Saturday, 27 August 2022

Modernisme dan postmodernisme dalam sastra Arab

Assalamu alaikum

 bagi mahasiswa yang membutuhkan rujukan untuk pembuatan makalah nya khusus di pelajaran sastra Arab semester 7 ...semoga bermanfaat




Kata pengantar

Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami kemampuan dan kekuatan sehingga bisa menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “modernisme dan postmodernisme dalam sastra Arab” ini dengan lancer dalam mata kuliah “ilmu adab Al-Mu`asir” dosen pengampu ust anwar mas`adi yang begitu jelas dalam menerangkan setiap goresan-goresan seputar sastra Arab sehingga kami sangat terinspirasi dengan dunia sastra berkat beliau yang serba tahu dalam permasalahan dunia kesastraan baik yang arab atau yang umum sekaligus. Ucapan terimakasih kepada semuanya yang telah membantu menyelesaikan makalah ini dengan  baik saran untuk perbaikan yang mendukung sangat kami harapkan sebagai penulis. Terimakasih.

Abstrak

Banyak nya aliran yang meimbulkan peselisihan dan persimpangan dalam perkembangan pemikiran seperti modernisme dan posmodernisme yang sangat erat kaitannya sehingga banyak bermunculan perspektif dari tokoh-tokoh aliran tersebut. Modernisme dimulai pada tahun 1890 dan berlangsung sampai sekitar tahun 1945 yang didasarkan pada penggunaan akal dan pikiran logis untuk memperoleh pengetahuan. Di sisi lain, Postmodernisme dimulai setelah Perang Dunia II terutama setelah tahun 1968. Postmodernisme menentang penggunaan pemikiran logis,pemikiran selama era postmodernisme didasarkan pada dasar yang tidak ilmiah dan proses berpikir irasional sebagai reaksi terhadap modernisme. Pemikiran modernisme percaya pada belajar dari pengalaman masa lalu dan mempercayai teks yang menceritakan masa lalu.Di sisi lain, pemikiran postmodernisme menentang setiap kebenaran dalam teks yang menceritakan masa lalu dan menjadikan itu tidak ada gunanya pada masa kini. Dalam kaitannya dengan perkembangan zaman, beberapa dekade ini dunia sastra mengalami pergolakan, terutama kaitannya dengan pergolakan dalam sastra arab yang akan di bahas pada makalah ini.

Kata kunci: modernisme, posmodernisme, sastra arab.

I.     Pendahuluan

Kegamblangan tentang pemahaman modernisme dan posmodernisme dalam sastra Arab yang perlu di paparkan dengan detail dan mendalam mulai dari pengertian modernisme dan posmodernisme itu sendiri serta perbedaan dari kedua pemikiran tersebut dengan kaitannya dalam kajian sastra arab dan sastra secara umumnya, di makalah ini secara detail akan kami usahakan menjelaskan dari apa yang referensi serta pemahaman yang kami dapatkan.

Karena watak modernitas tersebut, maka kritik yang dimunculkan postmodemisme yang diarahkan pada modernisme tersebut memiliki tiga pokok perhatian. Pertama, ide mengenai subjektivitas yang dipegang teguh selama ini dianggap menyembunyikan kekuasaan. Foucault, misalnya, menyingkapkan bagaimana ilmu-ilmu kemanusiaan dan proyek-proyek kemanusiaan tak kurang daripada teknik-teknik dominasi suatu subjektivitas (Harvey, 1989:45). Kedua, ide kritik dan refleksi pun dicurigai sebagai usaha totaliter ke arah ideologi tertentu. Adorno dan Horkheimer, misalnya, pada akhirnya mencurigai kritik sebagai semacam metamorfosis dari mitos. Ini tampil, misalnya, dalam Marxisme dan positivisme yang semula kritis tetapi kemudian tolaliter (lihat Adorno dan Horkheimer, 1973). Ketiga, konsep sejarah yang berjalan linier juga dipersoalkan (Hardiman, 2003:195).

Menurut Bernstein (via Hardiman, 2003:197), dua kata kunci yang merupakan rubrik postmodemisme yang mengedepankan pluralisme dan pluralitas dalam kehidupan masyarakat, yaitu incommensurability dan the other. Melalui konsep incommensurability kita menemukan keprihatinan postmodemisme terhadap paksaan-paksaan totaliter yang tersembunyi dibalik konsep-konsep universal yang berlagak netral, niscaya, objektif, dan melampaui sejarah dan konteks. Sebagai gantinya, mereka mendukung “komunitas-komunitas interpretative” yang bersifat lokal, autentik, kontekstual. Postmodernisme sangat membela Yang Lain dengan segala kelainannya, sebab sejarah umat manusia selalu diwarnai oleh usaha-usaha menundukkan dan menyingkirkan Yang Lain di bawah Yang Sama (The Same).

Telah disepakati banyak orang bahwa sastra merupakan satu jenis pengetahuan yang memiliki posisi penting dalam menawarkan sejumlah nilai dalam kehidupan. Berbagai pemahaman terminologis sastra yang menekankan pada sisi ontologisnya selalu berkaitan dengan fungsi normatif sastra. Daiches melihat sastra sebagai suatu karya yang "menyampaikan suatu jenis pengetahuan yang tidak dapat disampaikan dengan cara lain". George Santayana mendefinisikan sastra semacam agama dalam bentuknya yang tidak jelas tanpa ekspresiritus (Suyitno, 1986:3-4). Andries Teeuw mengatakan bahwa sastra adalah jalan ke tempat kebenaran, setelah jalan agama, jalan filsafat, dan jalan ilmu pengetahuan (Teeuw, 1993:7).

Sastra Arab merupakan salah satu warga sastra dunia, dikarenakan cukup banyak karya-karya kesusasteraan Arab yang menjadi karya mauler-places. Misalnya, karya-karya klasik Alf Lailah wa lailah, Hayy ibn Yazqan, Kalilah wa dimnah dan karya-karya modem-kontemporer, dari Gibran Khalil Gibran (an-Naby, al-Ajnihah al-Mutakassirah dan Iain-lain) dan Najib Mahfuz dengan cerpen dan novelnya yang mendapat penghargaan dunia berupa hadiah Nobel pada tahun 1988.

Namun demikian, fungsi normatif sastra yang sangat sejuk tersebut menjadi kontra-produktif dengan realitas yang muncul seiring dengan munculnya kesadaran demokratisasi dan pluralitas di era postmodernisme saat ini. Dalam kaitannya dengan jender dalam sastra Arab, menurut Sa'dawi (1980:155), imej yang dibuat tentang perempuan oleh penulis-penulis dan penyair-penyair Arab pada masa lalu hingga masa kontemporer sekarang ini adalah citra perempuan yang terpuruk dalam sistem pattiarkhi, baik dalam konteks masyarakat industri maupun pertanian, feodal maupun kapitalis. Persoalan pluralisme juga menjadi satu tantangan untuk menemukan metode pembacaan karya-karya sastra Arab modem yang mempersoalkan pola relasi Timur- Barat, penjajah-terjajah dengan sejumlah persoalan yang kompleks.

Tantangan lain yang muncul di era postmodemisme ini, misalnya, kehadiran berbagaiteori kesastraan yang pada kenyataannya tidak dapat dipisahkan –bahkan dipengaruhi- oleh munculnya aliran-aliran filsafat Barat Disinilah, kaj ian sastra tertantang untuk mampu mengembangkan kaj iannya dengan lebih progresif lagi, yaitu dengan memperhitungkan filsafat aliran-aliran di Barat sebagai perangkat yang memperkaya bagi penguasaan dan pemahaman teori-teori kesastraan itu sendiri.

Realitas lain adalah, tidak memungkinkannya lagi bagi ilmu agama (termasuk didalamnya Islam) mengisolasi diri dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu sosial, humaniora dan ilmu-ihnu kealaman. Begitu pula, bukan eranya sekarang disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora isolarJf dari gagasan moral-agama. Ebrahim Moose mengisyaratkan perlunya reintegrasi keilmuan tersebut (Abdullah, 2006:109-110).

Dengan demikian, yang menjadi pertanyaan makalah ini adalah, 1) Apa pengertian dari modernisme dan pengertian dari posmodernisme?, 2) Apa perbedaan antara modernisme dan posmodernisme? Keseluruhan latar belakang di atas menjadi alasan kuat bagi peneliti untuk mengedepankan model dalam kajian sastra Arab yang responsif, progresif, dan mengarah pada hubungan yang mutualistik dengan disiplin keilmuan lain.

II.  Pembahasan

1.      Modernisme

              Modernisme secara eti­­mologi berasal dari kata “mo­dern”. Muncul dari kata“mo­dernus” (latin) yang artinya sekarang. Merupakan tatacara hubungan manusia dengan ling­kungan sekitarnya. Menurut Has­san Hanafi, tulang punggung modernisme ialah rasionalisme, kebebasan demokrasi, pencera­h­an, dan humanisme. Modernisme merupakan su­atu periode yang mengafirmasi keeksistensian manusia, berda­sarkan logika yang bersumber dari daya nalar pemikiran. Sikap dan cara berfikir yang disesu­aikan dengan tuturan zaman. Mencapai kebenaran pengeta­huan dalam kehidupan perada­ban modern, sehingga mempe­ngaruhi tingkat intelektualitas paling tinggi.

             Modernisme didasarkan pa­da penggunaan akal dan pikiran yang logis untuk memperoleh pengetahuan. Rasio manusia di­anggap mampu menyelami ke­nyataan faktual menemukan hu­kum-hukum maupun dasar-da­sar esensial dan universal dari ke­nyataan, yang bermuara pada postmodernisme. Pada awalnya, kata postmo­dern tidak muncul dalam filsafat ataupun sosiologi. Dalam arsi­tektur dan sastra. Arsitektur dan sastra postmodern merupakan pengembangan dari gaya arsi­tektur dan sastra modern yang to­taliter, mekanis dan kurang human. Postmodernisme meru­pa­kan reaksi terhadap kemajuan zaman dan teknologi, muncul se­bagai bentuk penolakan terha­dap pemikiran logis (modern).

             Berdasarkan asal usul kata, Post-modern-isme, berasal dari bahasa Inggris yang artinya fa­ham (isme), yang berkembang setelah (post) modern. Istilah ini muncul pertama kali pada bi­dang seni oleh Federico de Onis tahun 1930. Kemudian pada bi­dang Sejarah oleh Toyn Bee tahun 1947. Setelah itu berkem­bang dalam bidang-bidang lain seperti  sastra, filsafat, arsitekur, studi literatur, dan ilmu sosial. Post-modernisme merupa­kan suatu kondisi atau keadaan. Menitik beratkan perhatiannya pada perubahan dalam bidang se­ni, ekonomi, politik, dan kultural (Giddens 1990; Jenkins, 1995: 6). Suatu kondisi masya­ra­kat tidak lagi diatur oleh prin­sip produksi. Melainkan repro­duksi informasi dimana sektor jasa media, menjadi faktor yang paling menentukan.

             Dalam postmodernisme, pi­kiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emo­si dan moralitas digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak le­bih dari sebuah konstruk sosial. Kebenaran disamakan dengan kekuatan atau kekuasaan. Iden­titas diri muncul dari kelompok. Modernisme dan postmo­dernisme, tidak sekedar aliran fil­safat dan teori sosial yang ha­nya berorientasi pada konsep, system dan metode saja. Para pe­mikir kontemporer seperti Karl Popper, Houston Smith dan Habermas, tidak menganggap penting soal timbulnya gerakan postmodernisme.

             Mereka tetap ya­kin akan kekuatan gerakan modernisme. Modernitas masih mampu membimbing kehidu­pan kontemporer sampai jangka waktu yang tidak bisa diten­tukan. Lebih dari itu, modernitas mempunyai akar filosofis yang le­bih jelas. Kita tentu mengganggap hi­dup ini berada di dunia modern. Padahal sejak tahun 1960-an, ter­jadi perubahan zaman yang membawa kehidupan manusia berada dalam alam postmoder­n­isme. Modernisme akhirnya di­nilai sebagai kemajuan linier dan kebenaran mutlak dari oto­nomi manusia. Mengarah kepa­da pembenaran dan pembuktian atas pemikiran optimis.

             Berangkat dari pandangan ka­pitalisme, eksistensialisme, li­beralisme, dan idealisme. Se­mua aspek modernis, tentu me­miliki semangat dalam mencari dan menemukan kebenaran makna, kebenaran esensial, dan kebenaran universal. Diabad 20, modernisme diba­gi menjadi dua periode yang ber­beda dan bukan lagi menjadi aspek yang dominan. Ditandai dengan munculnya paham post­modernisme, sebagai koreksi da­ri modernisme.

             Postmodernisme merupakan dasar dari upaya untuk meng­gam­­barkan suatu kondisi. Ber­ka­itan dengan fenomena dan bu­daya intelektual yang berangkat dari pengalaman, pemikiran subjektif dan teknologi. Penye­im­bang, merujuk pada konsep berfikir subjektif. Termasuk di dalamnya situasi dan tata sosial dari produk teknologi dan infor­masi, globalisasi, dan fregmen­tasi gaya hidup. Tujuannya, sebenar­nya seba­gai upaya menghargai fak­tor (tradisi dan spiritual) yang dihi­langkan oleh rasionalisme, struk­tualisme dan sekuralisme. Pemikiran dalam postmodern­isme dihargai berdasarkan per­kembangan teknologi dan per­kem­bangan zaman. Artinya, postmodern menolak kecendru­ngan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal terten­tu. Seperti disiplin akademis, bu­daya dan kehidupan, fiksi dan te­ori dan realitas. Dengan demi­kian postmodernisme cenderung menghapus adanya status.

