Friday, 31 October 2014

karya sastra_Harga Sesuap Nasi

Harga Sesuap Nasi

Oleh: Ahmad Shofi’i, SS.
Dengan sabar, Saudah membersihkan tubuhku yang kudap dengan air kencingku. Ia melap seluruh bagian tubuhku dengan handuk yang sudah dicelupkan dalam air hangat dengan hati-hati. Ku pandangi wajahnya, “Maafkan aku Saudah, aku sudah tidak bisa membantumu, malah menjadi beban buatmu. Mungkin jika tidak ada aku, seharusnya kau sudah bisa tidur lelap bersama anak-anak.” Lirihku.
Saudah berhenti menyeka kakiku, saat mendengar perkataanku. Kini, ia ganti memandangku. Pandangan yang sama seperti dulu, pandangan seorang istri yang menyejukkan hati. Kudapati genangan kecil air hendak meluncur dari pelupuk matanya.
“Mas…,” ia menggenggam erat tanganku dan diciumnya berkali-kali. Suara sesenggukan mengiringi sela-sela tangisnya. Dibasahinya tanganku dengan air mata. Dengan serta merta kupeluk Saudah erat-erat. Karena hanya itu yang aku bisa. Setengah badanku lumpuh, tidak bisa digerakkan akibat kecelakaan setahun lalu. Waktu itu aku pulang dari kerja, saat aku mengendarai sepeda motor, tiba-tiba dari arah depan ada dua buah mobil yang melintas dihadapanku. Satu truk, dan satu mobil pik up yang hendak menyalip truk itu, aku yang sudah terlanjur berada di sebelah truk tidak bisa berbuat apa-apa. Hendak membelokkan setirku kearah kiri sudah tidak mungkin. Karena disamping jalan itu ada jurang yang dalam. Akhirnya aku pasrah, dan Brakkk!!! Pik up itu menabrak motorku dan melindas sebagian tubuhku hingga gepeng. Tulang-tulangku remuk, dan setengah badanku lumpuh.
“Kenapa Mas Rusdi berkata seperti itu lagi. Aku yang seharusnya bersyukur karena masih bisa merawat Mas. Hidup bersama Mas sudah menjadi pilihan Saudah, apapun resikonya.”
Aku mengangkat wajahnya, kuhapus air mata yang membasahi pipinya. Meski ku lihat pancaran ketabahan di wajahnya, tapi ia tidak bisa menyembunyikan goresan keletihan dan kesedihan itu dariku.
Aku tahu Saudah, kau tidak akan pernah mengeluh. Tapi tetap saja diri ini merasa bersalah. Aku yang seharusnya menafkahimu dan anak-anak. Tapi kenyataannya malah kau dan anak-anak yang menopang hidupku. Tak jarang kau dan anak-anak bersusah payah mengumpulkankan uang hanya untuk membeli obat-obatku. Kerap kali anak-anak tidak pergi sekolah karena harus bekerja dan menungguiku. Bahkan tidur dengan perut yang lapar sudah menjadi pemandangan yang biasa bagiku. Sedagkan aku, apa yang aku bisa? Aku hanya bisa memandang penderitaan kalian tanpa sanggup berbuat apa-apa. Aku bagaikan bayi raksasa yang selalu merepotkan!
# # #
"Udin, kau tidak berangkat sekolah Nak?" Tanya Saudah pada putranya yang masih duduk di bangku sekolah kelas 5 SD itu.
"Tidak Mak, Udin mau menjaga bapak saja di rumah, lagi pula hari ini pakaian yang harus Udin cuci lumayan banyak." Udin menunjuk beberapa buntelan kresek yang cukup besar, berisi pakaian tetangga-tetangganya yang mencucikan baju padanya.
Begitulah keseharian pekerjaan Udin sekarang. Pekerjaan mencucikan baju tetangga-tetangganya itu ia jalani sejak Rusdi ayahnya mengalami kelumpuhan separuh badan. Ia memilih pekerjaan ini karena disamping ia mendapatkan uang, ia juga bisa tetap di rumah, apabila sewaktu-waktu ayahnya membutuhkan bantuannya. Tetangga-tetangga Udin senang mencucikan baju padanya, karena disamping hasil cuciannya yang cukup bersih harganyapun lebih murah dari harga Laundry. Hal itu sengaja Udin lakukan agar tetangga-tetangganya lebih tertarik untuk mencucikan baju pada dirinya dari pada menggunakan jasa Laundry. Akan tetapi pekerjaan itu banyak menyita waktu sekolahnya, ia jadi sering tidak masuk sekolah sehingga banyak pelajaran yang tertinggal.
“Tapi Nak, kau juga harus sekolah…,” Saudah membelai kepala putranya itu dengan lembut
“Mak, bagaimana…bagaimana kalau Udin berhenti sekolah saja?”
“Apa? Tidak Din, kau harus sekolah!” Jawab Saudah tegas, “jangan sampai kau seperti Emak yang tidak bisa apa-apa ini, Emak tidak mau melihatmu jadi pemulung seperti Emak!”
“Tapi Mak, siapa yang akan menjaga Bapak? Siapa yang akan membayar uang sekolah Upik? Siapa yang akan membayar Uang berobat Bapak? Penghasilan emak sendiri belum cukup untuk semua itu, makannya Udin ingin membantu meringankan beban Emak, biarlah adik-adik saja yang sekolah. Sudah bisa membaca dan berhitung, itu sudah cukup bagi Udin.”
“Udin…,” Saudah memandang wajah putra pertamanya itu dengan pandangan memelas, dipeluknya putranya itu dan dihujaninya dengan linangan air mata.
“Udin, Udin, Udin kau kenapa Nak!” Teriak Saudah saat menemukan tubuh Udin tiba-tiba sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tubuhnya lemas dan wajahnya pucat.
# # #
Keadaan keluarga Rusdi sekarang sangat memprihatinkan. Jika dulu meski terlihat kekurangan, tapi paling tidak mereka dapat makan, meski sehari sekali. Tapi sekarang, sering kali selama 3 hari tidak ada sesuap makananpun yang singgah di mulut mereka, sedang Saudah sendiri pun sekarang tidak bekerja karena harus merawat 2 orang yang sakit, suaminya Rusdi dan Udin putranya. Yah…anak itu jatuh sakit karena tubuhnya yang kecil tidak kuat melakukan pekerjaan yang seberat itu.
Yang paling tertekan dengan kondisi yang seperti itu adalah Rusdi, karena ia merasa sebagai kepala keluarga tidak dapat berbuat apa-apa bahkan ia merasa keberadaannya hanya menjadi beban bagi istri dan anak-anaknya.
“He…he…he…,” Suara tangis Upik terdengar cukup keras
“Ada apa Upik?” tanya Saudah sembari menghampiri putrinya
“Mak…perut Upik sakit Mak…sakiit sekali… he…he…he…,” Saudah tidak dapat berkata apa-apa lagi, ia peluk anak perempuannya yang masih berusia 7 tahun itu. Ia tahu persis kenapa putrinya kesakitan, karena 3 hari sudah, tidak ada sesuap makanan pun yang singgah di mulut Upik
“Sabar ya nak, Emak tadi lagi masak air, sebentar lagi juga matang.” Hibur Saudah seraya mengelus-elus perut putrinya yang nampak kempeng sekali
“Air ya Mak? Tapi Upik tidak haus Mak…Upik lapar…upik mau makan…”
Saudah hanya diam mendengar rintihan Upik, sementara disampingnya terbaring Udin dengan kondisi yang semakin hari semakin lemah, wajahnya pucat dan matanya selalu terpejam, sepertinya ia sedang menahan rasa sakit dan lapar yang amat sangat. Udin, jangankan seteguk obat, sesuap nasi pun jarang ia rasakan. Dan sebagaimana Upik, Udin pun sudah 3 hari tidak makan.
Cukup sudah semua ini! Aku harus melakukan sesuatu untuk keluargaku! Hati Rusdi mulai berontak. Lama…ia termenung, lalu dipanggillah Saudah dan Upik putrinya.
“Saudah, kenapa kau hanya berdiri di ambang pintu begitu!” Tegur Rusdi saat melihat istrinya hanya diam terpaku di pintu masuk kamarnya, sementara Upik masih dalam gendongannya. “kemarilah istriku, aku mau mengatakan sesuatu,” panggil Rusdi diiringi seutas senyum di bibirnya.
Saudah mendekat. Ditatapnya istrinya itu dengan sayang.
“Sini, taruhlah Upik di dekatku, aku ingin mengatakan sesuatu padanya.”
Dilepaskannya Upik dari gendongannya, dan didudukkannya dekat Rusdi yang tengah duduk di atas tempat tidurnya dengan bersandarkan bantal. Anak itu terlihat sangat lemas, tapi ia masih cukup kuat untuk memeluk ayahnya.
“Upik…,” Sapa Rusdi sembari mengelus-elus punggung anaknya yang paling kecil itu. Upik hanya diam, dengan mata terpejam. Tapi pupil matanya yang bergerak-gerak menunjukkan anak itu masih terjaga.
“Maafkan Bapak ya, sudah lama…Bapak tidak dapat membelikan mainan untuk Upik, baju baru untuk Upik, bahkan membelikan makanan yang Upik suka saja Bapak tidak bisa. Maafkan Bapak ya Upik…”
Upik mengangguk, meskipun sangat pelan.
Dipegangnya wajah Upik dengan kedua tangannya, dan dipandangnya wajah kecil itu lekat-lekat, perlahan mata kecil itu terbuka menatap Rusdi.
“Upik, Upik lapar sekali ya?” tanya Rusdi
Upik mengangguk.
“Upik, Bapak berjanji besok Bapak akan membawakan Upik nasi yang banyaaaak dan membelikan Upik baju baru, Upik senang?”
Terlihat mata Upik berbinar-binar, seutas senyum kecil menghiasi bibirnya yang mungil. Upik mengangguk semangat, dan dipeluknya Rusdi erat-erat. Rusdi tersenyum melihat putri kecilnya bahagia, diciumnya putri kecilnya itu dengan sayang dan dipeluknya erat-erat.
“Upik, Bapak sangat menyayangi Upik, Bapak saaangat menyayangi Upik,” Ucap Rusdi berkali-kali, setetes air mata jatuh menempa rambut Upik. “Sekarang Upik tidur ya, jangan menagis lagi, karena besok pagi-pagi akan tersedia makanan yang enak untuk Upik.” Lanjut Rusdi
Upik mengangguk. Diberikannya Upik pada Saudah istrinya.
“Saudah ajaklah Upik tidur, dan tolong bawalah Udin kesini.” Pinta Rusdi
Saudah mengangguk. Diambilnya Upik kecil itu dari pelukan Bapaknya, dan dibawanya ke kamar sebelah. Tak lama kemudian datang Udin dengan wajah yang pucat dan tubuh yang lemas. Ia berjalan dengan bantuan Saudah. Udin mendekat.
“Sini Nak, duduklah dekat Bapak.”
Udin berbaring dekat Rusdi. Rusdi memeluk tubuh anaknya itu dengan sayang. Berkali-kali diusap kepala Udin sambil berucap, “Naak…maafkan Bapak, selama ini Bapak tidak dapat memberikan apa-apa untukmu. Bapak mengerti, kau sebenarnya ingin sekali bersekolah, tapi karena Bapak engkau malah mengorbankan sekolahmu, karena Bapak juga engkau jadi sakit begini. Kau terlalu banyak menguras tenagamu Nak. Dan saat sakit begini pun, Bapak tetap tidak dapat melakukan apa-apa untukmu, maafkan Bapak Naak…maafkan Bapak. Sudah…sudah cukup pengorbananmu untuk Bapak, Bapak tidak mau lagi melihatmu menderita.” Dipeluknya tubuh Udin erat-erat, diciumnya berkali-kali kepala putra pertamanya itu, dan dihujaninya dengan air mata.
Udin membalas pelukan Bapaknya, setetes air mata meluncur membasasahi pipinya. Berkali-kali ia menggelengkan kepala, ia ingiin sekali mengatakan, tidak Bapak…tidak. Bapak tidak salah…Udin tahu, Bapak tidak dapat melakukan semua itu karena Bapak sakit. Udin senang bisa membantu Bapak…sungguh Udin senang…tapi kondisi tubuhnya yang terlalu lemas, memaksanya untuk diam.
“Udin, kau harus sembuh Nak. Besok Bapak akan membelikanmu obat, dan kau harus sembuh.” Rusdi memegang wajah Udin dan menatapnya lekat-lekat, seakan ada beribu harapan yang ia titipkan pada putra pertamanya itu. “Berjanjilah pada Bapak, kau akan sembuh. Karena kau nanti yang akan menjaga Emak dan adikmu Upik, ya Udin?”
Udin menatap wajah Bapaknya. Ia mengangguk.
“Sekarang tidurlah Nak, besok Bapak akan membelikan obat untuk mu.”
Udin mengangguk
“Saudah….” Rusdi berusaha meraih tangan Saudah
Dengan segera Saudah memegang tangan suaminya, “Ya, Mas?”
Rusdi memandang istrinya dengan perasaan sayang, perasaan yang tidak berubah sedikitpun seperti kali pertama dia mengenal perempuan itu. Malah semakin hari semakin bertambah-tambah saja rasa sayangnya pada wanita yang begitu tabah dan tegar di depannya itu.
“Malam ini, kau temani anak-anak saja ya. Kasihan mereka…”
“Mas, Mas nggak kenapa-napa kan?” Saudah terlihat khawatir
“Kau ini kenapa Saudah, aku tidak apa-apa, nanti kalau aku butuh sesuatu aku akan memanggilmu.” Ucap Rusdi dengan seutas senyum di bibirnya
Saudah masih tetap tidak bergeming dari tempat duduknya, kekhawatiran nampak menyelimuti wajahnya.
“Ajaklah Udin tidur, kasihan dia sedang sakit. Sekarang anak-anak lebih membutuhkanmu dari pada aku.” Rusdi meyakinkan
Saudah mengangguk. Kemudian ia mengajak putranya tidur.
# # #
Kemilau sinar matahari pagi yang menyerobot masuk lewat celah-celah dinding bambu rumah Saudah cukup menyilaukan matanya yang masih terpejam
“Masya Allah, aku kesiangan!” Saudah terperanjat dari tidurnya, ia melihat kedua anaknya masih tertidur pulas. Saudah segera keluar kamar, ketika hendak beranjak ke kamar mandi ia hentikan langkahnya sebentar, dan menoleh ke kamar sebelah, kamar tempat suaminya tidur.
“Mas Rusdi sudah bangun belum ya? Ah, sebaiknya aku lihat dulu.” Batinnya
Dibukanya pintu kamar Rusdi perlahan, ia sangat heran saat melihat suaminya tidak berada di tempat tidurnya? Kemanakah suaminya pergi? Mungkinkah ia akan bekerja untuk mendapatkan uang dan membelikan makanan anak-anak seperti janjinya tadi malam? Tapi bukankah ia tidak dapat berjalan, bahkan menggerakkan separuh badannya saja kesulitan? Rasa penasaran dan kekhawatiran terus menyelimuti benak Saudah.
Saat ia membuka pintu kamar lebih lebar lagi, tiba-tiba… ”Maaaasss! apa yang telah kau lakukan Maaasss, Maaasss…!!” Saudah menjerit sejadi-jadinya saat menemukan tubuh suaminya yang sudah tak bernyawa tergantung di bawah atap kamarnya. Secarik kertas tergeletak di meja.
Tak lama kemudian, para tetangga berdatangan untuk melayat, mereka membawa beras dan sejumlah uang sebagai tanda bela sungkawan.
# # #
Saudah, istriku sayang… janganlah kau menyesali kepergianku. Keberadaanku selama ini hanya menambah beban bagi dirimu dan anak-anak. Aku sudah tidak dapat lagi melakukan tugasku sebagai suami dan bapak yang baik. Batinku sungguh tersiksa melihat kalian menderita di lilit kemiskinan dan kelaparan. Maka dengan cara ini, aku harap dapat meringankan sedikit bebanmu, dan memenuhi janjiku pada Upik dan Udin tadi malam. Saudah, sungguh aku mencintaimu dan aku tidak sampai hati meninggalkanmu sendirian merawat anak-anak, tapi alangkah egoisnya aku, jika aku membiarkanmu bergelut dengan penderitaan dengan keberadaan diriku.
Saudah, masaklah nasi dan belikanlah lauk yang enak untuk upik dan udin dari uang layatan yang terkumpul, belikan obat untuk Udin agar ia cepat sembuh, dan belikanlah baju baru untuk Upik. Sisanya, pakailah untuk modal usaha agar engkau tidak lagi bekerja sebagai pemulung dan Udin tidak lagi bekerja sebagai tukang cuci baju. Anggaplah itu nafkah terakhir yang aku amanatkan untukmu.
Saudah, ini semua aku lakukan karena aku sangat menyayangimu dan menyayangi anak-anak lebih dari diriku sendiri. Sampaikan salam sayangku pada mereka.
Aku mencintai kalian
Rusdi

No comments: