Friday, 31 October 2014

karya sastra_Perjuangan Samir Siang Itu

Perjuangan Samir Siang Itu

Telah berulang-ulang. Iya, berulang-ulang. Samir menjumputi kotak-kotak balok tanah yang memadat-dingin di hamparan berpetak tanah yang menjadi ubun-ubun jemurannya. Kotak-kotak balok tanah itu adalah bakal calon bata merah, yang kan menemui merahnya warna usai pembakaran nanti. Samir  ditugaskan oleh komandan korps keluarga, ayahnya, untuk merapi-cantikkan kotak-kotak balok tanah tersebut.
Samir yang siang ini tak rapi, Samir yang siang itu rambutnya tak klimis cantik, mendulang tugas mulia tersebut demi sesuatu yang akan menjadi bagian sejarah hidupnya, kelak. Demi tercatat dalam daftar siswa sebuah RSBI di kotanya, Samir siang ini harus lebih gesit ketimbang Burung Jalak, Samir lebih perkasa ketimbang nDemo, sapi kesayangannya. Kotak-kotak balok tanah ini harus genap sepuluh ribu untuk rapi-cantik sebelum dibakar senja lusa.
Beberapa orang yang lewat di samping kebun Samirr melambai. Bersama dengan melebarnya senyum, beberapa jempol hitam berbau tanah mengacung.
“Nah, ini baru anaknya bapaknya!!” seloroh salah satu yang bergigi amburadul disambut tiga-empat cuwilan tawa serta anggukan multikultural.
Samir memisahkan kedua bibirnya menjadi tawa lebar, tanpa dendam.
“Baru pulang, Lik?!” balasnya menyapa dengan tetap menggerakkan bilah pisau di sisi-sisi tubuh bakal calon bata merah.
Sekali lagi, karnaval anggukan multikultural memenuhi jalan kecil di samping kebun Samir. Anggukan-anggukan yang membawa ribuan makna pesan. Anggukan tetangga yang menghargai pencapaian tetangganya. Anggukan penuh welas-asih orang tua pada pancapaian orang muda seperti Samir. Hingga anggukan yang menyimpan pesan sederhana betapa kemanusiaan terhadir dalam pesan anggukan.
Ketika perutnya memberikan peringatan suara, orang-orang yang menjadi empunya anggukan multikultural tersebut telah hilang dalam ruang pandang Samir. Bayang tubuh mereka ditelah lekukan dhapuran bambu apus di sudut kebunnya. Perut dan hilangnya bayangan mereka sama-sama berkata; “Hari sudah siang, Samir.”
Namun, kata-kata itu seperti menghantam dinding batu ciptaan Samir. Bayangan dirinya bercelana abu-abu dengan badge seragam sekolah bergengsi di kotanya melahirkan dinding batu yang tak mudah diroboh-hempaskan, bahkan oleh Densus 88. Besar hasrat Samir untuk menggenapkan kerapian-kecantikan sepuluh ribu kotak-kotak balok tanah tersebut.
Andaikata benar senja lusa bisa dibakar, besar kemungkinan sepuluh ribu bata merah tersebut akan habis terjual. Mengingat, telah ada yang memesannya.
Di antara lapar dan lelahnya, bayangan kawan-kawan sekolahnya dulu melintas. Mono yang berperut buncit, Rojak yang manis namun  berlengan buah Pepaya, Pakdhe yang mengalami pengubanan dini, Rina juga  yang tidak dapat diwakilkan pada kepingan sajak atau penggalan bulan. Hihihihihi, dalam hati Samir tersenyum sendiri.
Kemana teman-teman itu akan melanjutkan sekolah?
Pesta perpisahan juga agenda mendharmawisatakan bapak-ibu gurunya telah seminggu berlalu, bulan depan Samir akan menanggalkan celana pendek biru demi celana panjang abu-abu yang membuatnya nampak lebih dewasa. Bulan depan, Samir akan tampak lebih dewasa. Samir nggak akan malu-malu lagi mengajak bicara dari hati ke hati dengan teman-teman perempuannya.
Ah, andai ketemu lagi Rojak yang berlengan buah Pepaya atau Rini yang tidak dapat diwakilkan pada kepingan sajak atau penggalan bulan, Samir akan lebih pede untuk mengajaknya jalan-jalan, atau mencubit hidungnya saat bercanda.
“Aaaaaacccccccccchhhh.........”
Teriakan Samir membongkar keheningan kebun belakang itu. Tumpukan kotak-kotak balok tanah yang telah dirapi-cantikkan hanya terdiam. Sedang kotak-kota balok tanah yang terhampar belum tersentuh hanya mematung. Bibir Samir tercekat menahan sakit. Darah mengalir di antara alam angani dan realiti.
“Ada apa, Mir??!” suara Bapaknya yang membersihkan kandang nDemo terdengar keras.
Samirr tidak menyahut. Dengan langkah tergesa, dirinya segera lari ke dapur mencari minyak tanah dan potongan kain perca yang telah usang. Tangan kirinya dipegang erat. Tak ada jerit kesakitan lebih berkumandang. Jari tangannya yang teriris pisau perapi-cantik kotak-kotak balok tanah menjadi pembuyar angannya tentang sekolah elit di kotanya, tentang celana abu-abu, dan tentang kedewasaan mencubit hidung Rojak yang berlengan buah Pepaya atau Rini yang tidak dapat diwakilkan pada kepingan sajak atau penggalan bulan.
Suara bapak dan emaknya yang ribut menasehati juga marah-marah menjadi lagu penutup perjuangan Samirr, hari itu.

*********
Jombang, 23 Juni 2011 17:24
Nurul Jamilah
Mahasiswi BSA semester VI

No comments: