Friday, 31 October 2014

karya sastra_Memasuki Alam Sastra

Memasuki Alam Sastra

Dr. Siti Chamamah[1] menyatakan bahwa istilah sastra dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi dan keagamaan keberadaannya tidak merupakan keharusan. Upaya mengungkapkan konsep tentang sastra pada umumnya dipandang tidak mudah. Hal ini disadari juga oleh para kritikus dan teoritis sastra yang merasa kesulitan untuk memberi jawaban tentang pertanyaan “apakah sastra itu?”[2]. Meskipun demikian pada umumnya orang sepakat bahwa sastra dipahami sebagai satu bentuk kegiatan manusia yang tergolong pada karya seni yang menggunakan bahasa sebagai bahan. Jadi bahan merupakan karakteristik sastra sebagai karya seni. Sebagai satu sistem, sastra merupakan satu kebulatan dalam arti dapat dilihat dari berbagai sisi. Diantaranya adalah sisi bahan, teks sastra tidak ditentukan oleh bentuk strukturnya tetapi oleh bahasa yang digunakan dalam berbagai cara oleh masyarakat. Ini menunjukkan pengertian bahwa bahasa yang dipakai mengandung fungsi yang lebih umum daripada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Bahasa yang dipergunakan secara istimewa dalam ciptaan sastra pada hakekatnya dalam rangka fungsi sastra berperan sebagai sarana komunikasi, yaitu untuk menyampaikan informasi. Dengan memperlihatkan teori informasi Eco yang cenderung memperlihatkan gejala reduksi dan penyusutan yang terkandung dalam informasi, maka pemanipulasian bahasa pada hakekatnya dalam rangka mewujudkan sastra sebagai sarana komunikasi yang maksimal. Dalam komunikasi sastra, sifat sastra yang paling penting adalah mampu menyampaikan informasi yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula.[3]
 
Keterkaitan dan keterlibatan al-Qur’an dengan sastra sangat erat. Karena al-Qur’an lahir dari kondisi di mana sastra Arab mengalami fase keemasannya. Dan al-Quran diturunkan dalam versi sastra yang luar biasa untuk membuktikan dan menaklukkan kehebatan sastra Arab. Ilmu Sejarah Agama mengajarkan bahwa semua wahyu pastilah bersifat kontekstual dan terkait dengan miliu di mana wahyu itu diturunkan. Kalau tidak demikian maka pesan-pesan kenabian tidak akan dapat diterima para pendengarnya, dan kehendak Tuhan menjadi tidak mungkin diikuti. Menjelang kenabian Muhammad, orang-orang Mekah dan bangsa Arab pada umumnya tidak memiliki apapun yang bisa dipakai sebagi acuan pewahyuan kecuali bahasa Arab mereka, serta kesusastraan tingkat tinggi yang telah mereka kembangkan. Bahasa Arab memiliki kapasitas besar untuk mengekspresikan beragam pengalaman hidup, dan mereka juga telah menciptakan kata-kata untuk mengekspresikan setiap realitas.[4] 

Para Sufi manjadi pelopor dala menggunakan sastra sebagai wahana ekspresi kesufiannya. Dalam hal ini Seyyed Hossein Nasr menegaskan pemahaman khusus para sufi terhadap hakikat ajaran Islam dalam bingkai keindahan (seni dan sastra) dengan mengatakan :
Islam itself is deeply attached to the aspect of the Divinity as beauty, and this feature is particularly accentuated in Sufism, which quite naturally is derived from and contains what is essential in Islam. It is not accidental that the works written by Sufis, wheather they be poetry or prase, are of great literary quality and beauty (Islam sendiri benar-benar menganggap aspek Ketuhanan sebagai keindahan, dan gambaran ini dijadikan tumpuan istimewa dalam Tasawuf, yang secara alami berasal dan mengandung inti (haqaiq) ajaran Islam. Maka bukanlah suatu kebetulan apabila karya-karya yang ditulis para Sufi, baik puisi maupun prosa, merupakan karya agung dalam kualitas dan keindahan).[5]

Tradisi golongan sufi menjadi penggemar dan pencinta seni tampak di dalam amalan sama’ (audicy) yang di dalam sejarahnya telah memeriahkan kehidupan masyarakat Islam. Sama’ adalah sejenis konser musik keruhanian disertai zikir, tari-tarian, pembacaan dan penciptaan puisi. Kegiatan ini telah dikenal oleh para sufi sejak abad ke-19 atau mungkin satu abad sebelumnya. Pengalaman para sufi menyertai upacara sama’ membuat mereka insaf bahwa puisi memang merupakan media yang tepat bagi pengungkapan pengalaman keagamaan dan keruhanian mereka yang mendalam, kompleks dan subjektif. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila para pengkaji seperti Smith melihat bahwa ajaran paling murni dan tipikal tentang tasawuf kebanyakan ditulis dalam bentuk puisi. Semoga penjelasan ini tidak membuat kita alergi terhadap sastra dan keindahan. Wallahu A’lam bi al-Sawab.


[1] Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra (Jogjakarta: Hanindita, 2002), 9.
[2] Ibid
[3] Ibid., 10.
[4] Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid: Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, Terj. Harnoto Hadikusumo, Yogyakarta: Bentang, 1999, 33.
[5] Abdul Hadi W.M., Tasawuf Yang Tertindas, Jakarta: Paramadina, 2001, 10.

No comments: