Assalamu alaikum
bagi mahasiswa yang membutuhkan rujukan untuk pembuatan makalah nya khusus di pelajaran sastra Arab semester 7 ...semoga bermanfaat
Kata pengantar
Segala puji bagi Allah yang telah memberi
kami kemampuan dan kekuatan sehingga bisa menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “modernisme dan postmodernisme dalam sastra Arab” ini dengan lancer
dalam mata kuliah “ilmu adab Al-Mu`asir” dosen pengampu ust anwar mas`adi yang
begitu jelas dalam menerangkan setiap goresan-goresan seputar sastra Arab
sehingga kami sangat terinspirasi dengan dunia sastra berkat beliau yang serba
tahu dalam permasalahan dunia kesastraan baik yang arab atau yang umum
sekaligus. Ucapan terimakasih kepada semuanya yang telah membantu menyelesaikan
makalah ini dengan baik saran untuk
perbaikan yang mendukung sangat kami harapkan sebagai penulis. Terimakasih.
Abstrak
Banyak
nya aliran yang meimbulkan peselisihan dan persimpangan dalam perkembangan
pemikiran seperti modernisme dan posmodernisme yang sangat erat kaitannya
sehingga banyak bermunculan perspektif dari tokoh-tokoh aliran tersebut.
Modernisme dimulai pada tahun 1890 dan berlangsung sampai sekitar tahun 1945
yang didasarkan pada penggunaan akal dan pikiran logis untuk memperoleh
pengetahuan. Di sisi lain, Postmodernisme dimulai setelah Perang Dunia II
terutama setelah tahun 1968. Postmodernisme menentang penggunaan pemikiran
logis,pemikiran selama era postmodernisme didasarkan pada dasar yang tidak
ilmiah dan proses berpikir irasional sebagai reaksi terhadap modernisme.
Pemikiran modernisme percaya pada belajar dari pengalaman masa lalu dan
mempercayai teks yang menceritakan masa lalu.Di sisi lain, pemikiran
postmodernisme menentang setiap kebenaran dalam teks yang menceritakan masa
lalu dan menjadikan itu tidak ada gunanya pada masa kini. Dalam kaitannya
dengan perkembangan zaman, beberapa dekade ini dunia sastra mengalami
pergolakan, terutama kaitannya dengan pergolakan dalam sastra arab yang akan di
bahas pada makalah ini.
Kata
kunci:
modernisme, posmodernisme, sastra arab.
I.
Pendahuluan
Kegamblangan tentang pemahaman modernisme dan
posmodernisme dalam sastra Arab yang perlu di paparkan dengan detail dan
mendalam mulai dari pengertian modernisme dan posmodernisme itu sendiri serta
perbedaan dari kedua pemikiran tersebut dengan kaitannya dalam kajian sastra
arab dan sastra secara umumnya, di makalah ini secara detail akan kami usahakan
menjelaskan dari apa yang referensi serta pemahaman yang kami dapatkan.
Karena watak modernitas tersebut, maka kritik
yang dimunculkan postmodemisme yang diarahkan pada modernisme tersebut memiliki
tiga pokok perhatian. Pertama, ide mengenai subjektivitas yang dipegang teguh
selama ini dianggap menyembunyikan kekuasaan. Foucault, misalnya, menyingkapkan
bagaimana ilmu-ilmu kemanusiaan dan proyek-proyek kemanusiaan tak kurang
daripada teknik-teknik dominasi suatu subjektivitas (Harvey, 1989:45). Kedua,
ide kritik dan refleksi pun dicurigai sebagai usaha totaliter ke arah ideologi
tertentu. Adorno dan Horkheimer, misalnya, pada akhirnya mencurigai kritik
sebagai semacam metamorfosis dari mitos. Ini tampil, misalnya, dalam Marxisme
dan positivisme yang semula kritis tetapi kemudian tolaliter (lihat Adorno dan
Horkheimer, 1973). Ketiga, konsep sejarah yang berjalan linier juga
dipersoalkan (Hardiman, 2003:195).
Menurut Bernstein (via Hardiman, 2003:197),
dua kata kunci yang merupakan rubrik postmodemisme yang mengedepankan
pluralisme dan pluralitas dalam kehidupan masyarakat, yaitu incommensurability
dan the other. Melalui konsep incommensurability kita
menemukan keprihatinan postmodemisme terhadap paksaan-paksaan totaliter yang
tersembunyi dibalik konsep-konsep universal yang berlagak netral, niscaya,
objektif, dan melampaui sejarah dan konteks. Sebagai gantinya, mereka mendukung
“komunitas-komunitas interpretative” yang bersifat lokal, autentik,
kontekstual. Postmodernisme sangat membela Yang Lain dengan segala kelainannya,
sebab sejarah umat manusia selalu diwarnai oleh usaha-usaha menundukkan dan
menyingkirkan Yang Lain di bawah Yang Sama (The Same).
