Lamhah Sastra
-
Written by Halimi Zuhdy
Membingkai Sastra dalam Etalase Kehidupan
Beberapa bulan yang lalu saya diminta
untuk mempresentasikan pentingnya sastra dalam kehidupan manusia,
kebetulan sahabat saya, sebut saja Syukro, tanpa sepengetahuan saya,
mengikuti acara yang dilaksanakan oleh lembaga kajian sastra (Elkas)
itu, ia orang yang sangat membenci dan bahkan mooh pada dunia sastra,
apalagi bersentuhan dengan bahasa-bahasa yang tidak “jelas” sebut saja
puisi, puisi menurutnya adalah bahasa yang tidak mencerminkan kejujuran
dan penulisnya lagi mengalami depresi akut sehingga bahasanya tidak
tertata dengan baik dan benar, dan ia juga sangat membenci cerpen,
menurutnya, membaca cerpen sebagaimana membaca kebohongan, menelaah
kehampaan, membuang-buang waktu, menghambur-hamburkan uang dan yang
didapat hanya kesia-siaan, dari namanya saja “fiksi”. Bagaimana
menjadikan manusia seutuhnya kalau bacaannya cerpen dan puisi, ungkapnya
dengan nada ketus.
Setelah saya
selesai menyajikan teori sosiologi sastra dan menutup seminar itu dengan
ungkapan Georg Lukacs seorang kritikus Marxis terkemuka yang berasal
dari Hungaria, “Sebuah novel, cerpen, puisi, tidak hanya mencerminkan
‘realitas’ tetapi lebih dari memberikan kepada kita “sebuah refleksi
realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih
dinamik” yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya tidak hanya
mencerminkan fenomena individu secara tertutup melainkan lebih
merupakan ‘proses yang hidup’. Sastra tidak mencerminkan relitas sebagai
fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang
mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat mencerminkan
realitas secara jujur dan objektif dan dapat juga mencerminkan kesan
realitas subjektifitas. Kontan saja, Syukro bertanya-tanya dalam
pikirannya, benarkah apa yang dikatakan Halimi?, karena selama ini ia
memahami bahwa sastra adalah dunia kebohongan yang dibungkus keindahan,
memenangkan dunia imajinasi ketimbang dunia realitas, menuhankan estetik
daripada kebenaran hakiki.
Dan tidak beberapa lama setelah itu,
Syukro yang anti terhadap karya-karya sastra, terutama puisi dan cerpen,
mengalami perubahan drastis. Setelah saya menyodorkan puisi saya yang
berjudul; Tuhan tak ada kata “cinta” untuk-Mu, dan beberapa puisi
penyair terkenal, O Amuk Kapak-nya Sutardji Calzoum Bachri, Ibu –
D.Zawawi Imron, Lautan Jilbab-nya MH. Ainun Najib, Negeri Daging-nya
Mustofa Bisri, kemudian saya jelaskan kata perkata, bait perbait,
menurut kemampuan saya, agar ia benar-benar memahami makna yang
terkandung dalam puisi tersebut, memang sekali-dua kali membaca puisi
mereka, masih merasakan kesulitan untuk memahaminya, namun setelah
beberapa kali, merenungi, memahami, mengkaji dan membacanya dengan
kesungguhan hati dan perasaannya, ia menemukan kenikmatan dan keindahan,
kemudian ia berkomentar, “sungguh, bahasa yang indah dan penuh makna
yang terbersit di dalamnya, saya menemukan realitas lain dalam setiap
kata-katanya, yang sebelumnya saya anggap hanya dunia imaji dan dunia
basa-basi, tapi di sana benar-benar saya temukan realitas-imaji yang
sesungguhnya”.
Bukan hanya puisi yang saya sodorkan
padanya untuk dilahap, tapi beberapa karya sastra lainnya seperti cerpen
dan novel, agar ia benar-benar memasuki dunia estetik yang lain,
seperti, Laki-laki menuju surga karangan Najib Kailani, keluarga Gerilya
dan Arus Balik –nya Pramoedya Ananta Nor, Dua Orang Dukun- Ajip Rosidi,
Pertempuran dan Salju di Paris karangan Sitor Situmorang Rosidi,
Dilarang Mencintai Bunga-bunga Kuntowijoyo dan beberapa cerpen dan Novel
lainnya. Setelah beberapa hari membaca dan mengkaji karya-karya sastra,
seperti novel, roman, puisi, cerpen, drama, dan beberapa kolom sastra,
ia berkata pada saya, “bagaimana ..ya, seandainya hidup ini tanpa
sastra, rasanya hampa dan hidup tidak menggairahkan, keindahan pun akan
tercerabut dari hati, prasaan dan diri manusia ,”. Apa yang dirasakan
syukro, mungkin akan dirasakan oleh penikmat-penikmat sastra, bahkan
lebih dari yang dibayangkan sebelumnya.
Sastra bukanlah sekedar dunia simbol
yang penghuninya semuanya hanya kata-kata, tapi juga bukan dunia
pergerakan, yang penuh dengan segenap tindakan seperti dalam kerusuhan,
dalam revolusi yang bergejolak, atau dalam suatu perhelatan, sastra itu
cermin hidup manusia, dan dunianya, dan di sana manusia berkata-kata,
dan kata-katanya juga meninggalkan jejak, kata-kata –selemah dan sehalus
apapun- bisa mengaruhi dan memberi inspirasi bagi tumbuhnya sesuatu
bagi tumbuhnya suatu ideologi sosial. Dan sastra dengan begitu secara
tak langsung bisa memeberi manusia gagasan membikin dunianya lebih baik
(M. Sobary, Kompas, 3/6/06)
Sejatinya sastra merupakan unsur yang
amat penting yang mampu memberikan wajah manusiawi, unsur-unsur
keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, harmoni, irama,
proporsi, dan sublimasi dalam setiap gerak kehidupan manusia dalam
menciptakan kebudayaan. Dan apabila hal tersebut tercerabut dari akar
kehidupan manusia, manusia tak lebih dari sekadar hewan berakal. Untuk
itulah sastra harus ada dan selalu harus diberadakan.
Sastra adalah
vitamin batin, kerja otak kanan yang membuat halus sikap hidup insani
yang jika benar-benar dimatangkan, akan mampu menumbuhkan sikap yang
lebih santun dan beradab.
Seni sastra, dilihat dari kenalaran
sistematis pada instansi rasional yang terakhir, adalah ‘primer’ :
mengungkapkan ada (das Sein) manusiawi kita dan melekat dalam kehidupan
manusia. Secara potensial, setiap orang pada setiap jaman pada setiap
tempat dapat bersastra, entah secara aktif entah secara pasif
(Mangunwijaya, 1986:3-7). Oleh karena itu, seni sastra merupakan sebuah
bidang kebudayaan manusia yang paling tua, yang mendahului cabang-cabang
kebudayaan lainya. Sebelum adanya ilmu pengetahuan dan teknik, kesenian
sudah hadir sebagai media ekspresi pengalaman estetik manusia
berhadapan dengan alam sebagai penjelmaan keindahan (Drikarya, 1980:
7-12).
Ekspresi pengalaman keindahan itu
menentramkan dan mengembirakan manusia, karena di dalamnya manusia
mengenali hubungan yang akrab dan hangat antara dirinya dengan sumber
atau segala sesuatu yang menarik, mengikat, memikat, dan memanggil
manusia kepada-Nya. Dan jelaslah bahwa pada awal mula kehadirannya,
pengalaman estetik tidak dibedakan dari pengalaman relegius (pengalaman
mistis). Menurut Mangunwijaya “pada awal Mula, segala sastra adalah
religius. Bagi filsuf Perancis, J. Maritain, pengalaman estetis
merupakan “Intercommunication between the inner being of thigs and the
inner being of the human self”, interaksi antara manusia dan hakikat
alam raya. Karya sastra adalah proyeksi perasaan subjektif ke dalam alam
raya dan sebaliknya alam raya bercerita tentang perasaan manusia.
Perhatikan ungkapan ini: “Suara burung elang pada akhir musim kemarau
menggemakan rasa rindu seorang pemuda pada kekasihnya” (Hartoko,
1986:9).
Sekalipun istilah “sastra” (literature)
dengan pengertiannya yang sekarang baru muncul di Eropa pada abad ke-18,
sastra sesungguhnya berakar dari masa prasejarah dalam wujud sastra
lisan dan bentuk-bentuk mitos.
Mitos merupakan wilayah kesustraan,
seperti dijelaskan oleh Cal Jung mengenai memori rasial, diffuse
histori, dan kesamaan dasar dalam pikiran manusia (Vickery, 1982
:79-83). Menurut Richard Chase, mitos adalah karya sastra yang harus
dipahami sebagai kreasi estetik dari imajinasi manuisa. Pengertian mitos
sebagai kreasi seni sastra berkaitan fungsi dengan primer mitos dalam
pemikiran manusia sebelum munculnya bidang-bidang lain seperti ilmu,
religi, ekonomi, dogma teologi, dll (Chase, 1969 :69) sebagai ekspresi
kesenian, mitos mengungkapkan kekuatan magis impersonal yang mengacu
kepada pengalaman akan hal-hal yang luar biasa indah, menakutkan,
mengagumkan, dahsyat yang berkaitan dengan emosi-emosi preternatural.
Mitos membentuk acuan (matrix), dan dari
acuan itu muncul sastra yang bersifat psikologis, historis, mistis,
religius, simbolis, ekspresif, impresif. Elemen-elemn kesustraan seperti
alur, tema, perwatakan dan citraan pada umumnya ditemukan pula di dalam
mitos dan cerita-cerita rakyat.
Sastra, bagaimanapun, memiliki
kualitas-kualitas mistis karena pada mulanya orang bersastra untuk
mengespresikan pengalaman-pengalaman mistik dengan menghayati
realita-realita paling mendasar dari eksistensi manusia : kelahiran,
kehidupan, kematian, kesakitan, ketakutan, dan pendambaan keselamatan
yang merupakan dimensi-dimensi transendentalnya.
Akan tetapi, pada suatu fase historis,
sastra semakin otonom dari segi-segi estetika dan semakin menuntut
hak-haknya, bahkan seringkali mengklaim monopoli (Mangunwijaya,
1986:5-6). Sastrawan dan seniman merasa diri sebagai manusia yang luar
biasa, yang otonom mutlak, bahkan merasa dirinya ‘resi diatas angin’ .
sastra lalu lepas dari kehidupan manusia biasa dan menjadi sukar
didefinisakan oleh orang biasa. Hanya orang-orang tertentu, kaum
intelektual zaman modern yang memahami seluk-beluk ilmu estetik yang
memamahami sastra.
Tulisan ini saya tutup dengan perkataan M. Sobary,
“Sastra dan agama menyentuh manusia, dan mengubahnya dari dalam. Dan
pelan-pelan manusia mengubah dunianya.”
*) Penikmat Sastra yang lagi menjelajah Surat Cinta Sang Kekasih yang penuh mutiara,
estetik, hikmah dan sarat makna.
Imilah_zudn@Yahoo.Com