Kajian Antropologi Sastra Dalam Novel Imarat Yacobian
Karya Ala Al-Aswany
ABSTRAK
Pengkajian novel dengan
pendekatan antropologi sastra merupakan sebuah pendekatan baru terhadap telaah karya
sastra. Selama ini antropologi sastra banyak digunakan untuk menelaah
mitos-mitos dan folklore. Pengkajian Novel 'Imārat Ya'qūbyān karya
Alaa-Al-Aswany dengan pendekatan antropologi sastra ini bertujuan untuk
mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) kompleksitas ide Novel 'Imārat Ya'qūbyān
karya Alaa-Al-Aswany, (2) kompleksitas aktivitas tokoh tokoh Novel 'Imārat
Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany, (3) kompleksitas hasil budaya Novel 'Imārat
Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.
Data penelitian ini berupa Novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany.
Penelitian ini
menggunakan pendekatan antropologi sastra untuk mendeskripsikan kompleksitas
ide, aktivitas tokoh, dan hasil budaya Novel 'Imārat Ya'qūbyān karya
Alaa-Al-Aswany. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik noninteraktif dengan membaca novel dan analisis dokumen. Validasi
data menggunakan trianggulasi data. Teknik analisis data menggunakan konten
analisis dengan tiga unsur kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian data dan
penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Hasil penelitian ini
menyimpulkan: a) kompleksitas ide Novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany
terdiri dari lima pandangan hidup masyarakat Mesir, yaitu kompleksitas ide tentang:
(1) hakikat hidup manusia, (2) hakikat karya manusia, (3) hakikat kedudukan
manusia dalam ruang dan waktu, (4) pandangan manusia terhadap alam semesta, dan
(5) hakikat hubungan antarmanusia, b) kompleksitas aktivitas tokoh Novel
'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany terdiri dari: kompleksitas aktivitas
tokoh yang berhubungan dengan (1) kekerabatan, (2) ekonomi, (3) pendidikan, (4)
kegiatan ilmiah, (5) estetika dan rekreasi, (6) religi, (7) politik, dan (8)
somatis, c) kompleksitas hasil budaya Novel 'Imārat Ya'qūbyān karya
Alaa-Al-Aswany dibagi dalam beberapa jenis, yakni kompleksitas hasil budaya
berbentuk: (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4)
teknologi, (5) alat produksi/mata pencarian, (6) religi, dan (7) kesenian.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Karya
fiksi merupakan sebuah representasi gambaran kehidupan manusia. Berbagai
problematika dan dinamika kehidupan disajikan melalui jalinan kisah kehidupan
para tokoh di dalamnya. Selain sebagai sebuah karya dengan struktur pembentuk
sebagai unsur artistic, di dalam karya fiksi juga tercermin berbagai aspek
kehidupan manusia. Berbagai aspek kehidupan tersebut tergambar, baik secara
fisik, psikologis, maupun social budaya.
Berdasarkan
pandangan tersebut kajian sastra tidak hanya difokuskan pada aspek keindahan
struktur fisiknya. Akan tetapi, kajian sastra secara interdisipliner dapat
bersinergi dengan berbagai kajian ilmu sosial humaniora lainnya. Berbagai
pendekatan interdisipliner diperkenalkan, di antaranya bidang psikologi, sosioal, sampai aspek
antropologisnya. Semua pendekatan tersebut diharapkan mampu menjadi media
memahami kedalaman khazanah sastra sebagai miniatur kehidupan manusia yang
dihadirkan oleh pengaran.
Dari berbagai pendekatan yang ada, penelitian sastra ini akan difokuskan
pada pemahaman aspek antropologi sebuah karya fiksi. Ditinjau dari pendekatan
antropologis, mencari hubungan antara antropologi budaya dan sastra atau
sebaliknya tidaklah begitu sulit, terlebih setelah munculnya strukturalisme
levi Strauss dan posmoderisme. Semenjak itu, kesaling berhubungan antara
antropologi budaya dan sastra, baik pada tataran teoritis maupun tataran kajian
fenomena empiris, menjadi semakin kuat dan jelas. Sebagai sebuah displin yang
berkembangnya sangat ditentukan oleh data yang ditampilkan dalam bentuk
etnografi, maka antropologi budaya tidak pernah terlepas dari sastra, baik
secara langsung ataupun tidak langsung.
Sebagaimana halnya sastra lisan, sastra dalam bentuk yang tertulis (dalam hal
ini novel) juga dapat diperlakukan sebagai objek material, baik sebagai “pintu
masuk” untuk memahami kebudayaan tertentu maupun sebagai salah satu unsur
kebudayaan yang sedang dipelajari. Melalui penelusuran atas dimensi-dimensi dan
implikasi-implikasi antropologis teks-teks sastra, tidak hanya bisa ditemukan
model-model interpretasi tertentu, melainkan juga dapat diperoleh kemungkinan
jawaban atas pertanyaan seputar masalah kebudayaan masyarakat tertentu.
Dalam disiplin antropologi, pengkajian atas sumber-sumber literer seperti
mitos-mitos, dongeng, riwayat hidup, dan jenis-jenis sastra lisan
lainnyamerupakan suatu praktik yang sudah secara umum diterima (acceptable).
Suatu hal yang lazim apabila dalam kasus masyarakat yang “melek huruf”, para
ahli antropologi beralih pada sumber-sumber tertulis seperti berita-berita di
surat kabar atau karya-karya sastra. Tidak heran kalau novel-novel pun
diperlakukan pula sebagai sumber data antropologis. Kajian-kajian antropologis
semacam ini selalu mengasumsikan bahwa persentasi-persentasi pengarang
terhadap dunia (terhadap alam, terhadap
relasi-relasi sosial) telah terbentuk oleh lingkungan budayanya.
Salah satu aspek kubudayaan yang menarik minat para pemrhati antropologi
sastra adalah citra arketipe dan cerita citra primordial. Secara historis,
ciri-ciri arketipe masuk dalam analisis karya sastra melalui dua jalur.
Pertama, melalui psikologi analitik Jung, kedua melalui antropologi kultural.
Psikologi analitik Jung menelusuri jejak-jejak psikologis, tipologi pengalaman
yang tampil secara berulang, sebagai ketaksadaran rasial, seperti mitos, mimpi,
fantasi, dan agama, termasuk karya sastra. Sedangkan antropologi kultural
menelusuri pola-pola naratif, tipologi tokoh-tokoh (Nyoman kutha Ratna,
2009:354).
Berpijak dari pendapat Nyoman Kutha Ratna tersebut, jakian antropologi
sastra berkaitan erat dengan psikologi dan perilaku budaya manusia. Pendapat tersebut juga
membuka kemungkinan adanya variasi dan perkembangan budaya sebagai hasil
interaksi ke dalam dan keluar kebudayaan, yang salah satunya berwujud karya
sastra. Karya sastra sebagai salah satu bentuk hasil manusia terpengaruh aspek
kesukuan, geografis dan nilai-nilai yang berkembang sebagai wujud pemikiran
budaya masyarakat. Hal ini didukung oleh kondisi geografis suatu wilayah
seperti negara Indonesia yaitu kepulauan yang memiliki beragam macam suku.
Setiap suku memiliki sistem budaya dan bahasanya masing-masing. Kekayaan budaya
ini semakin bertambah dengan kondisi geografis Nusantara yang menjadi jalur
perdagangan dan pelayaran sejak berabad-abad lalu, sehingga menimbulkan
persinggungan budaya dengan kedatangan para perantau baik dari timur tengah,
India, China, maupun Eropa, yang datang ke Indonesia dengan berbagai tujuan.
Seperti halnya Mesir yang notaben negara yang dikelilingi sebuah gurun dan
wilayah yang panas cuacanya serta menjadi pusat perdagangan dari berbagai
daerah demi mencari mata pencaharian dan saling berinteraksi dengan orang
pribumi di wilayah tersebut. Di situlah muncul proses akulturasi, bahkan
asimilasi, yang pada akhirnya memunculkan ragam tradisi dan hasil-hasil budaya
yang baru.
Dalam bidang sastra fakta-fakta budaya tersebut menjadi salah satu sumber inspirasi bagi para penulis untuk
menghasilkan karya-karyanya. Salah satu Novel yang menarik untuk saya kaji
ialah Novel Imarat Ya’qubiyan. Novel Arab modern yang laris ini mengungkap
liku-liku kisah cinta beragam anak manusia dan gebalau situasi sosial politik
sebuah Negara berkembang dengan segala persoalannya yang memotret mesir masa
kini, tapi sesungguhnya juga mencerminkan apa yang sedang terjadi di negeri
kita sendiri.
Kecamuk
segala sisi kehidupan manusia itu diwakili beragam manusia penghuni Apartemen
Yacoubian ('Imaarat Ya'quubiyaan), sebuah bangunan unik yang pernah menjadi salah
satu gedung termegah di kairo: lelaki playboy yang kesepian di masa tua. Wanita
muda penuh gairah yang terpaksa menjual kehormatannya demi menafkahi ibu dan
adik-adiknya, kmahasiswa miskin yang terbujuk gerakan islam radikal, politisi
korup yang suka mengutip Alquran seenaknya demi membenarkan setiap tindakannya,
dan seorang redaktur Koran terkemuka yang jatuh cinta sesame jenis kepada
seorang tentara miskin.
Aneka corak kehidupan tersebut berujung
pada akhir yang mengejutkan dalam novel tersebut. Novel ini merupakan sebuah
jendela untuk memahami cinta dan pengorbanan dalam urban modern.
Dalam penelitian
ini saya akan membahas tentang masalah hiruk-pikuk kehidupan manusia yang
terdapat dalam novel 'Imaarat Ya'quubiyaan. Landasan teori yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah landasan teori tentang tema, alur, latar, tokoh,
penokohan, sudut pandang, dan antropologi sastra. Penelitian ini akan didasari
pada penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis secara
mendalam dalam melakukan pengumpulan data. Seperti penjelasan awal bahwa Novel
ini merupakan sebuah novel yang menceritakan tentang keberagaman masalah hiruk
pikuk kehidupan manusia atau keberagaman kehidupan sosial yang terjadi di Mesir
pada tahun 1990-an dengan menggunakan fiksi sebagai medianya. Dilatar belakangi
oleh para penghuni Apartemen Yacoubian ('Imaarat Ya'quubiyaan), novel ini
membuka mata dunia akan kebobrokan sosial, politik, dan agama di Mesir. Bisa di
tarik kesimpulan bahwa dalam novel 'Imaarat Ya'quubiyaan, selain terdapat
beragam unsur intrinsik, juga terdapat empat masalah sosial yang masih dianggap
tabu berupa diskriminasi, homoseksualitas, gerakan Islam radikal, dan korupsi yang
ditinjau melalui kajian Antropologi sastra.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
kompleksitas ide dalam novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany?
2.
Bagaimana
kompleksitas aktivitas tokoh dalam novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany?
3.
Bagaimana
kompleksitas hasil budaya dalam novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Mendeskripsikan
dan menjelaskan kompleksitas ide dalam novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany?
2.
Mendeskripsikan
dan menjelaskan kompleksitas aktivitas tokoh dalam novel 'Imārat Ya'qūbyān
karya Alaa-Al-Aswany?
3.
Mendeskripsikan
dan menjelaskan kompleksitas hasil budaya dalam novel 'Imārat Ya'qūbyān karya Alaa-Al-Aswany?
D.
Manfaat Penelitian
1.
Manfaat
Teoritis
a.
Memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan di bidang sastra.
b.
Menambah
khasanah pustaka Indonesia agar nantinya dapat digunakan sebagai penunjang
kajian yang relevan dan bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya.
2.
Manfaat
fraktis
Secara fraktis
, penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca dan penikmat karya
sastra, khususnya Mahasiswa, pembaca dan peneliti selanjutnya untuk memahami
dan mengapresiasi novel Imarat Ya’qubiyan karya ala Al-‘Aswany.
a.
Bagi
Mahasiswa
Mahasiswa dapat memperoleh pengetahuan tentang nilai-nilai budaya
kehidupan yang terdapat dalam novel Imarat Ya’qubiyan karya Ala Al-‘aswany.
Sehingga dapat mengimplementasikan nilai-nilai budaya yang baik dalam kehidupan
sehari-hari.
b.
Bagi
pembaca
Siapapun yang membaca, bisa terinsfirasi bahwa dalam kehidupan
terdapat banyak hiruk pikuk budaya setiap manusia, sehingga pembaca lebih
berhati-hati dalam setiap bertindak baik dalam segi tulisan maupun lisan serta
tingkah laku di lingkungan hidupnya.
c.
Bagi
peneliti selanjutnya
Penelitian ini
dapat memberikan bahan referensi bagi para peneliti yang ingin meneliti lebih
lanjut tentang novel Imarat Ya’qubiyan karya Ala al-‘Aswany.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kajian Teori
1.
Hakikat Novel
a.
Pengertian novel
Karya fiksi merupakan salah satu genre sastra yang kian berkembang
dan banyak digemari masyarakat. Hal ini disebabkan dalam karya fiksi disuguhkan
berbagai masalah kehidupan dalam hubungannya dengan sesame dan lingkungan.
Fiksi dapat membuat pembaca menghabiskan waktu untuk ikut berinteraksi dengan
berbagai persoalan kehidupan.
Menurut Herman J. Waluyo (2002: 136-137) “cerita rekaan/fiksi
dibangun oleh dua unsur pokok yakni: apa yang diseritakan dan teknik
(metode) penceritaan. Isi atau materi yang diceritakan tidak dapat
dipisahkan dengan cara penceritaan, bahasa yang digunakan untuk bercerita
disesuaikan dengan isi, sifat, perasaan, dan tujuan apa cerita itu. Cerita
rekaan adalah wacana yang dibangun oleh beberapa unsur. Unsur-unsur itu
membangun suatu kesatuan, kebulatan, dan regulasi diri atau membangun sebuah
struktur. Unsur-unsur itu bersifat fungsional, artinya dicipta pengarang untuk
mendukung maksud secara keseluruhan, dan maknanya ditentukan oleh keseluruhan
cerita ini”.
Suminto A. Suyuti
menyandingkan cerita rekaa/fiksi dan novel pada deretan kata yang memiliki
makna yang sama. Di menjelaskan “Novel (cerita rekaan) dapat dilihat dari
beberapa sisi. Ditinjau dari panjangnya, novel pada umumnya terdiri dari 45.000
kata atu lebih. Berdasarkan sifatnya, novel (cerita rekaan) bersifat expands,
‘meluas’ yang menitik beratkan pada complexity. Sebuah novel tidak akan selesai
dibaca sekali duduk, hal ini berbeda dengan cerita pendek. Dalam Novel (cerita
rekaan) juga dimungkinkan adanya penyajian panjang lebar tentang tempat atau
ruang (2000: 5-7)”.
Bila dibandingkan dengan roman, novel memiliki beberapa perbedaan.
Pengertian tentang keduanya sering dipertentangkan. Sebutan roman dan novel di
Indonesia diartikan berbeda (Jakob Sumardjo, 1984: 65). Roman diartikan sebagai
cerita berbentuk prosa yang panjang, banyak tokoh dan banyak penjelajahan
tentang kehidupan yang meliputi waktu sampai kematiannya. Novel diartikan
sebagai cerita tentang sebagian kehidupan tokohnya saja, seperti masa menjelang
perkawinannya setelah mengalami masa percintaan atau bagian kehidupan seorang
tokoh yang mengalami krisis dalam jiwanya.
Herman J. Waluyo (2002: 37) mengemukakan bahwa novel mempunyai
ciri; (1) ada perubahan nasib dari tokoh cerita; (2) ada beberapa episode dalam
kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya tokoh utama tidak sampai meninggal. Dan
dalam novel tidak di tuntut kesatuan gagasan, impresi, emosi, dan setting
seperti dalam cerita pendek.
Berpijak dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
novel atau cerita rekaan adalah satu genre sastra yang dibangun oleh
unsur-unsur pembangun sebagai sebuah struktur yang secara fungsional memiliki
keterjalinan di antaranya; untuk membangun totalitas makna dengan media bahasa
sebagai penyampai/gagasan pengarang tentang hidup dan seluk beluk kehidupan manusia.
Novel adalah salah satu bentuk dari sebuah karya sastra. Sebuah novel biasanya
menceritakan tentang kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan dan
sesamanya. Dalam sebuah novel, si pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk
mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita
yang terkandung dalam novel tersebut.
Menurut Muchtar Lubis (dalam Henry Guntur Tarigan, 1985: 165)
cerita novel itu ada bermacam-macam, antara lain (1) novel avontur, yaitu
bentuk novel yang dipusatkan pada seorang lakon atau tokoh utama, (2) novel
psikologi, merupakan novel yang penuh dengan peristiwa-peristiwa kejiwaan para
tokoh, (3) novel detektif, yaitu novel yang merupakan cerita pembongkaran
rekayasa kejahatan untuk menangkap pelakunya dengan cara penyelidikan yang
tepat dan cermat, (4) novel politik atau novel sosial, yaitu bentuk cerita
tentang kehidupan golongan dalam masyarakat dengan segala permasalahannya,
misalnya antara kaum masyarakat dan buruh dengan kaum kapitalis terjadi pemberontakan,
(5) novel kolektif,yaitu novel yang menceritakan pelaku secara kompleksitas
(menyeluruh) dan segala seluk beluknya. Novel kolektif tidak mementingkan
individu masyarakat secara kolektif.
b.
Struktur novel
1)
Unsur Intrinsik
Novel merupakan sebuah totalitas, suatu keseluruhan yang bersifat
artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagianbagian, unsur-unsur,
yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling
menggantungkan. Jika novel dikatakan sebagai suatu totalitas, unsur, kata,
bahasa, misalnya menjadi salah satu bagian dari totalitas itu, salah satu unsur
pembangun cerita itu, salah satu subsistem organisme itu. Kata inilah yang
menyebabkan novel, juga sastra pada umumnya, menjadi berwujud (Burhan
Nurgiyantoro, 2010: 23).
Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2008: 10) membagi
unsur-unsur intrinsik prosa fiksi terdiri dari: tema cerita, plot atau kerangka
cerita, penokohan dan perwatakan, setting atau tempat cerita atau latar, sudut
pengarang atau point of view, latar belakang atau back ground, dialog atau
percakapan, gaya bahasa atau gaya cerita, waktu cerita dan waktu penceritaan,
serta amanat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diuraikan unsur intrinsik
pembangun novel terdiri dari unsur berikut:
a)
Tema
Tema adalah gagasan pokok dalam cerita fiksi. Suminto A. Sayuti
(2000: 97) menyatakan bahwa tema adalah makna cerita, gagasan sentral, atau
dasar cerita. Pendapat yang hampir sama diungkapkan oleh Panuti Sudjiman (1988:
51) yang menyatakan bahwa tema adalah gagasan yang mendasari karya sastra.
Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan, 1985: 125) menyatakan sebuah
definisi tentang tema. Menurutnya, tema adalah pandangan hidup tertentu atau
perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yeng
membentuk dan membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra.
Secara lebih khusus dalam prosa fiksi. Aminuddin (2004: 91) menambahkan bahwa
tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai
pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Tema
pada intinya merupakan dasar cerita, dasar tersebut bisa berupa pandangan
tertentu seorang penulis terhadap kehidupan atau nilai-nilai dalam kehidupan.
Berpijak dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
untuk menemukan tema dalam sebuah karya fiksi harus dapat menyimpulkan isi
seluruh cerita, tidak hanya mengetahui sepotong-potong bagian tertentu dari
cerita. Eksistensi atau kehadiran tema adalah terimplisit dan merasuki
keseluruhan cerita, inilah yang menyebabkan kemungkinan kecil terjadinya
pelukisan langsung. Hal ini menyebabkan sulitnya menafsirkan tema.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan seorang pembaca dalam
melakukan analisis tentang tema. Aminuddin (2004: 91) menyebutkan bahwa tema
merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa fiksi oleh
pengarang. Sehubungan dengan pendapat tersebut, ia menyatakan pembaca terlebih
dahulu harus memahami unsur-unsur signifikan yang membangun cerita,
menyimpulkan makna yang dikandungnya, serta mampu menghubungkannya dengan
tujuan penciptaan pengarangnya. Tiga hal tersebut yang harus dilakukan seorang
pembaca dalam memahami tema sebuah karya sastra khususnya prosa fiksi.
b)
Alur atau plot
Alur merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan banyak orang yang
berpendapat sebagai hal yang terpenting diantara unsur fiksi yang lain.
Kejelasan alur, berkaitan erat dengan kejelasan yang berkaitan antar peristiwa
yang dikisahkan secara linier, yang akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap
cerita yang dibacanya (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 110).
Menurut Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan, 1985: 126) alur adalah
struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama. Aminuddin (2004: 83)
menambahkan bahwa alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh
tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh
para pelaku dalam suatu cerita. Secara lebih singkat, Jakob Sumardjo (2005: 15)
menyatakan “plot ialah yang menggerakkan kejadian cerita”. Dari beberapa
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa plot atau alur adalah sebuah struktur
yang dibentuk dari sejumlah peristiwa dan berfungsi menggerakkan peristiwa yang
dihadirkan oleh pelaku, sehingga menjadi jalinan penggerak dalam sebuah cerita
fiksi.
Terdapat beberapa versi dalam penggambaran alur. Henry Guntur
Tarigan (1985: 126) menggambarkan alur bergerak dari suatu permulaan
(beginning) melalui suatu pertengahan (middle) menuju suatu akhir (ending),
yang dalam dunia sastra dikenal dengan eksposisi, komplikasi, dan resolusi (denoument).
Pendapat senada, namun dengan versi berbeda dinyatakan Loban (dalam Aminuddin,
2004: 84) yang menggambarkan gerak tahapan alur layaknya gelombang. Tahap
tersebut antara lain: (1) eksposisi, (2) komplikasi, (3) klimaks, (4) revelasi
atau penyingkapan tabir suatu problema, dan (5) denouement atau penyelesaian.
Lebih lanjut, Adelstein & Pival (dalam Herman J. Waluyo, 2011:
12) menjelaskan bahwa pada prinsipnya alur cerita terdiri dari tiga bagian,
yaitu: (1) alur awal, terdiri dari paparan (eksposition), rangsangan (inciting
moment), dan penggawatan (rising action); (2) alur tengah, terdiri atas
pertikaian (conflict),perumitan (complication), dan klimaks atau puncak
penggawatan (climax); (3) alur akhir, terdiri dari perleraian (falling action),
dan penyelesaian (denoument). Alur cerita tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
Gambar 1: Plot Prosa Fiksi
(Adelstein & Pival dalam Herman J. Waluyo, 2011: 12)
Exsposition atau eksposisi adalah paparan awal cerita. Pengarang
mulai memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokoh-tokoh cerita. Inciting
moment adalah peristiwa mulai terjadinya problem-problem yang ditampilkan
pengarang kemudian ditingkatkan mengarah pada peningkatan problem. Rising
action adalah peningkatan adanya permasalahan yang dapat meningkatkan konflik.
Complication adalah konflik yang terjadi semakin genting. Permasalahan sebagai
sumber konflik sudah saling berhadapan. Climax adalah puncak dari terjadinya
konflik cerita yang berasal dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Falling action adalah peredaan konflik cerita. Denouement adalah penyelesaian
yang dipaparkan oleh pengarang dalam mengakiri penyelesaian konflik yang
terjadi.
c)
Tokoh dan penokohan
i.
Tokoh
Tokoh adalah para
pelaku yang terdapat dalam sebuah cerita, novel atau cerita fiksi. Burhan Nurgiyantoro
(2010: 65) menggunakan istilah tokoh untuk menunjuk pada orangnya, pelaku
cerita, sedangkan watak, perwatakan, dan karakter menunjuk sfat dan sikap para
tokoh yang ditafsirkan para pembaca.
Bedasarkan peran
dalam sebuah cerita tokoh dapat terbagi menjadi dua, yaitu protagonist dan
antagonis (Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani, 2008: 28). Tokoh
protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita yang mendatangkan rasa
simpati atau baik. Tokoh antagonis merupakan kebalikan dari tokoh pantagonis
yang menentangalur cerita yang menimbulkan perasaan benci pada si pembaca.
ii.
Penokohan
Penokohan dalam
cerita rekaan tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan tokoh. Istilah tokoh
menunjukan pada pelaku dalam cerita, sedangkan penokohan menunjukan pada sifat,
watak atau karakter yang melengkapi dari tokoh tersebut. Penokohan adalah
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah
cerita (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 165).
Ada beberapa cara
pengarang untuk menggambarkan watak tokoh-tokohnya. Menurut Herman J. Waluyo
dan Nugraheni Eko Wardani (2008: 32) cara penggambaran watak tokoh antara lain:
(1) penggambaran secara langsung, (2) secara langsung dengan diperindah, (3)
melalui pernyataan oleh tokohnya sendiri, (4) melalui dramatisasi, (5) melalui
pelukisan terhadap keadaan sekitar pelaku, (6) melalui analisis psikis pelaku,
dan (7) melalui dialog pelaku-pelakunya.
Lebih lanjut,
Aminuddin (2004: 80) cara penggambaran watak tokoh antara lain: (1) tuturan
pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2) gambaran yang diberikan
pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya, maupun caranya berpakaian,
(3) menunjukkan bagaimana perilakunya, (4) melihat bagaimana tokoh itu
berbicara tentang dirinya sendiri, (5) memahami bagaimana jalan pikrannya, (6)
melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, (7) melihat bagaimana tokoh
lain berbincang dengannya, (8) melihat bagaimana tokoh-tokoh lain itu
memberikan reaksi terhadapnya, dan (9) melihat bagaimana tokoh itu dalam
mereaksi tokoh lainnya.
d)
Latar atau setting
Menurut Herman J.
Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2011: 23) pengertian seting adalah tempat
kejadian cerita. Tempat kejadian cerita dapat berkaitan dengan aspek fisik,
aspek sosiologis, dan aspek psikis. Namun seting dapat dikaitkan dengan tempat
dan waktu. Senada dengan pendapat tersebut, latar atau setting, menurut
Aminuddin (2004: 68) terbagi menjadi dua jenis, yakni latar fisik dan latar
psikologis. Latar fisik berhubungan dengan tempat, waktu dalam lingkungan
tertentu. Sedangkan latar psikologis adalah lingkungan atau benda-benda dalam
lingkungan tetentu yang mampu mengajak emosi pembaca. Setting fisikal hanya
terbatas pada sesuatu yang bersifat fisik, sedangkan settingpsikologis dapat berupa
suasana maupun sikap, jalan pikiran suatu lingkungan masyarakat tertentu.
Sedangkan Burhan
Nurgiyantoro (2010: 216) menyatakan bahwa latar adalah segala keterangan
petunjuk, pengacauan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya
peristiwa dalam cerita. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa latar merupakan suatu tempat terjadinya peristiwa yang berkaitan dengan
waktu, ruang, dan suasana dalam cerita.
Latar dalam cerita
berfungsi sebagai pendukung cerita. Wahyudi Siswanto (2008: 151) menyebutkan
fungsi latar yang berguna untuk mengembangkan cerita, penjelas tempat, waktu
dan suasana, sebagai simbol atau lambang peristiwa, menggambarkan watak tokoh,
suasana cerita atau atmosfer, alur, dan tema cerita. Latar secara otomatis akan
mengikuti perubahan peristiwa yang membentuk sebuah alur. Latar juga seringkali
dideskripsikan sebagai bagian eksposisi dalam sebuah cerita fiksi. Latar secara
otomatis akan mendukung penceritaan seorang tokoh dalam sebuah fiksi. Misalnya
ketika akan menceritakan tokoh petani yang rajin, pengarang akan memilih latar
yang sesuai, misalnya di sebuah sawah, pada pagi hari, dan sebagainya. Oleh
sebab itu, peran latar baik latar tempat, latar waktu, maupun latar suasana
sangat menentukan keindahan dalam cerita fiksi.
e)
Sudut pandang Pengarang (Point of view)
Sudut pandang
merupakan salah satu unsur fiksi yang penting, dan menentukan. Sudut pandang
mempunyai hubungan psikologis dengan pembaca. Pembaca membutuhkan persepsi yang
jelas mengenai sudut pandang mengenai cerita, karena pemahaman sebuah novel
dapat dipengaruhi oleh kejelasan dari sudut pandang.
Shipley seperti yang
dikutip Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2008: 38) menyebutkan
adanya 2 jenis point of view, yaitu internal point of view dan external point
of view. Internal point of view terdiri dari dua macam, yaitu: (1) tokoh yang
bercerita; (2) pencerita menjadi salah seorang pelaku; (3) sudut pandang akuan;
(4) pencerita sebagai tokoh sampingan dan bukan tokoh hero. Sementara untuk gaya
ekternal point of view ada dua jenis, yaitu; (1) gaya diaan; dan (2) penampilan
gagasan dari tokoh-tokohnya.
Henry Guntur Tarigan
(1985: 139) menyatakan bahwa sudut pandang dinamakan juga pusat narasi. Ia
membagi pusat narasi menjadi empat, yakni (1) tokoh utama dapat menceritakan
ceritanya sendiri, dalam hal ini pusat tokoh identik dengan pusat narasi, (2)
cerita disampaikan oleh peninjau yang merupakan partisipan dalam cerita itu,
(3) observer author dimana pengarang cerita bertindak sebagai peninjau saja,
dan (4) cerita dapat dituturkan oleh pengarang orang ketiga atau omniscient
author. Selanjutnya, Aminuddin (2004: 90) menyatakan bahwa sudut pandang adalah
cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Sudut
pandang meliputi (1) narrator omniscient, (2) narrator observer, (3) narrator
observer omniscient, dan (4) narrator the third person omniscient.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa sudut pandang pengarang adalah cara pandang pengarang
untuk dapat menjelaskan dalam menyampaikan sebuah cerita agar dapat dipahami
pembaca.
f)
Gaya bahasa atau gaya penceritaan
Gaya penceritaan,
atau style menurut Aminuddin (2004: 22) adalah cara seorang pengarang
menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa. Dalam wacana sastra
pengarang akan menggunakan kata yang bermakna padat, reflektif, asosiatif, dan
bersifat konotatif. Oleh karena itulah, masalah gaya berkaitan dengan masalah
gaya dalam bahasa itu sendiri. Wahyudi Siswanto (2008: 162) menyebutkan gaya
penceritaan mencakup teknk penulisan dan teknik penceritaan. Teknik penulisan
adalah teknik yang digunakan pengarang dalam menulis karya sastranya. Teknik
penceritaan adalah cara yang digunakan pengarang untuk menyajikan karya
sastranya seperti teknik pemandangan, teknik adegan, teknik montase, teknik
kolase, dan teknik asosiasi.
Menurut Aminuddin
(2004: 23), gaya memiliki unsur-unsur, yaitu (1) pilihan kata dari setiap
pengarang, (2) penataan kata dan kalimatnya, dan (3) nuansa makna serta suasana
penuturan yang disampaikannya. Gaya pengarang tentunyaberkaitan langsung dengan
ekspresi. Gaya menjadi alat seorang pengarang dalam menyampaikan gagasannya.
Sehingga meskipun pada tema yang sama, seorang pengarang akan memiliki gaya
yang berbeda dalam menceritakannya.
2)
Unsur Ektrinsik
Unsur ekstrinsik
adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak
langsung memengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur
ekstrinsik berperan sebagai unsur yang memengaruhi bangunan sebuah cerita. Unsur
ekstrinsik novel adalah unsur pembentuk cerita yang berasal dari luar karya
sastra, seperti karya sastra dengan lingkungan, karya sastra dengan pembaca,
karya sastra dengan pengarang dan karya sastra dengan penerbitnya. Selain itu,
unsur ekstrinsik juga lebih banyak berkonsentrasi pada peristiwa dan sudut
pandang penceritaan.
Menurut Burhan
Nurgiyantoro (2007: 24), unsur ekstrinsik novel adalah unsur yang berada di
luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan sistem
organisme karya sastra. Sementara itu Wellek dan Austin Warren (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2007: 24) menjelaskan bahwa unsur yang dimaksud antara lain
adalah subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan dan pandangan
hidup yang semuanya itu akan berpengaruh pada karya sastra yang ditulisnya.
Unsur sosiologi,
biografi pengarang, keadaan masyarakat pengarang, lingkungan ekonomi, sosial
dan budaya pengarang dapat menentukan ciri karya sastra yang dihasilkan oleh
pengarang. Unsur ekstrinsik lain misalnya pandangan hidup suatu bangsa. Jadi
dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur ekstrinsik sangat berpengaruh besar
terhadap wujud dan roh cerita yang dihasilkan karena melibatkan sudut pandang
pengarang yang memiliki perbedaan lingkungan ekonomi, sosial dan budaya.
2.
Hakikat pendekatan Antropologi Sastra
a.
Pengertian Antropologi
Berbincang mengenai
antropologi maka kit tidak dapat dilepaskan dari fase-fase perkembangannya.
Dalam buku Pengantar Ilmu Antropologi, Koentjaraningrat membaginya menjadi
empat fase perkembangan (2002:1-6). Fase pertama di mulai sebelum abad ke-18,
sekitar akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16. Pada fase ini terkumpul
berbagai bahan pengetahuan berupa buku-buku mengenai kisah perjalanan, laporan
dan sebagainya, buah tangan musafir, pelaut, pendeta penyiar agama Nasrani,
penerjemah Kitab Injil, dan pegawai pemerintah jajahan. Fase kedua sekitar
pertengahan abad ke-19, ditandai dengan timbulnya karangan-karangan yang
menyusun bahan etnografi berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat. Fase
ketiga terhitung pada permulaan abad ke-20. Pada fase ini antropologi telah
menjadi ilmu praktis dengan tujuan ‘mempelajari masyarakat dan kebudayaan
suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan pemerintah kolonial dan
mendapat pengertian tentang masyarakat masa kini yang kompleksitas’. Fase yang
terakhir muncul sekitar tahun 1930, yang ditandai dengan perluasan objek kajian
dari antropologi yaitu masyarakat pedesaan pada umumnya.
Sementara itu, dalam
ilmu antropologi terdapat perbedaanperbedaan mengenai istilah yang digunakan
(Koentjaraningrat, 2002: 10-12). Di Eropa Barat digunakan istilah Ethnograpy
berarti ‘pelukisantentang bangsa-bangsa’. Ethnology yang berarti ‘ilmu
bangsa-bangsa’, termasuk istilah yang telah lama dipakai sejak permulaan
antropologi. Di Eropa Tengah digunakan istilah Volkerkunde berarti ‘ilmu
bangsa-bangsa’. Istilah Kulturkunde berarti ‘ilmu kebudayaan’, pernah dipakai
oleh L. Frobenius dan G. J. Held. Anthropology berarti ‘ilmu tentang manusia’,
merupakan istilah yang sangat tua. Cultural anthropology mengacu pada bagian
ilmu antropologi dalam arti luas yang tidak mempelajari manusia dari segi
fisiknya, lawan dari physical anthropology. Di Inggris familiar dengan istilah
social anthropology, untuk menyebut antropologi dalam fase ketiganya.
Dari berbagai uraian
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa antropologi mengkaji mengenai
sifat-sifat khusus badani dan cara-cara produksi, tradisi-tradisi dan
nilai-nilai yang membuat pergaulan hidup yang satu berbeda dengan pergaulan
hidup lainnya. Oleh karenanya, antropologi dapat dimaknai sebagai ilmu
pengetauhan yang mengkaji manusia sebagai bagian dari masyarakat.
b.
Pengertian Antropologi Sastra
Kedudukan karya
sastra sebagai hasil budaya manusia belum secara kokoh ditempatkan dalam kajian
yang disebut antropologi sastra. Pandangan mengenai kemungkinan adanya
keterkaitan antara karya sastra dan pendekatan antropologi dinyatatan oleh Iser
(dalam Matthews, 2010: 366) sebagai berikut.
Iser writes: “Literature is not
self-sufficient, so it could hardly bear its own origin within itself. What it
is, is the result of its function” In suggesting this originary perspective, he
anticipates a turn to the function of literature as a part of what would become
an increasingly elaborated anthropological approach. Simultaneously warning
against discovering anthropological constants in human nature.”
Dalam pandangannya tersebut Iser menyatakan bahwa karya sastra tdak
berdiri sendiri (not self-sufficient) sehingga karya sastra tidak mampu
menelusuri asalnya tanpa perannya sendiri. Hal itu adalah hasil dari fungsi
sebuah karya sastra. Iser juga mengantisipasi adanya kemungkinan bahwa pada
gilirannya fungsi karya sastra sebagai bagian dari sesuatu yang tergabung dalam
pendekatan antropologis. Hal itu sekaligus juga akan memberikan peringatan
terhadap penemuan antropologi yang konstan dalam sifat alamiah manusia selama
ini.
Pengkajian karya
sastra dari sudut antropologi sastra merupakan hal yang baru dalam penelitian
karya sastra. Pendekatan antropologi terhadap sebuah karya sastra sebenarnya
sudah pernah dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Claude Levi-Strauss (1963:
206). Tokoh ini pada awalnya banyak membaca buku-buku filsafat. Ia tertarik
pada ilmu Antropologi setelah membaca buku Primitive Society karya Robert Lowie
(Ahimsa Putra, 1997: xii). Ia melakukan penelitian secara struktural terhadap
mitos dengan teori oposisi binernya. Sebenarnya, hal yang sama bisa juga
diterapkan pada karya-karya sastra moderen, seperti: prosa, puisi, atau drama.
Akan tetapi, khusus penelitian tentang antropologi sastra adalah suatu
penelitian yang belum banyak berkembang, khususnya di Indonesia.
Nyoman Kutha Ratna
(2011: 35) mengungkapkan bahwa Isu mengenai antropologi sastra pertama kali
muncul dalam kongres ’Folklore and Literary Anthropology’ (Poyatos, 1988:
xi-xv) yang berlangsung di Calcutta (1978), diprakarsai oleh Universitas
Kahyani dan Museum India. Meskipun demikian Poyatos mengakui bahwa sebagai
istilah antropologi sastra pertama kali dikemukakan dalam tulisannya yang yang
dimuat dalam Semiotica (1977).Senada dengan Nyoman Kutha Ratna tersebut, Menicucci
(2010: 12) menyatakan:
In his introduction to the volume Literary
Anthropology (Poyatos, 1988: xi-xxiii), Fernando Poyatos provides a neat
outline of what methodological strategies and epistemological intentions are to
be applied to literature so as to extract anthropological meaning from it.
(Menicucci, 2010: 12).
Dari pernyataan tersebut, tampak bahwa dalam tulisannya, Poyatos
(1988) telah memperkenalkan strategi-strategi metodologis serta epistemologis
yang dapat diterapkan dalam mengikhtisarkan makna antropologis dari karya
sastra.
Secara definitif,
antropologi sastra diartikan sebagai studi mengenai karya sastra dengan
relevansi manusia (anthropos). Dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua
macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka antropologi
sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan
karya-karya yang dihasilkan manusia, seperti bahasa, religi, mitos, sejarah,
hukum, adat-istiadat, dan karya seni, khususnya karya sastra (Nyoman Kutha
Ratna, 2009: 351). Berkaitandengan tiga macam bentuk kebudayaan yang dihasilkan
oleh manusia, yaitu kompleksitas ide, kompleksitas aktivitas, dan kompleksitas
benda-benda, maka
antropologi sastra memusatkan perhatian pada kompleksitas ide kebudayaan.
Pengkajian karya
sastra dengan pendekatan antropologi sangat memungkinkan untuk dilakukan. Hal
ini mengingat sebuah karya sastra tidak hanya mengandung unsur yang bersifat
naratif dengan segala pirantinya, tetapi juga mengandung hal-hal yang bersifat
sosiologis, psikis, historis, maupun antropologis. Hipotesis ini diperkuat oleh
argumentasi bahwa karya sastra sifatnya terbuka. Artinya, seorang pengarang
memiliki kebebasan yang luas untuk mengekspresikan segala aspek kehidupannya
atau kehidupan masyarakat di sekitarnya melalui media bahasa.
Sebuah karya sastra
bisa dibahas atau diteliti melalui berbagai pendekatan yang berkaitan dengan
segala hal yang menyangkut kehidupan manusia atau masyarakat. Sosiologi sastra,
psikologi sastra, dan antropologi sastra, sebagai ilmu sosial humaniora jelas
mempermasalahkan manusia. Perbedaanya, sosiologi sastra mempermasalahkan
masyarakat, psikologi sastra pada aspek-aspek kejiwaan, sedangkan antropologi
sastra pada kebudayaan (Nyoman Kutha Ratna, 2009:353).
Lahirnya pendekatan
antropologi sastra didasarkan atas kenyataan bahwa: (a) baik sastra maupun
antropologi menganggap bahasa sebagai objek yang penting; (b) baik sastra
maupun antropologi mempermasalahkan relevansi manusia dengan budaya, dan (c)
baik antropologi maupun sastra sama-sama mempermasalahkan tradisi lisan atau
sastra lisan, seperti: mitos, dongeng, dan legenda menjadi objek penelitiannya
(Nyoman Kutha Ratna, 2009:352). Tradisi lisan yang merupakan hasil budaya dan
berkembang dalam suatu masyarakat, bisa diteliti melalui pendekatan sastra maupun
pendekatan antropologis. Jadi titik temu antara antropologi dan sastra adalah
pada bahasa sebagai objeknya.
Sejalan dengan
pendapat di atas, Suwardi Endraswara (2006:107) menyatakan bahwa penelitian
antropologi sastra dapat menitikberatkan pada dua hal. Pertama, meneliti
tulisan-tulisan etnografi yang berbau sastra untuk melihat estetikanya. Kedua,
meneliti karya sastra dari sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat
aspek-aspek budaya masyarakat. Jadi, selain meneliti aspek sastra dari tulisan
etnografi, fokus antropologi sastra adalah mengkaji aspek budaya masyarakat
dalam teks sastra.
Antropologi
dibedakan menjadi antropologi fisik dan antropologi kebudayaan, yang sekarang
menjadi studi kultural. Dalam kaitannya dengan sastra, antropologi kebudayaan
dibedakan menjadi dua bidang, yaitu antropologi dengan objek verbal dan
nonverbal. Pedekatan antropologi sastra lebih banyak berkaitan dengan objek
verbal (N yoman Kutha Ratna, 2009: 63).
Lebih lanjut, Nyoman
Kutha Ratna menuturkan bahwa pokokpokok bahasan yang ditawarkan dalam
pendekatan antropologis adalah bahasa sebagaimana dimanfaatkan dalam karya
sastra, sebagai struktur naratif, yaitu:
1) Aspek-aspek naratif
karya sastra dan kebudayaan yang berbeda-beda.
2) Penelitian aspek
naratif sejak epic yang paling awal hingga novel yang paling modern.
3) Bentuk-bentuk
arkhais dalam karya sastra, baik dalam konteks karya individual maupun
generasi.
4) Bentuk-bentuk mitos
dan system religi dalam karya sastra.
5) Pengaruh mitos,
sistem religi, dan citra primordial yang lain dalam kebudayaan popular.
5)Sebagai sebuah
kajian interdisipliner yang relatif baru, dalam antropologi sastra muncul
Istilah antropologi sastra berdekatan dengan istilah literary anthropology.
Istilah ini dimunculkan oleh Iser (dalam Sumara, 2002: 239), sebagaimana dalam
kutipan berikut.
“Iser (1989, 1993) has named interpretive
practices associated with reader/text relations a “literary anthropology.” With
this phrase he suggests that while the reader will always have an
interpretation of the text she or he is reading, the interpretation
itselfparticipates in the on going development of the reader’s self identity.”
Dalam kutipan tersebut Iser menamai kajian yang menekankan
penafsiran karya sastra yang berhubungan dengan teks dan pembaca sebagai
“literary anthropology”. Pada penjelasan lebih lanjut, ia menekankan bahwa
ketika pembaca memiliki penafsiran terhadap karya sastra yang dibaca,
penafsiran tersebut memiliki peran dalam proses pengembangan identitas pribadi
pembaca itu sendiri (while the reader will always have an interpretation of
the text she or he is reading, the interpretation itself participates in the
ongoing development of the reader’s self identity).
Pemahaman terhadap pembaca yang menafsirkan karya sastra tentunya,
tidak terlepas dari pemahaman atas perannya sebagai individu yang berkontribusi
dalam masyarakat kebudayaan, dalam hal ini ia juga akan membentuk
dimensi-dimensi antropologi. Identifikasi peran pribadi pembaca ketika ia
membaca dan menafsirkan karya sastra, sebagaimana dikatakan Iser tersebut,
tentunya perlu dilakukan dengan menggunakan instrumen yang menggabungkan antara
dua disiplin ilmu, yakni kajian sastra dan kajian antropologi. Dengan kata
lain, istilah antropologi sastra lebih mengacu pada kajian dengan menekankan
pada analisis karya sastra dengan menggunakan instrumen antropologi, yang
nantinya akan menghasilkan sebuah pemahaman terhadap kaitan antara karya sastra
dengan kebudayaan.
Secara lebih spesifik kajian antropologi sastra akan menghasilkan
perpaduan dua bidang ilmu yakni sastra dan antropologi. Pemahaman utama dalam
kajian antropologi sastra adalah bahwa karya sastra berada dalam konteks, bukan
hanya vakum dan bersifat sebagai data otonom (Nyoman Kutha Ratna, 2011: 33).
Poyatos (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2007: 33) menyatakan bahwa antropologi
sastra juga berarti analisis sastra antarbudaya, kebudayaan yang berbeda-beda
akan menghasilkan sastra bandingan. Oleh karena itu, antropologi sastra
memiliki tugas untuk mengungkapkan aspek-aspek kebudayaan, khususnya kebudayaan
tertentu dalam masyarakat tertentu. Oleh karena itu, kajian antropologi sastra
dibatasi sebagai sebuah kajiian yang menganalisis karya sastra sebagai produk
budaya, yang ditelaah dengan sudut pandang antropologis.
Kedudukan kajian antropologi sastra dirumuskan oleh Nyoman Kutha
Ratna, (2011: 68) yakni, “Pertama antropologi sastra berfungsi untuk melengkapi
analisis ekstrinsik di samping sosiologi sastra dan psikologi sastra. Kedua,
antropologi sastra berfungsi untuk mengantisipasi kecenderungan-kecenderungan
baru hasil-hasil karya sastra yang di dalamnya banyak dikemukakan kearifan
lokal....”. Dari paparan tersebut diketahui bahwa antropologi sastra berpusat
pada tataran kajian unsur ekstrinsik dan mengakomodasi adanya kearifan lokal
yang terkandung dalam karya sastra.
Analisis antropologis dalam sastra adalah upaya untuk mencoba
memberikan identitas terhadap karya sastra tersebut, dengan menganggapnya
mengandung aspek tertentu, dalam hubungannya dengan ciri-ciri kebudayaan
(Nyoman Kutha Ratna, 2011:39). Sebagai sebuah analisis antropologi dan sastra
memiliki perbedaan mendasar. Antropologi sebagai disiplin ilmiah dan karya
sastra adalah hasil kreativitas dan imajinatif. Oleh karena itu, keduanya perlu
memadukan aspek-aspek yang bersinggungan dan memberikan batasan kajian.
Seperti telah
diketahui, bahwa pendekatan antropologi sastra dalam penelitian sastra adalah
suatu hal yang baru. Oleh karena itu, masih sedikit sekali ditemui teori-teori
tentang antropologi sastra tersebut. Hal ini mungkin disebabkan oleh dominasi
pendekatan sosiologi sastra karena menganggap bahwa hal-hal yang bersifat
antropologis dalam sebuah karya sastra merupakan wilayah kajian sosiologi
sastra.
Antropologi sastra
adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam masyarakat (N yoman Kutha Ratna,
2009: 63). Manusia dalam konteks ini tentu saja manusia sebagai individu yang
membentuk suatu kebudayaan, bukan manusia sebagai mahluk sosial dalam
masyarakat yang nantinya melahirkan pendekatan sosisologi sastra. Antropologi
sastra memberi perhatian pada manusia sebagai agen kultural, sistem
kekerabatan, sistem mitos, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Artinya,
antropologi sastra menganalisis sebuah karya sastra dengan memperhatikan teori
dan data-data yang bersifat antropologis yang ada di dalamnya (Nyoman Kutha
Ratna, 2009: 353-357). Dalam konteks yang lebih opersional, dapat disimpulkan
bahwa penelitian antropologi sastra terhadap sebuah karya sastra adalah
berusaha melihat perjalanan atau sikap individu tokoh cerita yang mewarnai dan
pengungkap budaya masyarakat tertentu yang terkandung dalam karya sastra itu
sendiri.
c.
Langkah-langkah penerapan Antropologi sastra terhadap novel imarat
yacubian
d.
Kebudayaan masyarakat Mesir
B.
Penelitian yang relevan
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Tempat dan waktu penelitian
B.
Bentuk dan Pendekatan penelitian
C.
Data dan Sumber data
D.
Teknik pengumpulan data
E.
Validasi data
F.
Teknik analisis data
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil penelitian
B.
No comments:
Post a Comment