Saturday, 27 August 2022

MADRASAH NAHWIYAH MESIR: HISTORICAL PERSPECTIVE

 

MADRASAH NAHWIYAH MESIR: HISTORICAL PERSPECTIVE

 

Wandi Tosan

Uiversitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

e-mail: wandi.tosan@uinmalang.ac.id

 

Muhammad Athoilah

Uiversitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

e-mail: muhammad.athoilah@uinmalang.ac.id

 

Abstrak

Nahwu aliran Mesir secara khusus mulai berkibar dengan hadirnya Wallad bin Muhammad At-Tamimi, seorang yang berasal dari Basrah tetapi tumbuh di Fusthath Mesir. Beliau berguru kepada Al-Khalil bin Ahmad di Iraq dan menulis buku hasil pembelajarannya bersama sang penemu ilmu ‘arudh tersebut. Salah satu tokoh yang sezaman dengan Wallad ini adalah Abul Hasan Al-A’azz  yang belajar nahwu kepada Al-Kisa’i. Dari adanya dua tokoh inilah mulai muncul aliran baru paduan antara kedua aliran yang telah ada, yaitu Kufah dan Basrah. Dua tokoh inilah generasi pertama Nahwu Mesir.

Kata kunci: aliran, sejarah, perkembangan, tokoh

 

Pendahuluan

Ilmu nahwu telah berkembang pesat di berbagai wilayah untuk memahami dan menghindari dari kesalaha-kesalahan dalam membaca Al-Qur`an, memahami fiqh dan memahami hadits sehingga muncul lah berbagai madrasah atau aliran nahwu dengan pendapat dan pemahaman masing-masing madrasah.  Adapun pendapat beberapa ulama Nahwu dari beberapa istilah madarisu an-nahwiyah memiliki pemahaman yang bermacam-macam seperti Dr. Mahdi al-Makhzumi mendefinisikan madrasah adalah “tidak ada madrasah kecuali ada guru yang mempengaruhi dan murid yang dipengaruhi. Dan keduanya bersatu dengan tujuan untuk menghasilkan sebuah metode.”

Dr. Ahmad Makki al-Anshari mendefinisikan madrasah adalah “menunjukkan kriteria-kriteria yang khusus baik secara individu atau kelompok yang kemudian diikuti oleh orang lain.” Kemudian Menurut al-Mustasyriq Jotol Fayl berpendapat madrasah adalah “kesatuan cara pandang yang menjadikan ranah ilmiah dan yang telah disepakati oleh sebagian para ulama untuk menjadi satu pandangan.” Sedangkan Menurut Khodijah al-Hudaitsy madrasah adalah”perkumpulan para ahli nahwu yang membentuk suatu pembelajaran nahwu pada lingkungan tertentu dan mengumpulkan suatu metode khusus, dasarnya, hukum asalnya, kaidahnya yang diketahui berbeda dengan yang lain.” (Tamim Mulloh, 2014, h. 98-99)

Setelah tersusunnya ilmu gramatikal bahasa Arab dan banyaknya para ulama yang telah memperjelas ilmu tersebut. Hal ini, mengakibatkan timbulnya aliran-aliran dalam ilmu nahwu, yang disebabkan adanya khilaf dikalangan para ulama nahwu dalam menentukan posisi (mahal) kata dalam suatu kalimat. Beda persepsi ini, tidak luput dari pengaruh daerah para ulama tersebut menetap.

Diantara aliran-aliran ilmu nahwu (Madaaris an-Nahwiyah) tersebut menurut Syauqi Dhoif, ada lima aliran yang terkenal hingga saat ini ialah aliran (madrasah) Al-Basrah, aliran (madrasah) Kufah, aliran (madrasah) Baghdad, aliran (madrasah) Andalus, dan aliran (madrasah) Mesir. (Dr.Abdul Amir Muhammad Amin Al-Ward, h. 4)

Ilmu nahwu pada mulanya lahir dan tumbuh di Bashrah, namun kemudian pada periode-periode berikutnya tersebar ke negeri-negeri Islam lainnya. Ada beberapa manfaat dari mempelajari nahwu, di antaranya; dapat memahami dengan benar susunan kata-kata Bahasa Arab yang terdapat pada literatur-literatur hukum Islam (al-Qur’an, al-Hadits dan kitab-kitab Fiqh), dapat menyusun kata-kata Bahasa Arab dalam susunan yang sesuai dengan kaidahnya, dan dapat menentukan kedudukan-kedudukan kata dan dapat mengambil pengertiannya dengan benar.

Namun, aliran (madrasah) yang paling terkenal dalam kitab-kitab nahwu hanya dua, Basrah dan Kufah. Keduanya disebut sebagai aliran utama, karena keduanya mempunyai otoritas dan independensi yang tinggi, kedua aliran tersebut juga mempunyai pendukung yang banyak dan fanatik, sehingga mampu mewarnai aliran-aliran berikutnya. Adapun tiga aliran yang lain disebutnya sebagai aliran turunan yang berinduk pada salah satu aliran utama atau merupakan hasil paduan antara keduanya. ( Syauqi Daif, 1976, h. 20 )

Perkembangan dan penyebar luasan ilmu nahwu di Bashrah ini tidak lepas dari peranan Madrasah al-Bashriyah, sebuah lembaga pendidikan khusus yang dibentuk untuk membina nahwu di Bashrah yang didirikan pada masa Khalil ibn Ahmad al-Farahidi. Dari Madrasah ini lahir ulama-ulama nahwu lainnya seperti; al-Akhfasy, al-Riyasyi, al-Mazini, al-Mubarrad dan al-Yazidi. (Muhammad Tantawi,  h. 64 )

 

A.      Sejarah dan Perkembangan

Aktivitas keilmuan khususnya disiplin ilmu nahwu di Mesir telah muncul dan berkembang sejak masa-masa awal muncul dan berkembangnya nahwu secara umum. Dorongan untuk menjaga bacaan Al-Quran secara benar menjadi faktor utama berkembangnya nahwu di negeri Firaun ini.

Pada masa awal, telah ada pengikut Abul Aswad yang mengajar disana, yaitu Abdurrahman bin Hurmuz (w. 117 H). Beliau inilah yang memberikan tanda titik pada mushaf Al-Quran sebagai tanda I’rab. Beliau juga guru salah seorang dari qurra’ bacaan Al-Quran yang tujuh, yaitu Imam Nafi’ bin Abi Nu’aim di Madinah. Bacaan cara Nafi’ ini kemudian berkembang di Mesir berkat muridnya, yaitu Warasy, seorang penduduk asli Mesir yang bernama lengkap ‘Utsman bin Sa’id.

Nahwu aliran Mesir secara khusus mulai berkibar dengan hadirnya Wallad bin Muhammad At-Tamimi, seorang yang berasal dari Basrah tetapi tumbuh di Fusthath Mesir. Beliau berguru kepada Al-Khalil bin Ahmad di Iraq dan menulis buku hasil pembelajarannya bersama sang penemu ilmu ‘arudh tersebut. Salah satu tokoh yang sezaman dengan Wallad ini adalah Abul Hasan Al-A’azz  yang belajar nahwu kepada Al-Kisa’i. Dari adanya dua tokoh inilah mulai muncul aliran baru paduan antara kedua aliran yang telah ada, yaitu Kufah dan Basrah. Dua tokoh inilah generasi pertama Nahwu Mesir.

Generasi kedua Nahwu Mesir ditandai dengan munculnya Ad-Dinauri (w. 289 H). Beliau adalah Ahmad bin Ja’far, yang melakukan perjalanan ke Basrah untuk menuntut ilmu. Beliau belajar Al-Kitab milik Sibawaih dari Al-Mazini, kemudian ke Baghdad belajar kepada Tsa’lab, lalu pindah belajar kepada Al-Mubarrad.  Setelah itu, beliau kembali ke Mesir dan mengajar Nahwu di sana dan menulis sebuah buku berjudul Al-Muhadzdzab yang beliau peruntukkan bagi para muridnya di sana.

Seorang tokoh yang sezaman dengan Ad-Dinauri adalah Muhammad bin Wallad At-Tamimi (w. 298 H). Pada mulanya, beliau belajar nahwu dari ayahanda beliau, dan juga Ad-Dinauri, dan Mahmud bin Hassan. Kemudian, beliau menuju Baghdad dan belajar Al-Kitabkepada Al-Mubarrad. Setelah itu, beliau pulang, mengajar, dan menulis sebuah buku ajar dengan judul Al-Munammaq.

Generasi berikutnya adalah Ali bin Husain Al-Hunna’i (w. 320 H), dan Abul ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin Wallad At-Tamimi (w. 332 H). Ali bin Husain adalah penulis Al-Mundhad. Beliau memadukan pendapat Basrah dan Kufah. Beliau dijuluki Kura’un Namli yang berarti kaki semut karena fisiknya yang pendek. Sedangkan Abul Abbas, beliau belajar nahwu dan mendapat salinan al-Kitab dari ayah beliau, Muhammad, dan juga belajar dari Az-Zajjaj di Basrah. Beliau dikenal seorang yang cerdik pandai. Selain kedua tokoh ini, terdapat pula Abu Ja’far An-Nuhas (w. 337 H), penulis kitab Ma’anil Qur’an dan I’rabul Qur’an.[1]

 

B.            Para tokoh Ilmu Nahw (Nuhat) dan karya-karyanya

Beberapa tokoh yang muncul berikutnya pada masa dinasti Fathimiyyah adalah:

1.      Abu Bakar Al-Idfawi (w. 388 H)

2.      ‘Ali bin Ibrahim Al-Haufi (w. 430 H), murid Al-Idfawi

3.      Adz-Dzakir An-Nahwi (w. 440 H), murid Ibn Jinni

4.      Ibn Babasyadz, Thahir bin Ahmad (w. 469 H)

5.      Muhammad bin Barakat (w. 520 H)

6.      Ibn al-Qaththa’, ‘Ali bin Ja’far As-Sa’di (w. 515 H)

7.      Ibn Barriy (w. 582 H)

8.      ‘Utsman bin ‘Ali Al-Balathiy Al-Maushili (w. 599 H)

 

Kemudian pada masa Al-Ayyubi:

1.      Sulaiman bin Banin Ad-Daqiqiy (w. 614 H), murid Ibn Barriy

2.      Yahya bin Mu’thi Al-Maghribi (w. 628 H), penulis Alfiyah Ibn Mu’thi, yang dikutip namanya oleh Ibn Malik dalam Alfiyyah-nya

3.      Ibn ar-Ramah, ‘Ali bin Abdushshomad (w. 633 H)

4.      ‘Ali bin Muhammad As-Sakhawi (w. 643 H)

 

Kemudian pada masa dinasti Mamalik dan seterusnya antara lain:

1.      Bahauddin Ibn Nuhas Al-Halabiy (w. 698 H), beliau adalah guru Abu Hayyan

2.      Ibn Ummi Qasim, Al-Hasan bin Qasim (w. 749 H)

3.      Ibn al-Hajib, Jamaluddin ‘Utsman bin ‘Umar bin Abu Bakar (570 H – 646 H)

4.      Ibn Hisyam, Jamaluddin Abdullah bin Yusuf bin Ahmad bin Abdullah bin Hisyam Al-Anshari Al-Mishriy (708 H- 761 H). Beberapa karya beliau yang perlu dicatat adalahMughni al-Labib ‘an Kutub al-A’arib, Awdloh al-Masalik ila Alfiyyah ibn Malik,Syudzur adz-Dzahab, Qathru an-Nada wa Ballu ash-Shada, dan al-I’rab ‘an Qawaid al-I’rab.

Kemudian generasi Mesir akhir antara lain:

 

1.      Ibn ‘Aqil, Abdullah bin Abdurrahman (w 769 H), penulis syarah Alfiyyah Ibn Malikyang terkenal

2.      Ibn ash-Sha’igh, Muhammad bin ‘Abdurrahman (w. 776 H)

3.      Ad-Damamini, Muhammad bin Umar (w. 837 H), penulis Tuhfah al-Gharib, komentar atas Mughni al-Labib karya Ibn Hisyam, beliau berpindah-pindah hingga wafat di India

4.      Asy-Syumunni (w. 872), juga menulis komentar atas Mughni al-Labib

5.      Al-Kafiji, Muhammad bin Sulaiman Ar-Rumi (w. 879 H)

6.      Khalid Al-Azhari (w. 905 H), beliau menghasilkan banyak karya, termasuk Syarh at-Tashrih ‘ala at-Taudhih

7.      As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar bin Muhammad (w. 911 H), beliau sangat terkenal dengan banyak karyanya dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam bidang bahasa, terdapat Asybah wa an-Nazhair, Ham’ul Hawami’, Bughyat al-Wu’at, dan lain sebagainya.

8.      Al-Asymuniy, Nuruddin Ali bin Muhammad (w. 929 H)

9.      Asy-Syanwani (w. 1019 H)

10.  Ad-Danusyari (w. 1025 H)

11.  Syaikh Yasin (w. 1025 H)

12.  Al-Hifni (w. 1178 H)

13.  Ash-Shiban, Muhammad bin ‘Ali (w. 1206 H), terkenal dengan kitab komentar beliau atas Alfiyyah Ibn Malik disamping karya-karya lainnya.

 

14.  Ad-Dasuqi, Muhammad bin Arafah (w. 1230 H)

Teori

Pemikiran Ibnu Al-Hajib

Diantara sekian banyak pendapatnya Ibnu Al- Hajib, beliau menyatakan bahwa I’rab itu adalah lafzy bukan maknawiy. Kemudian beliau beranggapan bahwa isim (sebelum penyusunannya dalam sighah dan ibarat) adalah mabniy. Lalu tentang dua isim isyarah ذان dan تان keduanya adalah isim isyarah yang ditempatkan atau diposisikan untuk mutsanna. Akan tetapi, keduanya bukanlah bentuk mutsanna yang sebenarnya, mengapa? Karena ذان  tersebut merupakan sighah (bentuk) dalam posisi rafa’, dan dapat berubah menjadi ذين yang merupakan bentuknya yang lain yang berposisi nashab dan jar begitu pual dengan تان.

Sebagian besar ulama Nahwu berpendapat bahwa kalimat seperti غلامي adalah mabniy karena diidhofahkan kepada dhomir mabniy, tapi Ibnu al-Hajib berpendapat lain menurut beliau bahwa kalimat غلامي berkedudukan sebagai mu’rab muqaddar dengan acuan beliau kepada kalimat  كغلامه وغلام. Kemudian pendapat beliau tentang lam ibtida’. Beliau sependapat dengan Imam Zamkhosyari bahwa lam yang terdapat pada mubtada’itu menjadi satu menjadi lam ibtida’ contoh لزيد قائم dan  لقائم زيد, adapun selain dari posisi tersebut beliau berpendapat bahwa lamnya adalah lam muaakkdah contoh  إن محمدا لقائم.

Ibnu al-Hajib juga sependapat dengan beberapa pendapat ulama nahwu Kuffah yang mana siafat nahwu Kuffah adalah lebih fleksibel, luntur dan mengadopsi bahasa-bahasa kelompok atau individu-individu tertentu sebagai acuan toeri mereka. Dan ini lebih bersifat deskriptif dalam teori-teori atau pun pembahasannya (Zamzam Afandi, Jurnal Adabiyat ,2009). Sebagian pendapat Ibnu al_Hajib yang mengamini mazhab Kuffah adalah jika lafadz لو kemudian diikuti oleh lafadz  ن المأكدةأ  maka i’rabnya dan yang setelahnya adalah fail ditakdirkan dengan ثبت . Selain itu, pendapat beliau lainnya adalah bahwa lafadz إلا  tidaklah bersifat seperti غير kecuali jika didahului oleh جمع منكر غير محصور  contohnya adalah  لو كان فيهما ألهة لفسدتا  berlawanan dengan contoh lainnya yaitu  له علي عشرة إلا درهما  yang mana posisiإلا   disini adalah sebagai huruf istisna’ saja (Zamzam Afandi, Jurnal Adabiyat ,2009).b

 

 

Simpulan

Daftar Pustaka

No comments: