Friday, 31 October 2014

karya sastra_Takut Sekolah

Takut Sekolah

Oleh: Ahmad Kholil, M.fil. I

Tidak tahu kenapa pagi itu tiba-tiba Ibu menggendongku dengan sedikit memaksa. Padahal biasanya, pagi begitu ibu mengajakku ke sawah menyusul bapak yang sudah berangkat sebelum jam 06.00. Kecil dulu aku memang biasa main bersama teman-teman di ladang atau persawahan. Sejak kecil pula aku sering diajak orang tua ke sawah. Maklum, saat itu belum ada televisi dan listrik belum masuk ke desaku. Berangkat pagi pulang sore adalah pekerjaan rutin orang-orang di kampungku. Meskipun di sawah, karena masih anak, di sana bukan kerja atau sekedar membantu orang tua, tapi justru bermain-main. Ya, di sawah adalah main-main, dan di sana juga banyak anak-anak yang turut orang tuanya yang bisa diajak bermain. Karena itu tidak repot untuk mendapatkan teman sepemainan, bahkan ada juga yang lebih besar. Permainan di sawah amat sederhana, tapi sungguh amat menyenangkan.  Damen, batang padi yang habis digampung bisa dibuat sempitan kecil yang mengeluarkan suara seperti gasir atau jangkrik. Kami juga bisa buat baling-baling dari daun kelapa. Kami juga bisa buat berbagai jenis mainan dari pohon pisang, tanah liat, pelepah kelapa, atau hanya bermain di kali kecil pinggir sawah untuk mencari ikan. Anak-anak yang di sawah itu adalah anak para petani atau buruh tani. Mereka selalu asyik main di sawah, karena di rumah tidak ditemukan mainan yang menyenangkan, dan kalaupun memiliki mainan, tidak ada teman yang diajak main bersama karena mereka tidak bisa tinggal di rumah tanpa orang tua yang pagi sampai sore selalu berada di sawah.
Dalam gendongan ibu aku berontak. Aku pukulkan tangan kelengan dan pundak ibu. Saya menolak digendong karena sebelumnya sudah sering dikatakan padaku agar aku mau sekolah. Aku tahu pagi itu adalah waktu bagi anak-anak untuk sekolah. Aku lebih suka diajak ke sawah daripada harus ke sekolah. Kalau ke sawah tidak perlu digendong, tapi cukup bilang 'ayo berangkat', aku langsung menguntit di belakang ibu. Di sawah enak, udaranya segar dan hawanya nyaman karena dikelilingi pepohonan. Meskipun di bawah terik matahari yang menyengat, tetap saja di sawah nyaman. Sementara di kelas, di samping harus diam tidak bisa bermain untuk mendengarkan penjelasan guru dan mencatat apa yang ditulis di papan, setelah selesai sering ditanya oleh guru untuk mengulangi apa yang telah disampaikan. Tidak hanya begitu, setelah pulang sering masih diberi tugas pekerjaan rumah. Karena itu, anak-anak yang sekolah tidak punya kesempatan yang banyak untuk bermain. Maka saya lebih enak tidak sekolah. Begitu pikirku waktu itu.
Tanpa mempedulikan rasa sakit oleh tingkah tanganku yang tidak mau berhenti, ibu terus berjalan diiringi ayah di belakangnya. Kebetulan jarak rumah dengan sekolah tidak begitu jauh, kurang lebih 700 m. Selama dalam perjalanan, aku tidak henti-hentinya berontak sambil tetap memukul-mukulkan tangan dan menangis sejadi-jadinya. Ayah dan ibuku begitu kuat dan tabah, mereka tidak peduli dengan sikapku meskipun pekerjaan menggendong sambil dipukuli bukanlah ringan. Sesekali ayah menahan tanganku agar tidak terus berontak, tapi karena sambil berjalan, kadang pegangannya lepas. Begitu pegangan tangan ayah lepas, tanganku kembali beraksi. Dalam perjalanan menuju sekolah itu, setiap bertemu orang yang dikenal orang tuaku mendapat pertanyaan, kenapa ? Pertanyaan itu dijawab enteng oleh ayahku, 'mau sekolah'. Tentu mereka sudah mafhum, karena waktu itu sudah biasa anak-anak desa enggan sekolah dan menangis kalau pertama pergi sekolah. Bahkan tidak jarang para guru berkunjung ke rumah warga penduduk karena mengetahui anak dari keluarga tersebut tidak mau sekolah, padahal usianya telah mencukupi, bahkan mungkin telah kelewat batas.
Tahun 70-an di desa belum ada lembaga pendidikan pra sekolah yang formal semacam taman kanak-kanak atau TK.  Taman kanak-kanak hanya ada di kota, dan tidak semua orang tua anak-anak itu merasa perlu memasukkan anaknya ke TK sebelum masuk ke Sekolah Dasar. Bagi mereka, memasukkan anaknya ke TK hanya akan membuang-buang waktu karena mereka tidak bisa bekerja. Anak yang masuk TK biasanya harus ditunggu sampai pulang. Kalaupun tidak ditunggu, pada jam sebelum usai pekerjaan yang mereka lakukan, mereka harus menjemputnya. "Di TK itu kan cuma main-main, kalau anak sebelum sekolah sudah harus ke TK kan enak guru SD-nya', begitu kata sebagian orang yang enggan memasukkan anaknya ke TK di kota. Sementara kalau di desa, tidak lain karena semata-mata tidak ada TK. Kalaupun ada, tentu lebih sulit lagi bagi guru-guru mensosialisasikannya, mengajak anak yang belum waktunya sekolah masuk ke sekolah. Kenapa demikian, karena untuk memahamkan perlunya sekolah dasar saja perlu kerja keras, rayuan-rayuan atau iming-iming tertentu, apalagi yang namanya pra-sekolah, atau sebelum masuk ke lembaga yang disebut sekolah, apa perlunya?
Meskipun demikian, anak-anak usia 5 tahun di desa sudah banyak yang pandai mengaji. Langgar, yaitu musholla yang biasa digunakan untuk sholat jamaah kaum muslimin selalu diisi untuk kegiatan belajar membaca al-Qur'an atau mengaji pada waktu antara maghrib dan isya'. Mereka yang mengaji itu adalah anak-anak desa, mulai usia 3 tahun sampai 17, bahkan ada yang sampai 20 tahun. Dengan belajar model klasik, yaitu belajar membaca perhuruf dari huruf Hiza'iyah, kemudian meningkat ke huruf yang berharakat dengan susunan huruf yang putus-putus sampai yang bergandeng, pada umur 7 tahun, sebelum masuk sekolah dasar kebanyakan mereka sudah lebih dulu mengenal ngaji dan bisa membaca al-Qur'an. Karena masih anak-anak, bacaan itu tentu belum bisa dikatagorikan baik, dalam arti memenuhi kaidah-kaidah ilmu tajwid. Biasanya ilmu tajwid dikenalkan sambil jalan hingga mereka selesai, yaitu masa di mana mereka sudah mau menikah. Saat menikah, mereka 'berkewajiban' mendemonstrasikan kemampuan membaca al-Qur'an yang biasanya dikhususkan pada surat-surat pendek di juz yang terakhir saja, yaitu juz Amma.
Sesampai di sekolah ibu langsung masuk kelas sambil tetap menggendongku, sementara ayah menemui kepala sekolah di kantor. Aku masih ingat guru yang mengajar kelas satu saat itu, yaitu Ibu Suyatmi. Beliau berasal dari Kediri. Bersama temannya satu kota, Ibu Astuti Tri Rahayu, Bu Yat, begitu biasanya beliau dipanggil, diangkat oleh pemerintah dan ditugaskan di Kota Arum. Kepada ibuku, Bu Yat meminta agar mendudukkanku di bangku. Kepadaku, Bu Yat juga merayu agar aku mau duduk sendiri. Dasar anak, aku tidak bergeming, karena merasa nyaman di pangkuan ibu. Proses belajar terus berjalan, Bu Yat menuliskan angka tujuh berbaris sepuluh ke samping kanan dan lima ke bawah di papan. Sebelum menuliskan di papan, Bu Yat juga telah memberi tahu anak-anak bagaimana cara menulis angka tujuh yang benar, yaitu dari pojok kiri atas ditarik ke kanan lalu ditarik lagi ke pojok kiri bawah. Setelah tulisan angka tujuh itu rapi berjajar, anak-anak disuruh menyalinnya di buku tulisnya masing-masing.
Kulihat Ibuku menulis di buku yang sudah dipersiapkan sejak dari rumah. Seperti yang diminta oleh Bu Yat, Ibuku menulis angka tujuh berjajar sepuluh ke samping dan lima ke bawah. Kulihat tulisan angka tujuh ibu rapi berbaris. Bila dihitung, angka tujuh yang tulis di buku itu berjumlah 50. Tapi aku saat itu belum bisa berhitung sampai setinggi itu. Paling-paling yang aku bisa cuma sampai sepuluh. Memang untuk masuk ke sekolah dasar saat itu tidak ada tes. Yang diperlukan hanyalah kemauan, baik dari anaknya sendiri maupun orang tua. Ada yang anaknya mau, tapi orang tuanya enggan. Ini biasanya terjadi pada anak perempuan, karena perempuan, bagaimanapun pinternya, tugas utamanya adalah di dapur . Demikian menurut pendapat umum masyarakat saat itu. Kalaupun mereka tetap sekolah, biasanya tidak sampai selesai, tamat mendapatkan ijazah. Dengan alasan karena perempuan, pada kelas empat atau lima mereka dipaksa berhenti dan belajar tentang hal yang dianggap lebih penting daripada sekolah. Selanjutnya bisa ditebak sendiri, mereka dinikahkan.
Ada juga yang sebaliknya, orang tuanya mau anaknya tidak. Kalau yang begini biasanya berakhir dengan tunduknya anak pada kemauan orang tua. Dengan berbagai cara orang tua akan merayu anaknya agar bersekolah. Ada yang dengan memberi hadiah mainan, ada yang membujuk kalau mau sekolah dibelikan sepeda mini, ada juga yang hanya sekedar diajak jalan-jalan ke kota. Pemberian hadiah semacam itu dulu masih merupakan hal yang langka. Mainan, sepeda mini dan jalan-jalan ke kota menjadi kesenangan yang cukup membahagiakan bagi anak-anak seusiaku di desa dulu. Aku termasuk di kelompok yang kedua ini, yaitu yang orang tuanya mau anaknya enggan. Berbagai cara dilakukan orang tua untuk merayuku agar mau sekolah. Tapi semuanya tidak mempan, aku tetap lebih suka diajak ke sawah. Itulah mungkin yang menyebabkan orang tuaku memaksa dengan menggendongku ke sekolah.
Sebelum waktu istirahat, anak-anak diminta membawa tulisannya ke depan dan menyerahkan kepada Bu Guru. Entah apa perasaan yang mengiringiku, waktu istirahat itu aku turut bermain dengan teman-teman. Aku tidak mengerti kalau ini adalah di sekolah, yang saya tahu hanya bermain. Seperti di sawah yang selalu bermain dengan senang, begitu juga saat ini, di sekolah, aku merasa senang bisa bermain dengan teman-teman. Ibuku hanya duduk-duduk di halaman sekolah. Kebetulan di sana ada penjual kue yang dikenal, dialah yang menemani ibu ngobrol. Tidak terasa bel kentheng  tanda masuk  berbunyi, "theng-theng" teman-teman bubar berhamburan menuju kelasnya masing-masing. Suroso, Mansur, Misbah, Ilham, dan Hafidh mengajakku masuk kelas. Aku mengikuti ajakan mereka masuk ke kelas tanpa diringi ibuku.
Dalam kelas Bu Yat mengajari bernyanyi. Lagu yang dinyanyikan adalah
'Satu satu akau sayang ibu
Dua dua aku sayang ayah
Tiga tiga sayanga adik kakak
Satu dua tiga sayang semuanya'
Lagu itu sudah lebih seminggu diajarkan kepada anak-anak, karena itu mereka langsung bisa menirukan dengan serentak. Kelas dibagi dua kelompok, sebelah kanan bu guru dan sebelah kirinya. Masing-masing menyanyikan lagu satu-satu bergantian. Setelah bernyanyi secara bergiliran, Bu Yat juga menyuruh beberapa anak bergantian maju untuk menyanyi di depan kelas. Aku sempat gemetaran kawatir disuruh maju. Tapi ternyata bu guru hanya menyuruh yang sudah hafal dan bisa. Aku termasuk yang belum bisa, karena hari itu adalah hari pertamaku sekolah. Setelah bernyanyi gembira selesai, Bu Yat mengembalikan buku catatan kepada pemiliknya. Tepat jam 10.30, kelas satu dipulangkan. Begitu keluar dari pintu kelas, ibu menyambutku. Bersama teman-teman aku berjalan pulang, diringi ibu di belakang.
Sore hari ayah melihat buku sekolahku. Ayah memuji nilai yang ditulis bu guru di bawah jajaran angka tujuh. Nilai yang dibubuhkan di situ adalah 75. 'Wah, baru masuk nilainya 75, anak pintar,' begitu kata ayah memuji. Ucapan ayah ini diikuti oleh nenek dan uwak-uwakku yang kebetulan rumahnya gandeng gedhek. Aku termotivasi oleh pujian-pujian itu, padahal tulisan di buku itu bukan tulisanku. Esok harinya aku tidak perlu digendong ke sekolah. Bahkan diantar juga tidak, karena temanku, Ilham, Misbah dan Mansur menjemputku ke rumah. Setelah bersalaman dengan ibu dan mengucapkan salam pamit aku berangkat. Aku berangkat ke sekolah dengan senang. Perasaan takut juga sudah hilang, karena di sekolah nanti aku tidak hanya di suruh duduk di kelas, tapi ada kesempatan bermain. 'Mungkin nanti bu guru menulis angka delapan, dan seperti kemarin, kita disuruhnya menyalin ke buku catatan,' kata Misbah. Perasaanku kembali deg-degan, 'wah, berarti aku nanti harus nulis sendiri', gumamku.

20 Jan 2012

No comments: