Takut Sekolah
Oleh: Ahmad Kholil, M.fil. I
Tidak tahu kenapa pagi itu tiba-tiba Ibu menggendongku dengan sedikit memaksa. Padahal biasanya, pagi begitu ibu mengajakku ke sawah menyusul bapak yang sudah berangkat sebelum jam 06.00. Kecil dulu aku memang biasa main bersama teman-teman di ladang atau persawahan. Sejak kecil pula aku sering diajak orang tua ke sawah. Maklum, saat itu belum ada televisi dan listrik belum masuk ke desaku. Berangkat pagi pulang sore adalah pekerjaan rutin orang-orang di kampungku. Meskipun di sawah, karena masih anak, di sana bukan kerja atau sekedar membantu orang tua, tapi justru bermain-main. Ya, di sawah adalah main-main, dan di sana juga banyak anak-anak yang turut orang tuanya yang bisa diajak bermain. Karena itu tidak repot untuk mendapatkan teman sepemainan, bahkan ada juga yang lebih besar. Permainan di sawah amat sederhana, tapi sungguh amat menyenangkan. Damen, batang padi yang habis digampung bisa dibuat sempitan kecil yang mengeluarkan suara seperti gasir atau jangkrik. Kami juga bisa buat baling-baling dari daun kelapa. Kami juga bisa buat berbagai jenis mainan dari pohon pisang, tanah liat, pelepah kelapa, atau hanya bermain di kali kecil pinggir sawah untuk mencari ikan. Anak-anak yang di sawah itu adalah anak para petani atau buruh tani. Mereka selalu asyik main di sawah, karena di rumah tidak ditemukan mainan yang menyenangkan, dan kalaupun memiliki mainan, tidak ada teman yang diajak main bersama karena mereka tidak bisa tinggal di rumah tanpa orang tua yang pagi sampai sore selalu berada di sawah.
Tidak tahu kenapa pagi itu tiba-tiba Ibu menggendongku dengan sedikit memaksa. Padahal biasanya, pagi begitu ibu mengajakku ke sawah menyusul bapak yang sudah berangkat sebelum jam 06.00. Kecil dulu aku memang biasa main bersama teman-teman di ladang atau persawahan. Sejak kecil pula aku sering diajak orang tua ke sawah. Maklum, saat itu belum ada televisi dan listrik belum masuk ke desaku. Berangkat pagi pulang sore adalah pekerjaan rutin orang-orang di kampungku. Meskipun di sawah, karena masih anak, di sana bukan kerja atau sekedar membantu orang tua, tapi justru bermain-main. Ya, di sawah adalah main-main, dan di sana juga banyak anak-anak yang turut orang tuanya yang bisa diajak bermain. Karena itu tidak repot untuk mendapatkan teman sepemainan, bahkan ada juga yang lebih besar. Permainan di sawah amat sederhana, tapi sungguh amat menyenangkan. Damen, batang padi yang habis digampung bisa dibuat sempitan kecil yang mengeluarkan suara seperti gasir atau jangkrik. Kami juga bisa buat baling-baling dari daun kelapa. Kami juga bisa buat berbagai jenis mainan dari pohon pisang, tanah liat, pelepah kelapa, atau hanya bermain di kali kecil pinggir sawah untuk mencari ikan. Anak-anak yang di sawah itu adalah anak para petani atau buruh tani. Mereka selalu asyik main di sawah, karena di rumah tidak ditemukan mainan yang menyenangkan, dan kalaupun memiliki mainan, tidak ada teman yang diajak main bersama karena mereka tidak bisa tinggal di rumah tanpa orang tua yang pagi sampai sore selalu berada di sawah.
Dalam
gendongan ibu aku berontak. Aku pukulkan tangan kelengan dan pundak
ibu. Saya menolak digendong karena sebelumnya sudah sering dikatakan
padaku agar aku mau sekolah. Aku tahu pagi itu adalah waktu bagi
anak-anak untuk sekolah. Aku lebih suka diajak ke sawah daripada harus
ke sekolah. Kalau ke sawah tidak perlu digendong, tapi cukup bilang 'ayo
berangkat', aku langsung menguntit di belakang ibu. Di sawah enak,
udaranya segar dan hawanya nyaman karena dikelilingi pepohonan. Meskipun
di bawah terik matahari yang menyengat, tetap saja di sawah nyaman.
Sementara di kelas, di samping harus diam tidak bisa bermain untuk
mendengarkan penjelasan guru dan mencatat apa yang ditulis di papan,
setelah selesai sering ditanya oleh guru untuk mengulangi apa yang telah
disampaikan. Tidak hanya begitu, setelah pulang sering masih diberi
tugas pekerjaan rumah. Karena itu, anak-anak yang sekolah tidak punya
kesempatan yang banyak untuk bermain. Maka saya lebih enak tidak
sekolah. Begitu pikirku waktu itu.
Tanpa mempedulikan rasa sakit oleh
tingkah tanganku yang tidak mau berhenti, ibu terus berjalan diiringi
ayah di belakangnya. Kebetulan jarak rumah dengan sekolah tidak begitu
jauh, kurang lebih 700 m. Selama dalam perjalanan, aku tidak
henti-hentinya berontak sambil tetap memukul-mukulkan tangan dan
menangis sejadi-jadinya. Ayah dan ibuku begitu kuat dan tabah, mereka
tidak peduli dengan sikapku meskipun pekerjaan menggendong sambil
dipukuli bukanlah ringan. Sesekali ayah menahan tanganku agar tidak
terus berontak, tapi karena sambil berjalan, kadang pegangannya lepas.
Begitu pegangan tangan ayah lepas, tanganku kembali beraksi. Dalam
perjalanan menuju sekolah itu, setiap bertemu orang yang dikenal orang
tuaku mendapat pertanyaan, kenapa ? Pertanyaan itu dijawab enteng oleh
ayahku, 'mau sekolah'. Tentu mereka sudah mafhum, karena waktu itu sudah
biasa anak-anak desa enggan sekolah dan menangis kalau pertama pergi
sekolah. Bahkan tidak jarang para guru berkunjung ke rumah warga
penduduk karena mengetahui anak dari keluarga tersebut tidak mau
sekolah, padahal usianya telah mencukupi, bahkan mungkin telah kelewat
batas.
Tahun 70-an di desa belum ada lembaga
pendidikan pra sekolah yang formal semacam taman kanak-kanak atau TK.
Taman kanak-kanak hanya ada di kota, dan tidak semua orang tua anak-anak
itu merasa perlu memasukkan anaknya ke TK sebelum masuk ke Sekolah
Dasar. Bagi mereka, memasukkan anaknya ke TK hanya akan membuang-buang
waktu karena mereka tidak bisa bekerja. Anak yang masuk TK biasanya
harus ditunggu sampai pulang. Kalaupun tidak ditunggu, pada jam sebelum
usai pekerjaan yang mereka lakukan, mereka harus menjemputnya. "Di TK
itu kan cuma main-main, kalau anak sebelum sekolah sudah harus ke TK kan
enak guru SD-nya', begitu kata sebagian orang yang enggan memasukkan
anaknya ke TK di kota. Sementara kalau di desa, tidak lain karena
semata-mata tidak ada TK. Kalaupun ada, tentu lebih sulit lagi bagi
guru-guru mensosialisasikannya, mengajak anak yang belum waktunya
sekolah masuk ke sekolah. Kenapa demikian, karena untuk memahamkan
perlunya sekolah dasar saja perlu kerja keras, rayuan-rayuan atau
iming-iming tertentu, apalagi yang namanya pra-sekolah, atau sebelum
masuk ke lembaga yang disebut sekolah, apa perlunya?
Meskipun demikian, anak-anak usia 5
tahun di desa sudah banyak yang pandai mengaji. Langgar, yaitu musholla
yang biasa digunakan untuk sholat jamaah kaum muslimin selalu diisi
untuk kegiatan belajar membaca al-Qur'an atau mengaji pada waktu antara
maghrib dan isya'. Mereka yang mengaji itu adalah anak-anak desa, mulai
usia 3 tahun sampai 17, bahkan ada yang sampai 20 tahun. Dengan belajar
model klasik, yaitu belajar membaca perhuruf dari huruf Hiza'iyah,
kemudian meningkat ke huruf yang berharakat dengan susunan huruf yang
putus-putus sampai yang bergandeng, pada umur 7 tahun, sebelum masuk
sekolah dasar kebanyakan mereka sudah lebih dulu mengenal ngaji dan bisa
membaca al-Qur'an. Karena masih anak-anak, bacaan itu tentu belum bisa
dikatagorikan baik, dalam arti memenuhi kaidah-kaidah ilmu tajwid.
