MADRASAH
NAHWIYAH MESIR: HISTORICAL PERSPECTIVE
Wandi
Tosan
Uiversitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: wandi.tosan@uinmalang.ac.id
Muhammad
Athoilah
Uiversitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: muhammad.athoilah@uinmalang.ac.id
Abstrak
Nahwu aliran Mesir secara khusus mulai berkibar dengan hadirnya
Wallad bin Muhammad At-Tamimi, seorang yang berasal dari Basrah tetapi tumbuh
di Fusthath Mesir. Beliau berguru kepada Al-Khalil bin Ahmad di Iraq dan
menulis buku hasil pembelajarannya bersama sang penemu ilmu ‘arudh tersebut.
Salah satu tokoh yang sezaman dengan Wallad ini adalah Abul Hasan Al-A’azz
yang belajar nahwu kepada Al-Kisa’i. Dari adanya dua tokoh inilah mulai muncul
aliran baru paduan antara kedua aliran yang telah ada, yaitu Kufah dan Basrah.
Dua tokoh inilah generasi pertama Nahwu Mesir.
Kata kunci: aliran, sejarah, perkembangan, tokoh
Pendahuluan
Ilmu nahwu telah berkembang pesat di berbagai wilayah untuk
memahami dan menghindari dari kesalaha-kesalahan dalam membaca Al-Qur`an,
memahami fiqh dan memahami hadits sehingga muncul lah berbagai madrasah atau
aliran nahwu dengan pendapat dan pemahaman masing-masing madrasah. Adapun pendapat beberapa ulama Nahwu dari
beberapa istilah madarisu an-nahwiyah memiliki pemahaman yang bermacam-macam
seperti Dr. Mahdi al-Makhzumi mendefinisikan madrasah adalah “tidak ada
madrasah kecuali ada guru yang mempengaruhi dan murid yang dipengaruhi. Dan
keduanya bersatu dengan tujuan untuk menghasilkan sebuah metode.”
Dr. Ahmad Makki al-Anshari mendefinisikan madrasah adalah
“menunjukkan kriteria-kriteria yang khusus baik secara individu atau kelompok
yang kemudian diikuti oleh orang lain.” Kemudian Menurut al-Mustasyriq Jotol
Fayl berpendapat madrasah adalah “kesatuan cara pandang yang menjadikan ranah
ilmiah dan yang telah disepakati oleh sebagian para ulama untuk menjadi satu
pandangan.” Sedangkan Menurut Khodijah al-Hudaitsy madrasah adalah”perkumpulan
para ahli nahwu yang membentuk suatu pembelajaran nahwu pada lingkungan
tertentu dan mengumpulkan suatu metode khusus, dasarnya, hukum asalnya,
kaidahnya yang diketahui berbeda dengan yang lain.” (Tamim Mulloh, 2014, h.
98-99)
Setelah tersusunnya ilmu gramatikal bahasa Arab dan banyaknya
para ulama yang telah memperjelas ilmu tersebut. Hal ini, mengakibatkan
timbulnya aliran-aliran dalam ilmu nahwu, yang disebabkan adanya khilaf
dikalangan para ulama nahwu dalam menentukan posisi (mahal) kata dalam
suatu kalimat. Beda persepsi ini, tidak luput dari pengaruh daerah para ulama
tersebut menetap.
Diantara aliran-aliran ilmu nahwu (Madaaris an-Nahwiyah)
tersebut menurut Syauqi Dhoif, ada lima aliran yang terkenal hingga saat ini
ialah aliran (madrasah) Al-Basrah, aliran (madrasah) Kufah, aliran
(madrasah) Baghdad, aliran (madrasah) Andalus, dan aliran (madrasah)
Mesir. (Dr.Abdul Amir Muhammad Amin Al-Ward, h. 4)
Ilmu nahwu pada mulanya lahir dan tumbuh di Bashrah, namun
kemudian pada periode-periode berikutnya tersebar ke negeri-negeri Islam
lainnya. Ada beberapa manfaat dari mempelajari nahwu, di antaranya; dapat
memahami dengan benar susunan kata-kata Bahasa Arab yang terdapat pada literatur-literatur
hukum Islam (al-Qur’an, al-Hadits dan kitab-kitab Fiqh), dapat menyusun
kata-kata Bahasa Arab dalam susunan yang sesuai dengan kaidahnya, dan dapat
menentukan kedudukan-kedudukan kata dan dapat mengambil pengertiannya dengan
benar.
Namun, aliran (madrasah) yang paling
terkenal dalam kitab-kitab nahwu hanya dua, Basrah dan Kufah. Keduanya disebut
sebagai aliran utama, karena keduanya mempunyai otoritas dan independensi yang
tinggi, kedua aliran tersebut juga mempunyai pendukung yang banyak dan fanatik,
sehingga mampu mewarnai aliran-aliran berikutnya. Adapun tiga aliran yang lain
disebutnya sebagai aliran turunan yang berinduk pada salah satu aliran utama
atau merupakan hasil paduan antara keduanya. ( Syauqi Daif, 1976, h. 20 )
Perkembangan dan penyebar luasan ilmu nahwu
di Bashrah ini tidak lepas dari peranan Madrasah al-Bashriyah, sebuah
lembaga pendidikan khusus yang dibentuk untuk membina nahwu di Bashrah yang
didirikan pada masa Khalil ibn Ahmad al-Farahidi. Dari Madrasah ini lahir ulama-ulama nahwu lainnya seperti;
al-Akhfasy, al-Riyasyi, al-Mazini, al-Mubarrad dan al-Yazidi. (Muhammad
Tantawi, h. 64 )
A. Sejarah
dan Perkembangan
Aktivitas keilmuan
khususnya disiplin ilmu nahwu di Mesir telah muncul dan berkembang sejak
masa-masa awal muncul dan berkembangnya nahwu secara umum. Dorongan untuk
menjaga bacaan Al-Quran secara benar menjadi faktor utama berkembangnya nahwu
di negeri Firaun ini.
Pada masa awal, telah ada
pengikut Abul Aswad yang mengajar disana, yaitu Abdurrahman bin Hurmuz (w. 117
H). Beliau inilah yang memberikan tanda titik pada mushaf Al-Quran sebagai
tanda I’rab. Beliau juga guru salah seorang dari qurra’ bacaan Al-Quran yang
tujuh, yaitu Imam Nafi’ bin Abi Nu’aim di Madinah. Bacaan cara Nafi’ ini
kemudian berkembang di Mesir berkat muridnya, yaitu Warasy, seorang penduduk
asli Mesir yang bernama lengkap ‘Utsman bin Sa’id.
Nahwu aliran Mesir secara
khusus mulai berkibar dengan hadirnya Wallad bin Muhammad At-Tamimi, seorang
yang berasal dari Basrah tetapi tumbuh di Fusthath Mesir. Beliau berguru kepada
Al-Khalil bin Ahmad di Iraq dan menulis buku hasil pembelajarannya bersama sang
penemu ilmu ‘arudh tersebut. Salah satu tokoh yang sezaman dengan Wallad ini
adalah Abul Hasan Al-A’azz yang belajar nahwu kepada Al-Kisa’i. Dari
adanya dua tokoh inilah mulai muncul aliran baru paduan antara kedua aliran
yang telah ada, yaitu Kufah dan Basrah. Dua tokoh inilah generasi pertama Nahwu
Mesir.
Generasi kedua Nahwu
Mesir ditandai dengan munculnya Ad-Dinauri (w. 289 H). Beliau adalah Ahmad bin
Ja’far, yang melakukan perjalanan ke Basrah untuk menuntut ilmu. Beliau
belajar Al-Kitab milik Sibawaih dari Al-Mazini, kemudian ke
Baghdad belajar kepada Tsa’lab, lalu pindah belajar kepada Al-Mubarrad.
Setelah itu, beliau kembali ke Mesir dan mengajar Nahwu di sana dan menulis
sebuah buku berjudul Al-Muhadzdzab yang beliau peruntukkan
bagi para muridnya di sana.
Seorang tokoh yang
sezaman dengan Ad-Dinauri adalah Muhammad bin Wallad At-Tamimi (w. 298 H). Pada
mulanya, beliau belajar nahwu dari ayahanda beliau, dan juga Ad-Dinauri, dan
Mahmud bin Hassan. Kemudian, beliau menuju Baghdad dan belajar Al-Kitabkepada
Al-Mubarrad. Setelah itu, beliau pulang, mengajar, dan menulis sebuah buku ajar
dengan judul Al-Munammaq.
Generasi berikutnya
adalah Ali bin Husain Al-Hunna’i (w. 320 H), dan Abul ‘Abbas Ahmad bin Muhammad
bin Wallad At-Tamimi (w. 332 H). Ali bin Husain adalah penulis Al-Mundhad.
Beliau memadukan pendapat Basrah dan Kufah. Beliau dijuluki Kura’un Namli yang berarti
kaki semut karena fisiknya yang pendek. Sedangkan Abul Abbas, beliau belajar
nahwu dan mendapat salinan al-Kitab dari ayah beliau,
Muhammad, dan juga belajar dari Az-Zajjaj di Basrah. Beliau dikenal seorang
yang cerdik pandai. Selain kedua tokoh ini, terdapat pula Abu Ja’far An-Nuhas
(w. 337 H), penulis kitab Ma’anil Qur’an dan I’rabul
Qur’an.[1]
B. Para
tokoh Ilmu Nahw (Nuhat) dan karya-karyanya
Beberapa tokoh yang
muncul berikutnya pada masa dinasti Fathimiyyah adalah:
1. Abu
Bakar Al-Idfawi (w. 388 H)
2. ‘Ali
bin Ibrahim Al-Haufi (w. 430 H), murid Al-Idfawi
3. Adz-Dzakir
An-Nahwi (w. 440 H), murid Ibn Jinni
4. Ibn
Babasyadz, Thahir bin Ahmad (w. 469 H)
5. Muhammad
bin Barakat (w. 520 H)
6. Ibn
al-Qaththa’, ‘Ali bin Ja’far As-Sa’di (w. 515 H)
7. Ibn
Barriy (w. 582 H)
8. ‘Utsman
bin ‘Ali Al-Balathiy Al-Maushili (w. 599 H)
Kemudian pada masa
Al-Ayyubi:
1. Sulaiman
bin Banin Ad-Daqiqiy (w. 614 H), murid Ibn Barriy
2. Yahya
bin Mu’thi Al-Maghribi (w. 628 H), penulis Alfiyah Ibn Mu’thi, yang dikutip
namanya oleh Ibn Malik dalam Alfiyyah-nya
3. Ibn
ar-Ramah, ‘Ali bin Abdushshomad (w. 633 H)
4. ‘Ali
bin Muhammad As-Sakhawi (w. 643 H)
Kemudian pada masa
dinasti Mamalik dan seterusnya antara lain:
1. Bahauddin
Ibn Nuhas Al-Halabiy (w. 698 H), beliau adalah guru Abu Hayyan
2. Ibn
Ummi Qasim, Al-Hasan bin Qasim (w. 749 H)
3. Ibn
al-Hajib, Jamaluddin ‘Utsman bin ‘Umar bin Abu Bakar (570 H – 646 H)
4. Ibn
Hisyam, Jamaluddin Abdullah bin Yusuf bin Ahmad bin Abdullah bin Hisyam
Al-Anshari Al-Mishriy (708 H- 761 H). Beberapa karya beliau yang perlu dicatat
adalahMughni al-Labib ‘an Kutub al-A’arib, Awdloh al-Masalik ila Alfiyyah
ibn Malik,Syudzur adz-Dzahab, Qathru an-Nada wa Ballu ash-Shada, dan al-I’rab
‘an Qawaid al-I’rab.
Kemudian generasi Mesir
akhir antara lain:
1. Ibn
‘Aqil, Abdullah bin Abdurrahman (w 769 H), penulis syarah Alfiyyah Ibn
Malikyang terkenal
2. Ibn
ash-Sha’igh, Muhammad bin ‘Abdurrahman (w. 776 H)
3. Ad-Damamini,
Muhammad bin Umar (w. 837 H), penulis Tuhfah al-Gharib, komentar
atas Mughni al-Labib karya Ibn Hisyam, beliau berpindah-pindah
hingga wafat di India
4. Asy-Syumunni
(w. 872), juga menulis komentar atas Mughni al-Labib
5. Al-Kafiji,
Muhammad bin Sulaiman Ar-Rumi (w. 879 H)
6. Khalid
Al-Azhari (w. 905 H), beliau menghasilkan banyak karya, termasuk Syarh
at-Tashrih ‘ala at-Taudhih
7. As-Suyuthi,
Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar bin Muhammad (w. 911 H), beliau sangat
terkenal dengan banyak karyanya dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam bidang
bahasa, terdapat Asybah wa an-Nazhair, Ham’ul Hawami’, Bughyat al-Wu’at,
dan lain sebagainya.
8. Al-Asymuniy,
Nuruddin Ali bin Muhammad (w. 929 H)
9. Asy-Syanwani
(w. 1019 H)
10. Ad-Danusyari
(w. 1025 H)
11. Syaikh
Yasin (w. 1025 H)
12. Al-Hifni
(w. 1178 H)
13. Ash-Shiban,
Muhammad bin ‘Ali (w. 1206 H), terkenal dengan kitab komentar beliau atas Alfiyyah Ibn
Malik disamping karya-karya lainnya.
14. Ad-Dasuqi, Muhammad bin Arafah (w. 1230 H)
Teori
Pemikiran Ibnu Al-Hajib
Diantara sekian banyak
pendapatnya Ibnu Al- Hajib, beliau menyatakan bahwa I’rab itu adalah lafzy
bukan maknawiy. Kemudian beliau beranggapan bahwa isim (sebelum penyusunannya
dalam sighah dan ibarat) adalah mabniy. Lalu tentang dua isim isyarah ذان dan تان keduanya adalah isim isyarah yang ditempatkan
atau diposisikan untuk mutsanna. Akan tetapi, keduanya bukanlah bentuk mutsanna
yang sebenarnya, mengapa? Karena ذان tersebut merupakan
sighah (bentuk) dalam posisi rafa’, dan dapat berubah menjadi ذين yang merupakan bentuknya yang lain yang berposisi nashab dan
jar begitu pual dengan تان.
Sebagian besar ulama Nahwu
berpendapat bahwa kalimat seperti غلامي adalah mabniy karena diidhofahkan kepada dhomir mabniy, tapi
Ibnu al-Hajib berpendapat lain menurut beliau bahwa kalimat غلامي berkedudukan sebagai mu’rab muqaddar dengan acuan beliau kepada
kalimat كغلامه وغلام. Kemudian pendapat beliau tentang lam ibtida’. Beliau
sependapat dengan Imam Zamkhosyari bahwa lam yang terdapat pada mubtada’itu
menjadi satu menjadi lam ibtida’ contoh لزيد قائم dan لقائم زيد, adapun selain dari posisi tersebut beliau berpendapat bahwa
lamnya adalah lam muaakkdah contoh إن محمدا لقائم.
Ibnu al-Hajib juga sependapat
dengan beberapa pendapat ulama nahwu Kuffah yang mana siafat nahwu Kuffah
adalah lebih fleksibel, luntur dan mengadopsi bahasa-bahasa kelompok atau
individu-individu tertentu sebagai acuan toeri mereka. Dan ini lebih bersifat
deskriptif dalam teori-teori atau pun pembahasannya (Zamzam Afandi, Jurnal Adabiyat ,2009). Sebagian pendapat Ibnu
al_Hajib yang mengamini mazhab Kuffah adalah jika lafadz لو kemudian diikuti oleh lafadz
ن المأكدةأ maka i’rabnya dan yang setelahnya adalah fail
ditakdirkan dengan ثبت .
Selain itu, pendapat beliau lainnya adalah bahwa lafadz إلا tidaklah bersifat
seperti غير
kecuali jika didahului oleh جمع منكر غير محصور contohnya adalah لو كان فيهما ألهة لفسدتا berlawanan dengan contoh
lainnya yaitu له علي عشرة إلا درهما yang mana posisiإلا disini adalah sebagai
huruf istisna’ saja (Zamzam Afandi, Jurnal Adabiyat
,2009).b
Simpulan
Daftar Pustaka
No comments:
Post a Comment