Telah disepakati banyak orang bahwa sastra
merupakan satu jenis pengetahuan yang memiliki posisi penting dalam menawarkan
sejumlah nilai dalam kehidupan. Berbagai pemahaman terminologis sastra yang
menekankan pada sisi ontologisnya selalu berkaitan dengan fungsi normatif
sastra. Daiches melihat sastra sebagai suatu karya yang "menyampaikan
suatu jenis pengetahuan yang tidak dapat disampaikan dengan cara lain".
George Santayana mendefinisikan sastra semacam agama dalam bentuknya yang tidak
jelas tanpa ekspresiritus (Suyitno, 1986:3-4). Andries Teeuw mengatakan bahwa
sastra adalah jalan ke tempat kebenaran, setelah jalan agama, jalan filsafat,
dan jalan ilmu pengetahuan (Teeuw, 1993:7).
Sastra Arab merupakan salah satu warga sastra
dunia, dikarenakan cukup banyak karya-karya kesusasteraan Arab yang menjadi
karya mauler-places. Misalnya, karya-karya klasik Alf Lailah wa
lailah, Hayy ibn Yazqan, Kalilah wa dimnah dan karya-karya
modem-kontemporer, dari Gibran Khalil Gibran (an-Naby, al-Ajnihah
al-Mutakassirah dan Iain-lain) dan Najib Mahfuz dengan cerpen dan novelnya
yang mendapat penghargaan dunia berupa hadiah Nobel pada tahun 1988.
Namun demikian, fungsi normatif sastra yang
sangat sejuk tersebut menjadi kontra-produktif dengan realitas yang muncul
seiring dengan munculnya kesadaran demokratisasi dan pluralitas di era
postmodernisme saat ini. Dalam kaitannya dengan jender dalam sastra Arab,
menurut Sa'dawi (1980:155), imej yang dibuat tentang perempuan oleh
penulis-penulis dan penyair-penyair Arab pada masa lalu hingga masa kontemporer
sekarang ini adalah citra perempuan yang terpuruk dalam sistem pattiarkhi, baik
dalam konteks masyarakat industri maupun pertanian, feodal maupun kapitalis.
Persoalan pluralisme juga menjadi satu tantangan untuk menemukan metode
pembacaan karya-karya sastra Arab modem yang mempersoalkan pola relasi Timur-
Barat, penjajah-terjajah dengan sejumlah persoalan yang kompleks.
Tantangan lain yang muncul di era
postmodemisme ini, misalnya, kehadiran berbagaiteori kesastraan yang pada
kenyataannya tidak dapat dipisahkan –bahkan dipengaruhi- oleh munculnya
aliran-aliran filsafat Barat Disinilah, kaj ian sastra tertantang untuk mampu
mengembangkan kaj iannya dengan lebih progresif lagi, yaitu dengan
memperhitungkan filsafat aliran-aliran di Barat sebagai perangkat yang
memperkaya bagi penguasaan dan pemahaman teori-teori kesastraan itu sendiri.
Realitas lain adalah, tidak memungkinkannya
lagi bagi ilmu agama (termasuk didalamnya Islam) mengisolasi diri dari kontak
dan intervensi ilmu-ilmu sosial, humaniora dan ilmu-ihnu kealaman. Begitu pula,
bukan eranya sekarang disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora isolarJf dari
gagasan moral-agama. Ebrahim Moose mengisyaratkan perlunya reintegrasi keilmuan
tersebut (Abdullah, 2006:109-110).
Dengan demikian, yang menjadi pertanyaan
makalah ini adalah, 1) Apa pengertian dari modernisme dan pengertian dari
posmodernisme?, 2) Apa perbedaan antara modernisme dan posmodernisme?
Keseluruhan latar belakang di atas menjadi alasan kuat bagi peneliti untuk
mengedepankan model dalam kajian sastra Arab yang responsif, progresif, dan
mengarah pada hubungan yang mutualistik dengan disiplin keilmuan lain.
II. Pembahasan
1. Modernisme
Modernisme secara etimologi berasal dari kata “modern”. Muncul dari kata“modernus” (latin) yang artinya sekarang.
Merupakan tatacara hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya. Menurut Hassan
Hanafi, tulang punggung modernisme ialah rasionalisme, kebebasan demokrasi,
pencerahan, dan humanisme. Modernisme merupakan suatu periode yang mengafirmasi
keeksistensian manusia, berdasarkan logika yang bersumber dari daya nalar
pemikiran. Sikap dan cara berfikir yang disesuaikan dengan tuturan zaman.
Mencapai kebenaran pengetahuan dalam kehidupan peradaban modern, sehingga
mempengaruhi tingkat intelektualitas paling tinggi.
Modernisme didasarkan pada
penggunaan akal dan pikiran yang logis untuk memperoleh pengetahuan. Rasio
manusia dianggap mampu menyelami kenyataan faktual menemukan hukum-hukum
maupun dasar-dasar esensial dan universal dari kenyataan, yang bermuara pada
postmodernisme. Pada awalnya, kata postmodern tidak muncul dalam filsafat
ataupun sosiologi. Dalam arsitektur dan sastra. Arsitektur dan sastra
postmodern merupakan pengembangan dari gaya arsitektur dan sastra modern yang totaliter,
mekanis dan kurang human. Postmodernisme merupakan reaksi terhadap kemajuan
zaman dan teknologi, muncul sebagai bentuk penolakan terhadap pemikiran logis
(modern).
Berdasarkan
asal usul kata, Post-modern-isme, berasal dari bahasa Inggris yang artinya faham
(isme), yang berkembang setelah (post) modern. Istilah ini muncul pertama kali
pada bidang seni oleh Federico de Onis tahun 1930. Kemudian pada bidang
Sejarah oleh Toyn Bee tahun 1947. Setelah itu berkembang dalam bidang-bidang
lain seperti sastra, filsafat, arsitekur, studi literatur, dan ilmu
sosial. Post-modernisme merupakan suatu kondisi atau keadaan. Menitik beratkan
perhatiannya pada perubahan dalam bidang seni, ekonomi, politik, dan kultural
(Giddens 1990; Jenkins, 1995: 6). Suatu kondisi masyarakat tidak lagi
diatur oleh prinsip produksi. Melainkan reproduksi informasi dimana sektor
jasa media, menjadi faktor yang paling menentukan.
Dalam
postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh
emosi dan moralitas digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari
sebuah konstruk sosial. Kebenaran disamakan dengan kekuatan atau kekuasaan.
Identitas diri muncul dari kelompok. Modernisme dan postmodernisme, tidak
sekedar aliran filsafat dan teori sosial yang hanya berorientasi pada konsep,
system dan metode saja. Para pemikir kontemporer seperti Karl Popper, Houston
Smith dan Habermas, tidak menganggap penting soal timbulnya gerakan
postmodernisme.
Mereka
tetap yakin akan kekuatan gerakan modernisme. Modernitas masih mampu
membimbing kehidupan kontemporer sampai jangka waktu yang tidak bisa ditentukan.
Lebih dari itu, modernitas mempunyai akar filosofis yang lebih jelas. Kita
tentu mengganggap hidup ini berada di dunia modern. Padahal sejak tahun
1960-an, terjadi perubahan zaman yang membawa kehidupan manusia berada dalam
alam postmodernisme. Modernisme akhirnya dinilai sebagai kemajuan linier dan
kebenaran mutlak dari otonomi manusia. Mengarah kepada pembenaran dan
pembuktian atas pemikiran optimis.
Berangkat
dari pandangan kapitalisme, eksistensialisme, liberalisme, dan idealisme. Semua
aspek modernis, tentu memiliki semangat dalam mencari dan menemukan kebenaran
makna, kebenaran esensial, dan kebenaran universal. Diabad 20, modernisme dibagi
menjadi dua periode yang berbeda dan bukan lagi menjadi aspek yang dominan.
Ditandai dengan munculnya paham postmodernisme, sebagai koreksi dari
modernisme.
Postmodernisme
merupakan dasar dari upaya untuk menggambarkan suatu kondisi. Berkaitan
dengan fenomena dan budaya intelektual yang berangkat dari pengalaman,
pemikiran subjektif dan teknologi. Penyeimbang, merujuk pada konsep berfikir
subjektif. Termasuk di dalamnya situasi dan tata sosial dari produk teknologi
dan informasi, globalisasi, dan fregmentasi gaya hidup. Tujuannya, sebenarnya sebagai upaya
menghargai faktor (tradisi dan spiritual) yang dihilangkan oleh rasionalisme,
struktualisme dan sekuralisme. Pemikiran dalam postmodernisme dihargai
berdasarkan perkembangan teknologi dan perkembangan zaman. Artinya,
postmodern menolak kecendrungan modern yang meletakkan batas-batas antara
hal-hal tertentu. Seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan
teori dan realitas. Dengan demikian postmodernisme cenderung menghapus adanya
status.
Sejatinya,
postmodernisme menyatakan tidak ada kebenaran yang universal, yang valid untuk
semua orang. Postmodernisme mempunyai karakteristik fragmentasi
(terpecah-pecah menjadi kecil), tidak menentukan, dan sebuah ketidakpercayaan
terhadap semua hal yang universal. Jika modernisme mengganggap karya asli
sebagai otentik, namun postmodernisme sangat mementingkan hal yang bersifat
hiper-realitas. Artinya, karya sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang disebarluaskan
melalui media. Sama halnya ketika seni dan karya sastra dianggap sebagai
kreasi unik dari penciptanya. Seiring berkembangnya teknologi, seperti
komputer dan media, maka karya sastra mulai terbit diberbagai media.
Zaman
dulu media cetak menjadi alternatif paling laris dalam menambah pengetahuan
dan menjadi media satu-satunya bagi karya sastra. Seiring dengan perkembangan
zaman, masyarakat sudah bergantung dengan internet. Sastra cyber, e-paper, dan
bermacam-macam situs berita online. Tanpa disadari, perkembangan teknologi
membuat manusia berpikir secara irasional. Melatih diri untuk berfikir sendiri
berdasarkan pengalaman dan daya nalar masing-masing. Misalnya dalam karya
sastra, pembaca selalu bebas mengintrepretasikan makna yang terkandung di dalamnya.
Masyarakan
tidak lagi terdoktrin oleh karya sastra yang memiliki makna unik. Pembaca
dapat menafsirkan dan memberikan makna sendiri terhadap seni dan karya
sastra. Jalan pikiran yang berbeda, memfokuskan diri keluar dari masalah-masalah
umum, atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia. Humanisme menjadi sejenis
doktrin yang beretika, yang cangkupannya diperluas hingga mencapai seluruh
etnisitas manusia. Berlawanan dengan sistem beretika tradional yang hanya
berlaku bagi kelompok-kelompok etnis tertentu.
2.
POSTMODERNISME
- Pengertian Postmodernisme
Secara
etimologis Postmodernisme terbagi menjadi dua kata, post dan modern. Kata post,
dalam Webster’s Dictionary Library adalah bentuk prefix, diartikan dengan
‘later or after’. Bila kita menyatukannya menjadi postmodern maka akan berarti
sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri dengan mencoba menjawab pertanyaan
pertanyaan yang tidak dapat terjawab di jaman modern yang muncul karena adanya
modernitas itu sendiri.[1]
Sedangkan
secara terminologi, menurut tokoh dari postmodern, Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan
Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama,
postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya
memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu
yang diasosiasikan dengan modernitas.Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban
Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa,
kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern
seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal,
toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi,
prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi
postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia
(world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya.[2]
Postmodernisme
adalah meleburnya batas wilayah dan pembedaan antar budaya tinggi dengan budaya
rendah, antara penampilan dan kenyataan, dan segala oposisi biner lainnya yang
selama ini dijunjung tinggi oleh teori sosial dan filsafat konvensional. Dengan
demikian, posmodern secara umum adalah proses dediferensiasi dan munculnya
peleburan di segala bidang (Jean Baudrillard dalam Munir Fuady, 2005: 98).
Postmodernisme
erat kaitannya dengan sosiologi sastra, pendekatan sosiologis sangat
dipertimbangkan pada era postmodernisme. Dasar filosofis pendekatan sosiologis
adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat.
Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh:
a) karya sastra
dihasilkan oleh pengarang
b) pengarang adalah anggota masyarakat itu
sendiri
c) pengarang
memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat
d) hasil karya
sastra itu dimanfatkan kembali oleh masyarakat.
Sehingga semangat yang dibagun
postmodernisme dan sosiologi dalam dunia sastra saling berkaitan karena
memiliki objek penelitian yang sama yaitu masyarakat dan segala sesuatu yang
dihasilkan masyarakat itu sendiri.
Ada beberapa
asumsi yang memunculkan postmodernisme sebagai sesuatu yang sangat penting bagi
kehidupan masyarakat sosial, antara lain:
1)
postmodernisme
adalah pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern (yang
mengutamakan rasio, objektivitas,
dan kemajuan)
2)
postmodernisme
memiliki cita-cita, ingin meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial,
kesadaran akan peristiwa sejarah dan
perkembangan dalam agama, penyiaran seni dan budaya.
Pada dasarnya,
postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta tidak pernah tercapainya impian
yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern yang
mengedepankan reason, nature, happiness, progress, dan
liberty sepintas telah menghasilkan kemajuan yang pesat dalam bidang seni
dan budaya bahkan sastra. Namun kenyataan yang terjadi modernisme memberikan
dampak negatif bagi kehidupan sosial masyarakat. Rasionalitas modern gagal
menjawab kebutuhan manusia secara utuh. Ilmu pengetahuan terbukti tidak dapat
menyelesaikan semua masalah manusia. Teknologi juga tidak memberikan waktu
senggang bagi manusia untuk beristirahat dan menikmati hidup.
Sastra
modernisme mengatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai struktur
yang sama sehingga teks (hasil sastra) dapat dibaca dan dipahami secara
universal. Dalam hal ini terdapat perbedaan dengan postmodernisme yang
menganggap bahwa makna tidaklah terdapat dalam teks, melainkan muncul dari
masing-masing pribadi yang membaca teks. Secara tidak langsung, hal ini
menyatakan bahwa seorang penulis tidak dapat menuntut haknya atas pemaknaan
teks yang ditulisnya karena semua orang boleh membaca teks tersebut dan
memaknainya sesuai dengan penafsiran masing-masing.[3]
Dari teori
sastra dekonstruksi, filsafat postmodern menerapkannya pada realitas. Pemaknaan
sebuah realitas sah-sah saja dinilai berbeda oleh masing-masing individu. Tidak
ada standar tertentu untuk memaknai atau memahami suatu hal. Makna tidak lagi
bernilai objektif, dalam pengertian dapat diterima secara universal. Pemaknaan
menjadi subjektif, dan pemaknaan subjektif menjadi kebenaran bagi pribadi yang
bersangkutan. Cukup banyak pengaruh yang dimunculkan oleh postmodernisme dalam
berbagai aspek kehidupan yaitu memberikan penghargaan besar terhadap alam dan
mendorong kebangkitan golongan tertindas atau kelas sosial yang termarjinalkan.[4]
Ciri-Ciri Postmodernisme
Terdapat delapan karakter sosiologis
postmodernisme yang menonjol, yaitu[5] :
1.
Timbulnya
pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan
pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan diterimanya pandangan
pluralisme relativisme kebenaran.
2.
Meledaknya
industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera,
organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa
kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama”
atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh
agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa,
semisal program televisi.
3.
Munculnya
radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau
alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi
dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia,
tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
4.
Munculnya
kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan
rasionalisme dengan masa lalu.
5.
Semakin
menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah
pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya
dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik
pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”.
6.
Semakin
terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan
pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut
mendorong bagi proses demokratisasi.
7.
Era
postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya
eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan
realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok
budaya secara eksklusif.
Bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali
mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut
“era postmodernisme” banyak mengandung paradoks
b.
Postmodernisme Dalam
Sastra
Karya
sastra lahir karena adanya dorongan-dorongan asasi yang sesuai dengan dorongan
kodrat insaniah seseorang sebagai manusia. Kodrat manusia sebagai insaniah itu
adalah keinginan manusia untuk mengungkapkan diri, untuk menaruh minat pada
realitas kehidupan, dan pada dunia khayal yang diangankan sebagai dunia nyata.
Sejalan dengan kodrat insaniah seseorang itulah, maka dunia sastra sebagai
dunia pengarang penuh dengan realitas kehidupan, sebab pengarang dalam
menciptakan karyanya berpijak pada dua dunia yang berbeda. Pada satu sisi berpijak
pada dunia seni, sedang di sisi lain berpijak pada dunia ilmu. Sastra sebagai
seni bisa dinikmati sedangkan sebagai dunia ilmu, sastra bisa diteliti dan di
deskripsikan. Ilmu tentang sastra meneliti sifat-sifat yang terdapat di dalam
teks-teks sastra, dan bagaimana teks-teks tersebut berfungsi di dalam
masyarakat
Sastra
sebagai karya imajinatif selain unsur-unsur yang ada di dalam teks, juga
mempunyai keterkaitan dengan sesuatu di luar teks. Hal yang tidak terwakilkan
itu berkaitan dengan penciptaannya, zaman atau lingkungannya bahkan masalah
kehidupan yang luas seakan-akan cerita itu adalah suatu kenyataan. Sastra
menyajikan nilai-nilai keindahan serta memaparkan peristiwa yang mampu
memberikan kepuasan batin pembacanya, mengandung pandangan yang berhubungan
dengan masalah keagamaan, filsafat, politik, maupun berbagai problema kehidupan
Dalam
kaitannya dengan perkembangan zaman, beberapa dekade ini dunia sastra mengalami
pergolakan. Pergolakan tersebut tidak bisa dipisahkan dari konteks modernisasi,
khususnya dalam bidang filsafat, ilmu, seni dan kebudayaan. Manusia merasa
tidak puas dan tidak dapat bertahan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, kapitalisme, serta cara berpikir modern. Modernisme dianggap sudah
usang dan harus diganti dengan paradigma baru yang disebut postmodernisme.
Postmodernisme
adalah meleburnya batas wilayah dan pembedaan antar budaya tinggi dengan budaya
rendah, antara penampilan dan kenyataan, dan segala oposisi biner lainnya yang
selama ini dijunjung tinggi oleh teori sosial dan filsafat konvensional. Dengan
demikian, posmodern secara umum adalah proses dediferensiasi dan munculnya
peleburan di segala bidang (Jean Baudrillard dalam Munir Fuady, 2005: 98);
Postmodernisme
erat kaitannya dengan sosiologi sastra, pendekatan sosiologis sangat
dipertimbangkan pada era postmodernisme. Dasar filosofis pendekatan sosiologis
adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat.
Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh
pengarang, b) pengarang adalah anggota masyarakat itu sendiri, c) pengarang
memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d) hasil karya sastra itu
dimanfatkan kembali oleh masyarakat. Sehingga semangat yang dibagun
postmodernisme dan sosiologi dalam dunia sastra saling berkaitan karena
memiliki objek penelitian yang sama yaitu masyarakat dan segala sesuatu yang
dihasilkan masyarakat itu sendiri
Ada
beberapa asumsi yang memunculkan postmodernisme sebagai sesuatu yang sangat
penting bagi kehidupan masyarakat sosial, antara lain: 1) postmodernisme adalah
pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern (yang mengutamakan rasio,
objektivitas, dan kemajuan); 2) postmodernisme memiliki cita-cita, ingin
meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial, kesadaran akan peristiwa sejarah dan
perkembangan dalam agama, penyiaran seni dan budaya
Pada
dasarnya, postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta tidak pernah
tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern yang
mengedepankan reason, nature, happiness, progress, dan liberty sepintas
telah menghasilkan kemajuan yang pesat dalam bidang seni dan budaya bahkan
sastra. Namun kenyataan yang terjadi modernisme memberikan dampak negatif bagi
kehidupan sosial masyarakat. Rasionalitas modern gagal menjawab kebutuhan
manusia secara utuh. Ilmu pengetahuan terbukti tidak dapat menyelesaikan semua
masalah manusia. Teknologi juga tidak memberikan waktu senggang bagi manusia
untuk beristirahat dan menikmati hidup.
Sastra
modernisme mengatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai struktur
yang sama sehingga teks (hasil sastra) dapat dibaca dan dipahami secara
universal. Dalam hal ini terdapat perbedaan dengan postmodernisme yang
menganggap bahwa makna tidaklah terdapat dalam teks, melainkan muncul dari
masing-masing pribadi yang membaca teks. Secara tidak langsung, hal ini
menyatakan bahwa seorang penulis tidak dapat menuntut haknya atas pemaknaan
teks yang ditulisnya karena semua orang boleh membaca teks tersebut dan
memaknainya sesuai dengan penafsiran masing-masing.
Dari teori sastra dekonstruksi, filsafat postmodern menerapkannya pada
realitas. Pemaknaan sebuah realitas sah-sah saja dinilai berbeda oleh
masing-masing individu. Tidak ada standar tertentu untuk memaknai atau memahami
suatu hal. Makna tidak lagi bernilai objektif, dalam pengertian dapat diterima
secara universal. Pemaknaan menjadi subjektif, dan pemaknaan subjektif menjadi
kebenaran bagi pribadi yang bersangkutan. Cukup banyak pengaruh yang
dimunculkan oleh postmodernisme dalam berbagai aspek kehidupan yaitu memberikan
penghargaan besar terhadap alam dan mendorong kebangkitan golongan tertindas
atau kelas sosial yang termarjinalkan.[6]
Penelitian
Sa'dawi (1980:155-167) terhadap hasil penulisan para pemikir dan sastrawan
Arab, menunjukkanadanyapencitraannegatifpadakonsepperempuan, tokoh perempuan,
dan terefleksi juga dalam pengembangan alur. Keseluruhan tulisan Abbas Mahmud al-Akkad,
misalnya, menginformasikankonsep negatif akan jati diri perempuan, yang hanya
dihargai separo manusia, tidak memiliki kesempurnaan, sumber hal-hal negatif,
serta berpembawaan pasif secara kodrati. Penggambaran yang sama juga diberikan
oleh Zaki Mubarok dan Ibnu Muqaffa, dengan argumentasinya yang paling historis
bahwa perempuan adalah penyebab kej atuhan manusia dibumi.
Dalam kesusasteraan Arab- masih
dalam hasil penelitian yang sama- ada banyak penulis yang terkenal dengan
permusuhan dan kebencian yang dalam yang mereka lahirkan untuk perempuan,
misahiya al-Ma' arif, Taufiq al-Hakini, Thaha Hussein, Naquib Mahfudz juga
al-Akkad. Dalam Al-Insan at-Thani karya al-Akkad, digambarkan
ketidakdewasaan pikiran perempuan, kecenderunganny a berdusta dan munafik,
tidak dapat di atur, yang kesemuanya itu menurutnya adalah bawaan primitive
selama ribuan tahun yang tidak dapat dirubah atau dihilangkan. Begitu juga
karyanya Halhibi as-Sughara , Sarah, Sa 'ah, dan puisinya A
'asir Maghrib (Sa'dawi, 1980:158-162).
3. Perbedaan modernisme dan
posmodernisme
Menurut pendapat sebagian ahli, abad ke-20 dapat dibagi menjadi dua
periode yang berbeda, satu ditandai dengan gerakan modernisme dan lainnya
dengan postmodernisme. Postmodernisme dianggap merupakan tanggapan terhadap
modernisme dan karenanya keduanya merupakan dua aspek dari gerakan yang sama.
Terdapat beberapa perbedaan utama antara modernisme dan postmodernisme.
Modernisme dan postmodernisme memiliki perbedaan dalam cara pendekatan terhadap
kehidupan.
Modernisme mewakili berbagai gerakan budaya pada akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20. Modernisme mencakup gerakan reformasi dalam seni, bacaan,
musik, arsitektur, dan seni terapan. Gerakan ini juga ditandai dengan usaha
pelibatan ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam setiap aspek kehidupan.
Modernisme membawa reformasi di segala bidang kehidupan termasuk filsafat,
perdagangan, seni, dan sastra dengan bantuan teknologi.
Postmodernisme berarti, ‘setelah modernisme’. Gerakan ini merupakan
reaksi terhadap modernisme yang dipengaruhi oleh kekecewaan yang ditimbulkan
oleh Perang Dunia II. Postmodernisme
mengacu pada keadaan yang tidak memiliki hirarki pusat, bersifat ambigu, dan
beragam. Perkembangan dalam masyarakat, ekonomi, dan budaya pada tahun 1960-an
sangat dipengaruhi oleh postmodernisme.
Modernisme Vs.
Postmodernisme
Modernisme dimulai pada tahun 1890 dan berlangsung sampai sekitar
tahun 1945. Postmodernisme dimulai setelah Perang Dunia II terutama setelah
tahun 1968. Modernisme didasarkan pada penggunaan akal dan pikiran logis untuk
memperoleh pengetahuan. Di sisi lain, postmodernisme menentang penggunaan
pemikiran logis. pemikiran selama era postmodernisme didasarkan pada dasar yang
tidak ilmiah dan proses berpikir irasional sebagai reaksi terhadap modernisme. Sifat
hirarkis dan terorganisir serta determinasi iptek menandai modernisme.
Sebaliknya, postmodernisme didasarkan pada anarkisme, non-totaliter, dan
ketidakpastian.
Pendekatan modernisme bersifat obyektif, teoritis, dan analitis;
sedangkan pendekatan postmodernisme didasarkan pada subjektivitas. Perbedaan
mendasar lain antara modernisme dan postmodernisme adalah bahwa pemikiran
modernisme berkisar tentang pencarian kebenaran abstrak dalam hidup, sementara
pemikir postmodernisme percaya bahwa tidak ada kebenaran universal. Modernisme
mencoba membangun sebuah pandangan dunia yang koheren sedangkan postmodernisme
berusaha menghapus perbedaan status tinggi – rendah.
emikiran modernisme percaya pada belajar dari pengalaman masa lalu
dan mempercayai teks yang menceritakan masa lalu.Di sisi lain, pemikiran
postmodernisme menentang setiap kebenaran dalam teks yang menceritakan masa
lalu dan menjadikan itu tidak ada gunanya pada masa kini. Cendekiawan modernisme
mempelajari suatu subjek secara mendalam untuk kemudian menganalisanya. Hal ini
tidak terjadi dengan pemikir postmodernisme. Mereka percaya akan penampilan
luar dan bermain di permukaan serta tidak peduli dengan kedalaman subjek.
Modernisme menganggap karya asli sebagai otentik sementara pemikir
postmodernisme mendasarkan pandangan pada hiper-realitas, mereka bisa sangat
dipengaruhi oleh hal-hal yang disebarkan melalui media. Selama era modernisme,
seni dan karya sastra karya dianggap sebagai kreasi unik dari seniman.
Orang-orang serius dalam memproduksi seni dan karya sastra. Selama era
postmodernisme, seiring berkembangnya komputer dan media, karya seni dan sastra
mulai disalin dalam bentuk digital. Orang tidak lagi percaya seni dan karya
sastra memiliki satu makna unik. Mereka lebih percaya untuk memberikan makna
sendiri terhadap karya sastra dan seni.
III. Kesimpulan
Dalam rangka mengembalikan fimgsi normatif sastra dan tantangan multidisipliner
di era modernism dan postmodemisme
saat ini, sejauh dikaitkan dengan kajian kesastraan Arab, makalah ini menghasilkan beberapa kesimpulan.
1. Modernisme
didasarkan pada penggunaan akal dan pikiran yang logis untuk memperoleh
pengetahuan. Rasio manusia dianggap mampu menyelami kenyataan faktual
menemukan hukum-hukum maupun dasar-dasar esensial dan universal dari kenyataan,
yang bermuara pada postmodernisme. Pada awalnya, kata postmodern tidak muncul
dalam filsafat ataupun sosiologi. Dalam arsitektur dan sastra. Arsitektur dan
sastra postmodern merupakan pengembangan dari gaya arsitektur dan sastra
modern yang totaliter, mekanis dan kurang human. Postmodernisme merupakan
reaksi terhadap kemajuan zaman dan teknologi, muncul sebagai bentuk penolakan
terhadap pemikiran logis (modern).
2.
Postmodernisme
adalah meleburnya batas wilayah dan pembedaan antar budaya tinggi dengan budaya
rendah, antara penampilan dan kenyataan, dan segala oposisi biner lainnya yang
selama ini dijunjung tinggi oleh teori sosial dan filsafat konvensional. Dengan
demikian, posmodern secara umum adalah proses dediferensiasi dan munculnya
peleburan di segala bidang (Jean Baudrillard dalam Munir Fuady, 2005: 98).
Postmodernisme erat kaitannya dengan sosiologi sastra, pendekatan
sosiologis sangat dipertimbangkan pada era postmodernisme. Dasar filosofis
pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan
masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh:
a) karya sastra
dihasilkan oleh pengarang
b) pengarang
adalah anggota masyarakat itu sendiri
c) pengarang
memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat
d) hasil karya
sastra itu dimanfatkan kembali oleh masyarakat.
Sehingga
semangat yang dibagun postmodernisme dan sosiologi dalam dunia sastra saling
berkaitan karena memiliki objek penelitian yang sama yaitu masyarakat dan
segala sesuatu yang dihasilkan masyarakat itu sendiri.
3. Berkaitan dengan gagasan
multidisiplner, kajian sastra telah memberi kontribusi bagi pengayaan studi
keislaman, misalnya, yang berkaitan dengan simbolisme sastra dan simbolisme
agama. Kitab suci apapun, termasuk al-Qur'an, justru memerlukan bahasa simbolik
demi keabadian nilai esoterik yang dikandung dan ditawarkan bagi para
pemeluknya, yang keberadaan mereka sangat beragaman dan dari generasi ke
generasi. Sementara itu, kajian teori-teori sastra telah diperkaya oleh kajian
kefilsafatan (kemunculan paham filsafat Barat). Paham otonomi dan
individualisme Barat telah memicu kemunculan teori-teori ekspresionisme, paham
positivisme Barat telah mengilhami tumbuhnya teoriteori sosiologi sastra, paham
fenomenologi dan hermeneutic telah merangsang munculnya teori-teori resepsi
sastra dalam keragaman bentuknya.
4. Modernisme dimulai pada tahun 1890 dan berlangsung sampai sekitar
tahun 1945. Postmodernisme dimulai setelah Perang Dunia II terutama setelah
tahun 1968. Modernisme didasarkan pada penggunaan akal dan pikiran logis untuk
memperoleh pengetahuan. Di sisi lain, postmodernisme menentang penggunaan
pemikiran logis. pemikiran selama era postmodernisme didasarkan pada dasar yang
tidak ilmiah dan proses berpikir irasional sebagai reaksi terhadap modernisme.
Sifat hirarkis dan terorganisir serta determinasi iptek menandai modernisme.
Sebaliknya, postmodernisme didasarkan pada anarkisme, non-totaliter, dan
ketidakpastian.
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies diperguruan Tinggi,
Pendekatan Integratif- Interkonektif Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Abdullah, Syamsudin dkk. 1984. Fenomenologi Agama. Jakarta.
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana P.T. Agama, 1984.
Hardiman, F. Budi. Melampaui Positivisms dan
Modernitas, Diskusi Filosofis Tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta:
Kanisius, 2003.
Harvey. The Condition of Postmodernity: An Enquery
into the Origin of Cultural Change. Oxford: Basil Blackwell Inc., 1989.
Suyitno, Sastra Tata Nilai dan Eksegesis, Yogyakarta:
Hanindita, 1986.
Sa'dawi, Nawal, "The Heroine in Arab
Lirerature" dalam The Hidden Face of Eve, Women in The Arab World, trans.
And ed. By Sherif Hetata, London: Zed Press, 1980.
Teeuw, A., Khazanah Sastra Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1993.
http://belajarbarengziya.blogspot.co.id/2012/11/postmodernisme.html
diakses tanggal 2 oktober 2017, pukul 15:38
http://maktabah-stid.blogspot.co.id/2009/06/post-modern.html
, diakses tanggal 2 oktober 2017, pukul 15:24
[1] http://maktabah-stid.blogspot.co.id/2009/06/post-modern.html
, diakses tanggal 2 oktober 2017, pukul 15:24
[2]
Ibid, diakses tanggal 2 oktober 2017, pukul 15:24
[3] http://songketsastra.blogspot.co.id/2010/10/postmodernisme-dalam-sastra.html
, diakses tanggal 2 oktober 2017, pukul 15:24
[4]
Ibid, diakses tanggal 2 oktober 2017, pukul 15:24
[5] http://belajarbarengziya.blogspot.co.id/2012/11/postmodernisme.html
diakses tanggal 2 oktober 2017, pukul 15:38
[6] http://songketsastra.blogspot.co.id/2010/10/postmodernisme-dalam-sastra.html
No comments:
Post a Comment