Memasuki Alam Sastra
Dr. Siti Chamamah[1]
menyatakan bahwa istilah sastra dipakai untuk menyebut gejala budaya
yang dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial,
ekonomi dan keagamaan keberadaannya tidak merupakan keharusan. Upaya
mengungkapkan konsep tentang sastra pada umumnya dipandang tidak mudah.
Hal ini disadari juga oleh para kritikus dan teoritis sastra yang merasa
kesulitan untuk memberi jawaban tentang pertanyaan “apakah sastra itu?”[2].
Meskipun demikian pada umumnya orang sepakat bahwa sastra dipahami
sebagai satu bentuk kegiatan manusia yang tergolong pada karya seni yang
menggunakan bahasa sebagai bahan. Jadi bahan merupakan karakteristik
sastra sebagai karya seni. Sebagai satu sistem, sastra merupakan satu
kebulatan dalam arti dapat dilihat dari berbagai sisi. Diantaranya
adalah sisi bahan, teks sastra tidak ditentukan oleh bentuk strukturnya
tetapi oleh bahasa yang digunakan dalam berbagai cara oleh
masyarakat. Ini menunjukkan pengertian bahwa bahasa yang dipakai
mengandung fungsi yang lebih umum daripada dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat. Bahasa yang dipergunakan secara istimewa dalam ciptaan
sastra pada hakekatnya dalam rangka fungsi sastra berperan sebagai
sarana komunikasi, yaitu untuk menyampaikan informasi. Dengan
memperlihatkan teori informasi Eco yang cenderung memperlihatkan gejala
reduksi dan penyusutan yang terkandung dalam informasi, maka
pemanipulasian bahasa pada hakekatnya dalam rangka mewujudkan sastra
sebagai sarana komunikasi yang maksimal. Dalam komunikasi sastra, sifat
sastra yang paling penting adalah mampu menyampaikan informasi yang
bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula.[3]
Keterkaitan
dan keterlibatan al-Qur’an dengan sastra sangat erat. Karena al-Qur’an
lahir dari kondisi di mana sastra Arab mengalami fase keemasannya. Dan
al-Quran diturunkan dalam versi sastra yang luar biasa untuk membuktikan
dan menaklukkan kehebatan sastra Arab. Ilmu
Sejarah Agama mengajarkan bahwa semua wahyu pastilah bersifat
kontekstual dan terkait dengan miliu di mana wahyu itu diturunkan. Kalau
tidak demikian maka pesan-pesan kenabian tidak akan dapat diterima para
pendengarnya, dan kehendak Tuhan menjadi tidak mungkin diikuti.
Menjelang kenabian Muhammad, orang-orang Mekah dan bangsa Arab pada
umumnya tidak memiliki apapun yang bisa dipakai sebagi acuan pewahyuan
kecuali bahasa Arab mereka, serta kesusastraan tingkat tinggi yang telah
mereka kembangkan. Bahasa Arab memiliki kapasitas besar untuk
mengekspresikan beragam pengalaman hidup, dan mereka juga telah
menciptakan kata-kata untuk mengekspresikan setiap realitas.[4]
Para Sufi manjadi
pelopor dala menggunakan sastra sebagai wahana ekspresi kesufiannya.
Dalam hal ini Seyyed Hossein Nasr menegaskan pemahaman khusus para sufi
terhadap hakikat ajaran Islam dalam bingkai keindahan (seni dan sastra)
dengan mengatakan :
Islam
itself is deeply attached to the aspect of the Divinity as beauty, and
this feature is particularly accentuated in Sufism, which quite
naturally is derived from and contains what is essential in Islam. It is
not accidental that the works written by Sufis, wheather they be poetry
or prase, are of great literary quality and beauty (Islam
sendiri benar-benar menganggap aspek Ketuhanan sebagai keindahan, dan
gambaran ini dijadikan tumpuan istimewa dalam Tasawuf, yang secara alami
berasal dan mengandung inti (haqaiq) ajaran Islam. Maka bukanlah suatu
kebetulan apabila karya-karya yang ditulis para Sufi, baik puisi maupun
prosa, merupakan karya agung dalam kualitas dan keindahan).[5]
Tradisi
golongan sufi menjadi penggemar dan pencinta seni tampak di dalam
amalan sama’ (audicy) yang di dalam sejarahnya telah memeriahkan
kehidupan masyarakat Islam. Sama’ adalah sejenis konser musik keruhanian
disertai zikir, tari-tarian, pembacaan dan penciptaan puisi.
Kegiatan ini telah dikenal oleh para sufi sejak abad ke-19 atau mungkin
satu abad sebelumnya. Pengalaman para sufi menyertai upacara sama’
membuat mereka insaf bahwa puisi memang merupakan media yang tepat bagi
pengungkapan pengalaman keagamaan dan keruhanian mereka yang mendalam,
kompleks dan subjektif. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila para
pengkaji seperti Smith melihat bahwa ajaran paling murni dan tipikal
tentang tasawuf kebanyakan ditulis dalam bentuk puisi. Semoga penjelasan
ini tidak membuat kita alergi terhadap sastra dan keindahan. Wallahu A’lam bi al-Sawab.
[1] Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra (Jogjakarta: Hanindita, 2002), 9.
[2] Ibid
[3] Ibid., 10.
[4]
Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid: Esensi dan Ekspresi Estetika Islam,
Terj. Harnoto Hadikusumo, Yogyakarta: Bentang, 1999, 33.
[5] Abdul Hadi W.M., Tasawuf Yang Tertindas, Jakarta: Paramadina, 2001, 10.
No comments:
Post a Comment