Biasanya ilmu tajwid dikenalkan sambil jalan hingga mereka selesai,
yaitu masa di mana mereka sudah mau menikah. Saat menikah, mereka
'berkewajiban' mendemonstrasikan kemampuan membaca al-Qur'an yang
biasanya dikhususkan pada surat-surat pendek di juz yang terakhir saja,
yaitu juz Amma.
Sesampai di sekolah ibu langsung masuk
kelas sambil tetap menggendongku, sementara ayah menemui kepala sekolah
di kantor. Aku masih ingat guru yang mengajar kelas satu saat itu, yaitu
Ibu Suyatmi. Beliau berasal dari Kediri. Bersama temannya satu kota,
Ibu Astuti Tri Rahayu, Bu Yat, begitu biasanya beliau dipanggil,
diangkat oleh pemerintah dan ditugaskan di Kota Arum. Kepada ibuku, Bu
Yat meminta agar mendudukkanku di bangku. Kepadaku, Bu Yat juga merayu
agar aku mau duduk sendiri. Dasar anak, aku tidak bergeming, karena
merasa nyaman di pangkuan ibu. Proses belajar terus berjalan, Bu Yat
menuliskan angka tujuh berbaris sepuluh ke samping kanan dan lima ke
bawah di papan. Sebelum menuliskan di papan, Bu Yat juga telah memberi
tahu anak-anak bagaimana cara menulis angka tujuh yang benar, yaitu dari
pojok kiri atas ditarik ke kanan lalu ditarik lagi ke pojok kiri bawah.
Setelah tulisan angka tujuh itu rapi berjajar, anak-anak disuruh
menyalinnya di buku tulisnya masing-masing.
Kulihat Ibuku menulis di buku yang sudah
dipersiapkan sejak dari rumah. Seperti yang diminta oleh Bu Yat, Ibuku
menulis angka tujuh berjajar sepuluh ke samping dan lima ke bawah.
Kulihat tulisan angka tujuh ibu rapi berbaris. Bila dihitung, angka
tujuh yang tulis di buku itu berjumlah 50. Tapi aku saat itu belum bisa
berhitung sampai setinggi itu. Paling-paling yang aku bisa cuma sampai
sepuluh. Memang untuk masuk ke sekolah dasar saat itu tidak ada tes.
Yang diperlukan hanyalah kemauan, baik dari anaknya sendiri maupun orang
tua. Ada yang anaknya mau, tapi orang tuanya enggan. Ini biasanya
terjadi pada anak perempuan, karena perempuan, bagaimanapun pinternya,
tugas utamanya adalah di dapur . Demikian menurut pendapat umum
masyarakat saat itu. Kalaupun mereka tetap sekolah, biasanya tidak
sampai selesai, tamat mendapatkan ijazah. Dengan alasan karena
perempuan, pada kelas empat atau lima mereka dipaksa berhenti dan
belajar tentang hal yang dianggap lebih penting daripada sekolah.
Selanjutnya bisa ditebak sendiri, mereka dinikahkan.
Ada juga yang sebaliknya, orang tuanya
mau anaknya tidak. Kalau yang begini biasanya berakhir dengan tunduknya
anak pada kemauan orang tua. Dengan berbagai cara orang tua akan merayu
anaknya agar bersekolah. Ada yang dengan memberi hadiah mainan, ada yang
membujuk kalau mau sekolah dibelikan sepeda mini, ada juga yang hanya
sekedar diajak jalan-jalan ke kota. Pemberian hadiah semacam itu dulu
masih merupakan hal yang langka. Mainan, sepeda mini dan jalan-jalan ke
kota menjadi kesenangan yang cukup membahagiakan bagi anak-anak seusiaku
di desa dulu. Aku termasuk di kelompok yang kedua ini, yaitu yang orang
tuanya mau anaknya enggan. Berbagai cara dilakukan orang tua untuk
merayuku agar mau sekolah. Tapi semuanya tidak mempan, aku tetap lebih
suka diajak ke sawah. Itulah mungkin yang menyebabkan orang tuaku
memaksa dengan menggendongku ke sekolah.
Sebelum waktu istirahat, anak-anak
diminta membawa tulisannya ke depan dan menyerahkan kepada Bu Guru.
Entah apa perasaan yang mengiringiku, waktu istirahat itu aku turut
bermain dengan teman-teman. Aku tidak mengerti kalau ini adalah di
sekolah, yang saya tahu hanya bermain. Seperti di sawah yang selalu
bermain dengan senang, begitu juga saat ini, di sekolah, aku merasa
senang bisa bermain dengan teman-teman. Ibuku hanya duduk-duduk di
halaman sekolah. Kebetulan di sana ada penjual kue yang dikenal, dialah
yang menemani ibu ngobrol. Tidak terasa bel kentheng tanda masuk
berbunyi, "theng-theng" teman-teman bubar berhamburan menuju kelasnya
masing-masing. Suroso, Mansur, Misbah, Ilham, dan Hafidh mengajakku
masuk kelas. Aku mengikuti ajakan mereka masuk ke kelas tanpa diringi
ibuku.
Dalam kelas Bu Yat mengajari bernyanyi. Lagu yang dinyanyikan adalah
'Satu satu akau sayang ibu
Dua dua aku sayang ayah
Tiga tiga sayanga adik kakak
Satu dua tiga sayang semuanya'
Dua dua aku sayang ayah
Tiga tiga sayanga adik kakak
Satu dua tiga sayang semuanya'
Lagu itu sudah lebih seminggu diajarkan
kepada anak-anak, karena itu mereka langsung bisa menirukan dengan
serentak. Kelas dibagi dua kelompok, sebelah kanan bu guru dan sebelah
kirinya. Masing-masing menyanyikan lagu satu-satu bergantian. Setelah
bernyanyi secara bergiliran, Bu Yat juga menyuruh beberapa anak
bergantian maju untuk menyanyi di depan kelas. Aku sempat gemetaran
kawatir disuruh maju. Tapi ternyata bu guru hanya menyuruh yang sudah
hafal dan bisa. Aku termasuk yang belum bisa, karena hari itu adalah
hari pertamaku sekolah. Setelah bernyanyi gembira selesai, Bu Yat
mengembalikan buku catatan kepada pemiliknya. Tepat jam 10.30, kelas
satu dipulangkan. Begitu keluar dari pintu kelas, ibu menyambutku.
Bersama teman-teman aku berjalan pulang, diringi ibu di belakang.
Sore hari ayah melihat buku sekolahku.
Ayah memuji nilai yang ditulis bu guru di bawah jajaran angka tujuh.
Nilai yang dibubuhkan di situ adalah 75. 'Wah, baru masuk nilainya 75,
anak pintar,' begitu kata ayah memuji. Ucapan ayah ini diikuti oleh
nenek dan uwak-uwakku yang kebetulan rumahnya gandeng gedhek.
Aku termotivasi oleh pujian-pujian itu, padahal tulisan di buku itu
bukan tulisanku. Esok harinya aku tidak perlu digendong ke sekolah.
Bahkan diantar juga tidak, karena temanku, Ilham, Misbah dan Mansur
menjemputku ke rumah. Setelah bersalaman dengan ibu dan mengucapkan
salam pamit aku berangkat. Aku berangkat ke sekolah dengan senang.
Perasaan takut juga sudah hilang, karena di sekolah nanti aku tidak
hanya di suruh duduk di kelas, tapi ada kesempatan bermain. 'Mungkin
nanti bu guru menulis angka delapan, dan seperti kemarin, kita
disuruhnya menyalin ke buku catatan,' kata Misbah. Perasaanku kembali
deg-degan, 'wah, berarti aku nanti harus nulis sendiri', gumamku.
20 Jan 2012
No comments:
Post a Comment