Sastra Islam Kontemporer
Pada
masa sekarang, arti sastra sudah dapat ditempatkan pada posisi yang
proporsional. Di kalangan umat Islam sendiri sastra sudah dapat
diterima kembali dan menjadi konsumsi sehari-hari untuk kehidupan dan
keperluan dakwah. Keterlibatan ulama dalam dunia sastra bukan fenomena
baru. Jauh sebelum Indonesia merdeka gejala semacam itu sudah ada bahkan
sejak zaman Wali Songo. Pada
era modern, Hamka adalah ulama pertama yang menjadi pelopor
keterlibatan ulama di dunia sastra. Karya sastranya yang sangat terkenal
diantaranya adalah: Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Ebo menyatakan (2003:121) bahwa sampai tahun 1990-an sangat sedikit ulama yang muncul berdakwah lewat dunia seni dan sastra. Selain
Muhammad Zuhri satu ulama yang mengisi kelangkaan itu adalah KH.
Mustofa Bisri yang meluncurkan karyanya lewat Penerbit Pustaka Firdaus
Jakarta Ontologi Puisi Ohoi 1994.
Muhammad Qutub - seorang ulama Mesir adik dari tokoh sentral dan pendiri Ikhwan Muslimin (Islamic Brotherhood) Sayyid Qutub- dalam bukunya Manhaj al-Fan al-Islamy mengatakan,
bahwa pendapat yang mengatakan agama itu mencari kebenaran, seni sastra
mencari keindahan. Agama sangat menjunjung akhlak dan al-Quran, sedang
seni membenci aturan termasuk aturan moral. Maka seni Islam haruslah
merupakan kumpulan nasihat dan kata hikmah.
Menurutnya
wilayah objek seni dan sastra Islam adalah semua wilayah kehidupan yang
diungkap dari jiwa yang penuh iman dan mengeksplorasi dengan penuh
keimanan. Dalam mengungkap segi-segi kehidupan tidak sempit, misalnya
dalam mengungkap hubungan antar jenis manusia, tidak berhenti hanya pada
masalah seksualitas. Masalah hubungan antar jenis dalam hal seksualitas
diungkap, tapi kemudian lebih dari itu dikembangkan lagi dalam
aspek-aspek lain tentang nafsu dan aspek-aspek kehidupan yang lebih
luas. Kemudian dalam masalah cinta tidak hanya cinta antar manusia
antara laki-laki dan perempuan, tapi lebih dari itu adalah menggapai
wilayah cinta yang lebih luas; cinta ketuhanan, cinta kemanusiaan, yang
diungkap secara luas dan mendalam tidak hanya kecintaan terhadap
seksualitas (Qutub, 1987: 127).
Dalam buku Warisan Sufi
yang ditulis oleh Seyyed Hossein Nasr (2002: 41) mengemukakan bahwa
secara bertahap, meskipun agak terlambat, dunia Barat mulai menyadari
bahwa seni Islam bukanlah sebuah koleksi aneh object de art,
atau relik-relik pelik yang diciptakan oleh sebagian orang yang menyebut
diri mereka Muslim, melainkan bahwa ia pada dasarnya adalah buah
spiritual dari pewahyuan Islam.
Dari
semua bentuk seni yang diciptakan dalam peradaban Islam yang besar,
seni Persia tentu saja paling berbeda dan luas, yang memiliki etos
khasnya sendiri, pandangan dunia dan makna simbolis khusus, seni yang
secara tak terelakkan berhubungan dengan sufisme, dan sesungguhnya
seluruh pandangan-dunia teoretislah yang memungkinkan seni ini
benar-benar dimunculkan dari ajaran-ajaran filosofis dan metafisik Sufi.
Pada tataran yang lebih eksternal, kemunculan dan adaptasi
bentuk-bentuk seni tertentu oleh kaum Sufi memungkinkan eksistensi seni
terus berlanjut, terutama berkaitan dengan seni musik.
Islam
sendiri benar-benar menganggap aspek Ketuhanan sebagai keindahan, dan
gambaran ini dijadikan tumpuan istimewa dalam Tasawuf, yang secara alami
berasal dan mengandung inti (haqaiq) ajaran Islam. Maka
bukanlah suatu kebetulan apabila karya-karya yang ditulis para Sufi,
baik puisi maupun prosa, merupakan karya agung dalam kualitas dan
keindahan (Abdul Hadi, 2001: 10).
Tradisi golongan sufi menjadi penggemar dan pencinta seni tampak di dalam amalan sama’ (audicy) yang di dalam sejarahnya telah memeriahkan kehidupan masyarakat Islam. Sama’ adalah sejenis konser musik keruhanian disertai zikir, tari-tarian, pembacaan dan penciptaan puisi.
Kegiatan ini telah dikenal oleh para sufi sejak abad ke-19 atau mungkin
satu abad sebelumnya. Pengalaman para sufi menyertai upacara sama’
membuat mereka insaf bahwa puisi memang merupakan media yang tepat bagi
pengungkapan pengalaman keagamaan dan keruhanian mereka yang mendalam,
kompleks dan subjektif. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila para
pengkaji seperti Smith melihat bahwa ajaran paling murni dan tipikal
tentang tasawuf kebanyakan ditulis dalam bentuk puisi
Abdul
Hadi (2001: 11) dalam disertasinya menegaskan bahwa tasawuf tidak hanya
merupakan gerakan keagamaan tetapi juga merupakan gerakan sastra.
Braginsky (1993) menyebut tasawuf sebagai gerakan sastra dengan istilah tasawuf puitik, sedang tasawuf yang ditulis dalam bentuk doktrin keruhanian disebut sebagai tasawuf kitab.
Pertemuan
agama dengan seni sudah ada sejak zaman dahulu kala, bahkan sebelum
turunnya agama samawi, ritual keagamaan dan do’a-do’a diiringi dengan
tarian-tarian, irama, lagu dan musik untuk lebih mendekatkan diri kepada
Allah. Ritual ibadah itu sendiri merupakan salah satu bentuk seni
selain bacaan-bacaan yang didengungkan (Mahmud Salim, 1996:12). . Wallahu A’lam bi al-Sawab
No comments:
Post a Comment