Friday, 31 October 2014

karya sastra_Jodoh Terbaik untuk Icha

Jodoh Terbaik untuk Icha

“Dia merokok, gak?”
Aku mengeluh dalam hati. ‘Lagi-lagi segudang kriteria itu…’ pikirku gundah.
“Insya Allah enggak kok, Cha…”
“Jangan-jangan dia pernah pacaran..” Kulihat matanya berkedut pelan, tanda kesangsian.
“Masa kamu se-nggak percaya itu sih sama aku, Cha… Nggak mungkinlah aku menjerumuskan sahabatku sendiri, pastilah aku memilih yang terbaik untuk Icha yang cantik ini..” kucubit pipinya gemas.
Icha mengelak.
“Iiih.. jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan deh…” tak pelak kulihat sekilas tawa dimatanya.
***
Sudah beberapa minggu ini aku mendapat kesibukan baru yang cukup menguras energi dan plus, kesabaranku. Semua ini bermula saat aku bertemu kembali dengan Icha, sahabat SMA-ku dulu.
Sepuluh tahun lalu, Icha adalah bintang kelas di sekolah. Selain selalu meraih peringkat pertama, penampilannya yang supel dan apik menjadikannya orang nomor satu di sekolah. Tak ada yang tak mengenalnya kala itu.
Dan kini, ia masih persis sama seperti yang terakhir kali kuingat. Cantik dan menarik, itulah gambaran singkat tentangnya. Namun, satu hal yang sama sekali tak kusangka, hingga penghujung usia dua puluhan ini, ia masih melajang. Padahal kupikir Ichalah yang akan melepaskan statusnya untuk pertama kali.
Akhirnya, aku dan suamiku, Mas Ryan, beritikad membantu Icha mencari pendamping hidupnya.
Awalnya kupikir mudah, lagipula siapa sih yang akan menolak calon istri seideal Icha? Sudah cantik, cerdas, berpenghasilan lumayan lagi. Apalagi sekarang ia bekerja sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi ternama di kotaku.
Namun harapan tinggal harapan. Memang tak satupun menolaknya, justru permasalahan terbesar datang dari Icha sendiri. Satu persatu calon yang datang selalu ditampiknya,meski secara halus. Adaaaa… saja kekurangan lelaki yang melamarnya. Entah beda suku, beda karakter, sampai hal-hal remeh yang kadang membuatku jengkel juga. Kumis lebat, tangan yang berbulu, bahkan kebiasaan mengusap hidung bisa membuat Icha menolak meneruskan ta’arrufnya. Bayangkan!

“Aku belum sreg, Ra..” begitu alasan Icha selalu.
Kalau mood-ku lagi jelek-jeleknya, pasti Mas Ryan yang turun tangan.
“Lebih sabar lagi ya, Dek..” katanya selalu sambil mengusap rambutku lembut.
Kalau sudah begitu, rasa kesalku seketika lenyap, berganti rasa syukurku yang tak terhingga atas karunia Allah padaku. Mas Ryan yang selalu membimbingku dan menjadi imam terbaik bagiku. Aku ingin Icha pun mendapatkan ikhwan sebaik dan sesholeh suamiku (ehm!).
Maka kulanjutkan usahaku mengatur ta’arruf untuk Icha dan kenalan-kenalanku maupun suamiku. Sayangnya hingga saat ini, proses perkenalan selalu berakhir tanpa ada kelanjutan, sebagian besar berasal dari pihak Icha.
***
“Assalamualaikum..” Suara lembut itu membuyarkan lamunanku.
“Waalaikumussalam warahmatullah… Masuk aja, Cha... Sudah kutunggu dari tadi..”
Aku berdiri menyambut sahabatku, yang tampak menawan dengan balutan jilbab pink-nya.
“Bang Ryan mana?” Pandangan Icha mengelilingi seluruh penjuru rumahku.
“Kan lagi ngejemput pangeran berkudamu, Cha..” Kucoba menggodanya.
Ia tersenyum kecil.
“Apaan sih…” katanya geli. Lalu ditambahkannya setengah berbisik, “Kamu yakin, kan Ra, kali ini?”
“Aku gak enak selama ini selalu menyusahkanmu, apalagi saat menolak calon-calon pilihanmu itu..” lanjutnya sambil menerawang.
Kugeser dudukku.
“Cha.. dengerin.. Sebagai sahabatmu aku selalu ingin yang terbaik bagimu, begitu pula suamiku. Kami bisa mengerti kok kalau kamu belum merasa cocok dengan beberapa orang sebelum ini. Satu hal yang kuharapkan Cha.. Jangan pernah ingkari hati kecilmu, terus istikharah, mohon dan tanyalah yang terbaik padaNya..” kataku panjang lebar.
Icha menunduk. “Iya, Ra.. Terima kasih..”
“Sudahlah..” Kutarik tangannya menuju ruang keluarga. “Sini, kita liat dulu biodata calonmu kali ini..” Kukedipkan mataku. Icha hanya tertawa kecil.
Tak berapa lama kemudian, suara motor Mas Ryan terdengar. Aku spontan berdiri menyongsong kehadirannya.
“Assalamualaikum!” Mas Ryan masuk, diiringi sesosok tinggi dibelakangnya. Aku tak dapat melihat terlalu jelas, tertutup oleh tubuh Mas Ryan.
“Waalaikumussalam..” Kucium tangan suamiku, sambil berbisik, “Icha sudah di dalam, Mas..”
Mas Ryan mengangguk.
“Duduk dulu, Wan..” Mas Ryan mempersilahkan tamunya duduk.
“Kenalin, ini istriku tersayang, Zahra..” jelas Mas Ryan sambil menggamit lenganku. Aku tersipu.
Kutangkupkan kedua telapak tanganku di depan dada.
“Oh.. Ini toh Mbak Zahra yang sering diceritakan di kantor.. Saya Irwan, Mbak.. Muhammad Irwansyah.. teman sekantornya Mas Ryan,” terangnya sambil tersenyum singkat. Kuperhatikan tak sekalipun ia mengarahkan tatapnya padaku. ‘Bagus,’ pikirku. Berarti ia paham konsep ghoddu-l-bashar.[1]
“Mari duduk dulu ya.. Biar dibuatkan minuman dulu..” Aku masuk ke dalam, meninggalkan suamiku berdua dengannya.
“Cha, dia sudah datang, tuh…” Aku beranjak ke dapur. “Seperti biasa, nanti kamu yang bawa tehnya ke depan, ya…” Aku sengaja memanas-manasi Icha.
“Iya-iya.. Biasanya kan memang gitu..” Kudapati rona merah di wajah Icha. Hihi.. Meski bukan pertama kali, ta’arruf memang selalu menimbulkan rasa deg-degan…
“Nah, sudah siap nih..” Kuangsurkan baki dengan beberapa cangkir diatasnya. “Ayo..” Aku mendahului berjalan di depan Icha.
“Ra..” panggil Icha pelan. “Kalau yang ini gak cocok lagi, udahan aja ya.. Aku.. Malu.. Sama kamu dan orang-orang.. “
“Hei..” Kupotong perkataan Icha. “Soal itu kita bahas lain waktu aja, oke.. Sekarang kita hadapi dulu apa yang ada di depan mata.. Perkara lanjut atau tidak, Insya Allah sudah ada jalannya sendiri..” Kucoba menguatkan hati Icha. Tak urung ia pasti lelah dan jenuh setelah beberapa kali gagal ta’arruf.
“Bagaimana? Siap melanjutkan?” Kuremas lengan Icha perlahan, sambil berbisik,” Bismillah, Cha..”
Icha mengangguk.
“Mas..” kupanggil Mas Ryan.
Ia menoleh.
“Oh, sudah siap, ya?” Mas Ryan menggeser duduknya, mempersilahkan kami. Icha duduk di sebelahku.
“Ini, Wan.. Aisyah.. Akhwat yang kukenalkan padamu..”
Kulihat Irwan mengangkat kepala sekilas. Icha semakin dalam tertunduk.
“Baiklah, Bismillah.. Kita mulai saja ya, bagaimana?” lanjut Mas Ryan.
Irwan mengangguk. “Boleh saya yang memulai, Yan?” pintanya.
“Silahkan..”
“Emmm.. Begini, Ukhti Aisyah.. Sebelumnya, antum sudah melihat biodata saya?”
Icha mengangguk. Kusikut lengannya pelan. “Jawab, Cha.. Dia kan gak mungkin ngelihat kamu terus-terusan..”
Icha tanggap. “Sudah, Akhi.. Tapi belum semua sebenarnya.. Ukhti Zahra baru saja menunjukkannya padaku…”
“Lalu..” Irwan menarik napas panjang. “Antum sudah memutuskan…”
“Tentu saja belum..” Icha mengangkat kepala. “Karena itu saya menunggu saat taaruf ini.. Saya rasa setelah bertukar pikiran, baru saya dapat memutuskan..”
“Tapi, Ukhti.. Saya rasa kita tidak dapat meneruskan prosesi ta’arruf ini, sebelum antum membaca biodata saya selengkapnya..”
“Maksud kamu apa, Wan?” potong Mas Ryan. Ia tampak gusar. “Ada yang kamu sembunyikan dariku?”
Irwan terdiam.
Lalu setelah menghela napas untuk kesekian kali,
“Iya, Yan.. Maaf.. Aku sengaja baru menyerahkan biodata itu semalam, karena…” Irwan bagai tak kuasa melanjutkan ucapannya.
Hening sejenak.
Mas Ryan segera mengambil alih.
“Dek.. Tolong ambilkan amplop biodata Irwan..”
Aku segera bangkit.
“Ini, Mas..” Kuangsurkan amplop putih ke tangan Mas Ryan.
“Boleh aku baca?”
“Silahkan, Yan..” Irwan kelihatan pasrah.
Aku hanya dapat menggenggam telapak tangan Icha yang dingin erat-erat. ‘Dzikir, Cha..’ bisikku. Aku juga tak mengerti apa yang sedang terjadi.
Tiba-tiba..
“Wan! Apa-apaan ini?!! Kamu gak pernah bilang sebelumnya padaku!” Mas Ryan tak biasanya meninggikan suaranya.
“Aku..” Irwan tampak kesulitan bicara.
Aku tak menyangka begini jadinya. Sama sekali belum kupahami situasi yang terjadi. Icha sama bingungnya denganku, ia hanya diam dan terus menunduk.
Sejenak kemudian, Mas Ryan sudah berhasil menenangkan diri.
“Kenapa kamu gak sekalipun mengatakannya padaku, Wan..” Suaranya melunak.
Aku berdebar menanti jawaban Irwan.
“Sebenarnya.. Aku juga sama shocknya denganmu, Yan.. Awalnya aku juga tak menyadari apa-apa, dan baru akhir-akhir ini aku sadar ada yang salah pada diriku..”
Aku semakin tak paham.
“Namun saat aku telah memastikannya, semuanya sudah terlambat. Aku sudah menyepakati janji ta’arruf ini, dan aku rasa tak adil kalau harus membatalkannya secara sepihak. Maka kuputuskan, apapun yang akan terjadi nanti, aku harus menyelesaikannya secara baik-baik. Aku gak mau ada kesalahpahaman dalam hal ini..”
Mas Ryan memijit pelipisnya, berusaha melepas penat yang seketika menerpa.
“Lalu, soal biodata ini..?”
“Soal itu.. Karena kupikir satu-satunya cara untuk memberitahu Ukhti Aisyah secara halus adalah lewat biodata itu, jadi aku sengaja tidak menyerahkan pada waktu yang telah kita tentukan. Aku menulis dan menyusun ulang semuanya, kuharap setelah membacanya Ukhti Aisyah sendiri yang memutuskan untuk membatalkan proses ini.. Tak kusangka ia bahkan belum membaca semuanya…”
Senyap kembali mengambang.
Aku, yang masih belum mengerti benar, akhirnya tak tahan lagi.
“Maaf, Mas, aku belum mengerti.. Apa yang sebenarnya terjadi..??”
Mas Ryan memandangku dalam, seolah berusaha memahamkanku dengan tatapannya.
“Jelaskan saja, Yan.. Toh memang itu yang aku harapkan..”
Kulihat kepasrahan total di wajah Irwan.
“Baiklah.. Sebelumnya, aku minta maaf.. Sama sekali tak kuduga akan jadi seperti ini.. Jujur saja aku sangat terkejut, tapi biar bagaimanapun, aku menghargai niat tulus Irwan.. Jadi, kumohon, silahkan dibaca dan diresapi biodata Irwan itu, Cha..”
Icha gemetar mengambil amplop yang tergeletak di atas meja.
“Bismillah…” Icha menggumam.
Aku ikut gelisah menanti. Beberapa saat kemudian..
“Masya Allah...” Icha kembali menggumam. Ia memejamkan kedua matanya.
Sebaliknya, Irwan tampak lega.
“Bagaimana, Icha.. Kau sudah membacanya..?” tanya Mas Ryan.
“Sudah, Bang..”
“Jadi…”Mas Ryan tampak was-was.
Tak seperti prasangkaku, Icha tak sekaget yang kuduga..
“Oke..” aku tak sabar lagi. “Sekarang bisakah antum semua menjelaskan pokok permasalahannya padaku?”
Icha memelukku.
“Gak ada apa-apa kok, Ra.. Ta’arruf ini bisa dilanjutkan…”
Mas Ryan dan Irwan sontak terkejut,
“Apa?? Kamu serius, Cha..?” Semua mata menatap Icha.
Ia tampak gugup.
“Mmm… iya.. Aku serius.. Aku sudah membaca biodata Akhi Irwan, dan aku tidak menganggap ada masalah dengan semua itu.. Aku tidak tahu, tapi.. aku rasa…”
Irwan masih terpana, “Afwan, Ukhti.. Mungkin antum belum membaca..”
“Sudah, Akhi.. Tak satu katapun terlewatkan, Insya Allah.. Saya juga tidak mengerti. Tapi hati kecil saya mengatakan demikian...” Icha tersenyum.
Aku makin tak mengerti melihat ekspresi mereka.
Seketika Irwan berkata pelaaaannn sekali, seolah tanpa daya.
“Sebaiknya pikirkan kembali keputusan antum, Ukhti… Lagipula itu bukan hal yang mudah..”
“Irwan benar, Cha..” Mas Ryan menimpali. “Coba dipertimbangkan lagi masak-masak, diskusikan terlebih dahulu dengan orang tua dan kaum kerabat.. Ya?”
Icha tampak berpikir keras.
“Baiklah.. Akan saya bicarakan lagi dengan keluarga..” katanya sesaat kemudian. “Jadi keputusan selanjutnya..” Icha tak meneruskan kalimatnya. Tampaknya ia kebingungan mencari kata-kata.
“Biar nanti aku dan Dek Zahra yang mengaturnya.. Bagaimana?”
Irwan dan Icha mengangguk.
“Baiklah.. Kalau begitu, saya pamit dulu Yan, Mbak Zahra, Ukhti Aisyah.. Assalamualaikum..”
“Waalaikumussalam warahmatullah..”
Sejurus kemudian, Icha pun izin pulang. “Aku juga pulang dulu, ya Bang Ryan,, Ra,, Nanti kukabari setelah keputusannya pasti...”
“Cha..” panggilku. Icha berbalik. “Pikirkan matang-matang, jangan tergesa-gesa..”
Icha mengangguk. “Insya Allah, Ra…”
Setelah mengucapkan salam, Icha pun berlalu.
Segera kubalikkan badan menghadap Mas Ryan.
“Apaan sih, Mas… Aku belum paham sebenarnya apa yang terjadi sih..” Ekspresiku merajuk.
“Begini lo, Dek..” Mas Ryan menggandengku masuk, tak lupa diambilnya amplop biodata Irwan di atas meja.
“Jadi.. Ternyata selama ini, Irwan menderita kanker.. Kanker paru-paru..”
Aku terbelalak.
“Benarkah??? Kok aku gak pernah tau..”
“Jangankan kita, Dek.. Sepertinya Irwan juga baru saja memastikannya.. Namun mungkin saat itu, dia sudah menyetujui ajakan kita untuk ta’arruf dengan Icha…”
“Ya Allah..” Aku beristighfar dalam hati. Tak kusangka, inilah yang terjadi. Kurebut amplop di tangan Mas Irwan.
Ternyata benar! Tertulis disana, riwayat penyakit : Kanker Paru-paru..
Jadi ini alasannya mengapa Irwan meminta Icha membaca biodatanya sebelum memutuskan.. Tak heran ia kaget saat Icha bukannya membatalkan, justru ingin meneruskan..
“Menurut Mas, Irwan baik gak buat Icha…” pelan aku bertanya.
“Kalau Mas sih, gak bisa menentukan baik-buruknya.. Yang Mas tahu, Irwan adalah ikhwan sholeh yang mengutamakan akhirat diatas segalanya, begitu pula dengan Icha. Dan satu yang Mas yakini, bila mereka memang jodoh terbaik satu sama lain, halangan apapun takkan memengaruhi.. Seperti adek bagi Mas..” Mas Ryan menyentil hidungku.
Aku tersenyum senang.
***
“Aku mantap, Ra..” Kutatap wajah putih Icha yang memerah saga.
“Kamu yakin..?”
“Insya Allah.. Aku baru menyadari selama ini aku terlalu mementingkan faktor-faktor duniawi saja, ya Ra.. Padahal yang terpenting adalah dien, tak lain tak bukan hanya itu.. Dan aku yakin Mas Irwan bisa membimbingku..”
“Bagaimana orang tuamu?”
“Mereka menyetujui keputusanku, Ra.. Entah kenapa, sosok yang kulihat dalam mimpi-mimpiku, juga kedua orang tuaku, selalu Mas Irwan…” Wajahnya makin bersemu.
“Soal penyakitnya..”
“Tentang hal itu, aku sudah berkonsultasi dengan keluargaku, mereka justru memberiku semangat.. Insya Allah, aku akan menemani Mas Irwan berobat dan berikhtiar demi kesembuhannya.. Ingat, Ra.. Rasul SAW. sendiri bersabda, bahwa setiap penyakit ada obatnya.. Aku percaya hadits itu, Ra.. Aku juga sangat yakin Allah tahu yang terbaik bagiku, dan Dia telah menunjukkannya lewat mimpi-mimpiku.. Jujur saja, aku belum pernah seyakin ini sebelumnya..”
“Tolong doakan aku, ya Ra.. Semoga aku bisa meraih kehidupan sakinah, mawaddah, warahmah.. Insya Allah niatku tulus untuk ibadah...”
Mataku berkaca-kaca.
“Amin… Cha.. Amiinnn.. Aku dan Mas Ryan Insya Allah akan selalu mendoakan kalian..” Kupererat pelukanku pada Icha.
Icha tampak begitu bahagia. Subhanallah… Akhirnya ia menemukan jodohnya.. Jodoh yang sama sekali tak disangka-sangka. Jodoh terbaik pilihan Allah baginya.

[1] Menjaga pandangan (bhs arab)

Malang 2012
Asri Aisyah
Mahasiswi PBA semester IV

No comments: