Surat Rindu dari Kota Nabi
Semilir angin pagi mengiringi denyut
nadi desa ini, dimana hidup keluarga kecil yang sederhana. Di rumah yang
dihuni dengan bangunan kasih sayang dan islami, aku, Fatih, seorang
pemuda desa dan anak yatim, ibuku dan adik perempuanku, Azizah, yang
masih duduk di bangku kelas 3 Madrasah Tsanawiyah di desaku. Sejak aku
kecil, aku dididik oleh kedua orang tuaku untuk selalu belajar ilmu
agama Islam. Bapakku seorang kyai di kampungku,
beliau menjadi pemuka agama yang disegani masyarakat. Ia menjadi salah satu orang terpenting di desaku.
Aku sebagai anak sulung di keluarga ini sekarang menjadi tulang punggung keluarga, karena 3 tahun yang lalu ayah telah dipanggil Allah ke hadirat-Nya. Ibu menjadi seorang buruh tani setiap harinya, itu pun kalau ada ajakan atau perintah dari tetangga yang sawahnya sedang digarap. Sebenarnya aku tidak tega jika melihat ibu bekerja tiap hari demi mendapatkan upah untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Tetapi, akhir-akhir ini ibu mengalami sakit. Mungkin karena terlalu lelah karena bekerja.
Aku sebagai anak sulung di keluarga ini sekarang menjadi tulang punggung keluarga, karena 3 tahun yang lalu ayah telah dipanggil Allah ke hadirat-Nya. Ibu menjadi seorang buruh tani setiap harinya, itu pun kalau ada ajakan atau perintah dari tetangga yang sawahnya sedang digarap. Sebenarnya aku tidak tega jika melihat ibu bekerja tiap hari demi mendapatkan upah untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Tetapi, akhir-akhir ini ibu mengalami sakit. Mungkin karena terlalu lelah karena bekerja.
Untuk itu, aku semakin kerja keras lagi
demi mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan membiayai
adikku yang sedang sekolah. Malah, sekarang adikku sudah kelas 3 dan
membutuhkan banyak biaya untuk kelulusannya dan biaya masuk Madrasah
Aliyah Negeri di kota kami. Tetapi, ibuku menyarankan supaya Azizah
masuk pondok pesantren di daerah kota Ponorogo, yakni Pondok Modern
Gontor.
“Bagaimana keadaan ibu, sudah baik kan,bu?,” tanyaku kasihan kepada ibu.
“Bagaimana keadaan ibu, sudah baik kan,bu?,” tanyaku kasihan kepada ibu.
“Alhamdulillah, le... Ibu sudah agak
mendingan ketimbang kemarin. Oh ya, bagaimana kerjaanmu di toko Haji
Hasan? Baik-baik saja kan?,” jawab ibu sambil megusap wajahnya yang
sudah terlihat keriput dan balik tanya kepadaku.
“Ibu tenang saja kalau masalah itu, soalnya Haji Hasan sudah mempercayakan pekerjaannya kepada Fatih, Bu. Ya ,kadang saya diberi bonus atas pekerjaan saya yang lumayan banyak dan Haji Hasan sedang banyak rezeki, cetusku ringan sembari memijit kaki Ibu yang sudah ringkih tiap hari kerja melewati jalan sawah yang becek dan berliku-liku.
“Ibu tenang saja kalau masalah itu, soalnya Haji Hasan sudah mempercayakan pekerjaannya kepada Fatih, Bu. Ya ,kadang saya diberi bonus atas pekerjaan saya yang lumayan banyak dan Haji Hasan sedang banyak rezeki, cetusku ringan sembari memijit kaki Ibu yang sudah ringkih tiap hari kerja melewati jalan sawah yang becek dan berliku-liku.
“Fatih, sekarang Ibu sudah tua dan
mungkin tidak kuat lagi bekerja seperti dulu. Jadi maafkan Ibu, jika Ibu
membebanimu untuk bekerja demi keluarga kita. Ibu tahu adikmu juga
sangat membutuhkan biaya untuk sekolahnya dan bulan depan dia harus
didaftarkan ke pondok pesantren sesuai wasiat bapakmu dulu,le…,” Ibu
menasehatiku.
“Nggeh, Bu. Tidak apa-apa Fatih bekerja,
ini sebagai kewajiban seorang anak dan kakak yang menjadi ujung tombak
keluarga. Kenapa Azizah tidak disekolahkan di Madrasah Aliyah Negeri
saja, kan biayanya tidak begitu mahal dan temannya Azizah juga banyak
yang akan melanjutkan ke Aliyah,” jawabku sekaligus bertanya.
“Ibu juga tahu bahwa kehidupan ekonomi
kita sekarang lagi seperti ini, tapi almarhum bapakmu sudah berwasiat
kepada Ibu untuk memyekolahkan ke Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Karena
bapakmu ingin anak-anaknya semua sukses menjadi seoarang yang intelek,
tetapi juga ulama yang profesional.
“Kalau memang seperti itu, Fatih
menerima saja permintaan tersebut dan Insya Allah saya lebih kerja keras
lagi dan minta kepada Haji Hasan untuk kerja tambahan. Karena
minggu-minggu ini toko Haji Hasan lagi banyak order dari
pelanggan-pelanggannya,” jawabku mantap dengan semangat membara.
“Baiklah,le. Tapi yang penting jangan terlalu dipaksakan, nanti malah kamu sakit.
“Insya Allah saya akan jaga kesehatan kok, Bu. Yang penting do’a ibu kepada Fatih selalu.
“Baiklah,le. Tapi yang penting jangan terlalu dipaksakan, nanti malah kamu sakit.
“Insya Allah saya akan jaga kesehatan kok, Bu. Yang penting do’a ibu kepada Fatih selalu.
“Ya,le…Ibu selalu mendoakanmu.
Hari ini Azizah harus pegi ke Ponorogo untuk mendaftar ke Gontor dan sekaligus hari terakhir ia harus meninggalakn MTs tercintanya sekaligus keluarga dan kampung halamannya. Ditemani sahabat karibku, Arif, yang merupakan pengurus di Pondok Pesantren Gontor dan mengetahui keadaan Gontor. Kami bertiga pun berangkat dan minta do’ restu kepada Ibu agar perjalanan kami lancar dan Azizah bisa diterima di Gontor serta mendapat ilmu yang manfaat dan barokah. Pakde dan Budhe[1] juga datang melepas kepergian kami ke Ponorogo. Pakde Aji dan Budhe Salma untuk 2 minggu ke depan aku minta untuk tinggal di rumah menemani Ibu.
Hari ini Azizah harus pegi ke Ponorogo untuk mendaftar ke Gontor dan sekaligus hari terakhir ia harus meninggalakn MTs tercintanya sekaligus keluarga dan kampung halamannya. Ditemani sahabat karibku, Arif, yang merupakan pengurus di Pondok Pesantren Gontor dan mengetahui keadaan Gontor. Kami bertiga pun berangkat dan minta do’ restu kepada Ibu agar perjalanan kami lancar dan Azizah bisa diterima di Gontor serta mendapat ilmu yang manfaat dan barokah. Pakde dan Budhe[1] juga datang melepas kepergian kami ke Ponorogo. Pakde Aji dan Budhe Salma untuk 2 minggu ke depan aku minta untuk tinggal di rumah menemani Ibu.
Karena merekalah keluarga terdekat Ibu
yang ada di desa dan kebanyakan saudara Ibu tinggal di desa lain dan ada
juga yang merantau ke Sulawesi dan sekarang menetap disana.
“Bu, Azizah dan Mas Fatih mau berangkat
dulu untuk menimba ilmu di Pondok Pesantren Gontor, doakan Azizah bisa
kerasan[2] disana dan mendapat ilmu manfaat dan barokah, serta kelak
beruna bagi kehidupan kelak,“ izin Azizah kepada Ibu dengan menitihkan
air mata di pipi cantiknya.
“Ya, zah. Ibu selau berdo’a buatmu, demi kesuksesan anak perempuanku satu-satunya, anak kesayangan Ibu. Nak, jaga dirimu baik-baik ya,..Patuhi semua peraturan kyai, ustadz dan ustadzah serta peraturan pondok. Karena semua itu demi menjadikanmu orang yang baik dan berkhlakul karimah sesuai agama Islam, “pesan Ibu kepada Azizah sambil merangkulnya erat-erat.
“Zah, sudah waktunya kita berangkat. Nanti kita telat, soalnya bus sore berangkatnya setelah ashar ini,” ajakku dengan melihat jam tanganku.
“Fatih, Budhe berpesan selama disana kalau butuh bantuan bisa telpon Pakdhe atau Budhe, mungkin bisa membantu, “pesan Budhe Salma yang padat dan penuh makna.
“Ya, zah. Ibu selau berdo’a buatmu, demi kesuksesan anak perempuanku satu-satunya, anak kesayangan Ibu. Nak, jaga dirimu baik-baik ya,..Patuhi semua peraturan kyai, ustadz dan ustadzah serta peraturan pondok. Karena semua itu demi menjadikanmu orang yang baik dan berkhlakul karimah sesuai agama Islam, “pesan Ibu kepada Azizah sambil merangkulnya erat-erat.
“Zah, sudah waktunya kita berangkat. Nanti kita telat, soalnya bus sore berangkatnya setelah ashar ini,” ajakku dengan melihat jam tanganku.
“Fatih, Budhe berpesan selama disana kalau butuh bantuan bisa telpon Pakdhe atau Budhe, mungkin bisa membantu, “pesan Budhe Salma yang padat dan penuh makna.
Sore itu, dihiasi hujan rintik-rintik
mengguyur desa ini dan bau khas air hujan menetes jatuh dari langit
meredam gerah yang melanda desa selama 3 hari belakangan ini. Bus pun
melaju dengan cepatnya membelah jalan desa yang berliku-liku dan jalan
aspal yang mulai retak dan berlubang. Kami bertiga pun terlelap di
dinginnya malam yang menggelayut dan menusuk tubuh ini. Sekitar setelah
Isya’, kami pun tiba di pondok kebanggaan kebanyakan para pencari ilmu
itu. Pondok yang dibangun sudah kurang lebih setengah abad ini, masih
terlihat kokoh dengan bangunan kuno yang masih terpelihara
keotentikannya. Sungguh luar biasa, pemuda-pemudi Muslim yang dapat
belajar di Pondok Gontor ini, demi mendapatkan ilmu yang manfaat dan
barokah untuk keluarga, agama, dan negara. Malam itu pun kami menuju
ruang pengurus pondok untuk mengurus bagaimana proses pendaftaran dan
ujian masuk pondok.
“Rif, sebaiknya kita langsung ke bagian
pengurus untuk menanyakan bagaimana proses pendaftaran dan semuanya yang
dibutuhkan. Ayo!!!,” ajakku kepada Arif untuk segera mendapat menemui
pengurus pondok.
“Oke,..Santai aja,…kayak kamu dikejar satpam aja…hehe,..,” jawab Arif dengan santainya.
“Wah kamu ini, lebih cepat lebih baik,” tegasku kepada sahabatku yang satu ini.
“Mas, ayo ketemu pihak pengurus, supaya besok bisa mempersiapkan untuk ujian masuk pondok,” ajak Azizah tidak sabar.
“Ya sudah, ayo masuk ke ruang pengurus tanya informasi untuk pelaksanaan ujiannya,” Arif menyela pembicaraan kami.
“Tok…tok…tok….Assalamu’alaikum,” kami mengucapkan salam di depan pintu kantor pengurus pondok.
“Oke,..Santai aja,…kayak kamu dikejar satpam aja…hehe,..,” jawab Arif dengan santainya.
“Wah kamu ini, lebih cepat lebih baik,” tegasku kepada sahabatku yang satu ini.
“Mas, ayo ketemu pihak pengurus, supaya besok bisa mempersiapkan untuk ujian masuk pondok,” ajak Azizah tidak sabar.
“Ya sudah, ayo masuk ke ruang pengurus tanya informasi untuk pelaksanaan ujiannya,” Arif menyela pembicaraan kami.
“Tok…tok…tok….Assalamu’alaikum,” kami mengucapkan salam di depan pintu kantor pengurus pondok.
Tak lama kemudian, tanpa basa-basi, kami
mengungkapakan tujuan kami datang ke Gontor dan menanyakan informasi
dari pihak pengurus. Malam pun datang dengan cepatnya, setelah mendapat
informasi yang cukup, Azizah pun dibawa ke kamar bagi tamu perempuan.
Sedangkan, aku dan Arif menuju masjid untuk sholat sekaligus istirahat
di kantor pengurus pondok putra.
Malam ini adalah malam dimana suasana
baru dibuka, angin malam kota Ponorogo menghinggapi kerinduan perindu
kepada kekasihnya. Aduhai, indah sekali bila ada ibu juga menemani kami
disini. Pagi hari dengan angin segar yang menyelinap di rerimbunan
pohon-pohon dan matahari mengintip malu di balik peraduannya. Pagi ini,
Azizah harus tes pertama yaitu tes kesehatan, tes administrasi dan tes
potensi akademik. Sedangkan untuk hari kedua adalah hari terakhir
pelaksanaan ujiannya dan hari ketiga adalah pengumuman diterima atau
tidak menjadi mahasantri Pondok Gontor.
“Zah, gimana perasaanya searang mau ujian tes hari pertama?” tanyaku kepada Azizah.
“Zah, gimana perasaanya searang mau ujian tes hari pertama?” tanyaku kepada Azizah.
“Ya ndredeg[3] mas, kayak perasaan ujian nasional MTs kemarin,hehe…,” jawab Azizah dengan sedikit gugup telihat di wajahnya.
“Santai aja,zah…Insya Allah, dengan usaha dan do’a semua akan mudah. Oh ya, mas lupa mau menelpon Ibu dan Budhe di rumah, kan kemarin katanya kalau sudah datang suruh ngabari.
“Ya mas, ngomong Ibu kalau aku sekarang mau ujian dan minta do’a supaya lancar dan dimudahkan,”pinta Azizah dengan mencoba menghilangkan cemasnya.
“Ya sudah, cepat kamu masuk. Ujiannya sebentar lagi mau dimulai, nanti kamu bisa telat,zah.
“Na’am, akhi[4].
“Ma’an najah, ya ukhti. Man jada wa jadda.[5] Allah akan selalu membantu hamba-Nya yang senantiasa berusaha dan berdo’a dengan sungguh-sungguh.
“Santai aja,zah…Insya Allah, dengan usaha dan do’a semua akan mudah. Oh ya, mas lupa mau menelpon Ibu dan Budhe di rumah, kan kemarin katanya kalau sudah datang suruh ngabari.
“Ya mas, ngomong Ibu kalau aku sekarang mau ujian dan minta do’a supaya lancar dan dimudahkan,”pinta Azizah dengan mencoba menghilangkan cemasnya.
“Ya sudah, cepat kamu masuk. Ujiannya sebentar lagi mau dimulai, nanti kamu bisa telat,zah.
“Na’am, akhi[4].
“Ma’an najah, ya ukhti. Man jada wa jadda.[5] Allah akan selalu membantu hamba-Nya yang senantiasa berusaha dan berdo’a dengan sungguh-sungguh.
Aku pun menelepon Budhe Salma
mengabarkan keadaan kami, dan meminta do’a Ibu agar ujian Azizah bisa
lancar. Setelah dua hari tes, hari ini adalah hari penentuan, apakah
Azizah diterima di pondok pesantren Gontor atau tidak. Setelah melihat
papan pengumuman yang tertera di depan kantor pengurus pondok. Akhirnya
ada nama Azizah tertera di pengumuman itu. Begitu senangnya adik
kesayanganku ini mendapatkan namnya terpampang dan ia bisa menjadi
santri Pondok Modern Gontor. Aku, Azizah, Ibu, Pakde dan Budhe serta
sahabat-sahabatku aku telepon satu persatu mengabarkan hal bahagia ini.
Setelah seminggu di Ponorogo, aku pun
kembali lagi ke rumah dan meninggalkan Azizah di Pondok Gontor.
Setibanya di rumah ada kabar dari sahabatku dari pondok pesantrenku
dulu, di Pondok Darussalam, bahwa ada kesempatan beasiswa ke Madinah
University, kampus idamanku saat kecil. Ketika aku diberitahu bapak
tentang kampus yang besar dan terkenal itu. Aku masih ingat kata-katanya
dulu kepadaku: “Le, bila Bapak masih punya kesempatan hidup, Bapak
kepingin kamu nanti bisa kuliah di Madinah University. Karena itu
cita-cita Bapak dari dulu. Mendengar perkataan bapak, aku menangis di
dalam hati dan kadang tertawa. Apakah aku bisa, sedangkan aku hanyalah
pemuda desa yang tak punya apa-apa, hidup dalam kesederhanaan. Tapi apa
salahnya aku mencoba, setelah menyelesaikan sarjana S1 Jurusan Sastra
Arab di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dua tahun yang lalu. Dengan
nilai yang cukup membanggakan, pasti aku bisa.
Beasiswa Madinah University diberikan
hanya untuk 100 orang saja dari ribuan peserta dari berbagai pelosok
negeri ini. Betapa beruntungnya mereka yang bisa mendapatkan beasiswa
yang luar biasa ini. Ujiannya akan dilakukan di Jakarta selama kurang
lebih satu minggu, aku pun meminta do’ restu Ibu untuk mendoakanku agar
bisa mendapatkan beasiswa tersebut.
“Bu, Fatih minta do’anya ya. Semoga anak
ibu ini bisa mendapat beasiswa Madinah University dan Fatih bisa
menginjakkan kaki di Tanah Nabi dan mendapatkan kesuksesan disana,”
kataku lirih sambil menahan air mata yang tak kuasa jatuh.
“Bu selalu mendoakanmu di setiap sholat ibu, semoga mendapat imu yang manfaat dan baroakah, serta kesuksesan selalu menyertaimu, nak,” ucap Ibu dengan air mata mengalir di wajah sayunya.
“Bu selalu mendoakanmu di setiap sholat ibu, semoga mendapat imu yang manfaat dan baroakah, serta kesuksesan selalu menyertaimu, nak,” ucap Ibu dengan air mata mengalir di wajah sayunya.
Waktunya pun tiba, dari pondok
pesantrenku lima orang yang mendapat kesempatan ke Jakarta untuk
mengikuti ujian dan proses selanjutnya yakni tes Bahasa Arab, Inggris,
Umum dan Al-Qur’an. Karena Kyai Ghofur mempercayakan kepada kami
berlima, yakni Pendhowo[6]. Aku, Marwis, Jalal, Hisyam dan Zakaria.
Mengapa kami mengambil nama Pendhowo
untuk kami berlima, karena kami semua menyukai filosofi wayang Jawa dan
beberapa tokoh didalamnya, dan salah satunya adalah lima bersaudara
yakni Pendhowo. Di pondok pesantren kami sering memmbuat pengurus pondok
kesal, kami berlima sering tidak mengikuti ngaji[7], tetapi malah
mencari welut[8] di sawah. Kadang kami berlima pun dipanggil Kyai
Ghofur, gara-gara kami berlima protes kebijakan pondok yang tidak sesuai
dengan keinginan santri-santrinya. Masa lalu itu menggelayut di
benakku, tapi hari ini akau berkompetisi dengan mereka demi mendapatkan
beasiswa Madinah University. Selama seminggu di Jakarta, akhirnya
pengumuman dilayangkan lewat website Kemenag dan juga dihubungi lewat
handphone dan email.
Aku pun browsing di internet, ku lihat
apakah dari deretan nama yang ada tercantum namaku, Muhammad Fatih
al-Ayyubi. Tapi namaku tak tercantum dari ribuan orang yang ada dalam
pengumuman yang luar biasa itu. Aku pun harap-harap cemas apakah aku
lolos atau tidak, empat sahabatku aku telepon semuanya, dari mereka
berempat hanya satu yang lolos yaitu Marwis, anak jenius dari Kota
Batik, Pekalongan sebutanya ketika di pondok dulu.
Aku pun cemas bukan kepalang ketika sahabat karibku bisa lolos mendapat beasiswa bergengsi tersebut, apakah aku tidak lolos,” gumamku dalam hati.
Aku lihat di email belum ada kiriman dari pihak penyelenggara acara tersebut, handphone dari tadi masih ramai pertanyaan dari keluarga di rumah dan sahabat-sahabatku. Tiba-tiba Kyai Ghofur meneleponku dan menanyakan bagaimana lolos atau tidak mendapat beasiswa tersebut.
“Assalamu’alaikum. Bagaimana pengumumannya? Kamu lolos atau tidak, Tih?,” tanya Kyai Ghofur penasaran.
“Masih belum tahu kyai, mungkin sebentar lagi ada pemberitahuan dari pihak panitia, soalnya masih belum dihubungi,” ucapku lirih dengan perasaan cemas.
“Ya sudah kalau begitu, semoga bisa diterima di Madinah University, Tih. Wassalamu’alaikum.
“Amin. Matur nuwun, kyai. Wa’alaikumussalam.
Kyai Ghofur menutup teleponnya. Jantungku pun berdetak tak beraturan, seakan ada asap pekat menutupi paru-paruku, semakin lama aku tak kuas menahan rasa cemas ini. Tiba-tiba HP pun berdering, ku lihat perlahan-lahan, tertulis di pesan masuk:
“ Selamat kepada Saudara Muhammad Fatih al-Ayyubi, Anda mendapatkan kesempatan menerima beasiswa dari Madinah University untuk Program Master (S2). Terimakasih”.
Aku pun cemas bukan kepalang ketika sahabat karibku bisa lolos mendapat beasiswa bergengsi tersebut, apakah aku tidak lolos,” gumamku dalam hati.
Aku lihat di email belum ada kiriman dari pihak penyelenggara acara tersebut, handphone dari tadi masih ramai pertanyaan dari keluarga di rumah dan sahabat-sahabatku. Tiba-tiba Kyai Ghofur meneleponku dan menanyakan bagaimana lolos atau tidak mendapat beasiswa tersebut.
“Assalamu’alaikum. Bagaimana pengumumannya? Kamu lolos atau tidak, Tih?,” tanya Kyai Ghofur penasaran.
“Masih belum tahu kyai, mungkin sebentar lagi ada pemberitahuan dari pihak panitia, soalnya masih belum dihubungi,” ucapku lirih dengan perasaan cemas.
“Ya sudah kalau begitu, semoga bisa diterima di Madinah University, Tih. Wassalamu’alaikum.
“Amin. Matur nuwun, kyai. Wa’alaikumussalam.
Kyai Ghofur menutup teleponnya. Jantungku pun berdetak tak beraturan, seakan ada asap pekat menutupi paru-paruku, semakin lama aku tak kuas menahan rasa cemas ini. Tiba-tiba HP pun berdering, ku lihat perlahan-lahan, tertulis di pesan masuk:
“ Selamat kepada Saudara Muhammad Fatih al-Ayyubi, Anda mendapatkan kesempatan menerima beasiswa dari Madinah University untuk Program Master (S2). Terimakasih”.
Mendapat pesan tersebut, akau pun sujud
syukur kepada Allah dan mengabarkan kabar baik kepada ibu dan keluarga
di rumah serta semua orang terdekatku. Ini merupakan suatu hal yang luar
biasa dalam sejarah hidupku. Subhanallah, Allahu Akbar!!! Engkaulah
Tuhan yang selalu mengerti dan membalas perbuatan hamba-hamba-Nya yang
berusaha dengan sungguh-sungguh. Hari itu aku pun mempersiapkan
barang-barang untuk pulang ke rumah memberitahukan kebahagiaan kepada
ibu dan semua orang terdekatku.
Di perjalanan pulang, aku teringat
kata-kata ayah dulu. Akhirnya anaknya ini, bisa mendapatkan kesempatan
belajar di Tanah Nabi, Madinah. Dengan kecepatan penuh, bus jurusan
Banyuwangi itu membelah lautan pengendara lalu lintas, ketika bus berada
pada posisi miring di sekitar hutan Gumitir. Tak disangka-sangka, ada
truk kontainer dari arah yang sama menyalip bus kami. Tiba-tiba, sopir
kaget karena klakson truk yang memekakkan telinga. Akhirnya, bus kami
oleng dan terperosok di rerimbunan semak belukar. Aku pun terjerembab di
dekat posisi bus yang menabrak beberapa baris pohon yang masih kecil.
Sopir dan semua penumpang tak sadarkan diri. Mulai kejadian itu, aku
tak tahu lagi keadaanku, aku seakan terbang di angkasa dan seolah
pikiranku melayang entah kemana.
Aku tersadar ketika di Rumah Sakit
daerah Jember, aku masih shock atas kejadian semalam. Tapi untung,
barang-barangku masih utuh tanpa hilang sama sekali. Polisi Jember
memberikan semua barang-barang yang aku bawa, termasuk oleh-oleh dari
Jakarta untuk Ibu dan keluargaku. Selama kurang lebih 3 hari, aku
tergolek lemas di atas kasur Rumah Sakit. Untung, aku sebelum pulang ke
rumah tidak mengabarkan kapan aku pulangnya dan Ibu tidak cemas. Malam
itu, aku tiba di desaku dan Alhamdulillah membawa kebahagiaan dan duka.
Tapi taka apa, aku masih diberi hidup untuk kedua kalinya. Karena
menurut penuturan pihak kepolisian, ada kurang lebih 5 orang meninggal,
22 luka berat dan lainnya luka sedang dan ringan. Alhamdulillah, Allah
masih saying kepadaku untuk berbakti kepada orang tuaku.
Setibanya di rumah, Ibu, Budhe dan Pakdhe kaget melihat keadaanku seperti ini. Mereka pun menyambutku dengan isak tangis.
“Le, kok bisa kamu seperti ini? Kamu kok tidak bilang sama Ibu, Budhe atau Pakdhe, kan kami bisa menjemputmu,” ucap Ibu sambil merangkul bahuku yang sedikit nyeri akibat kecelakaan itu.
“Mboten nopo-nopo[9] kok, Bu. Alhamdulillah, Fatih masih sehat dan selamat dari kecelakaan tersebut,” jawabku dengan menahan rasa sakit yang menyerang persendianku.
“Oalah, ono wae ujian kanggo wong apik kaya kamu[10], Tih,” iba Budhe Salma kepadaku.
“Tidak apa-apa Budhe, mungkin ini sudah digariskan takdirnya oleh Allah agar Fatih bisa lebih sabar dan selalu mendekatkan diri kepada-Nya,” ucapku lirih menanggapi perkataan Budhe.
Setibanya di rumah, Ibu, Budhe dan Pakdhe kaget melihat keadaanku seperti ini. Mereka pun menyambutku dengan isak tangis.
“Le, kok bisa kamu seperti ini? Kamu kok tidak bilang sama Ibu, Budhe atau Pakdhe, kan kami bisa menjemputmu,” ucap Ibu sambil merangkul bahuku yang sedikit nyeri akibat kecelakaan itu.
“Mboten nopo-nopo[9] kok, Bu. Alhamdulillah, Fatih masih sehat dan selamat dari kecelakaan tersebut,” jawabku dengan menahan rasa sakit yang menyerang persendianku.
“Oalah, ono wae ujian kanggo wong apik kaya kamu[10], Tih,” iba Budhe Salma kepadaku.
“Tidak apa-apa Budhe, mungkin ini sudah digariskan takdirnya oleh Allah agar Fatih bisa lebih sabar dan selalu mendekatkan diri kepada-Nya,” ucapku lirih menanggapi perkataan Budhe.
Kurang 2 minggu lagi, aku berangkat ke
Jakarta dan langsung berangkat ke kampus cita-cita aku dan bapakku,
Madinah University dan alhamdulillah keadaanku membaik dan sehat total
selama 1 minggu lebih, karena hanya luka-luka ringan yang aku derita.
Hari yang aku nantikan itu pun datang, aku mempersiapkan segala
kebutuhan dan barang-barang yang aku perlukan ketika di Jakarta dan
studi di Madinah nantinya. Aku merangkul Ibu dan mencium keningnya yang
keriput karena umurnya yang tua. Semua orang terdekatku sudah akau
kabari, bahwa hari ini akau akan terbang ke Jakarta dan Madinah,
termasuk Kyai Ghofur, sahabat-sahabatku dan adikku, Azizah, yang ketika
aku telepon ia sedang menjalani MTQ Nasional di Sulawesi, ia begitu
gembira kakaknya bisa kuliah di Madinah. Ia pun bercerita kepadaku
selama di Gontor dan ia berencana kuliah ke Al-Azhar, Kairo untuk
menggapai targetnya dan mimpinya ketika kecil.
Pesawat pun meluncur dengan sigapnya,
memgudara dengan kecepatan yang tak kubayangkan sebelumnya. Maklum, baru
kali ini aku naik pesawat ke luara negeri. Selama 5 hari di Jakarta,
aku dan rombongan mahasiswa yang lain juga ikut menerima materi dan
segala informasi ketika di Madinah nantinya.
Hari keenam, sekitar 100 orang mahasiswa Indonesia yang akan studi di Madinah dan ada juga kurang lebih 300 orang mahasiswa yang akan studi kesana, baik unyuk program S1, Master atau Doktor. Alhamdulillah, seakan tak terasa perjalanan Jakarta-Madinah, karena mungkin begitu girangnya aku bisa melihat pemandangan yang luar biasa dibalik jendela pesawat.
Hari keenam, sekitar 100 orang mahasiswa Indonesia yang akan studi di Madinah dan ada juga kurang lebih 300 orang mahasiswa yang akan studi kesana, baik unyuk program S1, Master atau Doktor. Alhamdulillah, seakan tak terasa perjalanan Jakarta-Madinah, karena mungkin begitu girangnya aku bisa melihat pemandangan yang luar biasa dibalik jendela pesawat.
Sekitar siang, kami beserta rombongan
tiba di Airport Madinah dan kami pun disambut pihak KBRI dan
staf-stafnya dan kami diantar ke hotel untuk melaksanakan prosesi
pembukaan dan silaturahmi serta beberapa informasi ketika
mahasiswa-mahasiswi di Madinah. Besok pagi, kami semua akan diantar ke
universitas tujuan dari pihak Kemenag dan KBRI
Akhirnya, aku bisa melihat panorama kota
Madinah yang luar biasa dan kampus yang aku impikan sejak dulu,
sekarang ada di depan mataku. Sungguh luar biasa, nikmat Allah kepada
hamba-hamba perinduNya. Selama kurang lebih 2 minggu, aku sudah tinggal
di Madinah, tetapi aku belum mengabarkan keadaanku selama menginjakkan
kaki di Madinah. Aku pun menelepon Ibu di rumah, tetapi tidak pernah
nyambung.Ah, mungkin aku harus mengirim surat saja kepada Ibu, aku pun
menulis sepucuk surat tentang keadaanku dan keadaan di Kota Nabi,
Madinah. Tak lama, 3 minggu surat jawaban dari Ibu datang, aku baca
pelan-pelan sambil membayangkan wajah beliau dan salah satu paragraf
dalam suratnya, beliau menulis:
“ Fatih, Ibu merindukanmu, Ibu berharap kamu senang dan sehat disana. Jaga dirimu di Madinah, kadang Ibu menangis ketika berdo’a. Ibu teringat kata-kata ayahmu bahwa anaknya kelak akan menginjakkan di kota para Nabi, yakni Madinah. Tapi, Ibu juga sedih karena sekarang usia ibu sudah tua, Ibu rindu untuk menimang cucu dari pernikahanmu kelak, Le. Ya ibu cuma mengingatkan saja kepadamu, Ibu selalu mendoakanmu…”.
Aku pun trenyuh sekaligus terkejut atas jawaban surat dari Ibu, tapi aku harus cepat menyelesaikan studi di Madinah dan aku akan meminang gadis jodohku kelak. Tiba-tiba aku teringat anak Kyai Ghofur, Syifa’. Ia adalah anak-anak kesayangan Kyai Ghofur, aku juga sudah mengenalnya. Meskipun, tidak mengenal secara mendalam. Andai saja, aku bisa memperistri Syifa’, anak kyai dan anak emas Kyai Ghofur. Subhanallah, sungguh hal yang luar biasa dan beruntung orang yang bisa meminangnya sekaligus memperistrinya.
“ Fatih, Ibu merindukanmu, Ibu berharap kamu senang dan sehat disana. Jaga dirimu di Madinah, kadang Ibu menangis ketika berdo’a. Ibu teringat kata-kata ayahmu bahwa anaknya kelak akan menginjakkan di kota para Nabi, yakni Madinah. Tapi, Ibu juga sedih karena sekarang usia ibu sudah tua, Ibu rindu untuk menimang cucu dari pernikahanmu kelak, Le. Ya ibu cuma mengingatkan saja kepadamu, Ibu selalu mendoakanmu…”.
Aku pun trenyuh sekaligus terkejut atas jawaban surat dari Ibu, tapi aku harus cepat menyelesaikan studi di Madinah dan aku akan meminang gadis jodohku kelak. Tiba-tiba aku teringat anak Kyai Ghofur, Syifa’. Ia adalah anak-anak kesayangan Kyai Ghofur, aku juga sudah mengenalnya. Meskipun, tidak mengenal secara mendalam. Andai saja, aku bisa memperistri Syifa’, anak kyai dan anak emas Kyai Ghofur. Subhanallah, sungguh hal yang luar biasa dan beruntung orang yang bisa meminangnya sekaligus memperistrinya.
Selama di Madinah, aku menjalani
aktivitas keseharian layaknya mahasiswa lainya. Tapi, waktu luangku aku
habiskan untuk belajar kepada dosen-dosenku dari Madinah University
maupun dosen-dosen dari universitas lainnya dan menulis jurnal ilmiah
serta buku-buku karya sastra ataupun atikel, essay dan opini untuk
mengasah skill-ku ketika dulu aktif di dunia tulis menulis.
Sudah setahun lebih, aku tinggal di Madinah, aku harus mempunyai target keman setelah aku lulus dari Madinah University, aku pun melayangkan surat kepada Kyai Ghofur untuk meminag anak beliau Syifa’, lengkapnya Syifa’ Fithri Az-Zahra. Aku tulis apa maksud suratku dan semoga Kyai Ghofur menerima suratku dan pinanganku kepada anaknya.
Sudah setahun lebih, aku tinggal di Madinah, aku harus mempunyai target keman setelah aku lulus dari Madinah University, aku pun melayangkan surat kepada Kyai Ghofur untuk meminag anak beliau Syifa’, lengkapnya Syifa’ Fithri Az-Zahra. Aku tulis apa maksud suratku dan semoga Kyai Ghofur menerima suratku dan pinanganku kepada anaknya.
Sebulan kemudian, surat jawaban dari
Kyai Ghofur aku terima dengan perasaan gugup dan takut. Semoga beliau
menerima permohonan pinanganku. Aku buka amplop putih bertuliskan pena
khas tulisan Kyai Ghofur, aku ambil sepucuk surat dan aku baca dengan
perasaan yang tak menentu.
Dalam suratnya beliau mengatakan:
Dalam suratnya beliau mengatakan:
”Alhamdulillah, kamu masih sempat
mengabarkan keadaanmu disana dan ma’af aku tidak sempat meneleponmu,
setelah dulu kamu meminta do’a dan izin untuk ke Madinah. Aku sudah baca
suratmu dengan baik, aku tahu maksud suratmu. Setelah mendapat surat
darimu, aku langsung menelepon Syifa’ di Al-Azhar, ia bersedia dan
menerima pinanganmu. Tetapi, dia masih sibuk mempersiapkan tes
skripsinya. Jadi, ia masih konsentrasi kepada skripsinya dulu. Dia juga
menanyakan kapan kita bisa bertemu dan merencanakan acara pernikahannya.
Itu saja balasan surat dariku, ma’af bila ada kata-kata yang salah dari
tulisan dan perkataanku. Wassalamu’alaikum warahmatullah”.
Hatiku terasa seperti di masuki angin
dari syurga, begitu tenang dan seakan ini hal yang tak mungkin. Aku pun
menelepon Ibu dan ia pun merespon bahagia atas diterimanya pinanganku
kepada Syifa’. Ibu menyarankanku untuk mengirim surat kepada Syifa’ di
Mesir, untuk memantapakan pinanganku kepadanya. Tanpa pikir panjang, aku
tulis rangkaian kata-kata penuh dengan bahasa sastra yang aku punya, ku
goreskan pena terbaikku untuk mengungkapkan isi cinta yang membuncah
dalam hati.
Sudah sebulan lamanya, surat dari Syifa’
belum kunjung datang. Aku pun risau tak menentu, menunggu balasan surat
dari bidadari syurga, calon pendamping bahtera cinta hidupku kelak.
Pagi itu, aku mendapat surat yang diantar oleh pegawai pos Kantor Pos
Madinah. Aku merasakan getaran yang tak biasanya ketika membuka suratnya
dan ia pun menulis sastra indah dari pujangga Mesir yang masyhur, ia
pun menerima pinanganku kepadanya.
Kurang 2 bulan lagi, aku akan
meninggalkan Kota Nabi. Aku akan lulus dan menikahi wanita sholihah,
Syifa’, gadis lulusan sarjana Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Hal
yang membahagiakan pun tiba dan setelah kurang lebih 3 minggu keluagaku
dan Syifa’ mempersiapkan acara pernikahan. Kami melangsungkan acara
prosesi pernikahan di Masjid Pondok Darussalam, dengan dihadiri
keluargaku, sahabat-sahabatku, para kyai, keluarga Syifa’ dan segenap
undangan serta ribuan santri yang datang menyaksikan acara pernikahan
antara Muhammad Fatih al-Ayyubi dengan Syifa’ Fithri Az-Zahra. Acara
pernikahan ini adalah acara yang paling besar yang pernah ku temui di
pondok tercintaku ini.
Aku pun menitihkan air mata bahagia bisa
duduk bahagia di pelaminan bersama orang yang aku cintai, istri
tercintaku, ibu dari anak-anakku kelak, dia adalah anak kyai terbaikku,
Syifa’ Fithri Az-Zahra. Aku lihat dia juga meneteskan air mata di pipi
cantiknya, dan terlihat Ibu juga menangis melihat anaknya bisa menikah.
Setelah acara yang dihelat selama 3 hari tersebut, aku dan Syifa’
kelelahan. Kami pun beristirahat total dan memadu kasih di dalam naungan
cinta-Nya, di malam pertama seakan aku melihat bidadari yang turun dari
syurga menebarkan cinta yang indah dan ikhlas. Kami pun hidup bahagia
dalam naungan cita dan penjagaan dari-Nya, memadu biduk rumah tangga
dengan memadukan kasih sayang yang tulus dan cinta yang suci untuk
membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warohmah.
Kami pun dianugerahi anak yang cantik
jelita, ku beri nama Fatimah Nur Hafidhoh, dengan mengharap kelak ia
bisa menjadi hafidhoh dan menjadi anak yang sholihah, bermanfaat bagi
keluarganya, agamanya dan negaranya. Ibu pun senang dan gembira menimang
cucunya yang ia damba-dambakan. Begitu pula Kyai Ghofur dan keluarga
serta sahabat dan orang terdekatku, memberikan selamat kepadaku atas
kelahiran Fatimah. Ketika Surat Rindu dari Kota Nabi mengisahkan
syair-syair indah dengan bahasa yang syahdu, mendendangkan kata-kata
cinta antara sepasang kekasih yang lama bertemu dalam naungan asma-Nya
dan menghirup angin cinta, semerbak wangi bagai bunga mawar ranum dari
taman-taman syurga.________________________________________
[1]Sebutan paman dan bibi untuk orang Jawa.
[2] Senang dengan tempat yang ditempati.
[3] Ndredeg, artinya deg-degan atau cemas.
[4] Ya, mas
[5] Semoga sukses, adikku. Barangsiapa bersungguh-sungguh, pasti ia berhasil.
[6] Pendhowo atau juga sering disebut Pandhawa.
[7] Ngaji artinya mempelajari ilmu agama Islam.
[8] Welut dalam bahasa Jawa, Belut dalam bahasa Indonesia.
[9] Mboten nopo-nopo artinya tidak apa-apa.
[10] Perkataan iba atas musibah dalam bahasa Jawa.
Firmanda Taufiq, Mahasiswa Fakultas Humaniora dan Budaya, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab angkatan 2011.
No comments:
Post a Comment