             Sejatinya, postmodernisme menyatakan tidak ada kebena­ran yang universal, yang valid un­tuk semua orang. Postmodern­isme mempunyai karakteristik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi kecil), tidak menen­tu­kan, dan sebuah ketidakper­cayaan terhadap semua hal yang universal. Jika modernisme menggang­gap karya asli sebagai otentik, na­mun postmodernisme sangat me­mentingkan hal yang bersifat hiper-realitas. Artinya, karya sa­ngat dipengaruhi oleh hal-hal yang disebarluaskan melalui me­dia. Sama halnya ketika seni dan karya sastra dianggap seba­gai kreasi unik dari penciptanya. Seiring berkembangnya tekno­logi, seperti komputer dan media, maka karya sastra mulai ter­bit diberbagai media.

             Zaman dulu media cetak men­jadi alternatif pa­ling la­ris dalam menambah pe­ngeta­huan dan menjadi media satu-satunya bagi karya sastra. Seiring dengan perkembangan zaman, masya­rakat sudah bergantung dengan internet. Sastra cyber, e-paper, dan bermacam-macam situs be­ri­ta online. Tanpa disadari, perkembang­an teknologi membuat manusia berpikir secara irasional. Mela­tih diri untuk berfikir sendiri ber­dasarkan pengalaman dan daya nalar masing-masing. Misalnya dalam karya sastra, pembaca selalu bebas mengintrepreta­si­kan makna yang terkandung di da­lamnya.

             Masyarakan tidak lagi terdo­ktrin oleh karya sastra yang me­miliki makna unik. Pembaca dapat menafsirkan dan membe­ri­kan makna sendiri terhadap se­ni dan karya sastra. Jalan pikiran yang berbeda, memfokuskan diri keluar dari masalah-masalah umum, atau isu-isu yang berhu­bungan dengan manusia. Humanisme menjadi sejenis doktrin yang beretika, yang cang­kupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas ma­nusia. Berlawanan dengan sis­tem beretika tradional yang ha­nya berlaku bagi kelompok-ke­lompok etnis tertentu.

 

2.      POSTMODERNISME

  1. Pengertian Postmodernisme

Secara etimologis Postmodernisme terbagi menjadi dua kata, post dan modern. Kata post, dalam Webster’s Dictionary Library adalah bentuk prefix, diartikan dengan ‘later or after’. Bila kita menyatukannya menjadi postmodern maka akan berarti sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri dengan mencoba menjawab pertanyaan pertanyaan yang tidak dapat terjawab di jaman modern yang muncul karena adanya modernitas itu sendiri.[1]

Sedangkan secara terminologi, menurut tokoh dari postmodern, Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya.[2]

Postmodernisme adalah meleburnya batas wilayah dan pembedaan antar budaya tinggi dengan budaya rendah, antara penampilan dan kenyataan, dan segala oposisi biner lainnya yang selama ini dijunjung tinggi oleh teori sosial dan filsafat konvensional. Dengan demikian, posmodern secara umum adalah proses dediferensiasi dan munculnya peleburan di segala bidang (Jean Baudrillard dalam Munir Fuady, 2005: 98).

Postmodernisme erat kaitannya dengan sosiologi sastra, pendekatan sosiologis sangat dipertimbangkan pada era postmodernisme. Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh:

a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang

 b) pengarang adalah anggota masyarakat itu sendiri

c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat

d) hasil karya sastra itu dimanfatkan kembali oleh masyarakat.

Sehingga semangat yang dibagun postmodernisme dan sosiologi dalam dunia sastra saling berkaitan karena memiliki objek penelitian yang sama yaitu masyarakat dan segala sesuatu yang dihasilkan masyarakat itu sendiri.

Ada beberapa asumsi yang memunculkan postmodernisme sebagai sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat sosial, antara lain:

1)      postmodernisme adalah pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern (yang

mengutamakan rasio, objektivitas, dan kemajuan)

2)      postmodernisme memiliki cita-cita, ingin meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial,

kesadaran akan peristiwa sejarah dan perkembangan dalam agama, penyiaran seni dan budaya.

Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta tidak pernah tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern yang mengedepankan reason, nature, happiness, progress, dan liberty sepintas telah menghasilkan kemajuan yang pesat dalam bidang seni dan budaya bahkan sastra. Namun kenyataan yang terjadi modernisme memberikan dampak negatif bagi kehidupan sosial masyarakat. Rasionalitas modern gagal menjawab kebutuhan manusia secara utuh. Ilmu pengetahuan terbukti tidak dapat menyelesaikan semua masalah manusia. Teknologi juga tidak memberikan waktu senggang bagi manusia untuk beristirahat dan menikmati hidup.

Sastra modernisme mengatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai struktur yang sama sehingga teks (hasil sastra) dapat dibaca dan dipahami secara universal. Dalam hal ini terdapat perbedaan dengan postmodernisme yang menganggap bahwa makna tidaklah terdapat dalam teks, melainkan muncul dari masing-masing pribadi yang membaca teks. Secara tidak langsung, hal ini menyatakan bahwa seorang penulis tidak dapat menuntut haknya atas pemaknaan teks yang ditulisnya karena semua orang boleh membaca teks tersebut dan memaknainya sesuai dengan penafsiran masing-masing.[3]

Dari teori sastra dekonstruksi, filsafat postmodern menerapkannya pada realitas. Pemaknaan sebuah realitas sah-sah saja dinilai berbeda oleh masing-masing individu. Tidak ada standar tertentu untuk memaknai atau memahami suatu hal. Makna tidak lagi bernilai objektif, dalam pengertian dapat diterima secara universal. Pemaknaan menjadi subjektif, dan pemaknaan subjektif menjadi kebenaran bagi pribadi yang bersangkutan. Cukup banyak pengaruh yang dimunculkan oleh postmodernisme dalam berbagai aspek kehidupan yaitu memberikan penghargaan besar terhadap alam dan mendorong kebangkitan golongan tertindas atau kelas sosial yang termarjinalkan.[4]

Ciri-Ciri Postmodernisme

Terdapat delapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu[5] :

1.      Timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran.

2.      Meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.

3.      Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.

4.      Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.

5.      Semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”.

6.      Semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.

7.      Era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.

Bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era postmodernisme” banyak mengandung paradoks

b.      Postmodernisme Dalam Sastra

             Karya sastra lahir karena adanya dorongan-dorongan asasi yang sesuai dengan dorongan kodrat insaniah seseorang sebagai manusia. Kodrat manusia sebagai insaniah itu adalah keinginan manusia untuk mengungkapkan diri, untuk menaruh minat pada realitas kehidupan, dan pada dunia khayal yang diangankan sebagai dunia nyata. Sejalan dengan kodrat insaniah seseorang itulah, maka dunia sastra sebagai dunia pengarang penuh dengan realitas kehidupan, sebab pengarang dalam menciptakan karyanya berpijak pada dua dunia yang berbeda. Pada satu sisi berpijak pada dunia seni, sedang di sisi lain berpijak pada dunia ilmu. Sastra sebagai seni bisa dinikmati sedangkan sebagai dunia ilmu, sastra bisa diteliti dan di deskripsikan. Ilmu tentang sastra meneliti sifat-sifat yang terdapat di dalam teks-teks sastra, dan bagaimana teks-teks tersebut berfungsi di dalam masyarakat

             Sastra sebagai karya imajinatif selain unsur-unsur yang ada di dalam teks, juga mempunyai keterkaitan dengan sesuatu di luar teks. Hal yang tidak terwakilkan itu berkaitan dengan penciptaannya, zaman atau lingkungannya bahkan masalah kehidupan yang luas seakan-akan cerita itu adalah suatu kenyataan. Sastra menyajikan nilai-nilai keindahan serta memaparkan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya, mengandung pandangan yang berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik, maupun berbagai problema kehidupan

             Dalam kaitannya dengan perkembangan zaman, beberapa dekade ini dunia sastra mengalami pergolakan. Pergolakan tersebut tidak bisa dipisahkan dari konteks modernisasi, khususnya dalam bidang filsafat, ilmu, seni dan kebudayaan. Manusia merasa tidak puas dan tidak dapat bertahan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kapitalisme, serta cara berpikir modern. Modernisme dianggap sudah usang dan harus diganti dengan paradigma baru yang disebut postmodernisme.

             Postmodernisme adalah meleburnya batas wilayah dan pembedaan antar budaya tinggi dengan budaya rendah, antara penampilan dan kenyataan, dan segala oposisi biner lainnya yang selama ini dijunjung tinggi oleh teori sosial dan filsafat konvensional. Dengan demikian, posmodern secara umum adalah proses dediferensiasi dan munculnya peleburan di segala bidang (Jean Baudrillard dalam Munir Fuady, 2005: 98);

             Postmodernisme erat kaitannya dengan sosiologi sastra, pendekatan sosiologis sangat dipertimbangkan pada era postmodernisme. Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang adalah anggota masyarakat itu sendiri, c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d) hasil karya sastra itu dimanfatkan kembali oleh masyarakat. Sehingga semangat yang dibagun postmodernisme dan sosiologi dalam dunia sastra saling berkaitan karena memiliki objek penelitian yang sama yaitu masyarakat dan segala sesuatu yang dihasilkan masyarakat itu sendiri

             Ada beberapa asumsi yang memunculkan postmodernisme sebagai sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat sosial, antara lain: 1) postmodernisme adalah pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern (yang mengutamakan rasio, objektivitas, dan kemajuan); 2) postmodernisme memiliki cita-cita, ingin meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial, kesadaran akan peristiwa sejarah dan perkembangan dalam agama, penyiaran seni dan budaya

             Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta tidak pernah tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern yang mengedepankan reason, nature, happiness, progress, dan liberty sepintas telah menghasilkan kemajuan yang pesat dalam bidang seni dan budaya bahkan sastra. Namun kenyataan yang terjadi modernisme memberikan dampak negatif bagi kehidupan sosial masyarakat. Rasionalitas modern gagal menjawab kebutuhan manusia secara utuh. Ilmu pengetahuan terbukti tidak dapat menyelesaikan semua masalah manusia. Teknologi juga tidak memberikan waktu senggang bagi manusia untuk beristirahat dan menikmati hidup.

Sastra modernisme mengatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai struktur yang sama sehingga teks (hasil sastra) dapat dibaca dan dipahami secara universal. Dalam hal ini terdapat perbedaan dengan postmodernisme yang menganggap bahwa makna tidaklah terdapat dalam teks, melainkan muncul dari masing-masing pribadi yang membaca teks. Secara tidak langsung, hal ini menyatakan bahwa seorang penulis tidak dapat menuntut haknya atas pemaknaan teks yang ditulisnya karena semua orang boleh membaca teks tersebut dan memaknainya sesuai dengan penafsiran masing-masing.

Dari teori sastra dekonstruksi, filsafat postmodern menerapkannya pada realitas. Pemaknaan sebuah realitas sah-sah saja dinilai berbeda oleh masing-masing individu. Tidak ada standar tertentu untuk memaknai atau memahami suatu hal. Makna tidak lagi bernilai objektif, dalam pengertian dapat diterima secara universal. Pemaknaan menjadi subjektif, dan pemaknaan subjektif menjadi kebenaran bagi pribadi yang bersangkutan. Cukup banyak pengaruh yang dimunculkan oleh postmodernisme dalam berbagai aspek kehidupan yaitu memberikan penghargaan besar terhadap alam dan mendorong kebangkitan golongan tertindas atau kelas sosial yang termarjinalkan.[6]

Penelitian Sa'dawi (1980:155-167) terhadap hasil penulisan para pemikir dan sastrawan Arab, menunjukkanadanyapencitraannegatifpadakonsepperempuan, tokoh perempuan, dan terefleksi juga dalam pengembangan alur. Keseluruhan tulisan Abbas Mahmud al-Akkad, misalnya, menginformasikankonsep negatif akan jati diri perempuan, yang hanya dihargai separo manusia, tidak memiliki kesempurnaan, sumber hal-hal negatif, serta berpembawaan pasif secara kodrati. Penggambaran yang sama juga diberikan oleh Zaki Mubarok dan Ibnu Muqaffa, dengan argumentasinya yang paling historis bahwa perempuan adalah penyebab kej atuhan manusia dibumi.

Dalam kesusasteraan Arab- masih dalam hasil penelitian yang sama- ada banyak penulis yang terkenal dengan permusuhan dan kebencian yang dalam yang mereka lahirkan untuk perempuan, misahiya al-Ma' arif, Taufiq al-Hakini, Thaha Hussein, Naquib Mahfudz juga al-Akkad. Dalam Al-Insan at-Thani karya al-Akkad, digambarkan ketidakdewasaan pikiran perempuan, kecenderunganny a berdusta dan munafik, tidak dapat di atur, yang kesemuanya itu menurutnya adalah bawaan primitive selama ribuan tahun yang tidak dapat dirubah atau dihilangkan. Begitu juga karyanya Halhibi as-Sughara , Sarah, Sa 'ah, dan puisinya A 'asir Maghrib (Sa'dawi, 1980:158-162).

3.      Perbedaan modernisme dan posmodernisme

             Menurut pendapat sebagian ahli, abad ke-20 dapat dibagi menjadi dua periode yang berbeda, satu ditandai dengan gerakan modernisme dan lainnya dengan postmodernisme. Postmodernisme dianggap merupakan tanggapan terhadap modernisme dan karenanya keduanya merupakan dua aspek dari gerakan yang sama. Terdapat beberapa perbedaan utama antara modernisme dan postmodernisme. Modernisme dan postmodernisme memiliki perbedaan dalam cara pendekatan terhadap kehidupan.

Modernisme mewakili berbagai gerakan budaya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Modernisme mencakup gerakan reformasi dalam seni, bacaan, musik, arsitektur, dan seni terapan. Gerakan ini juga ditandai dengan usaha pelibatan ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam setiap aspek kehidupan. Modernisme membawa reformasi di segala bidang kehidupan termasuk filsafat, perdagangan, seni, dan sastra dengan bantuan teknologi.

Postmodernisme berarti, ‘setelah modernisme’. Gerakan ini merupakan reaksi terhadap modernisme yang dipengaruhi oleh kekecewaan yang ditimbulkan oleh Perang Dunia II.   Postmodernisme mengacu pada keadaan yang tidak memiliki hirarki pusat, bersifat ambigu, dan beragam. Perkembangan dalam masyarakat, ekonomi, dan budaya pada tahun 1960-an sangat dipengaruhi oleh postmodernisme.

Modernisme Vs. Postmodernisme

Modernisme dimulai pada tahun 1890 dan berlangsung sampai sekitar tahun 1945. Postmodernisme dimulai setelah Perang Dunia II terutama setelah tahun 1968. Modernisme didasarkan pada penggunaan akal dan pikiran logis untuk memperoleh pengetahuan. Di sisi lain, postmodernisme menentang penggunaan pemikiran logis. pemikiran selama era postmodernisme didasarkan pada dasar yang tidak ilmiah dan proses berpikir irasional sebagai reaksi terhadap modernisme. Sifat hirarkis dan terorganisir serta determinasi iptek menandai modernisme. Sebaliknya, postmodernisme didasarkan pada anarkisme, non-totaliter, dan ketidakpastian.

Pendekatan modernisme bersifat obyektif, teoritis, dan analitis; sedangkan pendekatan postmodernisme didasarkan pada subjektivitas. Perbedaan mendasar lain antara modernisme dan postmodernisme adalah bahwa pemikiran modernisme berkisar tentang pencarian kebenaran abstrak dalam hidup, sementara pemikir postmodernisme percaya bahwa tidak ada kebenaran universal. Modernisme mencoba membangun sebuah pandangan dunia yang koheren sedangkan postmodernisme berusaha menghapus perbedaan status tinggi – rendah.

emikiran modernisme percaya pada belajar dari pengalaman masa lalu dan mempercayai teks yang menceritakan masa lalu.Di sisi lain, pemikiran postmodernisme menentang setiap kebenaran dalam teks yang menceritakan masa lalu dan menjadikan itu tidak ada gunanya pada masa kini. Cendekiawan modernisme mempelajari suatu subjek secara mendalam untuk kemudian menganalisanya. Hal ini tidak terjadi dengan pemikir postmodernisme. Mereka percaya akan penampilan luar dan bermain di permukaan serta tidak peduli dengan kedalaman subjek.

Modernisme menganggap karya asli sebagai otentik sementara pemikir postmodernisme mendasarkan pandangan pada hiper-realitas, mereka bisa sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang disebarkan melalui media. Selama era modernisme, seni dan karya sastra karya dianggap sebagai kreasi unik dari seniman. Orang-orang serius dalam memproduksi seni dan karya sastra. Selama era postmodernisme, seiring berkembangnya komputer dan media, karya seni dan sastra mulai disalin dalam bentuk digital. Orang tidak lagi percaya seni dan karya sastra memiliki satu makna unik. Mereka lebih percaya untuk memberikan makna sendiri terhadap karya sastra dan seni.

III. Kesimpulan

       Dalam rangka mengembalikan fimgsi normatif sastra dan tantangan multidisipliner di era modernism dan postmodemisme saat ini, sejauh dikaitkan dengan kajian kesastraan Arab, makalah ini menghasilkan beberapa kesimpulan.

1.       Modernisme didasarkan pa­da penggunaan akal dan pikiran yang logis untuk memperoleh pengetahuan. Rasio manusia di­anggap mampu menyelami ke­nyataan faktual menemukan hu­kum-hukum maupun dasar-da­sar esensial dan universal dari ke­nyataan, yang bermuara pada postmodernisme. Pada awalnya, kata postmo­dern tidak muncul dalam filsafat ataupun sosiologi. Dalam arsi­tektur dan sastra. Arsitektur dan sastra postmodern merupakan pengembangan dari gaya arsi­tektur dan sastra modern yang to­taliter, mekanis dan kurang human. Postmodernisme meru­pa­kan reaksi terhadap kemajuan zaman dan teknologi, muncul se­bagai bentuk penolakan terha­dap pemikiran logis (modern).

2.       Postmodernisme adalah meleburnya batas wilayah dan pembedaan antar budaya tinggi dengan budaya rendah, antara penampilan dan kenyataan, dan segala oposisi biner lainnya yang selama ini dijunjung tinggi oleh teori sosial dan filsafat konvensional. Dengan demikian, posmodern secara umum adalah proses dediferensiasi dan munculnya peleburan di segala bidang (Jean Baudrillard dalam Munir Fuady, 2005: 98).

Postmodernisme erat kaitannya dengan sosiologi sastra, pendekatan sosiologis sangat dipertimbangkan pada era postmodernisme. Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh:

a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang

b) pengarang adalah anggota masyarakat itu sendiri

c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat

d) hasil karya sastra itu dimanfatkan kembali oleh masyarakat.

Sehingga semangat yang dibagun postmodernisme dan sosiologi dalam dunia sastra saling berkaitan karena memiliki objek penelitian yang sama yaitu masyarakat dan segala sesuatu yang dihasilkan masyarakat itu sendiri.

3.       Berkaitan dengan gagasan multidisiplner, kajian sastra telah memberi kontribusi bagi pengayaan studi keislaman, misalnya, yang berkaitan dengan simbolisme sastra dan simbolisme agama. Kitab suci apapun, termasuk al-Qur'an, justru memerlukan bahasa simbolik demi keabadian nilai esoterik yang dikandung dan ditawarkan bagi para pemeluknya, yang keberadaan mereka sangat beragaman dan dari generasi ke generasi. Sementara itu, kajian teori-teori sastra telah diperkaya oleh kajian kefilsafatan (kemunculan paham filsafat Barat). Paham otonomi dan individualisme Barat telah memicu kemunculan teori-teori ekspresionisme, paham positivisme Barat telah mengilhami tumbuhnya teoriteori sosiologi sastra, paham fenomenologi dan hermeneutic telah merangsang munculnya teori-teori resepsi sastra dalam keragaman bentuknya.

4.       Modernisme dimulai pada tahun 1890 dan berlangsung sampai sekitar tahun 1945. Postmodernisme dimulai setelah Perang Dunia II terutama setelah tahun 1968. Modernisme didasarkan pada penggunaan akal dan pikiran logis untuk memperoleh pengetahuan. Di sisi lain, postmodernisme menentang penggunaan pemikiran logis. pemikiran selama era postmodernisme didasarkan pada dasar yang tidak ilmiah dan proses berpikir irasional sebagai reaksi terhadap modernisme. Sifat hirarkis dan terorganisir serta determinasi iptek menandai modernisme. Sebaliknya, postmodernisme didasarkan pada anarkisme, non-totaliter, dan ketidakpastian.

 

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin, Islamic Studies diperguruan Tinggi, Pendekatan Integratif- Interkonektif Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Abdullah, Syamsudin dkk. 1984. Fenomenologi Agama. Jakarta. Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana P.T. Agama, 1984.

Hardiman, F. Budi. Melampaui Positivisms dan Modernitas, Diskusi Filosofis Tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Harvey. The Condition of Postmodernity: An Enquery into the Origin of Cultural Change. Oxford: Basil Blackwell Inc., 1989.

Suyitno, Sastra Tata Nilai dan Eksegesis, Yogyakarta: Hanindita, 1986.

Sa'dawi, Nawal, "The Heroine in Arab Lirerature" dalam The Hidden Face of Eve, Women in The Arab World, trans. And ed. By Sherif Hetata, London: Zed Press, 1980.

Teeuw, A., Khazanah Sastra Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993.

http://belajarbarengziya.blogspot.co.id/2012/11/postmodernisme.html diakses tanggal 2 oktober 2017, pukul 15:38

http://maktabah-stid.blogspot.co.id/2009/06/post-modern.html , diakses tanggal 2 oktober 2017, pukul 15:24



[1] http://maktabah-stid.blogspot.co.id/2009/06/post-modern.html , diakses tanggal 2 oktober 2017, pukul 15:24

[2] Ibid, diakses tanggal 2 oktober 2017, pukul 15:24

[4] Ibid, diakses tanggal 2 oktober 2017, pukul 15:24

[5] http://belajarbarengziya.blogspot.co.id/2012/11/postmodernisme.html diakses tanggal 2 oktober 2017, pukul 15:38

[6] http://songketsastra.blogspot.co.id/2010/10/postmodernisme-dalam-sastra.html

No comments: