Friday, 31 October 2014

karya sastra_Dilema Sastra Islam

Dilema Sastra Islam


Perdebatan yang tidak pernah tuntas tentang seni dan sastra dalam perspektif Islam disebabkan oleh banyak faktor. Di antara faktor yang sangat menonjol adalah adanya beberapa ayat dan hadis Nabi yang ditafsirkan oleh sebagian besar ulama sebagai bukti secara tekstual kekurangsimpatikan Islam dengan apa yang disebut dengan seni sastra (Tohari, 1998: 1). Pendapat semacam ini sebetulnya merupakan warisan dari kritikus sastra abad 2 dan 3 H., ketika mengatakan bahwa sastra menjadi lemah dan tidak berfungsi sejak Islam datang dan memposisikan diri sebagai musuh atas sastra (Bintu Syati`, 1992: 65).
Hal ini menurut mereka dibuktikan dengan turunnya ayat:

وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُون، أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ، وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ، إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيرًا وَانْتَصَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنْقَلَبٍ يَنْقَلِبُونَ.
“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan (nya)?, kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali” (QS. 26: 224-227).
Juga dalam hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
ِلأَنْ يَمْتَلئَِ جَوْفُ أَحَدِكُمْ قَيْحًا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا (ابن رشيق: العمدة 1/12 و معه الشعر و الشعراء: 1/126).
Dalam pepatah Arab (kata-kata masyhur ulama) mengatakan:
ومنها قولة الأصمعى: "إن الشعر نكد بابه الشر، فإذا دخل فى الخير ضعف ولان. هذا حسان بن ثابت، فحل من فحول الجاهلية، فلما جاء الإسلام سقط شعره". ابن قتيبة: الشعر و الشعراء 1/305 معارف.
Beberapa ayat, hadis, dan aqwal Arab di atas dijadikan bukti permusuhan Islam atas sastra. Pada sisi yang lain keterkaitan dan keterlibatan al-Quran tidak dapat dipungkiri lagi. Karena al-Quran lahir dari kondisi di mana sastra Arab mengalami fase keemasannya. Dan al-Quran diturunkan dalam versi sastra yang luar biasa untuk membuktikan dan menaklukkan kehebatan sastra Arab. Sebetulnya ayat-ayat penyair dalam al-Quran memiliki makna penolakan terhadap kepenyairan Muhammad untuk membuktikan risalah Muhammad adalah samawi bukan dari renungan atau khayalan atau mimpi, atau dari syetan penyair. Ayat-ayat syuara’ untuk menghindarkan image dari kaum musyrik Arab bahwa Rasulullah adalah penyair.
Allah Swt. berfirman:
وَمَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِي لَهُ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْءَانٌ مُبِينٌ.
“Dan Kami tidak mengajarkan puisi kepadanya (Muhammad) dan berpuisi itu tidaklah layak baginya. Al-Qur'an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan” (QS. 36: 69).
بَلْ قَالُوا أَضْغَاثُ أَحْلَامٍ بَلِ افْتَرَاهُ بَلْ هُوَ شَاعِرٌ فَلْيَأْتِنَا بِآيَةٍ كَمَا أُرْسِلَ الْأَوَّلُونَ.
“Bahkan mereka berkata (pula): (Al-Qur'an itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut, malah diada-adakannya, bahkan dia sendiri seorang penyair, maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu mukjizat, sebagaimana rasul-rasul yang telah lalu diutus” (QS. 21: 5).
أَمْ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ رَيْبَ الْمَنُونِ، قُلْ تَرَبَّصُوا فَإِنِّي مَعَكُمْ مِنَ الْمُتَرَبِّصِينَ، أَمْ تَأْمُرُهُمْ أَحْلَامُهُمْ بِهَذَا أَمْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ، أَمْ يَقُولُونَ تَقَوَّلَهُ بَلْ لَا يُؤْمِنُونَ، فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ.
“Bahkan mereka mengatakan: Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya. Katakanlah: Tunggulah, maka sesungguhnya akupun termasuk orang yang menunggu (pula) bersama kamu. Apakah mereka diperintah oleh fikiran-fikiran mereka untuk mengucapkan tuduhan-tuduhan ini ataukah mereka kaum yang melampaui batas? Ataukah mereka mengatakan: Dia (Muhammad) membuat-buatnya. Sebenarnya mereka tidak beriman. Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Qur'an itu jika mereka orang-orang yang benar”. (QS. 52: 30-34).
وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ، بَلْ جَاءَ بِالْحَقِّ وَصَدَّقَ الْمُرْسَلِينَ.
“Dan mereka berkata: Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan rasul-rasul (sebelumnya)” (QS. 37: 36-37).
فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُونَ، وَمَا لَا تُبْصِرُونَ، إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ، وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيلًا مَا تُؤْمِنُونَ، وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ، تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
”Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat. Sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, dan Al-Qur'an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam” (QS. 69: 38 – 43).
Penegasan ketidakadaan unsur kepenyairan dari Nabi bukan berarti bahwa Islam memusuhi dan mengingkari syair, akan tetapi ayat-ayat di atas merupakan penegasan atas “kelangitan” risalah Rasulullah. Dan penegasan di atas menunjukkan tidak adanya percampuran antara al-Quran dengan syi’ir. Al-Quran murni dari langit, dia wahyu Ilahi Yang Maha Suci.
Dan penegasan al-Quran tentang umminya (buta huruf) Nabi merupakan bantahan atas tuduhan bahwa Nabi telah membaca dan mengambil ayat-ayat dari kitab-kitab samawi sebelumnya.
وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لَارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ.
“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur'an) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andai kata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu)” (QS. 29: 48).
Dan bukan berarti penegasan tentang buta hurufnya Nabi merupakan pengakuan dan dukungan al-Quran terhadap kebodohan dan buta huruf. Dan bahwa Islam itu menyeru kepada kebodohan dan memusuhi ilmu pengetahuan. Bahkan Allah bersumpah atas pena dan bahwa ayat pertama al-Quran adalah ayat tentang membaca, iptek dan pena.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ، خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ، اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ، الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ، عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. 96: 1-5).
Ayat-ayat yang penulis paparkan di atas ingin menegaskan sikap al-Quran terhadap syair dan sastra. Al-Quran menginginkan dari sastra tidak sebagaimana yang telah ada pada zaman jahiliyah. Islam menginginkan syair sebagai alat pembangunan dan pengembangan bukan sebagai alat penghancur. Islam menginginkan syair menyesuaikan diri dengan komunitas baru yang penuh dengan nilai-nilai luhur Islam. Maka posisi Islam terhadap sastra bukan sebagai musuh, akan tetapi sikap Islam adalah sebagai pentashih sastra, yang meluruskannya dari noda-noda hitam kejahiliyahan.
Pada masa sekarang, arti sastra sudah dapat ditempatkan pada posisi yang proporsional. Di kalangan umat Islam sendiri sastra sudah dapat diterima kembali dan menjadi konsumsi sehari-hari untuk kehidupan dan keperluan dakwah. Keterlibatan ulama dalam dunia sastra bukan fenomena baru. Jauh sebelum Indonesia merdeka gejala semacam itu sudah ada bahkan sejak zaman Wali Songo. Pada era modern, Hamka adalah ulama pertama yang menjadi pelopor keterlibatan ulama di dunia sastra. Karya sastranya yang sangat terkenal diantaranya adalah: Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Ebo menyatakan (2003:121) bahwa sampai tahun 1990-an sangat sedikit ulama yang muncul berdakwah lewat dunia seni dan sastra. Selain Muhammad Zuhri satu ulama yang mengisi kelangkaan itu adalah KH. Mustofa Bisri yang meluncurkan karyanya lewat Penerbit Pustaka Firdaus Jakarta Ontologi Puisi Ohoi 1994.
Muhammad Qutub - seorang ulama Mesir adik dari tokoh sentral dan pendiri Ikhwan Muslimin (Islamic Brotherhood) Sayyid Qutub- dalam bukunya Manhaj al-Fan al-Islamy mengatakan, bahwa pendapat yang mengatakan agama itu mencari kebenaran, seni sastra mencari keindahan. Agama sangat menjunjung akhlak dan al-Quran, sedang seni membenci aturan termasuk aturan moral. Maka seni Islam haruslah merupakan kumpulan nasihat dan kata hikmah.
Menurutnya wilayah objek seni dan sastra Islam adalah semua wilayah kehidupan yang diungkap dari jiwa yang penuh iman dan mengeksplorasi dengan penuh keimanan. Dalam mengungkap segi-segi kehidupan tidak sempit, misalnya dalam mengungkap hubungan antar jenis manusia, tidak berhenti hanya pada masalah seksualitas. Masalah hubungan antar jenis dalam hal seksualitas diungkap, tapi kemudian lebih dari itu dikembangkan lagi dalam aspek-aspek lain tentang nafsu dan aspek-aspek kehidupan yang lebih luas. Kemudian dalam masalah cinta tidak hanya cinta antar manusia antara laki-laki dan perempuan, tapi lebih dari itu adalah menggapai wilayah cinta yang lebih luas; cinta ketuhanan, cinta kemanusiaan, yang diungkap secara luas dan mendalam tidak hanya kecintaan terhadap seksualitas (Qutub, 1987: 127).
Dalam buku Warisan Sufi yang ditulis oleh Seyyed Hossein Nasr (2002: 41) mengemukakan bahwa secara bertahap, meskipun agak terlambat, dunia Barat mulai menyadari bahwa seni Islam bukanlah sebuah koleksi aneh object de art, atau relik-relik pelik yang diciptakan oleh sebagian orang yang menyebut diri mereka Muslim, melainkan bahwa ia pada dasarnya adalah buah spiritual dari pewahyuan Islam.
Dari semua bentuk seni yang diciptakan dalam peradaban Islam yang besar, seni Persia tentu saja paling berbeda dan luas, yang memiliki etos khasnya sendiri, pandangan dunia dan makna simbolis khusus, seni yang secara tak terelakkan berhubungan dengan sufisme, dan sesungguhnya seluruh pandangan-dunia teoretislah yang memungkinkan seni ini benar-benar dimunculkan dari ajaran-ajaran filosofis dan metafisik Sufi. Pada tataran yang lebih eksternal, kemunculan dan adaptasi bentuk-bentuk seni tertentu oleh kaum Sufi memungkinkan eksistensi seni terus berlanjut, terutama berkaitan dengan seni musik.
Islam sendiri benar-benar menganggap aspek Ketuhanan sebagai keindahan, dan gambaran ini dijadikan tumpuan istimewa dalam Tasawuf, yang secara alami berasal dan mengandung inti (haqaiq) ajaran Islam. Maka bukanlah suatu kebetulan apabila karya-karya yang ditulis para Sufi, baik puisi maupun prosa, merupakan karya agung dalam kualitas dan keindahan (Abdul Hadi, 2001: 10).
Tradisi golongan sufi menjadi penggemar dan pencinta seni tampak di dalam amalan sama’ (audicy) yang di dalam sejarahnya telah memeriahkan kehidupan masyarakat Islam. Sama’ adalah sejenis konser musik keruhanian disertai zikir, tari-tarian, pembacaan dan penciptaan puisi. Kegiatan ini telah dikenal oleh para sufi sejak abad ke-19 atau mungkin satu abad sebelumnya. Pengalaman para sufi menyertai upacara sama’ membuat mereka insaf bahwa puisi memang merupakan media yang tepat bagi pengungkapan pengalaman keagamaan dan keruhanian mereka yang mendalam, kompleks dan subjektif. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila para pengkaji seperti Smith melihat bahwa ajaran paling murni dan tipikal tentang tasawuf kebanyakan ditulis dalam bentuk puisi
Abdul Hadi (2001: 11) dalam disertasinya menegaskan bahwa tasawuf tidak hanya merupakan gerakan keagamaan tetapi juga merupakan gerakan sastra. Braginsky (1993) menyebut tasawuf sebagai gerakan sastra dengan istilah tasawuf puitik, sedang tasawuf yang ditulis dalam bentuk doktrin keruhanian disebut sebagai tasawuf kitab.
Pertemuan agama dengan seni sudah ada sejak zaman dahulu kala, bahkan sebelum turunnya agama samawi, ritual keagamaan dan do’a-do’a diiringi dengan tarian-tarian, irama, lagu dan musik untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Ritual ibadah itu sendiri merupakan salah satu bentuk seni selain bacaan-bacaan yang didengungkan (Mahmud Salim, 1996:12).

No comments: