Friday, 31 October 2014

karya sastra_Surat Rindu dari Kota Nabi

Surat Rindu dari Kota Nabi

Semilir angin pagi mengiringi denyut nadi desa ini, dimana hidup keluarga kecil yang sederhana. Di rumah yang dihuni dengan bangunan kasih sayang dan islami, aku, Fatih, seorang pemuda desa dan anak yatim, ibuku dan adik perempuanku, Azizah, yang masih duduk di bangku kelas 3 Madrasah Tsanawiyah di desaku. Sejak aku kecil, aku dididik oleh kedua orang tuaku untuk selalu belajar ilmu agama Islam. Bapakku seorang kyai di kampungku,

beliau menjadi pemuka agama yang disegani masyarakat. Ia menjadi salah satu orang terpenting di desaku.
Aku sebagai anak sulung di keluarga ini sekarang menjadi tulang punggung keluarga, karena 3 tahun yang lalu ayah telah dipanggil Allah ke hadirat-Nya. Ibu menjadi seorang buruh tani setiap harinya, itu pun kalau ada ajakan atau perintah dari tetangga yang sawahnya sedang digarap. Sebenarnya aku tidak tega jika melihat ibu bekerja tiap hari demi mendapatkan upah untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Tetapi, akhir-akhir ini ibu mengalami sakit. Mungkin karena terlalu lelah karena bekerja.
Untuk itu, aku semakin kerja keras lagi demi mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan membiayai adikku yang sedang sekolah. Malah, sekarang adikku sudah kelas 3 dan membutuhkan banyak biaya untuk kelulusannya dan biaya masuk Madrasah Aliyah Negeri di kota kami. Tetapi, ibuku menyarankan supaya Azizah masuk pondok pesantren di daerah kota Ponorogo, yakni Pondok Modern Gontor.
“Bagaimana keadaan ibu, sudah baik kan,bu?,” tanyaku kasihan kepada ibu.
“Alhamdulillah, le... Ibu sudah agak mendingan ketimbang kemarin. Oh ya, bagaimana kerjaanmu di toko Haji Hasan? Baik-baik saja kan?,” jawab ibu sambil megusap wajahnya yang sudah terlihat keriput dan balik tanya kepadaku.
“Ibu tenang saja kalau masalah itu, soalnya Haji Hasan sudah mempercayakan pekerjaannya kepada Fatih, Bu. Ya ,kadang saya diberi bonus atas pekerjaan saya yang lumayan banyak dan Haji Hasan sedang banyak rezeki, cetusku ringan sembari memijit kaki Ibu yang sudah ringkih tiap hari kerja melewati jalan sawah yang becek dan berliku-liku.
“Fatih, sekarang Ibu sudah tua dan mungkin tidak kuat lagi bekerja seperti dulu. Jadi maafkan Ibu, jika Ibu membebanimu untuk bekerja demi keluarga kita. Ibu tahu adikmu juga sangat membutuhkan biaya untuk sekolahnya dan bulan depan dia harus didaftarkan ke pondok pesantren sesuai wasiat bapakmu dulu,le…,”  Ibu menasehatiku.
“Nggeh, Bu. Tidak apa-apa Fatih bekerja, ini sebagai kewajiban seorang anak dan kakak yang menjadi ujung tombak keluarga. Kenapa Azizah tidak disekolahkan di Madrasah Aliyah Negeri saja, kan biayanya tidak begitu mahal dan temannya Azizah juga banyak yang akan melanjutkan ke Aliyah,” jawabku sekaligus bertanya.
“Ibu juga tahu bahwa kehidupan ekonomi kita sekarang lagi seperti ini, tapi almarhum bapakmu sudah berwasiat kepada Ibu untuk memyekolahkan ke Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Karena bapakmu ingin anak-anaknya semua sukses menjadi seoarang yang intelek, tetapi juga ulama yang profesional.
“Kalau memang seperti itu, Fatih menerima saja permintaan tersebut dan Insya Allah saya lebih kerja keras lagi dan minta kepada Haji Hasan untuk kerja tambahan. Karena minggu-minggu ini toko Haji Hasan lagi banyak order dari pelanggan-pelanggannya,” jawabku mantap dengan semangat membara.
“Baiklah,le. Tapi yang penting jangan terlalu dipaksakan, nanti malah kamu sakit.
“Insya Allah saya akan jaga kesehatan kok, Bu. Yang penting do’a ibu kepada Fatih selalu.
“Ya,le…Ibu selalu mendoakanmu.
Hari ini Azizah harus pegi ke Ponorogo untuk mendaftar ke Gontor dan sekaligus hari terakhir ia harus meninggalakn MTs tercintanya sekaligus keluarga dan kampung halamannya. Ditemani sahabat karibku, Arif, yang merupakan pengurus di Pondok Pesantren Gontor dan mengetahui keadaan Gontor. Kami bertiga pun berangkat dan minta do’ restu kepada Ibu agar perjalanan kami lancar dan Azizah bisa diterima di Gontor serta mendapat ilmu yang manfaat dan barokah. Pakde dan Budhe[1] juga datang melepas kepergian kami ke Ponorogo. Pakde Aji dan Budhe Salma untuk 2 minggu ke depan aku minta untuk tinggal di rumah menemani Ibu.
Karena merekalah keluarga terdekat Ibu yang ada di desa dan kebanyakan saudara Ibu tinggal di desa lain dan ada juga yang merantau ke Sulawesi dan sekarang menetap disana.
“Bu, Azizah dan Mas Fatih mau berangkat dulu untuk menimba ilmu di Pondok Pesantren Gontor, doakan Azizah bisa kerasan[2] disana dan mendapat ilmu manfaat dan barokah, serta kelak beruna bagi kehidupan kelak,“ izin Azizah kepada Ibu dengan menitihkan air mata di pipi cantiknya.
“Ya, zah. Ibu selau berdo’a buatmu, demi kesuksesan anak perempuanku satu-satunya, anak kesayangan Ibu. Nak, jaga dirimu baik-baik ya,..Patuhi semua peraturan kyai, ustadz dan ustadzah serta peraturan pondok. Karena semua itu demi menjadikanmu orang yang baik dan berkhlakul karimah sesuai agama Islam, “pesan Ibu kepada Azizah sambil merangkulnya erat-erat.
“Zah, sudah waktunya kita berangkat. Nanti kita telat, soalnya bus sore berangkatnya setelah ashar ini,” ajakku dengan melihat jam tanganku.
“Fatih, Budhe berpesan selama disana kalau butuh bantuan bisa telpon Pakdhe atau Budhe, mungkin bisa membantu, “pesan Budhe Salma yang padat dan penuh makna.
Sore itu, dihiasi hujan rintik-rintik mengguyur desa ini dan bau khas air hujan menetes  jatuh dari langit meredam gerah yang melanda desa selama 3 hari belakangan ini. Bus pun melaju dengan cepatnya membelah jalan desa yang berliku-liku dan jalan aspal yang mulai retak dan berlubang. Kami bertiga pun terlelap di dinginnya malam yang menggelayut dan menusuk tubuh ini. Sekitar setelah Isya’, kami pun tiba di pondok kebanggaan kebanyakan para pencari ilmu itu. Pondok yang dibangun sudah kurang lebih setengah abad ini, masih terlihat kokoh dengan bangunan kuno yang masih terpelihara keotentikannya. Sungguh luar biasa, pemuda-pemudi Muslim yang dapat belajar di Pondok Gontor ini, demi mendapatkan ilmu yang manfaat dan barokah untuk keluarga, agama, dan negara. Malam itu pun kami menuju ruang pengurus pondok untuk mengurus bagaimana proses pendaftaran dan ujian masuk pondok.
“Rif, sebaiknya kita langsung ke bagian pengurus untuk menanyakan bagaimana proses pendaftaran dan semuanya yang dibutuhkan. Ayo!!!,” ajakku kepada Arif untuk segera mendapat menemui pengurus pondok.
“Oke,..Santai aja,…kayak kamu dikejar satpam aja…hehe,..,” jawab Arif dengan santainya.
“Wah kamu ini, lebih cepat lebih baik,” tegasku kepada sahabatku yang satu ini.
“Mas, ayo ketemu pihak pengurus, supaya besok bisa mempersiapkan untuk ujian masuk pondok,” ajak Azizah tidak sabar.
“Ya sudah, ayo masuk ke ruang pengurus tanya informasi untuk pelaksanaan ujiannya,” Arif menyela pembicaraan kami.
“Tok…tok…tok….Assalamu’alaikum,” kami mengucapkan salam di depan pintu kantor pengurus pondok.
Tak lama kemudian, tanpa basa-basi, kami mengungkapakan tujuan kami datang ke Gontor dan menanyakan informasi dari pihak pengurus. Malam pun datang dengan cepatnya, setelah mendapat informasi yang cukup, Azizah pun dibawa ke kamar bagi tamu perempuan. Sedangkan, aku dan Arif menuju masjid untuk sholat sekaligus istirahat di kantor pengurus pondok putra.
Malam ini adalah malam dimana suasana baru dibuka, angin malam kota Ponorogo menghinggapi kerinduan perindu kepada kekasihnya. Aduhai, indah sekali bila ada ibu juga menemani kami disini. Pagi hari dengan angin segar yang menyelinap di rerimbunan pohon-pohon dan matahari mengintip malu di balik peraduannya. Pagi ini, Azizah harus tes pertama yaitu tes kesehatan, tes administrasi dan tes potensi akademik. Sedangkan untuk hari kedua adalah hari terakhir pelaksanaan ujiannya dan hari ketiga adalah pengumuman diterima atau tidak menjadi mahasantri Pondok Gontor.
“Zah, gimana perasaanya searang mau ujian tes hari pertama?” tanyaku kepada Azizah.
“Ya ndredeg[3] mas, kayak perasaan ujian nasional MTs kemarin,hehe…,” jawab Azizah dengan sedikit gugup telihat di wajahnya.
“Santai aja,zah…Insya Allah, dengan usaha dan do’a semua akan mudah. Oh ya, mas lupa mau menelpon Ibu dan Budhe di rumah, kan kemarin katanya kalau sudah datang suruh ngabari.
“Ya mas, ngomong Ibu kalau aku sekarang mau ujian dan minta do’a supaya lancar dan dimudahkan,”pinta Azizah dengan mencoba menghilangkan cemasnya.
“Ya sudah, cepat kamu masuk. Ujiannya sebentar lagi mau dimulai, nanti kamu bisa telat,zah.
“Na’am, akhi[4].
“Ma’an najah, ya ukhti. Man jada wa jadda.[5] Allah akan selalu membantu hamba-Nya yang senantiasa berusaha dan berdo’a dengan sungguh-sungguh.
Aku pun menelepon Budhe Salma mengabarkan keadaan kami, dan meminta do’a Ibu agar ujian Azizah bisa lancar. Setelah dua hari tes, hari ini adalah hari penentuan, apakah Azizah diterima di pondok pesantren Gontor atau tidak. Setelah melihat papan pengumuman yang tertera di depan kantor pengurus pondok. Akhirnya ada nama Azizah tertera di pengumuman itu. Begitu senangnya adik kesayanganku ini mendapatkan namnya terpampang dan ia bisa menjadi santri Pondok Modern Gontor. Aku, Azizah, Ibu, Pakde dan Budhe serta sahabat-sahabatku aku telepon satu persatu mengabarkan hal bahagia ini.
Setelah seminggu di Ponorogo, aku pun kembali lagi ke rumah dan meninggalkan Azizah di Pondok Gontor. Setibanya di rumah ada kabar dari sahabatku dari pondok pesantrenku dulu, di Pondok Darussalam, bahwa ada kesempatan beasiswa ke Madinah University, kampus idamanku saat kecil. Ketika aku diberitahu bapak tentang kampus yang besar dan terkenal itu. Aku masih ingat kata-katanya dulu kepadaku: “Le, bila Bapak masih punya kesempatan hidup, Bapak kepingin kamu nanti bisa kuliah di Madinah University. Karena itu cita-cita Bapak dari dulu. Mendengar perkataan bapak, aku menangis di dalam hati dan kadang tertawa. Apakah aku bisa, sedangkan aku hanyalah pemuda desa yang tak punya apa-apa, hidup dalam kesederhanaan. Tapi apa salahnya aku mencoba, setelah menyelesaikan sarjana S1 Jurusan Sastra Arab di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dua tahun yang lalu. Dengan nilai yang cukup membanggakan, pasti aku bisa.
Beasiswa Madinah University diberikan hanya untuk 100 orang saja dari ribuan peserta dari berbagai pelosok negeri ini. Betapa beruntungnya mereka yang bisa mendapatkan beasiswa yang luar biasa ini. Ujiannya akan dilakukan di Jakarta selama kurang lebih satu minggu, aku pun meminta do’ restu Ibu untuk mendoakanku agar bisa mendapatkan beasiswa tersebut.
“Bu, Fatih minta do’anya ya. Semoga anak ibu ini bisa mendapat beasiswa Madinah University dan Fatih bisa menginjakkan kaki di Tanah Nabi dan mendapatkan kesuksesan disana,” kataku lirih sambil menahan air mata yang tak kuasa jatuh.
“Bu selalu mendoakanmu di setiap sholat ibu, semoga mendapat imu yang manfaat dan baroakah, serta kesuksesan selalu menyertaimu, nak,” ucap Ibu dengan air mata mengalir di wajah sayunya.
Waktunya pun tiba, dari pondok pesantrenku lima orang yang mendapat kesempatan ke Jakarta untuk mengikuti ujian dan proses selanjutnya yakni tes Bahasa Arab, Inggris, Umum dan Al-Qur’an. Karena Kyai Ghofur mempercayakan kepada kami berlima, yakni Pendhowo[6]. Aku, Marwis, Jalal, Hisyam dan Zakaria.
Mengapa kami mengambil nama Pendhowo untuk kami berlima, karena kami semua menyukai filosofi wayang Jawa dan beberapa tokoh didalamnya, dan salah satunya adalah lima bersaudara yakni Pendhowo. Di pondok pesantren kami sering memmbuat pengurus pondok kesal, kami berlima sering tidak mengikuti ngaji[7], tetapi malah mencari welut[8] di sawah. Kadang kami berlima pun dipanggil Kyai Ghofur, gara-gara kami berlima protes kebijakan pondok yang tidak sesuai dengan keinginan santri-santrinya. Masa lalu itu menggelayut di benakku, tapi hari ini akau berkompetisi dengan mereka demi mendapatkan beasiswa Madinah University. Selama seminggu di Jakarta, akhirnya pengumuman dilayangkan lewat website Kemenag dan juga dihubungi lewat handphone dan email.
Aku pun browsing di internet, ku lihat apakah dari deretan nama yang ada tercantum namaku, Muhammad Fatih al-Ayyubi. Tapi namaku tak tercantum dari ribuan orang yang ada dalam pengumuman yang luar biasa itu. Aku pun harap-harap cemas apakah aku lolos atau tidak, empat sahabatku aku telepon semuanya, dari mereka berempat hanya satu yang lolos yaitu Marwis, anak jenius dari Kota Batik, Pekalongan sebutanya ketika di pondok dulu.
Aku pun cemas bukan kepalang ketika sahabat karibku bisa lolos mendapat beasiswa bergengsi tersebut, apakah aku tidak lolos,” gumamku dalam hati.
Aku lihat di email belum ada kiriman dari pihak penyelenggara acara tersebut, handphone dari tadi masih ramai pertanyaan dari keluarga di rumah dan sahabat-sahabatku. Tiba-tiba Kyai Ghofur meneleponku dan menanyakan bagaimana lolos atau tidak mendapat beasiswa tersebut.
“Assalamu’alaikum. Bagaimana pengumumannya? Kamu lolos atau tidak, Tih?,” tanya Kyai Ghofur penasaran.
“Masih belum tahu kyai, mungkin sebentar lagi ada pemberitahuan dari pihak panitia, soalnya masih belum dihubungi,” ucapku lirih dengan perasaan cemas.
“Ya sudah kalau begitu, semoga bisa diterima di Madinah University, Tih. Wassalamu’alaikum.
“Amin. Matur nuwun, kyai. Wa’alaikumussalam.
Kyai Ghofur menutup teleponnya. Jantungku pun berdetak tak beraturan, seakan ada asap pekat menutupi paru-paruku, semakin lama aku tak kuas menahan rasa cemas ini. Tiba-tiba HP pun berdering, ku lihat perlahan-lahan, tertulis di pesan masuk:
“ Selamat kepada Saudara Muhammad Fatih al-Ayyubi, Anda mendapatkan kesempatan menerima beasiswa dari Madinah University untuk Program Master (S2). Terimakasih”.
Mendapat pesan tersebut, akau pun sujud syukur kepada Allah dan mengabarkan kabar baik kepada ibu dan keluarga di rumah serta semua orang terdekatku. Ini merupakan suatu hal yang luar biasa dalam sejarah hidupku. Subhanallah, Allahu Akbar!!! Engkaulah Tuhan yang selalu mengerti dan membalas perbuatan hamba-hamba-Nya yang berusaha dengan sungguh-sungguh. Hari itu aku pun mempersiapkan barang-barang untuk pulang ke rumah memberitahukan kebahagiaan kepada ibu dan semua orang terdekatku.
Di perjalanan pulang, aku teringat kata-kata ayah dulu. Akhirnya anaknya ini, bisa mendapatkan kesempatan belajar di Tanah Nabi, Madinah. Dengan kecepatan penuh, bus jurusan Banyuwangi itu membelah lautan pengendara lalu lintas, ketika bus berada pada posisi miring di sekitar hutan Gumitir. Tak disangka-sangka, ada truk kontainer dari arah yang sama menyalip bus kami. Tiba-tiba, sopir kaget karena klakson truk yang memekakkan telinga. Akhirnya, bus kami oleng dan terperosok di rerimbunan semak belukar. Aku pun terjerembab di dekat posisi bus yang menabrak beberapa baris pohon yang masih kecil. Sopir dan semua penumpang tak sadarkan  diri. Mulai kejadian itu, aku tak tahu lagi keadaanku, aku seakan terbang di angkasa dan seolah pikiranku melayang entah kemana.
Aku tersadar ketika di Rumah Sakit daerah Jember, aku masih shock atas kejadian semalam. Tapi untung, barang-barangku masih utuh tanpa hilang sama sekali. Polisi Jember memberikan semua barang-barang yang aku bawa, termasuk oleh-oleh dari Jakarta untuk Ibu dan keluargaku. Selama kurang lebih 3 hari, aku tergolek lemas di atas kasur Rumah Sakit. Untung, aku sebelum pulang ke rumah tidak mengabarkan kapan aku pulangnya dan Ibu tidak cemas. Malam itu, aku tiba di desaku dan Alhamdulillah membawa kebahagiaan dan duka. Tapi taka apa, aku masih diberi hidup untuk kedua kalinya. Karena menurut penuturan pihak kepolisian, ada kurang lebih 5 orang meninggal, 22 luka berat dan lainnya luka sedang dan ringan. Alhamdulillah, Allah masih saying kepadaku untuk berbakti kepada orang tuaku.
Setibanya di rumah, Ibu, Budhe dan Pakdhe kaget melihat keadaanku seperti ini. Mereka pun menyambutku dengan isak tangis.
“Le, kok bisa kamu seperti ini? Kamu kok tidak bilang sama Ibu, Budhe atau Pakdhe, kan kami bisa menjemputmu,” ucap Ibu sambil merangkul bahuku yang sedikit nyeri akibat kecelakaan itu.
“Mboten nopo-nopo[9] kok, Bu. Alhamdulillah, Fatih masih sehat dan selamat dari kecelakaan tersebut,” jawabku dengan menahan rasa sakit yang menyerang persendianku.
“Oalah, ono wae ujian kanggo wong apik kaya kamu[10], Tih,” iba Budhe Salma kepadaku.
“Tidak apa-apa Budhe, mungkin ini sudah digariskan takdirnya oleh Allah agar Fatih bisa lebih sabar dan selalu mendekatkan diri kepada-Nya,” ucapku lirih menanggapi perkataan Budhe.
Kurang 2 minggu lagi, aku berangkat ke Jakarta dan langsung berangkat ke kampus cita-cita aku dan bapakku, Madinah University dan alhamdulillah keadaanku membaik dan sehat total selama 1 minggu lebih, karena hanya luka-luka ringan yang aku derita. Hari yang aku nantikan itu pun datang, aku mempersiapkan segala kebutuhan dan barang-barang yang aku perlukan ketika di Jakarta dan studi di Madinah nantinya. Aku merangkul Ibu dan mencium keningnya yang keriput karena umurnya yang tua. Semua orang terdekatku sudah akau kabari, bahwa hari ini akau akan terbang ke Jakarta dan Madinah, termasuk Kyai Ghofur, sahabat-sahabatku dan adikku, Azizah, yang ketika aku telepon ia sedang menjalani MTQ Nasional di Sulawesi, ia begitu gembira kakaknya bisa kuliah di Madinah. Ia pun bercerita kepadaku selama di Gontor dan ia berencana kuliah ke Al-Azhar, Kairo untuk menggapai targetnya dan mimpinya ketika kecil.
Pesawat pun meluncur dengan sigapnya, memgudara dengan kecepatan yang tak kubayangkan sebelumnya. Maklum, baru kali ini aku naik pesawat ke luara negeri. Selama 5 hari di Jakarta, aku dan rombongan mahasiswa yang lain juga ikut menerima materi dan segala informasi ketika di Madinah nantinya.
Hari keenam, sekitar 100 orang mahasiswa Indonesia yang akan studi di Madinah dan ada juga kurang lebih 300 orang mahasiswa yang akan studi kesana, baik unyuk program S1, Master atau Doktor. Alhamdulillah, seakan tak terasa perjalanan Jakarta-Madinah, karena mungkin begitu girangnya aku bisa melihat pemandangan yang luar biasa dibalik jendela pesawat.
Sekitar siang, kami beserta rombongan tiba di Airport Madinah dan kami pun disambut pihak KBRI dan staf-stafnya dan kami diantar ke hotel untuk melaksanakan prosesi pembukaan dan silaturahmi serta beberapa informasi ketika mahasiswa-mahasiswi di Madinah. Besok pagi, kami semua akan diantar ke universitas tujuan dari pihak Kemenag dan KBRI
Akhirnya, aku bisa melihat panorama kota Madinah yang luar biasa dan kampus yang aku impikan sejak dulu, sekarang ada di depan mataku. Sungguh luar biasa, nikmat Allah kepada hamba-hamba perinduNya. Selama kurang lebih 2 minggu, aku sudah tinggal di Madinah, tetapi aku belum mengabarkan keadaanku selama menginjakkan kaki di Madinah. Aku pun menelepon Ibu di rumah, tetapi tidak pernah nyambung.Ah, mungkin aku harus mengirim surat saja kepada Ibu, aku pun menulis sepucuk surat tentang keadaanku dan keadaan di Kota Nabi, Madinah. Tak lama, 3 minggu surat jawaban dari Ibu datang, aku baca pelan-pelan sambil membayangkan wajah beliau dan salah satu paragraf dalam suratnya, beliau menulis:
“ Fatih, Ibu merindukanmu, Ibu berharap kamu senang dan sehat disana. Jaga dirimu di Madinah, kadang Ibu menangis ketika berdo’a. Ibu teringat kata-kata ayahmu bahwa anaknya kelak akan menginjakkan di kota para Nabi, yakni Madinah. Tapi, Ibu juga sedih karena sekarang usia ibu sudah tua, Ibu rindu untuk menimang cucu dari pernikahanmu kelak, Le. Ya ibu cuma mengingatkan saja kepadamu, Ibu selalu mendoakanmu…”.
Aku pun trenyuh sekaligus terkejut atas jawaban surat dari Ibu, tapi aku harus cepat menyelesaikan studi di Madinah dan aku akan meminang gadis jodohku kelak. Tiba-tiba aku teringat anak Kyai Ghofur, Syifa’. Ia adalah anak-anak kesayangan Kyai Ghofur, aku juga sudah mengenalnya. Meskipun, tidak mengenal secara mendalam. Andai saja, aku bisa memperistri Syifa’, anak kyai dan anak emas Kyai Ghofur. Subhanallah, sungguh hal yang luar biasa dan beruntung orang yang bisa meminangnya sekaligus memperistrinya.
Selama di Madinah, aku menjalani aktivitas keseharian layaknya mahasiswa lainya. Tapi, waktu luangku aku habiskan untuk belajar kepada dosen-dosenku dari Madinah University maupun dosen-dosen dari universitas lainnya dan menulis jurnal ilmiah serta buku-buku karya sastra ataupun atikel, essay dan opini untuk mengasah skill-ku ketika dulu aktif di dunia tulis menulis.
Sudah setahun lebih, aku tinggal di Madinah, aku harus mempunyai target keman setelah aku lulus dari Madinah University, aku pun melayangkan surat kepada Kyai Ghofur untuk meminag anak beliau Syifa’, lengkapnya Syifa’ Fithri Az-Zahra. Aku tulis apa maksud suratku dan semoga Kyai Ghofur menerima suratku dan pinanganku kepada anaknya.
Sebulan kemudian, surat jawaban dari Kyai Ghofur aku terima dengan perasaan gugup dan takut. Semoga beliau menerima permohonan pinanganku. Aku buka amplop putih bertuliskan pena khas tulisan Kyai Ghofur, aku ambil sepucuk surat dan aku baca dengan perasaan yang tak menentu.
Dalam suratnya beliau mengatakan:
”Alhamdulillah, kamu masih sempat  mengabarkan keadaanmu disana dan ma’af aku tidak sempat meneleponmu, setelah dulu kamu meminta do’a dan izin untuk ke Madinah. Aku sudah baca suratmu dengan baik, aku tahu maksud suratmu. Setelah mendapat surat darimu, aku langsung menelepon Syifa’ di Al-Azhar, ia bersedia dan menerima pinanganmu. Tetapi, dia masih sibuk mempersiapkan tes skripsinya. Jadi, ia masih konsentrasi kepada skripsinya dulu. Dia juga menanyakan kapan kita bisa bertemu dan merencanakan acara pernikahannya. Itu saja balasan surat dariku, ma’af bila ada kata-kata yang salah dari tulisan dan perkataanku. Wassalamu’alaikum warahmatullah”.
Hatiku terasa seperti di masuki angin dari syurga, begitu tenang dan seakan ini hal yang tak mungkin. Aku pun menelepon Ibu dan ia pun merespon bahagia atas diterimanya pinanganku kepada Syifa’. Ibu menyarankanku untuk mengirim surat kepada Syifa’ di Mesir, untuk memantapakan pinanganku kepadanya. Tanpa pikir panjang, aku tulis rangkaian kata-kata penuh dengan bahasa sastra yang aku punya, ku goreskan pena terbaikku untuk mengungkapkan isi cinta yang membuncah dalam hati.
Sudah sebulan lamanya, surat dari Syifa’ belum kunjung datang. Aku pun risau tak menentu, menunggu balasan surat dari bidadari syurga, calon pendamping bahtera cinta hidupku kelak. Pagi itu, aku mendapat surat yang diantar oleh pegawai pos Kantor Pos Madinah. Aku merasakan getaran yang tak biasanya ketika membuka suratnya dan ia pun menulis sastra indah dari pujangga Mesir yang masyhur, ia pun menerima pinanganku kepadanya.
Kurang 2 bulan lagi, aku akan meninggalkan Kota Nabi. Aku akan lulus dan menikahi wanita sholihah, Syifa’, gadis lulusan sarjana Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Hal yang membahagiakan pun tiba dan setelah kurang lebih 3 minggu keluagaku dan Syifa’ mempersiapkan acara pernikahan. Kami melangsungkan acara prosesi pernikahan di Masjid Pondok Darussalam, dengan dihadiri keluargaku, sahabat-sahabatku, para kyai, keluarga Syifa’ dan segenap undangan serta ribuan santri yang datang menyaksikan acara pernikahan antara Muhammad Fatih al-Ayyubi dengan Syifa’ Fithri Az-Zahra. Acara pernikahan ini adalah acara yang paling besar yang pernah ku temui di pondok tercintaku ini.
Aku pun menitihkan air mata bahagia bisa duduk bahagia di pelaminan bersama orang yang aku cintai, istri tercintaku, ibu dari anak-anakku kelak, dia adalah anak kyai terbaikku, Syifa’ Fithri Az-Zahra. Aku lihat dia juga meneteskan air mata di pipi cantiknya, dan terlihat Ibu juga menangis melihat anaknya bisa menikah. Setelah acara yang dihelat selama 3 hari tersebut, aku dan Syifa’ kelelahan. Kami pun beristirahat total dan memadu kasih di dalam naungan cinta-Nya, di malam pertama seakan aku melihat bidadari yang turun dari syurga menebarkan cinta yang indah dan ikhlas. Kami pun hidup bahagia dalam naungan cita dan penjagaan dari-Nya, memadu biduk rumah tangga dengan memadukan kasih sayang yang tulus dan cinta yang suci untuk membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warohmah.
Kami pun dianugerahi anak yang cantik jelita, ku beri nama Fatimah Nur Hafidhoh, dengan mengharap kelak ia bisa menjadi hafidhoh dan menjadi anak yang sholihah, bermanfaat bagi keluarganya, agamanya dan negaranya. Ibu pun senang dan gembira menimang cucunya yang ia damba-dambakan. Begitu pula Kyai Ghofur dan keluarga serta sahabat dan orang terdekatku, memberikan selamat kepadaku atas kelahiran Fatimah. Ketika Surat Rindu dari Kota Nabi mengisahkan syair-syair indah dengan bahasa yang syahdu, mendendangkan kata-kata cinta antara sepasang kekasih yang lama bertemu dalam naungan asma-Nya dan menghirup angin cinta, semerbak wangi bagai bunga mawar ranum dari taman-taman syurga.
________________________________________
[1]Sebutan paman dan bibi untuk orang Jawa.
[2] Senang dengan tempat yang ditempati.
[3] Ndredeg, artinya deg-degan atau cemas.
[4] Ya, mas
[5] Semoga sukses, adikku. Barangsiapa bersungguh-sungguh, pasti ia berhasil.
[6] Pendhowo atau juga sering disebut Pandhawa.
[7] Ngaji artinya mempelajari ilmu agama Islam.
[8] Welut dalam bahasa Jawa, Belut dalam bahasa Indonesia.
[9] Mboten nopo-nopo artinya tidak apa-apa.
[10] Perkataan iba atas musibah dalam bahasa Jawa.

Firmanda Taufiq, Mahasiswa Fakultas Humaniora dan Budaya, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab angkatan 2011.

No comments: