Perjuangan Samir Siang Itu
Telah berulang-ulang. Iya,
berulang-ulang. Samir menjumputi kotak-kotak balok tanah yang
memadat-dingin di hamparan berpetak tanah yang menjadi ubun-ubun
jemurannya. Kotak-kotak balok tanah itu adalah bakal calon bata merah,
yang kan menemui merahnya warna usai pembakaran nanti. Samir ditugaskan
oleh komandan korps keluarga, ayahnya, untuk merapi-cantikkan
kotak-kotak balok tanah tersebut.
Samir
yang siang ini tak rapi, Samir yang siang itu rambutnya tak klimis
cantik, mendulang tugas mulia tersebut demi sesuatu yang akan menjadi
bagian sejarah hidupnya, kelak. Demi tercatat dalam daftar siswa sebuah
RSBI di kotanya, Samir siang ini harus lebih gesit ketimbang Burung
Jalak, Samir lebih perkasa ketimbang nDemo, sapi kesayangannya.
Kotak-kotak balok tanah ini harus genap sepuluh ribu untuk rapi-cantik
sebelum dibakar senja lusa.
Beberapa orang yang lewat di samping
kebun Samirr melambai. Bersama dengan melebarnya senyum, beberapa jempol
hitam berbau tanah mengacung.
“Nah, ini baru anaknya bapaknya!!” seloroh salah satu yang bergigi amburadul disambut tiga-empat cuwilan tawa serta anggukan multikultural.
“Nah, ini baru anaknya bapaknya!!” seloroh salah satu yang bergigi amburadul disambut tiga-empat cuwilan tawa serta anggukan multikultural.
Samir memisahkan kedua bibirnya menjadi tawa lebar, tanpa dendam.
“Baru pulang, Lik?!” balasnya menyapa dengan tetap menggerakkan bilah pisau di sisi-sisi tubuh bakal calon bata merah.
“Baru pulang, Lik?!” balasnya menyapa dengan tetap menggerakkan bilah pisau di sisi-sisi tubuh bakal calon bata merah.
Sekali lagi, karnaval anggukan
multikultural memenuhi jalan kecil di samping kebun Samir.
Anggukan-anggukan yang membawa ribuan makna pesan. Anggukan tetangga
yang menghargai pencapaian tetangganya. Anggukan penuh welas-asih orang
tua pada pancapaian orang muda seperti Samir. Hingga anggukan yang
menyimpan pesan sederhana betapa kemanusiaan terhadir dalam pesan
anggukan.
Ketika perutnya memberikan peringatan
suara, orang-orang yang menjadi empunya anggukan multikultural tersebut
telah hilang dalam ruang pandang Samir. Bayang tubuh mereka ditelah
lekukan dhapuran bambu apus di sudut kebunnya. Perut dan hilangnya
bayangan mereka sama-sama berkata; “Hari sudah siang, Samir.”
Namun, kata-kata itu seperti menghantam
dinding batu ciptaan Samir. Bayangan dirinya bercelana abu-abu dengan
badge seragam sekolah bergengsi di kotanya melahirkan dinding batu yang
tak mudah diroboh-hempaskan, bahkan oleh Densus 88. Besar hasrat Samir
untuk menggenapkan kerapian-kecantikan sepuluh ribu kotak-kotak balok
tanah tersebut.
Andaikata benar senja lusa bisa dibakar,
besar kemungkinan sepuluh ribu bata merah tersebut akan habis terjual.
Mengingat, telah ada yang memesannya.
Di antara lapar dan lelahnya, bayangan
kawan-kawan sekolahnya dulu melintas. Mono yang berperut buncit, Rojak
yang manis namun berlengan buah Pepaya, Pakdhe yang mengalami
pengubanan dini, Rina juga yang tidak dapat diwakilkan pada kepingan
sajak atau penggalan bulan. Hihihihihi, dalam hati Samir tersenyum
sendiri.
Kemana teman-teman itu akan melanjutkan sekolah?
Pesta perpisahan juga agenda
mendharmawisatakan bapak-ibu gurunya telah seminggu berlalu, bulan depan
Samir akan menanggalkan celana pendek biru demi celana panjang abu-abu
yang membuatnya nampak lebih dewasa. Bulan depan, Samir akan tampak
lebih dewasa. Samir nggak akan malu-malu lagi mengajak bicara dari hati
ke hati dengan teman-teman perempuannya.
Ah, andai ketemu lagi Rojak yang
berlengan buah Pepaya atau Rini yang tidak dapat diwakilkan pada
kepingan sajak atau penggalan bulan, Samir akan lebih pede untuk
mengajaknya jalan-jalan, atau mencubit hidungnya saat bercanda.
“Aaaaaacccccccccchhhh.........”
“Aaaaaacccccccccchhhh.........”
Teriakan Samir membongkar keheningan
kebun belakang itu. Tumpukan kotak-kotak balok tanah yang telah
dirapi-cantikkan hanya terdiam. Sedang kotak-kota balok tanah yang
terhampar belum tersentuh hanya mematung. Bibir Samir tercekat menahan
sakit. Darah mengalir di antara alam angani dan realiti.
“Ada apa, Mir??!” suara Bapaknya yang membersihkan kandang nDemo terdengar keras.
“Ada apa, Mir??!” suara Bapaknya yang membersihkan kandang nDemo terdengar keras.
Samirr tidak menyahut. Dengan langkah
tergesa, dirinya segera lari ke dapur mencari minyak tanah dan potongan
kain perca yang telah usang. Tangan kirinya dipegang erat. Tak ada jerit
kesakitan lebih berkumandang. Jari tangannya yang teriris pisau
perapi-cantik kotak-kotak balok tanah menjadi pembuyar angannya tentang
sekolah elit di kotanya, tentang celana abu-abu, dan tentang kedewasaan
mencubit hidung Rojak yang berlengan buah Pepaya atau Rini yang tidak
dapat diwakilkan pada kepingan sajak atau penggalan bulan.
Suara bapak dan emaknya yang ribut menasehati juga marah-marah menjadi lagu penutup perjuangan Samirr, hari itu.
*********
Jombang, 23 Juni 2011 17:24
Nurul Jamilah*********
Jombang, 23 Juni 2011 17:24
Mahasiswi BSA semester VI
No comments:
Post a Comment