Saturday, 27 August 2022

MAKALAH ANTROPOLOGI SASTRA

 

MAKALAH ANTROPOLOGI SASTRA

 oleh Wandi Tosan, S. Hum

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.     Hakikat Antropologi Sastra

Antropologi sastra terdiri atas dua kata yaitu antropologi dan sastra. Menurut Ratna (2011: 6), antropologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra yang di dalamnya terkandung unsur-unsur antropologi. Dalam hubungan ini jelas karya sastra menduduki posisi dominan, sebaliknya unsur-unsur antropologi sebagai pelengkap. Oleh karena disiplin antropologi sangat luas, maka kaitannya dengan sastra dibatasi pada unsure budaya yang ada dalam karya sastra. Hal ini sesuai dengan hakikat sastra itu sendiri yaitu sastra sebagai hasil aktivitas kultural. Pendapat lain dikemukakan oleh Koentjaraningrat, antropologi sastra adalah analisi dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan.

Pentingnya analisis unsur kebudayaan dalam karya sastra dikemukakan oleh Sudikan, antropologi sastra mutlak diperlukan dikarenakan, pertama sebagai perbandingan terhadap psikologi sastra dan sosiologi sastra. Kedua, antropologi sastra diperlukan dengan pertimbangan kekayaan kebudayaan seperti diwariskan oleh nenek moyang.

Analisis antropologi sastra adalah usaha untuk mencoba memberikan identitas terhadap karya sastra dengan menganggapnya sebagai mengandung aspek tertentu yaitu hubungan ciri-ciri kebudayaannya. Cara yang dimaksudkan tentunya mengacu pada defenisi antropologi sastra. Ciri-cirinya seperti; memiliki kecenderungan kemasa lampau, citra primordial, citra arketipe. Ciri-ciri lain, misalnya; mengandung aspek-aspek kearifan lokal dengan fungsi dan kedudukannya masing-masing, berbicara mengenai suku-suku bangsa dengan subkategorinya, seperti; trah, klen dan kasta. Bentuk kecenderungan yang dimaksudkan juga muncul sebagai peguyuban tertentu, seperti; masyarakat pecinaan, pesantren. Daerah-daerah tertentu; kampung Bali, Minangkabau, Jawa, Mandar, Bugis, Papua. Kelompok-kelompok tertentu; priayi, santri, abangan, atau bangsawan.

B.     Psikologi Sastra, Sosiologi Sastra dan Antropologi Sastra

Hal terpenting dalam menentukan atau mengategorikan sebuah karya sastra, apakah termasuk dalam sosiologi sastra, psikologi sastra ataupun antropologi sastra yaitu dengan ciri-ciri yang lebih kuat yang muncul dalam pembahasan isi karya sastra itu sendiri. Secara definitif apabila sebuah karya lebih banyak mengungkapkan berbagai peristiwa, maka karya tersebut dapat dikategorikan berciri sosiologi sastra. Karya yang banyak mengemukakan masalah konflik batin tokoh-tokohnya, dapat dikategorikan bercirikan psikologi sastra. Sedangkan apabila suatu karya didominasi oleh masalah-masalah kebudayaan, khususnya kerinduan ke masa lampau termasuk sebagai memiliki ciri-ciri antropologi sastra.

 

Sebagai interdisiplin, dalam rangka menopang eksistensi karya sastra, psikologi sastra, sosiologi sastra dan antropologi sastra dianggap telah mewakili keseluruhan aspek ekstrinsiknya. Seperti di atas, psikologi sastra menganalisisnya dari segi kejiwaan, sosiologi sastra menganalisis dari segi masyarakatnya, sedangkan antropologi sastra dari segi kebudayaan. Perbedaaan dilakukan semata-mata sebagai salah satu cara untuk menentukan bahwa suatu objek didominasi oleh salah satu ciri sehingga pantas dianalisis dari pendekatan tersebut. Psiokologi sastra, misalnya, baik dilakukan pada karya yang banyak mengandung konflik batin. Sosiologi sastra terhadap karya sastra yang banyak bercerita mengenai berbagai peristiwa dalam masyarakat. Sedangkan antropologi sastra pada karya yang mengandung tema, pesan, pandangan dunia, dan nilai-nilai kehidupan manusia, kebudayaan pada umumnya, khususnya yang berkaitan dengan mas lampau. Perbedaan yang dimaksudkan jelas tampak melalui objek formal masing-masing, seperti berikut.

  

 

 

 

 


Diagram 1. Perbedaan Objek Formal antara Psikologi Sastra, Sosiologi Sastra dan Antropologi Sasta

Pendapat lain dikemukakan oleh Sahril Anwar (2013), dalam mengategorikan sebuah karya sastra ciri-ciri dominan yang muncul dalam karya sastra itulah yang nantinya menjadi dasar dalam menganalisis. Sosiologi sastra dengan sendirinya berkaitan dengan masyarakat, intensitas rangkaian peristiwa dan kejadian, psikologi sastra berhubungan dengan unsur-unsur kejiwaan dalam hubungan ini tokoh dan penokohan, sedangkan antropologi sastra berkaitan dengan tradisi, adat istiadat, mitos, dan peristiwa kebudayaan pada umumnya, yang biasanya berkaitan dengan peristiwa-peristiwa masa lampau.

C.     Fungsi Pendekatan Antropologi Sastra

Sebagai sebuah pendekatan baru dalam dunia sastra, maka antropologi sastra memiliki tugas yang sangat penting untuk mengungkapkan aspek-aspek kebudayaan, khususnya kebudayaan masyarakat tertentu. Karya sastra, dalam bentuk apapun, termasuk karya-karya yang dikategorikan sebagai bersifat realis tidak pernah secara eksplisit mengemukakan muatan-muatan yang akan ditampilkan, ciri-ciri antropologi yang terkandung di dalamnya. Semata-mata kemampuan penelitilah yang dapat menunjukkan suatu karya sastra sebagai mengandungbdan dengan demikian didominasi oleh aspek tertentu; tema, pesan atau pandangan dunia menurut pemahaman lain.

Sebagai sebuah pendekatan, maka yang dinilai adalah unsur-unsur itu juga bagaimana pengarang menceritakan, menarasikan, sehingga kerinduan terhadap kebudayaan maupun adat-adat tertentu dapat terwujud dengan baik. Oleh karena itu, ada pendapat bahwa dalam beberapa hal analisis memiliki persamaan dengan karya sastra, seperti kualitas kreatifitas, rekonstruksi imajinatif, alur penalaran, dan dengan sendirinya penggunaan bahasa. Analisis selanjutnya, kecenderungan terhadap beberapa ciri antropologi dengan mengungkapkan dimensi-dimensi yang ditampilkan, seperti kehidupan orang Jawa, Sunda, Mandar, Bugis, Bali Minangkabau dan sebagainya.

Bagian terakhir yang menjadi perhatian adalah penjelasan ciri-ciri tersembunyi berbagai gejala yang diungkapkan dalam karya. Bagian terakhir ini merupakan bagaian tersulit sebab penelitian harus ditopang oleh sejumlah ilmu bantu yang relevan. Seperti halnya karya sastra merupakan ‘dunia dalam kata’, dunia miniatur dengan unsur-unsur penyajian yang terbatas, sehingga banyak ruang kosong yang harus diisi dan dijelaskan. Dalam sebuah novel misalnya, diceritakan bahwa orang Bali tidak suka merantau, berbeda dengan orang Minangkabau atau orang Bugis, maka tugas peneliti adalah menjelaskan perbedaan tersebut secara objektif ilmiah sehingga menjadi masuk akal. Hakikat karya sastra adalah kreatif imajinatif sedangkan hakikat karya ilmiah adalah objektif verifikatif. Begitu pula dengan ciri-ciri yang tampak jelas pada sebuah karya sastra, seperti; ngaben(pembakaran mayat dalam agama Hindu Bali), khitan (pemotongan kulup dalam agama Islam), katoba dan kankilo (khitan di Sulawesi Tenggara), sekaten (upacara ritual dalam kesultanan Yogyakarta).

Menurut Ratna (2011: 68) antropologi sastra berfungsi untuk; 1) melengkapi analisis ekstrinsik di samping sosiologi sastra dan psikologi sastra, 2) mengantisipasi dan mewadahi kecenderungan-kecenderungan baru hasil karya sastra yang di dalamnya banyak dikemukakan masalah-masalah kearifan local, 3) diperlukan dalam kaitannya dengan keberadaan bangsa Indonesia, di dalamnya terkandung beraneka ragam adat kebiasaan seperti; mantra, pepatah, motto, pantun, yang sebagian besar juga dikemukakan secara estetis dalm bentuk sastra, 4) wadah yang sangat tepat bagi tradisi dan sastra lisan yang selama ini menjadi wilayah perbatasan disiplin antropologi sastra, 5) mengantisipasi kecenderungan kontemporer yaitu perkembangan multidisiplin baru.

Hal yang harus dipahami dalam menggabungan antropologi dan sastra yaitu dasar kedua disiplin ini, hakikat dari antropologi adalah fakta empiris sedangkan sastra adalah kreatifitas imajinatif. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat digunakan sebagai tolok ukur suatu peristiwa tertentu. Karya sastra hanyalah refleksi, cermin, representasi menurut pemahaman teori sastra. Hal ini juga yang menjadi dasar karya sastra tidak dapat diadili atau dilarang penerbitannya misalnya, dengan tuduhan sebagai mewakili ideologi tertentu seperti karya-karya Pramoedya Ananta Toer, tokoh-tokoh seperti Bima dan Arjuna, Jayaprana dan Layonsari, Sitti Nurbaya dan Datuk Maringgih, Dracula, Nyi Rara Kidul. Tokoh-tokoh ini haruslah dipandang sebagai hanya perwakilan sifat-sifat manusia tertentu dalam masyarakat.

D.    Beberapa Karya Sastra

Beberapa karya sastra yang bercirikan dalam antopologi sastra seperti; Sitti Nurbaya yang menampilkan masalah pokok mengenai adat istiadat, terpaksa kawin dalam kaitannya dengan adat minangkabau, Salah Asuhan mengenai kawin campuran antara bangsa Barat dengan pribumi, Layar Terkembang mengenai emansipasi perempuan, Bumi Manusia dalam kaitannya dengan residu kolonialisme, Lontara Rindu mengenai perbedaan kepercayaan dan beberapa kepercayaan orang Bugis, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijckyang menceritakan tentang adat istiadat orang Minangkabau dalam pernikahan.

E.     Analisis Antropologi Sastra

Analisis ekstrinsik jelas dilakukan melalui petunjuk, indikator, ciri-ciri yang terkandung di dalam objek penelitian seperti antropologi sastra yang banyak mengandung unsur-unsur kebudayaan dalam karya sastra. Seperti Layar Terkembang dan Belenggu, di dalamnya masing-masing pengarang dengan sengaja menampilkan modernisasi dan pada gilirannya juga didukung oleh sejumlah kritikus, tetapi ternyata sarat dengan masalah-masalah lampau, sebagai citra primordial (kerinduan ke masa lampau, sebagai ketaksadaran kolektif).

Dalam menganalisis unsur kebudayaan dalam sastra, Koentjaraningrat (1992) membatasi unsur kebudayaan menjadi tujuh bagian yaitu: pertama, peralatan kehidupan manusia seperti; rumah, pakaian, alat-alat rumah tangga, dan berbagai peralatan yang dikaitkan dengan kebutuhan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, mata pencaharian seperti; pertanian, peternakan, perikanan dengan sistem ekonomi dan produksinya masing-masing. Ketiga, kesenian dengan berbagai jenisnya seperti; seni rupa, seni suara, seni gerak. Keempat, sistem religi berbagai bentuk pengalaman manusia dalam kaitannya dengan subjektivitas, keyakinan, dan berbagai kepercayaan.

 

 

1.      Peralatan Kehidupan Manusia

Secara objektif antropologis perkembangan peralatan manusia demikian juga perkiraan awal terjadinya jelas berbeda. Rumah sebagai tempat berlindung dari sinar matahari, dan hujan yang diakibatkan dari gejala alam itulah dibuat rumah atau pakaian, diikuti dengan peralatan lain yang dianggap perlu. Sesudah melewali proses yang sangat panjang akhirnya manusia tiba pada zaman kontemporer, zaman komputer, zaman ruang angkasa. Manusia menciptakan berbagai alat bantu seperti robot dan alat-alat bedah dalam dunia kedokteran, sehingga memunginkan untuk operasi plastik. Pemusnahan etnis seperti dilakukan terhadap orang Yahudi pada perang dunia II dan etnis lain di Afrika.

Dalam karya sastra masalah-masalah peralatan kehidupan manusia tidak dilukiskan secara kronologis, melainkan struktur pencitraannya. Ceritalah yang menjadi masalah utama, di dalamnya berbagai bentuk peralatan menjadi pelengkap. Semata-mata penelitilah yang merakitnya, menjelaskan sehingga menjadi masuk akal sebagai analisis antropologis.

Orang Bali tidak mengenal sampiran pantun //berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian//, sebab di Bali tidak ada sungai yang cukup lebar untuk mengoperasikan rakit. Dengan memperhatikan sejumpah cerita, senjata yang digunakan oleh tokoh berbeda-beda sesuai dengan tokoh yang diacunya. Menjadi rancu jika dalam cerita  Jayaprana Layonsari adalah ‘samurai’, ‘celurit’, ‘bedil’ ‘badik’. Chairil Anwar dalam karyanya menggunakan berbagai senjata, ‘pedang dan keris’ dalam puisi “Diponegoro”, ‘peluru’ dalam puisi “Aku”. Dalam “Cintaku Jauh Di Pulau” menggunakan istilah ‘perahu’. Dengan singkat, peralatan persenjataan, baik tradisional maupun modern dominan dalam karya sastra.

Karya yang baik menunjukkan dengan jelas penggunaan peralatan, sehingga sesuai dengan situasi dan kondisi, latar secara keseluruhan. Dalam Belenggu baru ditemukan telepon dan dengan sendirinya belum ada handphone, media elektronik yang popular yaitu radio sehingga dengan sendirinya belum ada televisi. Putu Wijaya (1977), menggunakan istilah Telegram pada judul bukunya. Pakaian tokoh perempuan dalam Layar Terkembangberupa kain sutera, Jusuf menggunakan kendaraan sepeda untuk kulih. Tokoh Sitti Nurbaya (Marah Rusli) menggunakan pedati. Tamin dalam Pulang (Mochtar) menggunakan bajak dan sapi untuk mengerjakan sawah. Banyaknya peralatan justru mengarahkan karya sastra menjadi sejarah tertentu.

2.      Mata Pencaharian

Dalam seluruh kehidupan manusia mata pencaharin merupakan penunjuk terhadap peradaban tertentu atau masa periode tertentu. Pertanian dan perburuan dianggap sebagai mata pencaharian pertama yang dikenal oleh manusia, Kemudian pada zaman modern ditopang oleh perkembangan teknologi dan lahirnya industri. Birokrasi melahirkan pegawai negeri, terjadi jual beli intelektualitas dan kemampuan pikiran.

Dalam Layar Terkembang, Tokoh Ratna berhenti sebagai pegawai negeri memilih menjadi seorang petani, tokoh Tamin  dalam Pulang setelah lama merantau Kemudian kembali menjadi petani. Dalam masyarakat Bali, mata pencaharian dengan cara mendirikan warung dan berbagai bentuk berjualan di pinggir jalan. Warung yang dimaksudkan mungkin berbentuk secara relatif permanen tetapi ada juga yang sederhana. Dalam Sukreni Gadis Bali karya Panji Trisna yang melukiskan warung Men Negara.

Dalam periodisasi dan mata pencaharian tertentu dapat menunjukkan kebiasaan masyarakat. Seperti orang Sinderang Rappang dalam Lontara Rindu yang  menunjukkan kebiasaan masyarakat bugis yang tinggal di pegunungan Pakka Salo yang mayoritas bekerja menjadi petani jambu mente. Antropologi sastra jelas berkaitan dengan masalah kebudayaan seperti, mitos, dan berbagai bentuk kearifan lokal, tetapi bentuk-bentuk yang dimaksudkan dibicarakan dalam kaitannya dengan kondisi masyarakat tertentu.

3.      Kesenian dengan Berbagai Jenisnya

Berbagai kesenian yang timbul di masyarakat adalah manifestasi dari estetika yang ada dalam diri mereka. Kesenian dalam berbagai jenisnya juga menunjukkan kebiasaan dari masyarakat tertentu, misalnya; orang Bali yang mayoritas beragama Hindu yang menggunakan seni tari, seni musik, seni suara maupun patung-patung tertentu sebagai pemujaan. Begitupun dengan orang Jawa yang menggunakan gong, gamelan, seruling yang digunakan untuk beberapa acara penting yang diselanggaran.

            Karya Oka Rusmini (2000), Tarian Bumi secara keseluruhan bercerita mengenai kehidupan tokoh sebagai penari. Kenyataan ini jelas berkaitan erat dengan latar belakang novel yaitu Bali yang memang merupakan ‘pulau seni’ khususnya tarian. begitupun dengan Nur Sutan Iskandar (1946) dan Andjar Asmara (1949) melalui Jangir Bali dan Nusa Penida yang mencoba mengangkat tentang tari jangir (jangger).

            Dalam Trilogi Dukuh Paruk (Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala) karya Ahmad Tohari, menceritakan kehidupan tokoh utama Srintil sebagai penari ronggeng. Dalam mitologi Jawa, ronggeng adalah seni sekaligus mitos pelacuran. Trilogi novel ini menceritakan tradisi seseorang bukan hanya mejadi penari tetapi juga melayani nafsu seksual laki-laki, sebelum menjadi ronggeng yang sesungguhnya seseorang harus melalui sejumlah upacara ritual dan diakiri dengan upacara terakhir yaitu bukak-kalmbu.

4.       Sistem Religi

Istilah religi diturunkan dari akar religio berkaitan dengan kepercayaan, keyakinan. Pengertian religi dianggap lebih luas dibandingkan dengan agama. Religi meliputi seluruh sistem kepercayaan, pada umumnya berlaku dalam kelompok-kelompok terbatas sedangkan agama mengacu hanya pada agama formal atau mendapat pengakuan secara hukum.

Menyadari adanya keberagaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia, Rampan (1976) dalam novel Upacara mengangkat upacara ruwatan yang terjadi di kalangan suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Upacara menyajikan berbagai bentuk upacara, situasi magis dengan istilah-istilah lokal seperti; lumut (surga), balian (dukun) danpelulung (upacara perkawinan). Karya Achdiat K. Miharja yang berjudul Ateis yang mengangkat dan mempertanyakan keberadaan Tuhan. Dalam Lontara Rindu karya Mappangewa menunjukkan kepercayaan masyarakat Sidenreng Rappang yaitu Tolotangdengan mempercayai Lontara sebagi kitab suci dan acara ritual ke makan I Pabbere’ setiap akhir Januari disetiap tahunnya yang ditentukan oleh para Uwa (petuah adat Tolotang).

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.     Kesimpulan

1.      Antropologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra yang di dalamnya terkandung unsur-unsur antropologi. Dalam hubungan ini jelas karya sastra menduduki posisi dominan, sebaliknya unsur-unsur antropologi sebagai pelengkap.

2.      Hal terpenting dalam menentukan atau mengategorikan sebuah karya sastra, apakah termasuk dalam sosiologi sastra, psikologi sastra ataupun antropologi sastra yaitu dengan ciri-ciri yang lebih kuat yang muncul dalam pembahasan isi karya sastra itu sendiri.

3.      Sebagai sebuah pendekatan baru dalam dunia sastra, maka antropologi sastra memiliki tugas yang sangat penting untuk mengungkapkan aspek-aspek kebudayaan, khususnya kebudayaan masyarakat tertentu. Karya sastra, dalam bentuk apapun, termasuk karya-karya yang dikategorikan sebagai bersifat realis tidak pernah secara eksplisit mengemukakan muatan-muatan yang akan ditampilkan, ciri-ciri antropologi yang terkandung di dalamnya

 

B.     Saran

1.      Penulis menyarankan agar pembaca lebih memperbanyak lagi referensi-referensi mengenai antropologi sastra selain makalah ini. Hal ini dikarenakan oleh keterbatasan penulis dalam mencari referensi-referensi dalam penyusunan makalah ini.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ratna Nyoman Kutha. 2011Antropologi Sastra: Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses KreatifYogyakarta: PT Pustaka Pelajar.

Anwar Sahril. 2013. Analisis Antropologi Sastra, (Online),http://sahrilanwar.wordpress.com/makalah-2/, diakses 28 Oktober 2014.

Ajeng. 2014. Kajian Antropologi Sastra, (Online),http://ajengbgt.blogspot.com/2012/04/apresisasi-sastra-kajian-antropologi.html, diakses 29 Oktober 2014.

 


No comments: