga Amr bin Kultsum marah dan membunuhnya dengan sebilah pedang. Dalam puisinya di bawah ini[2]:

إذا بلغ الفطام لنا صبيّ  ¤  تخرّ له الجبابر ساجدينا

 "Apabila anak kita sudah sampai waktu penyapihan (berhenti menyusu), maka orang-orang besar dan sombong akan tunduk sujud kepadanya"

ANTARAH BIN SYADDAD AL-ABSI


Nasab Keluarga Dan Kabilah
Penyair ini dilahirkan dari ayah seorang bangsawan Absi dan ibu dari kalangan budak Habsyi. Ia mewarisi kulit hitam dari ibunya, sehingga orang mengira ia bukan berdarah Arab, bibirnya terbelah (memble) seperti ibunya, sehingga orang sering memanggilnya dengan julukan Antarah al-Falha'u yaitu "Antarah si bibir memble". Dalam adat-istiadat Jahiliyyah, anak yang terlahir dari ibu seorang budak, tidak akan mendapatkan pengakuan dari sang ayah, kecuali dia dapat memiliki sifat mulia berupa kedermawanan dan keberanian. Oleh karena itu, ayah penyair ini tidak mau mengakuinya sebagai anak kandung, bahkan menganggapnya sebagai seorang budak yang dapat disuruh untuk mengembala ternak. Perlakuan ayahnya itu, telah membuat hati penyair ini sangat tertekan. Bahkan pamannya sendiri telah ikut menghalangi puteri yang bernama Ablah untuk bercinta dengannya, sebab pamannya menganggap bahwa tidaklah pantas mengawinkan puterinya dengan seorang anak budak.
Tekanan-tekanan psikologis itu telah membuatnya keras terhadap semua orang, bahkan terhadap ayahnya sendiri. Kebenciaannya terhadap sang ayah, terlihat ketika ayahnya memerintahkannya untuk berperang melawan musuh yang datang menyerbu, mendengar ajakan ayahnya itu, ia berkata[1]:
"Sesungguhnya seorang budak tidaklah layak untuk berperang, tetapi hanya layak untuk menjaga ternah dan memerah susu saja".

Ucapan Antarah tersebut dirasakan oleh ayahnya sebagai penderitaan batin seorang anak, maka setelah mendengar ucapannya itu, akhirnya sang ayah mengakuinya sebagai anak, dengan berkata: "Berperanglah kamu, karena sesungguhnya kamu adalah seorang yang merdeka (bukan lagi seorang budak)". Dan sejak saat itu nama nasab orang tuanya selalu diikutkan dengan nama asli penyair ini. Dan sejak itu pula nama penyair ini selalu disebut orang dalam segala macam pertempuran.
Keberanian Antarah mengilhami keberanian orang Arab dalam berperang di dalam maupun di luar jazirah Arab, seperti ketika melawan Romawi, Ethopia, Iran, Perancis, Afrika Utara, dan Andalus melawan tentara Salib. Bahkan dengan namanya yang agak terdengar angker, penyair ini lebih dikenal sebagai seorang pahlawan yang amat ditakuti oleh lawan-lawannya. Sehingga pribadi penyair ini, kelak pada masa Daulat Fatimiyyah, sering diagungkan dengan penulisan kisah kepahlawanan yang dinisbatkan kepada pribadi penyair ini.

Puisi-Puisinya
Pada mulanya penyair ini tidak terkenal sebagai penayir ulung, tetapi untungnya sejak muda penyair ini telah menyimpan bakat untuk berpuisi. Dan bakat inilah yang mendorong untuk meningkatkan prestasinya dalam berpuisi. Kebanyakan puisinya dikumpulkan dalam mu'allaqadnya yang sangat panjang.
Adapun penyebab yang mendorongnya untuk mencipatakan mu'allaqadnya adalah bahwa pada suatu hari penyair ini diejek orang di majelis ayahnya setelah diakuinya sebagai anak oleh ayahnya, di mana ia diejek dari keturunan ibunya yang merupakan seorang budak, sehingga membuatnya marah dan berkata:

"إنى لاحضر البأس واوفى المغنم واعفّ عند المسئلة واجود بما ملكت يدى وأفصّل الخطة والصّماء, قال له الرجل : "أنا أشعر منك" قال: "ستعلم ذلك" 

"Aku adalah seorang yang gemar menghadiri pertempuran, aku adalah orang yang paling adil, dan aku tidak pernah meminta dan aku selalu dermawan dengan yang kumiliki dan aku adalah pembuka jalan buntu. Orang yang menejeknya berkata: "Aku lebih fasih dalam berpuisi daripada kamu". Lalu Antarah berkata: "Akan kamu lihat kelak kefasihanku!"

Sejak saat itu, Antarah mulai merangkum kasidah mu'allaqadnya yang mengisahkan percintaan dengan kekasihnya yang bernama Ablah. Selain itu, ia juga mengisahkan tentang keberanian dan keagungan dirinya dalam medan pertempuran.
Para ahli sastra Arab menggolongkan puisi Antarah ke dalam kelas tertinggi dalam menggambarkan dan mensifati segala kejadian yang dialaminya. Dalam salah sati bait puisinya, penyair ini menerangkan kepada kekasihnya bahwa ia adalah seorang yang baik bila ia tidak diganggu dan dirampas miliknya. Akan tetapi, jika ia diganggu, maka ia akan membalas perbuatan orang itu dengan kekerasan yang dapat dijadikan pelajaran selama hidup orang yang menggangunya. Seperti contoh di bawah ini[2]:

اثنى عليّ بما علمت فإننى  ¤  سمح مخالفتى اذا لم اظلم
واذا أظلمت فإنى ظلمى باسل  ¤  مرّ مذاقته كطعم العلقم

"Pujilah aku (wahai kekasihku) dari apa yang kamu ketahui dari kelakuan baikku. Sesungguhnya aku adalah seorang yang lemah lembut bila tidak dizalimi oleh siapa pun"
"Namun, jika aku dizalimi oleh seseorang, maka aku akan membalasnya dengan balasan yang lebih keras dari kezalimannya"

Selain itu penyair ini mempunyai sifat dermawan kepada siapa pun, karena sifat inilah yang paling disukai oleh bangsa Arab dan selalu dibanggakan. Dalam hal ini penyair ini menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang yang sangat dermawan dan suka menolong orang lain walaupun itu dalam keadaan yang tidak sadar, seperti dalam keadaan mabuk, yang mana biasanya dalam keadaan seperti itu tidak mungkin seorang akan berlaku baik ataupun berderma. Namun, penyair ini masih tetap bisa melakukan kebaikan dan berderma walaupun dalam keadaan mabuk, hal itu dapat dilihat dari bait puisinya di bawah ini[3]:

فإذا شربت فإننى مستهلك  ¤  مالى وعرضى وافر لم يكلم
وإذا صحوت فما أقصّر عن ندى  ¤  وكما علمت شمائلى وتكرّمى

"Jika aku sedang minum arak, maka aku akan menghabiskan seluruh hartaku untuk menjamu kawan-kawanku, dan hal itu tidak akan merusak kehormatanku"
"Dan jika aku telah sadar dari mabukku, maka aku akan menghamburkan hartaku untuk berderma, sebagaimana telah kamu ketahui akan budi perkerti baikku ini (berbanggalah wahai kekasihku dengan segala budi pekertiku seperti ini)"

Antarah selain terkenal sebagai penyair ulung, juga terkenal sebagai seorang pahlawan yang gagah berani di medan peperangan. Gambaran akan kegagahannya dalam berperang dapat dilihat dalam bait puisi di bawah ini[4]:

هلاّ سألت الخيل ياابنة ملك  ¤  إن كنت جاهلة بما لم تعلمى
إذ لا أزال على رحالة سابح  ¤  نهد تعاوره الكماة مكلّم
طورا يجرّد للطّعان وتارة  ¤  يأوى إلى حصد القسىّ عرمرم
يخبرك من شهد الوقيعة أنّنى  ¤  اغشى الوغى واعفّ عند المغنم
ومدجّج كره الكماة نزاله  ¤  لا ممعن هربا ولا مستسلم
جادت له كفّى بعاجل طعنة  ¤  بمثقّف صدق الكعوب مقوّم
فشككت بالرّمح الأصمّ ثيابه  ¤  ليس الكريم على القنا بمحرّم
فتركته جزر السّباع ينشنه  ¤  يقضمن حسن بنائه والمعصم

"Wahai puteri Malik, tidakkah engkau tanyakan kepada ksatria itu tentang diriku di medan peperangan, jika engkau  tidak tahu?"
"Tidakkah engkau tanyakan kepada ksatria itu tentang diriku ketika aku sedang berada di atas kuda yang dilukai oleh musuh?"
"Ada kalanya aku bawa kuda itu untuk menyerang musuh, namun adakalanya aku membawa kudaku untuk bergabung dengan pasukan yang banyak"
"Jika kamu bertanya tentang diriku pada orang yang hadir dalam peperangan itu, maka mereka akan memberitahukan kepadamu bahwa aku adalah orang yang selalu maju (berada di depan) dalam setiap peperangan dan aku orang yang tidak tamak dalam pembagian rampasan perang"
"Adakalanya ada ksatria yang berani dan sangat ditakuti oleh musuhnya dan tidak mau menyerah"
"Namun tanganku buru-buru menerkamnya dengan tusukan tombak yang kuat"
"Dan ketika ksatria itu aku tusuk dengan tombak yang keras, yang dapat menembus baju jirahnya. Dan orang bangsawan pun tidak mustahil untuk terbunuh"
"Setelah ksatria itu terbunuh, maka aku tinggalkan begitu saja agar menjadi santapan binatang buas yang akan menghancurkan jari tangan dan lengannya yang bagus itu"


Sebenarnya kita masih dapat mengikuti puisinya yang menerangkan keagungan pribadi penyair ini, untuk itu dapat kita lihat dalam kasidah al-Mu'allaqat-nya yang panjang.














ZUHAIR BIN ABI SULMA


Nasab Keluarga Dan Kabilah
Nama lengkapnya adalah Zuhair bin Abi Sulma bin Rabi'ah bin Rayyah al-Muzani. Ayahnya bernama Rabi'ah yang berasal dari kabilah Muzainah. Pada zaman Jahiliyyah kabilah ini hidup berdekatan dengan kabilah bani Abdullah Ghatafaniyyah yang menghuni di daerah Hajir, Nejed, sebelah timur kota Madinah. Kabilah ini juga bertetangga dengan kabilah Bani Murrah bin Auf bin Saad bin Zubyan. Ia adalah salah seorang dari tiga serangkai dari penyair Jahiliyyah setelah Umru al-Qais dan An-Nabighah az-Zibyani. Penyair ini amat terkenal karena kesopanan kata-kata puisinya. Pemikirannya banyak mengandung hikmah dan nasehat. Sehingga banyak orang yang menjadikan puisi-puisinya itu sebagai contoh hikmah dan nasehat yang bijaksana.
Rabi'ah bersama isteri dan anak-anaknya tinggal dalam lingkungan kabilah Bani Murrah (kabilah Zubyan) dan kabilah Bani Abdullah Ghatafaniyyah. Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Aus bin Hujr, seorang penyair terkenal dari Bani Tamim. Sementara Zuhair dan saudara-saudaranya, Sulma dan al-Khansa`, diasuh oleh Basyamah bin al-Ghadir, paman mereka yang juga seorang penyair. Dengan demikian Zuhair adalah keturunan kabilah Muzainah yang dibesarkan di tengah-tengah kabilah Bani Ghatafaniyyah.

Dibesarkan Dalam Lingkungan Penyair  
Zuhair dibesarkan dalam keluarga penyair dan sejak kecil ia belajar puisi dari pamannya sendiri yang bernama Basyamah bin al-Ghadir dan Aus bin Hujur. Basyamah termasuk tokoh Arab Jahiliyyah yang terhormat, kaya-raya, dan sangat dihormati oleh kaumnya. Di samping sebagai penyair, Basyamah juga seorang yang cerdas dan memiliki pendirian yang lurus, dia menjadi tempat bertanya kaumnya dalam menghadapi berbagai persoalan. Ketika ia meninggal dunia, seluruh hartanya diwariskan kepada keluarganya termasuk kepada Zuhair. Disamping mendapatkan harta warisan, Zuhair juga mendapatkan warisan kemampuan berpuisi dan kemuliaan akhlak yang diajarkan Basyamah.
Zuhair bin Abi Sulma, tumbuh dan besar dalam lingkungan keluarga penyair. Rabi'ah ayahnya, Aus bin Hujr ayah tirinya, dan Basyamah pamannya, mereka ada para penyair, dan saudaranya Sulma dan al-Khansa`, mereka berdua juga penyair. Oleh karena itulah ia sudah terkenal pandai berpuisi sejak kecil. Selain terkenal akan bakat puisi yang dimilikinya sejak kecil, ia juga disenangi oleh seluruh kaumnya akan budi pekertinya yang luhur, sehingga setiap pendapat yang dikeluarkannya selalu diterima baik oleh kaumnya.
Zuhair menikah dengan dua orang wanita, pertama dengan Ummu Aufa, yang banyak disebut-sebut dalam puisinya, termasuk dalam mu'allaqat-nya. Kehidupan rumah tangganya bersama Ummu Aufa kurang bahagia, dan itu terjadi setelah Ummu Aufa melahirkan anak-anaknya yang kesemuanya meninggal dunia, lalu ia pun menceraikannya. Setelah itu ia menikah lagi dengan Kabsyah binti ‘Amr al-Ghatafaniyyah, dan dari isteri keduanya ini lahirlah putera-puteranya, yaitu Ka'ab, Bujair, dan Salim. Salim meninggal dunia ketika Zuhair masih hidup, sehingga banyak dari puisinya yang menggambarkan ratapannya terhadap kematian anaknya itu. Sedangkan Ka'ab dan Bujair, keduanya hidup sampai datangnya masa Islam, dan mereka berdua masuk Islam dan juga menjadi penyair yang terkenal.

Hidup Dalam Situasi Peperangan
Zuhair hidup dalam masa terjadinya peperangan yang berlarut-larut selama 40 tahun antara kabilah Abbas dan Bani Dzubyan, yang terkenal dengan peperangan Dahis dan Gabra'. Dalam peristiwa perang ini, ia pun turut ambil bagian dalam usaha mendamaikan dua suku yang sedang berperang tersebut. Dalam usaha perdamaian itu, ia mengajurkan kepada para pemuka bangsa Arab untuk mengumpulkan dana guna membeli tiga ribu ekor unta untuk membayar tebusan yang dituntut oleh salah satu dari kedua suku yang sedang berperang itu. adapun yang sanggup menanggung keuangan itu adalah dua orang pemuka bangsa Arab yang bernama Haram bin Sinan dan Harits bin Auf. Sehingga berkat usaha kedua orang ini, peperangan yang telah terjadi selama 40 tahun dapat dihentikan. Untuk mengingat kejadian yang amat penting itu, Zuhair mengabadikan dalam salah satu puisi muallaqat-nya, seperti di bawah ini[1]:
فاقسمت بالبيت الذى طاف حوله  ¤ رجال بنوه من قريش وجرهم
يمينا لنعم السيّـــدان وجـدتما  ¤  على كل حال من سحيل ومبرم
تداركتما عبسا وذبيان بعدمــا  ¤  تفانوا ودقوا بينهم عطر منشم
وقد قلتما إن ندرك السلم واسعا  ¤  بمال ومعروف من القول نسلم
فاصبحتما منها على خير موطن  ¤  بعيدين فيها من عقوق ومأثـم
عظيمين فى عليا معدّ هديتمـا  ¤ ومن يستبح كنـزا من المجد يعظم

"Aku bersumpah dengan Ka'bah yang ditawafi oleh anak cucu Quraisy dan Jurhum".
Aku bersumpah, bahwa kedua orang (yang telah menginfakkan uangnya untuk perdamaian itu) adalah benar-benar pemuka yang mulia, baik bagi orang yang lemah, maupun bagi orang yang perkasa".
"Sesungguhnya mereka berdua telah dapat kesempatan untuk menghentikan pertumpahan darah antara bani Absin dan Dhubyan, setelah saling berperang diantara mereka".
"Sesungguhnya mereka bedua telah berkata: "Jika mungkin perdamaian itu dapat diperoleh dengan uang banyak dan perkataan yang baik, maka kami pun juga bersedia untuk berdamai".
"Sehingga dalam hal ini kamu berdua adalah termasuk orang yang paling mulia, yang dapat menjauhkan kedua suku itu dari permusuhan dan kemusnahan".
"Kamu berdua telah berhasil mendapatkan perdamaian, walaupun kamu berdua dari kelurga yang mulia, semoga kalian berdua mendapatkan hidayah, dan barang siapa yang mengorbankan kehormatannya pasti dia akan mulia"



Kemunculan Zuhair Sebagai Penyair
Kemunculan Zuhair sebagai penyair tidak lepas dari pengaruh guru-guru utamanya, yaitu Rabi'ah ayahnya, Aus ibn Hujr ayah tirinya, dan Bisyamah pamannya. Dari ketiga penyair itulah Zuhair  didikkan dalam menciptakan puisi. Dia juga meriwayatkan puisi-puisi dari ketiga penyair tersebut. Sebagai seorang yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga penyair, Zuhair pun kemudian mendedikasikan hidupnya untuk puisi. Dia menciptakan puisi dan mengajarkan penciptaan puisi kepada orang lain, terutama kepada kedua putranya Ka'ab dan Bujair. Di antara penyair yang kemudian muncul dari hasil didikkannya, selain kedua putranya adalah al-Khutaiyyah (Syauqi Dlaif, 1960:303).
Kalangan para perawi puisi menyatakan bahwa Zuhair lambat dalam menciptakan puisi. Hal itu dikarenakan dalam menciptakan puisi dia menempuh langkah-langkah: penggagasan, pngolahan, dan penyeleksian (penyuntingan), sebelum kemudia puisi tersebut dipublikasikan (dibacakan dihadapan khalayak ramai). Oleh karena itulah kepadanya disandarkan kisah proses penciptaan puisi hauliyaat[2]. Hal itu dapat dilihat pula Ka'ab dan Al-khutaiyyah yang mengikuti alirannya (Taha Husein, 1936: 284).
Keistimewaan karyanya terletak pada kekuatan bahasa dan susunan kata-katanya, banyak terdapat kata-kata asing (sulit) dalam puisinya, dia berupaya untuk mencari hakekat makna asli untuk mengeluarkannya pada konkrisitas materi yang sebenarnya. Dengan kekuatan akal dan wawasannya dalam penggambaran-penggambaran dan imajinasinya. Pada umumnya, apa yang diungkapkannya tidaklah jauh dari hakekat realitas yang konkret. Zuhair juga termasuk penyair masa Jahiliyyah yang terkenal dalam pengungkapan kata-kata hikmah dan pribahasa. Dalam kehidupannya ia terkenal dengan konsistensi dan kecerdasannya. Pendapatnya sesuai dengan kehidupannya. Posisi kesusastraannya, menurut kebanyakan para kritikus sastra Arab, dibangun atas hikmah dan kata-kata bijak yang dikenal pada masanya (Karum al-Bustani, 1953:6).

Kepercayaan Hanief
Pada umumnya, masyarakat Arab masa Jahiliyyah adalah penganut kepercayaan berhala. Meskipun demikian, Zuhair bin Abi Sulma termasuk penyair Arab Jahiliyyah yang percaya akan adanya hari Kiamat, adanya Hisab (perhitungan amal perbuatan), dan adanya siksaan serta balasan. Penyair ini memang tidak sempat merasakan masa ketika diutusannya Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi, penyair ini sudah percaya akan datangnya hari Kiamat dan hari pembalasan. Seperti terlihat pada bait puisinya dibawah ini[3]:

فلا تكتمنّ الله ما فى نفوسكم  ¤  ليخفى ومهما يكتم الله يعلم
يؤخر فيوضع فى كتاب فيدخر  ¤ ليوم الحساب أو يعجل فينقم

"Janganlah sekali-kali kalian menyembunyikan kepada Allah (penghianatan dan pelanggaran atas sumpah kalian) dalam hati kalian dengan tujuan untuk menyembunyikannya, tetapi ingatlah!! Walau kalaian sembunyikan, Allah maha mengetahui".
"Ditangguhkan, lalu dicatat dalam buku amal dan disimpan untuk kemudian diungkapkan di hari perhitungan, atau disegerakan pembalasannya dalam kehidupan  dunia ini".

Jika benar bait-bait puisi di atas dinisbatkan kepada Zuhair bin Abi Sulma, maka hal itu dapat dijadikan petunjuk bahwa dia termasuk salah seoorang penyair masa Jahiliyyah yang mempunyai kepercayaan yang hanief (lurus), dan kepercayaan keberhalaannya diragukan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa dia termasuk golongan orang-orang yang mengharamkan khamr (arak atau minuman keras), mabuk, dan mengundi nasib dengan panah (Syauqi Dhoif, 1960:303). Zuhair berumur panjang dan meninggal sekitar setahun sebelum Nabi Muhammad Saw diangkat menjadi Rasul.

Puisi-Puisinya
Kumpulan puisi Zuhair telah diterbitkan bersama kumpulan-kumpulan puisi dari lima penyair terkenal lainnya, yaitu Umru al-Qais, an-Nabighah, Tharafah, Antarah, dan al-Qamah. Kumpulan puisi yang lain diterbitkan pada tahun 1889 dalam bentuk serial yang berjudul "Tharafa Arabiyyah", kemudian dicetak ulang di Mesir dan di kota-kota lain yang diusahakan oleh Musthafa Saqa.
Ada dua sumber mengenai kumpulan puisi Zuhair, Pertama, berasal dari ulama Basrah yang mengatakan bahwa ada 18 kasidah, sebagaimana ada komentar yang berbunyi: "Mencakup semua kasidah Zuhair yang sampai pada kita atas dasar riwayat yang ada". Adapun sumber kedua, berasal dari ulama Kufah yang mengatakan bahwa ada tambahan sepuluh kasidah, tetapi bahwa tambahan itu adalah ulah tangan orang lain.
Para ahli sastra Arab berpendapat bahwa puisi Zuhair bin Abi Sulma termasuk ke dalam katagori yang tinggi, dan hampir dapat disamakan dengan puisi Umru al-Qais dan An-Nabighah az-Zibyani. Dalam hal itu mereka beralasan bahwa Zuhair memiliki keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut:
1.      Ijaz-nya bagus dan suka membuang tambahan pembicaraan serta kata-kata yang kurang dipelukan, sehingga ia menciptakan sedikit kata banyak makna, seperti dalam kata-katanya di bawah ini:

فما يك من خير أتوه فإنما  ¤  توارثه آباء آبائهم قبل

"Tak ada kebaikan yang mereka persembahkan. Sesungguhnya kebaikan yang mereka miliki hanyalah warisan dari nenek moyang mereka sebelumnya"

2.      Madah-nya bagus dan menjauhi kedustaan di dalamnya. Dia tidak memuji seseorang melainkan karena akhlaknya dan sifat-sifat terpuji yang diketahuinya, seperti dalam kata-katanya di bawah ini:

على مكثريهم رزق من يعتريهم  ¤  وعند المقلين السماحة والبذل

"Terhadap mereka yang banyak hartanya ia sediakan pemberian untuk orang-orang yang meminjam dari mereka. Pada orang yang berkurangan, ia sangat bertoleran dan memberi bantuan"

3.      Kata-katanya jauh dari ta'qid (komplikasi) kata dan makna, serta jauh dari pembicaraan yang tidak perlu dan asing (sulit dicari maknanya), seperti dalam kata-katanya di bawah ini:

ولو أن حمدا يخلد الناس أخلدوا  ¤  ولكن حمد الناس ليس بمخلد

"Jika pujian dapat membuat seseorang menjadi abadi, mereka pun pasti akan abadi. Tetapi, pujian orang-orang tidak akan bisa membuatnya abadi"

4.      Puisinya sedikit sekali mengandung kata-kata yang buruk. Oleh karena itu, puisi-puisinya bersih dan sedikit sekali adanya cercaan di dalamnya. Pernah suatu kali, ia mencerca suatu kaum, namun ia sedih dan menyesali apa yang telah diperbuatnya.
5.      Banyak mengungkapkan amtsal (pribahasa) dan kata-kata hikmah, sehingga penyair ini dianggap sebagai orang yang pertama dalam menciptakan kata-kata hikmah dalam puisi Arab, yang kelak akan diikuti oleh penyair lainnya, seperti Shalih bin Abdul Kudus, Abu al-Atahiyah, Abu Tamam, al-Mutanabby, dan Abu al-Ala' al-Ma'ary dari kalangan Arab peranakan (al-Muwalidin). Di antara kata-katanya yang berisikan amtsal dan kata hikmah seperti terdapat di bawah ini:

وأعلم ما فى اليوم والأمس قبله  ¤  ولكنى عن علم ما فى غد عم
ومن يجعل المعروف من دون عرضه  ¤   يفره ومن لا يتق الشتم يشتم
ومن يك ذا فضل فيـبخل بفضله  ¤  على قومه يستغن عنه ويذمم
ومن يوف لايذمم ومن يهد قلبه  ¤  إلى مطمئن البر لا يتجمجم
رأيت المنايا خبط عشواء من تصب  ¤  تمته ومن تخطئ يعمّر فيهرم
ومن هاب اسباب المنايا ينلنه  ¤  وإن يرق اسباب السماء بسلّم
ومن يجعل المعروف فى غير أهله  ¤  يكن حمده ذماّ عليه ويندم

"Aku dapat mengetahui segala yang terjadi pada hari ini dan kemarin, tetapi aku tetap tidak akan tahu apa yang akan terjadi esok hari"
"Barang siapa berbuat kebaikan dari kedalaman harga dirinya, ia akan terpelihara, dan barang siapa yang tidak melindungi diri dari cercaan, ia akan dicerca"              
 "Barang siapa memiliki kelebihan harta, lalu ia bakhil (pelit) dengan hartanya itu terhadap kaumnya, maka ia tidak akan berguna dan akan dicerca"
"Barang siapa memenuhi kewajibannya, ia tidak akan dicerca, barang siapa hatinya mendapat petunjuk menuju ketentraman dalam berbuat kebaikan, maka ia tidak akan terguncang oleh ketegangan"
"Aku lihat maut itu datang tanpa permisi terlebih dahulu, barang siapa yang didatangi pasti akan mati, dan barang siapa yang luput dia akan mengalami lanjut usia".
"Barang siapa yang takut mati, pasti ia akan bertemu juga dengan kematian itu, walaupun ia naik ke langit dengan tangga"
"Barang siapa yang menolong orang yang tidak berhak untuk ditolong, maka ia akan menerima resikonya dan akan menjadikan penyesalan baginya".

AN-NABIGHAH ADZ-DZIBYANI


Nasab Keluarga Dan Kabilahnya
Penyair ini memiliki nama asli An-Nabighah Az-Zibyani Abu Umamah Ziyad bin Muawiyah. Namun, ia lebih terkenal dengan panggilan an-Nabighah, yang berarti seorang yang pandai berpuisi, karena memang sejak muda ia pandai berpuisi. An-Nabighah merupakan salah seorang tokoh penyair terkemuka Arab Jahiliyyah dan juga menjabat sebagai dewan hakim dalam perlombaan puisi yang diadakan di pasar Ukadz.
Penyair ini selalu berusaha mendekatkan dirinya kepada para pembesar dan menjadikan puisinya sebagai alat yang paling ampuh untuk mendapatkan kedudukan dan kekayaan. Oleh karena itulah ia kerapkali dihasut oleh lawannya.
An-Nabighah termasuk salah seorang pemimpin para bangsawan kabilah Dzubyan, hanya saja karena usahanya mendapatkan harta melalui puisi, mengurangi kemuliaannya. Hampir seluruh umurnya, ia habiskan di kalangan keluarga raja Hira, sehingga raja Hira yang bernama Nu'man bin Mundzir sangat cinta kepadanya, sehingga dalam suatu riwayat dikatakan bahwa penyair ini di kalangan raja Hira selalu memakai bejana dari emas dan perak, dan hal itu menunjukkan kedudukannya yang tinggi di sisi raja Hira. Hal itu berlangsung cukup lama, sampai salah seorang saingannya memfitnahnya dan menghasut Nu'man, sehingga ia marah dan merencanakan untuk membunuh An-Nabighah. Salah seorang pengawal Nu'man secara diam-diam menyampaikan berita tersebut, sehingga An-Nabighah pun segera melarikan diri dan meminta perlindungan kepada raja-raja Ghossan yang menjadi saingan raja-raja Manadzirah dalam memperebutkan penguasaan atas bangsa Arab.
Namun, karena lamanya persahabatan yang ia jalin dengan Nu'man bin Mundzir, An-Nabighah berusaha untuk membersikan diri atas fitnah yang ditujukan kepadanya dan meminta maaf kepadanya dengan puisi-puisinya untuk melenyapkan kebencian Nu'man dan meluluhkan hatinya, serta menempatkan kembali posisinya semula di sisi raja Nu'man bin Mundzir. Hal tersebut dapat dilihat dalam puisi i'tidzariyat (permohonan maaf)-nya di bawah ini:

فإنك شمس والملوك كواكب  ¤  إذا طلعت لو يبد منهنّ كوكب

"Sesungguhnya engkau bagaikan malam yang kujelang meski aku didera kehampaan, tapi tempat berharap maaf darimu sungguh luas membentang"

An-Nabighah berusia panjang dan meninggal menjelang keutusan Nabi Muhammad Saw.

Kedudukan Puisinya
Sebagian besar ahli sastra Arab mendudukan puisi an-Nabighah pada deretan ketiga sesudah sesudah Umru al-Qais dan Zuhair bin Abi Sulma. Hanya saja penilaian ini sangat relatif sekali, karena setiap orang pasti mempunyai penilaian masing-masing. Walaupun demikian karya puisi merupakan puisi yang sangat tinggi nilainya. Karena pribadi penyair ini sangat berbakat dalam berpuisi. Oleh sebab itu, tidak heran bila penyair ini diangkat sebagai dewan juri dalam setiap perlombaan berdeklamasi dan berpuisi tiap tahun di pasar Ukadz.
Dalam perlombaan deklamasi dan berpuisi itu, para penyair berdatangan dari segala penjuru tanah Arab semuanya berkumpul di pasar Ukadz, Daumat al-Jandal, dan Dzil Majanah. Dalam kesempatan ini, mereka mendirikan panggung untuk dewan juri, dan salah seorang dari dewan juri itu adalah an-Nabighah sendiri, karena dia dikenal sebagai seorang yang mahir dalam menilai puisi. Dan apabila ada puisi yang dinilai baik, maka puisi itu akan ditulis dalam lembaran khusus dengan menggunakan tinta emas, kemudian digantungkan pada dinding Ka'bah sebagai penghormatan bagi penyairnya.
Keistimewaan puisi an-Nabighah bila dibandingkan dengan puisi Umru al-Qais dan Zuhair bin Abi Sulma, maka puisi an-Nabighah lebih indah dan kata-katanya lebih mantap, bahasanya sederhana sehingga mudah dimengerti oleh semua orang. Dan para penyair lain pun tidak jarang yang meniru gaya an-Nabighah dalam berpuisi, sehingga orang yang suka akan kelembutannya puisinya, seperti Jarir, menganggap bahwa ia merupakan penyair Jahiliyyah yang paling piawai. Ketergiurannya untuk mencari penghidupan dengan puisi, justru membuka teknik baru dalam jenis puisi madah (pujian) serta melakukan perluasan dan pendalaman dalam jenis puisi itu, sehingga dia mampu memuji sesuatu yang kontradiktif.
Kepiawaiannya itu terlihat ketika pada suatu hari ia hendak memuji raja Nu'man bin Mundzir yaitu seorang raja yang paling disukainya. Waktu itu ia melihat matahari yang sedang terbit dengan terang. Oleh karena itu raja Nu'man diumpamakan dalam puisinya sebagai matahari yang terbit, dimana matahari bila sedang terbit, maka sinarnya itu akan mengalahkan sinar bintang di malam hari. Untuk itu penyair itu berkata seperti di bawah ini[1]:

فإنك شمس والملوك كواكب  ¤  إذا طلعت لو يبد منهنّ كوكب

"Sesungguhnya kamu adalah matahari dan raja-raja selainmu adalah bintang-bintangnya, yang mana bila matahari terbit, maka bintang-bintang itupun akan hilang dari penglihatan".

Selain dari bait puisi di atas, masih banyak lagi dari kumpulan puisinya yang diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh Monsiur Dierenburg pada tahun 1868, karena puisinya banyak digemari orang.

Puisi-Puisinya
An-Nabighah mempunyai diwan (antologi) puisi yang dikomentari oleh Batholius (Ibnu Sayyid al-Batholius) yang telah berulang-ulang dicetak, meskipun antologi puisinya itu tidak menghimpun seluruh puisinya. Di antara puisinya yang paling indah adalah yang terdapat di dalam mu'allaqat-nya yang bait-bait pertamanya berbunyi:

عوجوا فحيوا لنعم دمنة الدار  ¤  ماذا تحيون لوى وأحجار
أقوى وأقفز من نعم وغيره  ¤ هوج الرياح بهلبى الترب موار
وقفت فيها سراة اليوم أسألها  ¤ عن آل نعم أمونا عبر أسفار
فاستعجمت دار نعم ما تكلمنا  ¤  والدار لو كلمنا ذات أخبار

"Berhentilah kalian untuk menyapa, menyalami, sungguh indah reruntuhan perkampungan, apa yang kalian salami adalah timbunan tanah dan bebatuan"
"Tanah lenggang, sepi dari binatang liar, dan telah diubah oleh hembusan badai serta hujan yang datang dan pergi"
"Aku berdiri di atasnya, ditengah reruntuhan dan bertanya kepadanya tentang serombongan unta yang biasa lewat di sana"
"Reruntuhan rumah yang indah , demikian asing, membisu tak mau berbicara pada kami, dan reruntuhan rumah itu, andai ia mau berbicara pada kami, pasti ia punya banyak cerita"

Di antara kata-katanya yang paling bagus dalam puisi i'tidzar-nya seperti yang terdapat di bawah ini:

أتانى (أبيت اللعن) أنك لمتنى  ¤  وتلك التى أهتم منها وأنصب
فبت كأن العائدات فرشن لى  ¤  هواسا به فراشى ويقشب
حلفت فلم أترك لنفسك ريبة  ¤  وليس وراء الله للمرء مذهب
لئن كنت قد بلغت عنى جناية  ¤  لمبلغك الواشى أغشى وأكذب
ولكننى كنت امرءا لى جانب  ¤ من الأرض فيه مستراد ومهرب

"Telah sampai berita padaku tentang abaital la'ni bahwa engkau mencercaku, itulah yang membuat penting dan aku menjadi sangat lelah" "semalaman, seakan para pembesuk menjengukku, menebar duri-duri tajam di atas tempat tidur dan menusuk-nusukku"
"Aku bersumpah tidak akan meninggalkan keraguan pada dirimu. Setelah Allah, bagi seseorang tidak ada lagi tempat kembali"
"Jika berita mengenai dosa yang aku lakukan telah sampai padamu, yang menyampaikan berita padamu itu, sungguh penjilat yang paling jahat dan paling dusta"
"Tetapi aku adalah orang yang memiliki tempat yang lain di bumi, di mana aku mengais rizqi dan tempat melarikan diri"

Di antara puisi-puisinya yang lain,

وأنت كالدهر مبثوثا حبائله  ¤  والدهر لا ملجأ منه ولا هرب
أضحت خلاء وأضحى أهلها احتملوا  ¤  أخنى عليها الذى أخنى على لبد
نبئت أن أبا قابوس أوعدنى  ¤  ولا قرار على زأر من الأسد
فلو كفى اليمين بغتك خونا  ¤  لأفردت اليمين عن الشمال

"Engkau bagaikan sang masa, terbentang luas tali-tali kasihnya. Sang masa, tak ada tempat berlindung dan tempat melarikan diri selainnya"
"Sahara menjadi lengang, penduduknya memikul beban, yang menghancurkan Lubad telah dihancurkannya"
"Aku mendapat berita bahwa Abu Qabus mengancamku, tapi dalam auman singa tak ada yang pasti"
"Jika golongan kanan cukup menimbulkan kebencianmu, karena berkhianat. Sungguh aku sendiri dari golongan kanan yang berasala dari golongan kiri"

UMRU' AL-QAIS BIN HUJRIN

Kabilah Dan Keluarga Umru' Al-Qais
Penyair ini memiliki nama lengkap Umru' al-Qais bin Hujrin bin al-Harits al-Kindi, dan berasal dari suku Kindah, yaitu suatu suku yang pernah berkuasa penuh di daerah Yaman. Karena itu, ia lebih dikenal sebagai penyair Yaman (Hadramaut). Kabilah ini adalah keturunan dari bani Harits yang berasal dari Yaman, daerah Hadramaut Barat. Mereka mendiami daerah Nejed sejak pertengahan abad ke-5 Masehi.
Suku Kindah merupakan salah satu kabilah bangsawan Arab yang harus menghadapi dua saingan kerajaan yang cukup kuat, yaitu Malik al-Khairah dan Husasanah. Keduanya saling berusaha untuk menghalang-halangi pengaruh suku Kindah terhadap suku-suku lain, sehingga mengakibatkan terjadinya peperangan terus-menerus dan turun-menurun.
Nasab penyair ini termasuk ke dalam kalangan terhormat, ia anak seorang raja Yaman yang bernama Hujur al-Kindi, sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Rabiah saudara Kulaib Taghlibiyyah, yaitu seorang pewira Arab yang amat terkenal dalam peperangan al-Basus dan saudara dari Muhalhil, yang juga seorang penyair.
Hujur al-Kindi adalah ayah Umru' al-Qais, yang meninggal dibunuh oleh kabilah Bani Asad. Namun, para sastrawan dan kritikus sastra Arab berselisih pendapat tentang sebab terbunuhnya ayah Umru' al-Qais. Salah satunya adalah pendapat pengarang kitab al-Aghāni (Ibnu Mandzur, tt:248). Ia berpendapat bahwa penyebab kematiannya terdapat empat riwayat, yaitu:
1.      Diriwayatkan dari Hisam ak-Kalabi (w.204 H), menyatakan sebab terbunuhnya Hujur al-Kindi adalah sebagai tindakan balas dendam bani Asad terhadapnya. Karena pemimpin mereka Amr bin Mas'ud al-Asadi dipenjara dan harta kekayaan mereka dirampas serta mereka diusir dari rumah tempat tinggal mereka.
2.      Diriwayatkan dari Abu Faraj dan Abi Amr as-Saibani (w. 213 H), berpendapat bahwa terbunuhnya Hujur al-Kindi merupakan akibat kelalaian dirinya sendiri ketika ia berlindung kepada Uwair bin Sijnah karena rasa takutnya kepada bani Asad.
3.      Diriwayatkan dari Abu Faraj dari Ibnu Sikkit (w. 244 H), berpendapat bahwa Hujur al-Kindi meninggal terbunuh oleh seorang pemuda ketika berperang melawan bani Asad sebagai balas dendam kepadanya.
4.      Diriwayatkan dari Abu Faraj dari Hisam bin 'Adi (w. 206 H), pendapat ini sama dengan pendapat no. 2, hanya saja ia dibunuh sebab kelengahannya ketika berperang dengan bani Asad.

Namun, menurut Syauqi Dhaif[1], ia berpendapat bahwa riwayat yang paling benar adalah riwayat terakhir.


Kehidupan Umru' Al-Qais 
Di dalam buku-buku atau lteratur sastra Arab telah terjadi perselisihan pendapat mengenai siapa sebenarnya nama Umru' al-Qais Terdapat bermacam-macam nama bagi penyair ini, yaitu Hunduj, 'Adiyan, dan Mulaikah. Nama pendeknya Abu Wahab, Abi Zaid, dan Abu Harits. Ada juga yang mengatakan bahwa ia dijuluki dengan nama Dzu al-Qurut[2] dan al-Malik ad-Dlalil[3]. Akan tetapi julukan (laqab)nya yang paling terkenal adalah Umru' al-Qais. Julukan al-Qais diambil dari nama salah satu berhala di masa Jahiliyyah. Mereka mengagungkannya  dan menisbatkan segala sesuatu kepadanya.
Sebagian ahli sastra Arab berpendapat bahwa nasab Umru' al-Qais  dari ayahnya Semith bin Umru' al-Qais bin Amr al-Kindi. Adapun nasab ibunya, Tamaluk bin Amr bin Zubaid bin Madzhad dari Suku Amr bin Ma'ad Yakrub. Diriwayatkan bahwa di masa Jahiliyyah terdapat enam belas penyair Arab yang kesemuanya bernama Umru' al-Qais, sehingga terjadi perselisihan di antara satu sama lain[4]. Adapun tentang kapan dilahirkannya, para ahli sejarah sastra Arab tidak mengetahui dengan pasti kapan dia dilahirkan. Namun, ada yang mengatakan bahwa ia dilahirkan pada permulaan abad ke-6 M.
Dari segi nasab tersebut, sangat berpengaruh terhadap kepribadian penyair Yaman ini. Sejak kecil penyair ini dibesarkan di Nejed, di tengah-tengah Bani Asad, rakyat ayahnya. Ia hidup di dalam kalangan keluarga bangsawan yang gemar berfoya-foya. Kehidupannya sebagai anak seorang raja berpengaruh sekali dalam pembentukan kepribadiannya. Ia memiliki kebiasaan bermain cinta, bermabuk-mabukkan, dan melupakan segala kewajiban sebagai anak raja yang seharusnya pandai mawas diri dan berlatih untuk memimpin masyarakat. Ia kerapkali dimarahi oleh ayahnya karena perangainya yang buruk, bahkan akhirnya dia diusir dari istana.
Selama masa pembuangan, Umru' al-Qais bergabung dengan para penyamun, preman/brandalan, serta tunawisma Arab yang sebaya dengannya. Ia mengembara ke sebagian besar daerah jazirah Arab untuk menghabiskan waktunya bersama masyarakat Badui. Orang-orang Badui ini gemar sekali mengikutinya karena disamping mereka butuh akan hartanya, mereka juga membutuhkan spritit lewat puisi-puisinya untuk menghadapi lawan-lawan mereka.
Masa pengembaraan penyair ini berlangsung cukup lama. Dan pengalaman pengembaraannya itu kelak akan membawa pengaruh yang amat kuat pada puisi-puisinya. Selama pengembaraannya itu, ia mendapatkan pengetahuan, pelajaran, dan pengalaman yang baru yang dituangkan dalam karya-karyanya. Dibandingkan dengan penyair lain yang tidak banyak berkelana, puisi Umru' al-Qais memiliki nilai lebih, baik dari keindahan maupun sistematika bahasa.
Kebiasaan buruk Umru' al-Qais yang senang berfoya-foya, tidak juga hilang meskipun ia dalam masa pembuangan. Suatu hari, ketika ia sedang berada di salah satu warung minuman dan hiburan di Dammun, datang seorang kurir menyampaikan berita mengenai kematian orang tuanya yang terbunuh di tangan kabilah Bani Asad, yaitu sebuah kabilah yang sedang memberontak terhadap kekuasaan ayahnya. Mendengar berita kematian orang tuanya itu tidak membuatnya terkejut dan menuntut balas, tetapi berita itu tidak disambut baik olehnya, bahkan dengan malas-malasan ia berkata[5]:
 "ضيعني صغيرا, وحـملني دمه كبيرا, لا صحو اليوم, ولا سكر غدا, اليوم خمر, وغدا أمر"
"Dulu, sewaktu aku kecil, aku dibuang, dan kini setelah aku dewasa, aku dibebani dengan darahnya, biarkan saja urusan itu, sekarang waktunya untuk bermabuk-mabukan, dan esok barulah waktu untuk menuntut darahnya"[6].

Namun akhirnya, ia berangkat juga menuju Nejed untuk menuntut balas atas kematian orang tuanya. Dalam menunaikan pembalasannya itu, ia terpaksa meminta bantuan kepada kabilah-kabilah Arab yang berada di sekitarnya. Sehingga pertempuran itu berkecamuk lama, dan akhirnya ia melarikan diri menuju kerajaan Romawi Timur (Byzantium) di Turki. Di tengah perjalanan, penyair itu terbunuh oleh musuhnya dan di makamkan di kota Angkara, Turki, dan tidak diketahui secara pasti tahun berapa ia terbunuh, diperkirakan kurang lebih 82 sebeum Hijriyyah atau 530-540 Masehi.

Karya Sastra Umru' Al-Qais
Sebagian besar ahli sastra Arab berpendapat bahwa diantara puisi-puisi al-Mu'allaqat, puisi Umru' al-Qais merupakan puisi yang palin terkenal dan menduduki posisi penting dalam khazanah kesusastraan Arab Jahiliyyah. Mu'allaqat Umru' al-Qais merupakan peninggalan yang paling monumental yang mempunyai peranan penting dalam perkembangan kesusastraan Arab pada masa-masa selanjutnya. Puisi-puisinya seringkali dipakai sebagai referensi dalam kajian ilmu-ilmu bahasa Arab seperti nahwu, sharf, maupun balaghah.
Keistimewaan puisi-puisinya, bersandarkan pada kekuatan daya khayalnya dan pengalaman dalam pengembaraannya. Bahasa yang digunakan sangat tinggi dan isinya padat. Bait-bait puisinya menggambarkan cerita yang panjang, satu bait puisinya memiliki tujuan yang sangat banyak. Ia juga dianggap sebagai orang pertama yang menciptakan cara menarik perhatian dengan cara istikafus-Shahby[7], cara seperti ini sangat menarik bila digunakan dalam puisi ghazal dan tasybib (cara untuk merayu wanita), dan cara seperti itulah yang amat digemari penyair Arab untuk membuka kasidahnya untuk menarik perhatian orang. Ia juga dianggap sebagai penyair pertama dalam mensifati kecantikan seorang wanita dengan mengumpamakannya seperti seekor kijang yang panjang lehernya, karena seorang wanita yang panjang lehernya, menandakan sebagai seorang wanita yang cantik.
Orang yang mempelajari puisi karya Umru' al-Qais dengan mendalam, maka akan ditemukan bahwa keindahan penyair ini terletak pada caranya yang halus dalam puisi ghazal-nya. Ditambah dengan gaya isti'arah (kata-kata kiasan dan perumpamaan). Sehingga banyak yang beranggapan bahwa ialah orang pertama yang menciptakan perumpamaan dalam puisi Arab. Walauun terkadang puisi-puisinya juga tidak luput dari perumpamaan yang cabul, tetapi itu tidak mengurangi nilai dalam puisinya, karena bentuk kecabulannya itu tidak terlalu berlebihan, dan perumpamaan semacam itu merupakan kebiasaan dari para penyair Arab.
Secara garis besar bait-bait puisinya yang terkumpul dalam kasidah mu'allaqat-nya meliputi beberapa tema, antara lain:
·         Mengenai perpisahan seorang sahabat yang membekas dan memilukan, yang menyebabkan air mata bercucuran menyertai kepergfiannya untuk mengembara.
·         Mengenang hari daratul jaljal sebagai cerminan kisah romantis. Tema ini merupakan ungkapan cinta sejati yang tidak mungkin terlupakan. Dan konon tema inilah yang membuat Umru' al-Qais terpilih menjadi penyair al-Mu'allaqat.
·         Mengenai senda gurau yang diibaratkan pertarungan dengan seorang pelacur.
·         Mengenai doa untuk kekasihnya Unaizah, sebagai persembahan cinta yang sejati.
·         Mengenai pertarungan untuk merebut idaman hati.
·         Menggambarkan malam dan waktu-waktu yang dilaluinya, serta kejadian-kejadian luar biasa yang dialaminya.
·         Mengenai penderitaan akan kegagalan.
·         Mengenai simbolisasi kuda dengan kecepatan yang luar biasa.
·         Mengenai pengibaratan pemimpin suku Badui dengan kilat dan hujan, sedangkan pengikutnya dengan jurang yang dalam dan pegunungan yang tinggi.

Walaupun pemakaian kata-kata kiasan, pengibaran dengan alam, dan simbolisasinya, tidak hanya didominasi oleh puisi-puisi Umru' al-Qais, tetapi dilakukan juga oleh para penyair lain. Akan tetapi, para ahli puisi Arab, berpendapat bahwa ialah orang yang pertama kali menciptakan puisi-puisi kontoversial pada zamannya, dan tidak jarang kata-kata yang bernada sinisme juga dipakai oleh Umu al-Qais dalam puisi-puisinya.
Terkadang ia juga berkata vulgar yang mengarah ke pornografi dalam ungkapan-ungkapan komparasi  dan pembicaraannya mengenai wanita. Tercium pula aroma kecerdasan dan kepiawaiannya, serta tersirat pula indikasi-indikasi kepemimpinannya. Hal itu diantaranya terdapat dalam kata-katanya di bawah ini:

فظل العذرى يرتمين بلحمها  ¤  وشحم كهداب الدمقس المفتل
وظل طهاة اللحم من بين منضج  ¤  صفيف شواء أو قدير معجل

"Gadis-gadis itu terus melahap dagingnnya dan lemaknya bagaikan kain sutra putih"
"Mereka terus memasak daging antara yang matang dengan dipanggang, dan ada yang direbus setengah matang"

ولو أن ما أسعى لأدنى معيشة  ¤  كفانى ولم أطلب قليل من المال
ولكنما أسعى لمجد مؤثل  ¤  وقد يدرك المجد المؤثل أمثال

"Seandainya yang kuusahakan ini untuk kehidupan yang rendah, aku sudah kecukupan, dan tak perlu lagi mencari secuil harta"
"Akan tetapi, aku berusaha untuk suatu keagungan sejati, yang terkadang keagungan sejati itu mampu tergapainya orang-orang sepertiku"

Di bawah ini merupakan contoh puisi Umru' al-Qais dalam bab Ghazal yang menceritakan perjalanan bersama kekasihnya yang bernama Unaizah, seperti di bawah ini[8]:

ويوم دخلت الخدر خدر عنيزة  ¤  فقالت لك الويلات إنك مرجلى
تقول وقد مال الغبيط بنا معا  ¤  عقرت بعيرى يا امرأ القيس فانزل
فقلت لها سيرى وارخى زمامه  ¤  ولا تبعدينى من جناك المعلّل

"Suatu hari ketika aku sedang masuk  ke dalam Haudat[9] kekasihnya Unaizah, maka Unaizah berkata kepadaku: "Celakalah kamu, jangan kamu beratkan untaku".
"Ketika punggung untanya agak condong ke bawah (karena berat), maka ia berkata kepadaku:  "Turunlah hai Umru al-Qais, janganlah kamu ganggu jalan untaku ini".
"Di saat itu, kukatakan kepadanya: "Teruskanlah perjalananmu dan lepaskanlah tali kekangnya, janganlah engkau jauhkan aku dari sisimu".

Penyair ini juga mensifati kecantikan kekasihnya, Unaizah, seperti dalam bait puisi di bawah ini[10]:
فلمّا اجزنا ساحة الحىّ وانتحى  ¤  بنا بطن خبت ذى حقاف عقنقل
هصرت بفودى رأسها فتمايلت  ¤  على هضيم الكشح ريّا المخلخل
مهفهفة بيضاء غير مفاضة  ¤  ترائبها مصقولة كالسّجنجل
وجيد كجيد الرئم ليس بفاحش  ¤  اذا هي نصته ولا بمتعطل
وفرع يزين المتن اسود فاحم  ¤  انيث كقنو النخلة المتعثكل

"Ketika kami berdua telah melewati perkampungan, dan sampai di tempat yang aman dari intaian orang kampung"
"Maka kutarik dirinya sehingga ia dapat merapat kepadaku, perutnya ramping dan dadanya putih bagaikan kaca".
"Lehernya jenjang bak leher kijangi, jika dipanjangkan tidak bercacat sedikit pun, karena lehernya dipenuhi kalung permata".
"Rambutnya yang panjang dan hitam bila terurai di bahunya bagaikan mayang korma".

Pada bait puisi di atas Umru' al-Qais menggambarkan kecantikan kekasihnya dengan gayanya yang khas, dan gambaran yang seindah itu tidak dapat terlukiskan, kecuali bagi orang yang mempunyai daya khayal yang tinggi, ditambah dengan pengalaman yang luas, sehingga dengan itu semua ia dapat melukiskan sesuatu dengan berbagai macam perumpamaan dan sepertinya benar-benar terjadi.
Contoh lain yang menunjukkan kemahiran penyair ini dalam menggambarkan suatu kejadian dengan gayanya yang khas sehingga bayangan yang ada benar-benar terjadi. Seperti kesusahan yang dialaminya pada malam hari, seperti dibawah ini[11]:

وليل كموج البحر مرخ سدوله  ¤    عليّ بأنواع الهموم ليبتلى
فقلت له لمـّا تمطّى بصلبه  ¤  واردف اعجازا وناء بكلكل
الا ايّها اللّيل الطويل الا انجلى  ¤  بصبح وما الإصباح منك بأمثل

"Di kala gelap malam bagaikan badai laut yang tengah meliputiku dengan berbagai macam keresahan  untuk mengujiku (kesabaranku)".
"Di kala malam itu tengah memanjangkan waktunya, maka aku katakan padanya".
"Hai malam yang panjang, gerangan apakah yang menghalangimu untuk berganti dengan pagi hari? Ya walaupun pagi itu pun belum tentu akan sebaik kamu".

Pada bait-bait puisi di atas, sebenarnya penyair ini ingin mengutarakan betapa malang nasibnya. Di mana keresahan hatinya akan bertambah susah bila malam hari tiba. Karena saat itu ia merasa seolah-olah malam itu sangat panjang sekali. Sehingga ia mengharapakan waktu pagi segera tiba, agar keresahannya dapat berkurang, namun sayang sekali keresahannya itu tidak juga berkurang walaupun pagi hari telah tiba. Puisi di atas, tidak lain merupakan contoh dari kepandaian Umru' al-Qais dalam menggambarkan suatu keadaan. Sehingga seolah-olah itu benar-benar terjadi.
Bait puisinya terkumpul semuanya dalam kasidah mu'allaqat-nya. Mu'allaqat Umru' al-Qais sangat terkenal dikalangan setiap orang yang mempelajari kesusastraan Arab. Penyair ini menciptakan kasidah muallaqadnya tidak lain adalah untuk mengabadikan suatu kejadian yang dialaminya. Seperti kejadian yang dialaminya besama sang kekasih Unaizah.
Pada suatu ketika Umru' al-Qais ingin bertemu kekasihnya, namun keinginannya itu selalu dihalangi oleh pamannya, karena ia takut anak puterinya itu akan terbujuk dengan puisi Umru' al-Qais. Karena itulah, Umru' al-Qais berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan kesempatan agar dapat bertemu dengan anak pamannya yang bernama Unaizah. Dan pada suatu ketika, ia berhasil bertemu dengan Unaizah dan bersepakat bertemu dalam kesempatan lain bila anggota kabilahnya sedang pergi mengambil air. Dan telah menjadi kebiasaan kabilah itu, bila hendak mengambil air kaum lelaki berjalan terlebih dahulu, kemudian barulah diikuti kaum wanita dari belakang.
Sewaktu kaum lelaki pergi ke mata air, Umru' al-Qais tidak keluar bersama mereka, bahkan penyair ini menunggu keberangkatan kaum wanita. Dan ketika kaum wanita keluar menuju mata air, maka Umru' al-Qais keluar mendahului mereka agar dapat sampai lebih dahulu. Sesampainya di mata air yang bernama Juljul yang terletak di daerah Kindah (Nejed), penyair ini langsung bersembunyi di balik batu yang tidak terlalu jauh dari tempat itu.
Ketika rombongan wanita yang di dalamnya terdapat kekasihnya tiba di mata air Juljul, maka mereka langsung menanggalkan pakaiannya masing-masing, dan meletakkannya di atas batu. Setelah mereka masuk ke dalam air, maka Umru' al-Qais yang tengah asyik memperhatikan dari balik batu, langsung mengambil pakaian mereka semua, dan berjanji tidak mengembalikannya kecuali bila mereka keluar dari mata air itu  dengan keadaan telanjang bulat. Melihat kejadian itu, semua kaum wanita terkejut dan meminta Umru' al-Qais untuk mengembalikan pakaian mereka. Namun Umru' al-Qais tetap bersikeras tidak mengembalikan pakaian mereka bila mereka tidak mau keluar dalam keadaan telanjang bulat.
Akhirnya, dengan keadaan terpaksa kaum wanita itu keluar dari mata air Juljul dalam keadaan telanjang bulat untuk mengambil pakaian mereka dari tangan Umru' al-Qais, tetapi hanya Unaizah yang tidak mau keluar dari mata air, dan ia meminta Umru' al-Qais untuk mengembalikan pakaiannya. Setelah ia mengetahui bahwa Umru' al-Qais tidak akan mengembalikan pakaiannya, maka dengan terpaksa Unaizah keluar dari mata air dengan keadaan telanjang dan meminta Umru' al-Qais untuk mengembalikan pakaiannya. Dan kemenangannya itu, diabadikannya dalam kasidah mu'allaqat-nya.
Umru' al-Qais juga memiliki puisi-puisi panjang dan pendek. Puisi panjangnya yang paling terkenal dan menjadi buah bibir orang dalam kepopulerannya, terdapat dalam kumpulan mu'allaqat-nya seperti terdapat di bawah ini:

قفا نبك من ذكرى حبيب ومنـزل  ¤  بسقط اللوى بين الدحول فحومل
فتوضح بالمقراة لم يعف رسمها  ¤  لما نسجتها من جنوب وشمال

"Marilah kita berhenti untuk menangis (mengenang) kekasih dan rumahnya di Siqthi liwa antara Dakhul dan Haumal"
"Tudlih dan Miqrat, bekas-bekasnya belumlah lenyap karema hembusan angina selatan dan angina utara"

Umru' al-Qais juga memiliki puisi yang berisikan hikmah-himah atau kata-kata mutiara, seperti yang terdapat di bawah ini:

إذا المرءا لم يخزن عليه لسانه  ¤  فليس على شيئ سواه بخزان
فإنك لم يفخر عليك كفاخر  ¤  ضعيف ولم يغلبك مثل مغلب

"Seseorang, bila lisannya tidak dapat memelihara dirinya, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat dipeliharanya"
"Sesungguhnya kamu tidak akan dibanggakan sebagai orang lemah kamu tidak akan dikalahkan oleh orang yang berkali-kali kalah"

Dīwan (kumpulan puisi-puisi) Umru' al-Qais telah mengalami cetakan berulang-ulang. Pertama kali dicetak di Paris pada tahun 1837 M oleh De Slane. Pada tahun 1870 dibukukan kembali oleh Ahlwardt dan pada tahun 1958 Muhammad Abu Fadl Ibrahim bersama lembaga Dār al-Ma'arif Kairo telah mengeluarkan kembali Dīwan Umru' al-Qais yang baru, yaitu dengan mengambil dari nushah yang ditulis oleh De Slane. Dīwan tersebut meliputi 28 kasidah dengan sarah (penjelasan) Assantamri (riwayat dari orang Kufah)[12].

Hani Bin Qabishah Bin Hani  Bin Mas'ud Asy-Syaibani
Hani bin Qabishah bin Hani bin Mas'ud asy-Syaibani adalah seorang kepala kabilah dari bani Syaiban, yang terkenal dengan keberaniannya pada akhir zaman Jahiliyyah.
Mengenai keberaniannya, suatu hari, ia diminta oleh Raja Kisra dari Persia, untuk memberikan amanat kepada Nu'man bin al-Mandzur, salah seorang Raja Munadzirat di Hira, Irak, tetapi ia menolak. Maka, terjadilah peperangan antara Persia dan Bakr, suku bani Hani, di sebuah tempat dekat Basrah di Irak, yang dikenal dengan perang Dzi Qaar (yaumu Dzi Qaar), dalam peperangan itu suku Bakr memperoleh kemenangan. Di bawah ini adalah pidato Hani kepada kaumnya pada perang tersebut:

"يا معشر بكر, هالك معذور, خير من ناج فرور, إن الحذر لا ينجى من القدر, وإن الصبر من أسباب الظفر, المنية ولا الدنية, استقبال الموت خير من استدباره, الطعن فى ثغرالنحور, أكرم منه فى الأعجاز والظهور, يا آل بكر, قاتلوا فما للمنايا من بد".

"Wahai segenap orang-orang kabilah Bakr, mati dalam medan peperangan lebih baik daripada orang yang selamat dengan lari dari perang. Melarikan diri (ketakutan) tidak akan menyelamatkan dari takdir. Sesungguhnya kesabaran merupakan salah satu faktor penyebab kemenangan. Kematian bukanlah sebuah kehinaan. Menyongsong kematian (maut) lebih baik daripada menghindarinya. Tusukan di tenggorakan lebih mulia daripada tusukan di leher dan pundak. Wahai keluarga Bakr, berperanglah! Janganlah kalian takut akan mati, karena kematian akan dimana pun akan menghadang kalian"

Aktsam bin Shaifi
Aktsam bin Shaifi dikenal sebagai orator bangsa Arab Jahiliyyah yang paling bijak, ia juga dikenal sebagai seorang yang paling mengetahui silsilah keturunan bangsa Arab. Di dalam orasinya ia banyak menyisipkan kata-kata hikmah dan peribahasa. Pendapat yang dikeluarkan selalu tepat dan argumentasinya kuat. Selain dikenal sebagai seorang orator yang ulung, ia juga sebagai hakim yang dihormati dan disegani.
Aktsam bin Shaifi memiliki kedudukan yang tinggi disisi kaumnya dan termasuk tokoh pemimpin yang dimuliakan, dan juga penguasa pembesar di kalangan mereka. Sangat sedikit pada masanya, orator yang dapat menandinginya dalam keluasan pengetahuan di bidang silsilah keturunan bangsa Arab, dalam penciptaan pribahasa, dan kata-kata hikmah, juga dalam memecahkan berbagai permasalahan, dan dalam keluhuran pemikirannya.
Aktsam bin Shaifi merupakan ketua dari para orator yang diutus oleh Raja Nu'man untuk menghadap Raja Kisra, Persia. Raja Kisra sangat kagum terhadap Aksam, sehingga ia menyatakan: "Seandainya bangsa Arab tidak memiliki lagi orator sepertimu, kamu sendiri pun sudah cukup".
Aktsam bin Shaifi memiliki usia yang panjang, ia sempat mengalami masa diutusnya Nabi Muhammad Saw, Ketika ia mendapat berita mengenai di utusnya Nabi Muhammad Saw, ia mengumpulkan kaumnya dan mengajak mereka untuk beriman kepada Nabi Muhammad Saw.
Di dalam pidato-pidatonya, Aktsam jarang menggunakan kata-kata majaz, kalimat-kalimat pidatonya begitu ringkas, padat, merdu, dan mengandung makna yang luas. Pidato-pidatonya juga banyak dihiasi dengan kata-kata mutiara dan pribahasa. Ungkapan orasinya tidak begitu mementingkan persajakan (rima), tetapi lebih cenderung untuk memuaskan pendengarnya dengan argumentasi yang baik  dan bukti. Dia menyandarkan orasinya pada kekuatan pengaruh dan kesan yang ditimbulkan dari kepiawaiannya dalam berorasi. Di bawah ini adalah salah satu contoh orasinya (pidato) yang disampaikan dihadapan Raja Kisra, Persia:

"إن أفضل الأشياء أعاليها, وأعلى الرجال ملوكم, وأفضل الملوك أعمها نفعا, وخير الأزمنة أخصبها, وأفضل الخطباء أصدقها, الصدق منجاة, والكذب مهواة, والشرّ لجاجة, الحزم مركب صعب, والعجز مركب وطئو آفة الرأى الهوى, والعجز مفتاح الفقر, وخير الأمور الصبر, وحسن الظن ورطة, وسوء الظن عصمة, إصلاح فساد الرعية خير من إصلاح فساد الرأعى, من فسدت بطانته كان كالغاص بالماء, شرّ البلاد بلاد لا أمير بها, شرّ الملوك من خافه البرئ, المرء يعجز لا المحالة. أفضل الأولاد البررة, خير الأعوان من لم يراء بالنصيحة, أحق الجنود بالنصر من حسنت سريرته, بكفيك من الزاد ما بلغك المحل, حسبك من شر سماعه, الصمت حكم وقليل فاعله, البلاغة الإيجاز, من شدد نفر, ومن تراخى تألف"

"Sesungguhnya, seutama-utamanya sesuatu adalah yang paling tinggi. Setinggi-tinggi orang adalah raja mereka. Seutama-utama raja adalah yang paling merata kemamfaatannya. Sebaik-baik masa adalah masa yang paling subur (jaya). Seutama-utama orator adalah orator yang paling jujur. Kejujuran adalah penyelamat. Kedustaan adalah lembah kehancuran. Kejahatan adalah berlarutnya pertikaian. Tekad kuat adalah kendaraan yang paling sulit dinaiki. Kelemahan adalah kendaraan yang paling mudah dinaiki. Penyakit berpikir adalah hawa nafsu. Kelemahan adalah kunci kefakiran. Sebaik-baik perkara adalah kesabaran. Baik sangka adalah sesuatu yang menyulitkan. Buruk sangka adalah suatu perlindungan. Memperbaiki kerusakan rakyat lebih baik daripada memperbaiki kerusakan penguasa. Barang siapa yang rusak kawan-kawan dan kroni-kroninya, bagaikan tenggelam dalam air. Seburuk-buruk negeri adalah negeri yang tidak memiliki pemimpin. Sejahat-jahat raja adalah raja adalah raja yang ditakui oleh orang-orang bersih. Seorang akan menjadi lemah jika tidak memiliki usaha. Sebaik-baik pembantu adalah orang yang tidak menentang nasihat. Sebaik-baik tentara yang berhak mendapatkan kemenangan adalah tentara yang baik intusi perangnya. Cukuplah bekal buatmu, yang dapat menghantarkan sampai ke tempat tujuan. Cukuplah kejahatan itu, kamu mendengarnya saja. Balaghah adalah ijaz (kata ringkas dan padat makna). Barang siapa yang kasar akan dijauhi orang, dan barang siapa yang ramah akan didekati orang".       

Qus bin Sa'idah Al-Iyadi
Qus bin Sa'idah al-Iyyadi merupakan seorang orator ulung Arab Jahiliyyah dan menjadi idola dalam ke-balaghah-an orasinya, kata-katanya banyak mengandung hikmat dan nasihat-nasihat yang baik. Ia menganut kepercayaan tauhid dan beriman kepada hari kebangkitan. Ia menyeru masyarakatnya untuk menghentikan penyembahan terhadap berhala, dan berusaha membimbing mereka untuk menyembah kepada Yang Maha Pencipta (al-Khaliq). Dia mengorasikan hal itu kepada masyarakatnya dalam berbagai acara dan pada musim-musim pasaran.
Sebagian ahli sastra Arab menyatakan bahwa Qus bin Sa'idah al-Iyyadi adalah orator pertama yang berorasi di tempat yang tinggi, orator pertama yang mengatakan dalam orasinya kata-kata "amma ba'du" (kemudian dari itu/selanjutnya), dan orator pertama yang berorasi sambil bertelekan (memegang) pedang dan tongkat. Masyarakat banyak yang datang kepadanya untuk meminta pengadilan dan penyelesaian terhadap sebuah permasalahan, dan ia pun mampu mengadili mereka dengan pemikiran yang jernih dan keutusan yang tepat.
Qus bin Sa'idah al-Iyyadi juga orang pertama yang mengatakan: "Pembuktian atas orang yang mendakwa dan sumpah atas orang yang mengingkari". Ia pernah menjadi duta (wakil) yang diutus kepada Kaisar Romawi. Pada suatu ketika Kaisar Romawi bertanya kepadanya:
"Akal apakah yang paling mulia?"
Qus menjawab: "Akal yang membuat seseorang dapat mengenal dirinya".
Kaisar bertanya: "Ilmu apakah yang paling utama?"
Qus menjawab: "Ilmu yang dapat membuat seseorang melindungi dirinya".
Kaisar bertanya: "Sifat apakah yang paling mulia dari seorang ksatria?"
Qus menjawab: "Yaitu sifat ksatria seseorang akan mampu mengendalikan air mukanya".
Kaisar bertanya: "Harta apakah yang paling mulia?"
Qus menjawab: "Harta yang dapat membuat seseorang dapat menyelesaikan hak-haknya".

Nabi Muhammad Saw sebelum diutus menjadi pernah mendengar Qus berorasi di pasar Ukadz di atas unta yang berwarna kelabu. Beliau Saw begitu mengagumi keindahan kata-katanya dan mengagumi kelurusannya serta memujinya. Qus berusia panjang dan meninggal menjelang Nabi Muhammad Saw diutus menjadi Rasul.
Kata-kata yang digunakan dalam berorasi begitu selektif, sehingga kesan yang ditimbulkan sangat kuat, jauh dari kesalahan, dan senda gurau. Saja' (prosa bersajak), pharase-pharase pendek-pendek, selalu muncul secara spontan dalam setiap orasinya. Di antara pidatonya, adalah pidato yang disampaikannya di pasar Ukadz, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Shubhi al-A'sya (1: 212), seperti yang terdapat di bawah ini:

أيها الناس, أسمعوا وعوا, من عاش مات, ومن مات فات, وكل ما هو آت آت, ليل داج, ونهار ساج, وسماء ذات أبراجو ونجوم تزهر, وبحار تزحر, وجبال مرساة, وأرض مدحاة, وأنهار مجراة, إن فى السماء لخبرا, وإن فى الأرض لعبرا, ما بال الناس يذهبون ولا يرجعون؟ أرضوا فأقاموا؟ أم تركوا فناموا؟ يقسم قس بالله قسما لا إثم فيه: إن لله دينا هو أرضى لكم وأفضل من دينكم الذى أنتم عليه. إنكم لتأتون من منكرا". 

"Wahai segenap manusia dengarlah dan sadarlah. Sesungguhnya orang yang hidup itu akan mati. Orang yang mati itu telah berlalu. Segala yang akan datang itu pasti datang. Malam yang gelap gulita, siang yang terang benderang, langit yang berhias bintang-bintang. Bintang gemintang yang berkerlap-kerlip, lautan yang bergelombang, gunung-gunung yang tinggi menjulang, bumi yang menghampar, dan sungai-sungai yang mengalir. Sesungguhnya di langit itu ada kabar berita, dan di bumi itu penuh dengan pengajaran. Bagaimanakah gerangan berita tentang orang-orang yang telah pergi dan tak kembali? Adakah gerangan karena mereka suka dan mereka menetap di sana? Qus bersumpah demi Allah, suatu sumpah yang tidak mengandung dosa: Sesungguhnya Allah memiliki agama yang lebih disukai-Nya buat kalian, dan lebih utama daripada agama yang kalian jalani. Sesungguhnya kalian benar-benar mendatangkan urusan yang mungkar (yang tidak disukai)".

Diriwayatkan bahwa setelah berorasi itu, Qus mendendangkan Syi'rnya:
فى الذاهبـين الأوليـ  ¤  ـن من القرون لنا بصائر
لما رأيـت مـواردا  ¤  للموت ليس لها مصادر
ورأيت قومى نحوهـا  ¤  تمض: الأكابر والأصاغر
لا يرجع المـاضى إلى  ¤  ولا من الباقين غـابر
أيقنت أنى لا محــا  ¤  لة حيث صار القوم صائر

"Pada orang-orang terdahulu yang telah berlalu pergi berabad-abad silam, kita mendapatkan berbagai pelajaran"
"Ketika kulihat meeka beramai-ramai menuju telaga kematian yang tidak dapa dihindari"
"Da kulihat kaumku pun menuju ke arah sana dengan tidak perduli, mereka yang tua renta maupun mereka yang muda belia"
"Yang telah berlalu tak akan kembali lagi kepadaku, dan sementara mereka yang masih tersisa tak akan pernah tetap berada"
"Aku pun yakin, bahwa tak ayal lagi aku pun pasti berlalu pergi, menuju tempat ke mana kaumku pergi"









No comments: