Friday, 31 October 2014

Rahasia Di Balik Nomer/Angka 14



Rahasia Di Balik Nomer/Angka 14
wandi tosan

Kehidupan yang penuh dengan begbagai macam problematika yang membuat kehidupan sehari-hari menjadi indah dan penuh dengan karya yang luar biasa. Kembali ke judul yang saya cantumkan yaitu rahasia di balik nomer 14, timbul pertanyaan ada rahasia apa di balik nomer 14 itu? Nah begini ceritanya, ketika saya kuliah di UIN Malang, saya sering mendapat nomer/angka 14. Pertama saya di tempatkan di kamar 14, di dalamnya terdapat mahasiswa-mahasiswa dari berbagai daerah dan berbeda jurusan serta mereka sangat luar biasa dan unik-unik. Ke-dua, kelas kuliah bahasa yang saya dapat yaitu PPBA (program pengembangan bahasa arab) B-14, di dalam kelas kuliah saya ini terdapat 32 mahasiswa dari berbagai jurusan, mereka mahasiswa yang menarik dan unik serta luar biasa yang selalu membuat suasana kelas selalu ramai dan penuh semangat, di tambah para dosen yang luar biasa dan penuh motivasi yang membuat saya dan teman-teman selalu bersemangat dalam mengembangkan bahasa arab. Ke-tiga, hari pernikahan adik perempuan saya tepat pada tanggal 14 Zulhijjah hari Rabu, pada tanggal itu hati saya merasa senang sekali, tapi saya tidak tahu kenapa perasaan saya hari itu sangat berbeda sekali dan saya bingung ada apa pada hari itu? Setelah saya mencari tahu kenapa, ternyata adik saya menikah, saya sangat bersyukur sekali walaupun saya tidak bisa menghadiri pernikahan secara langsung di karenakan saya lagi kuliah di Malang dan kalaupun pulang jaraknya sangat jauh karena rumah saya di Cianjur- Jawa Barat, tapi saya merasakan hati yang senang Alhamdulillah. Ke-empat, nomer punggung baju saya juga 14, ketika memakai baju itu saya selalu semangat dalam bermain dan selalu memuaskan permainan tersebut. Nah itu tadi pengalaman saya dengan nomer/angka 14, sekarang akan saya jelaskan makna nomer/angka 14 itu, nomer/angka 14 diambil dari dua nomer/angka 9 dan 5. nomer/angka 9  adalah nomer/angka yang istimewa dan suka di sebut nomer/angka ajaib, pasti tema-teman semua pada tahu rahasia yang terdapat pada nomer/angka 9. nomer/angka 5 adalah nomer/angka keberuntungan yang lahir pada hari minggu, kebetulan saya lahir pada hari itu, jadi itu adalah nomer/angka keberuntungan saya.

Sebenarnya masih banyak yang ingin saya tulis, tapi teman-teman pasti lebih hebat lagi dengan pengalaman masing-masing. Nahuntuk mengetahui rahasianomer/angka mulai dari 1-9 silahkan teman-teman cari tahu mau nanya ke ustad atau nyari di google. Sekian dan terimakasih

karya sastra_Menuju Maklumat

Menuju Maklumat

Halimi Zuhdy
 
Meretas awan, 
bersama burung tak bernafas
Mendarat dengan tingkah, 

tuk menapak seribu langkah
Gerimis mengiringi deru roda yang tersendat, merekat, 

di bumi hiruk politik yang terus mencekik
Melewati kota-kota menuju secercah maklumat
Mencari kata berselimut kalimat, yang enggan titik merekat

Malang-Jakarta-Bogor, 28/3/2014

karya sastra_Cahaya, Selalu Ada

Cahaya, Selalu Ada

Halimi Zuhdy

Siang, berbisik padaku;
tolong hantarkan matahariku pada petang gelap kalbumu.
Malam pun, tak lupa berpesan;
jika kelamku datang,  bangunlah
cari cahaya Tuhan yang ditaruh dalam sujudmu.

Aku pun bergumam;
 siang dan malam adalah rotasi cahaya,
siapa yang mampu menangkap atau tertangkap atau memasuki cahaya,
ia akan menjadi bagian dari cahaya.

Jakarta, siang terik mentari (27/3/2014)

الغزل في الحزن

الغزل في الحزن


الشاعر : حليمي زهدي
ازورك بالقلب همومي تنجلي #
وانت تظهر الفرح وأنا في حزني
ياللحزان إفرح الفرح وسعة #
ليست الأرض جبلا على كلي
فجأءة رأيتها والقلب يحن #
ووجهها تنير والشمس تخفيني
جرحي والمي يلم الحب #
ولا يأتى الحزن الا بعد رجوعي

الاضاءةkarya sastra_

الشاعر: حليمي زهدي

تفضل معنا
(محبة المحب بنور الحبيبة)
زرعت فيها فرحة والليل يسير#
وتأتى بلا مضيئ ووجهها تنير
ونظرتها سهم يقتل بلا سيف#
ومسموم يجرى ويجرى بلا اذن
ذكرت اسمها ووجهها تبدو#
وقلبى يرن ويذكر سلوكها تعلو
فنطقت إلى الليل متى القاها #
والدهر يمشى سرعة فجرها
مهما رسمت في جمالها أحرفا #
قلمى وقرطاسى ممزق سرفا
النجم يسرى والسارى يحتاج #
وانت تمشى والناس يبرح
كلهن تأتى لزيارة الكواكب #
اذا شرقت يغيب منهن كوكب

karya sastra_Lamhah Sastra

Lamhah Sastra

Membingkai Sastra dalam Etalase Kehidupan
Beberapa bulan yang lalu saya diminta untuk mempresentasikan pentingnya sastra dalam kehidupan manusia, kebetulan sahabat saya, sebut saja Syukro, tanpa sepengetahuan saya, mengikuti acara yang dilaksanakan oleh lembaga kajian sastra (Elkas) itu, ia orang yang sangat membenci dan bahkan mooh pada dunia sastra, apalagi bersentuhan dengan bahasa-bahasa yang tidak “jelas” sebut saja puisi, puisi menurutnya adalah bahasa yang tidak mencerminkan kejujuran dan penulisnya lagi mengalami depresi akut sehingga bahasanya tidak tertata dengan baik dan benar, dan ia juga sangat membenci cerpen, menurutnya, membaca cerpen sebagaimana membaca kebohongan, menelaah kehampaan, membuang-buang waktu, menghambur-hamburkan uang dan yang didapat hanya kesia-siaan, dari namanya saja “fiksi”. Bagaimana menjadikan manusia seutuhnya kalau bacaannya cerpen dan puisi, ungkapnya dengan nada ketus.
Setelah saya selesai menyajikan teori sosiologi sastra dan menutup seminar itu dengan ungkapan Georg Lukacs seorang kritikus Marxis terkemuka yang berasal dari Hungaria, “Sebuah novel, cerpen, puisi, tidak hanya mencerminkan ‘realitas’ tetapi lebih dari memberikan kepada kita “sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik” yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya tidak hanya mencerminkan fenomena individu secara tertutup melainkan lebih merupakan ‘proses yang hidup’. Sastra tidak mencerminkan relitas sebagai fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat mencerminkan realitas secara jujur dan objektif dan dapat juga mencerminkan kesan realitas subjektifitas. Kontan saja, Syukro bertanya-tanya dalam pikirannya, benarkah apa yang dikatakan Halimi?, karena selama ini ia memahami bahwa sastra adalah dunia kebohongan yang dibungkus keindahan, memenangkan dunia imajinasi ketimbang dunia realitas, menuhankan estetik daripada kebenaran hakiki.
Dan tidak beberapa lama setelah itu, Syukro yang anti terhadap karya-karya sastra, terutama puisi dan cerpen, mengalami perubahan drastis. Setelah saya menyodorkan puisi saya yang berjudul; Tuhan tak ada kata “cinta” untuk-Mu, dan beberapa puisi penyair terkenal, O Amuk Kapak-nya Sutardji Calzoum Bachri, Ibu – D.Zawawi Imron, Lautan Jilbab-nya MH. Ainun Najib, Negeri Daging-nya Mustofa Bisri, kemudian saya jelaskan kata perkata, bait perbait, menurut kemampuan saya, agar ia benar-benar memahami makna yang terkandung dalam puisi tersebut, memang sekali-dua kali membaca puisi mereka, masih merasakan kesulitan untuk memahaminya, namun setelah beberapa kali, merenungi, memahami, mengkaji dan membacanya dengan kesungguhan hati dan perasaannya, ia menemukan kenikmatan dan keindahan, kemudian ia berkomentar, “sungguh, bahasa yang indah dan penuh makna yang terbersit di dalamnya, saya menemukan realitas lain dalam setiap kata-katanya, yang sebelumnya saya anggap hanya dunia imaji dan dunia basa-basi, tapi di sana benar-benar saya temukan realitas-imaji yang sesungguhnya”.
Bukan hanya puisi yang saya sodorkan padanya untuk dilahap, tapi beberapa karya sastra lainnya seperti cerpen dan novel, agar ia benar-benar memasuki dunia estetik yang lain, seperti, Laki-laki menuju surga karangan Najib Kailani, keluarga Gerilya dan Arus Balik –nya Pramoedya Ananta Nor, Dua Orang Dukun- Ajip Rosidi, Pertempuran dan Salju di Paris karangan Sitor Situmorang Rosidi, Dilarang Mencintai Bunga-bunga Kuntowijoyo dan beberapa cerpen dan Novel lainnya. Setelah beberapa hari membaca dan mengkaji karya-karya sastra, seperti novel, roman, puisi, cerpen, drama, dan beberapa kolom sastra, ia berkata pada saya, “bagaimana ..ya, seandainya hidup ini tanpa sastra, rasanya hampa dan hidup tidak menggairahkan, keindahan pun akan tercerabut dari hati, prasaan dan diri manusia ,”. Apa yang dirasakan syukro, mungkin akan dirasakan oleh penikmat-penikmat sastra, bahkan lebih dari yang dibayangkan sebelumnya.
Sastra bukanlah sekedar dunia simbol yang penghuninya semuanya hanya kata-kata, tapi juga bukan dunia pergerakan, yang penuh dengan segenap tindakan seperti dalam kerusuhan, dalam revolusi yang bergejolak, atau dalam suatu perhelatan, sastra itu cermin hidup manusia, dan dunianya, dan di sana manusia berkata-kata, dan kata-katanya juga meninggalkan jejak, kata-kata –selemah dan sehalus apapun- bisa mengaruhi dan memberi inspirasi bagi tumbuhnya sesuatu bagi tumbuhnya suatu ideologi sosial. Dan sastra dengan begitu secara tak langsung bisa memeberi manusia gagasan membikin dunianya lebih baik (M. Sobary, Kompas, 3/6/06)
Sejatinya sastra merupakan unsur yang amat penting yang mampu memberikan wajah manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, harmoni, irama, proporsi, dan sublimasi dalam setiap gerak kehidupan manusia dalam menciptakan kebudayaan. Dan apabila hal tersebut tercerabut dari akar kehidupan manusia, manusia tak lebih dari sekadar hewan berakal. Untuk itulah sastra harus ada dan selalu harus diberadakan.
Sastra adalah vitamin batin, kerja otak kanan yang membuat halus sikap hidup insani yang jika benar-benar dimatangkan, akan mampu menumbuhkan sikap yang lebih santun dan beradab.
Seni sastra, dilihat dari kenalaran sistematis pada instansi rasional yang terakhir, adalah ‘primer’ : mengungkapkan ada (das Sein) manusiawi kita dan melekat dalam kehidupan manusia. Secara potensial, setiap orang pada setiap jaman pada setiap tempat dapat bersastra, entah secara aktif entah secara pasif (Mangunwijaya, 1986:3-7). Oleh karena itu, seni sastra merupakan sebuah bidang kebudayaan manusia yang paling tua, yang mendahului cabang-cabang kebudayaan lainya. Sebelum adanya ilmu pengetahuan dan teknik, kesenian sudah hadir sebagai media ekspresi pengalaman estetik manusia berhadapan dengan alam sebagai penjelmaan keindahan (Drikarya, 1980: 7-12).
Ekspresi pengalaman keindahan itu menentramkan dan mengembirakan manusia, karena di dalamnya manusia mengenali hubungan yang akrab dan hangat antara dirinya dengan sumber atau segala sesuatu yang menarik, mengikat, memikat, dan memanggil manusia kepada-Nya. Dan jelaslah bahwa pada awal mula kehadirannya, pengalaman estetik tidak dibedakan dari pengalaman relegius (pengalaman mistis). Menurut Mangunwijaya “pada awal Mula, segala sastra adalah religius. Bagi filsuf Perancis, J. Maritain, pengalaman estetis merupakan “Intercommunication between the inner being of thigs and the inner being of the human self”, interaksi antara manusia dan hakikat alam raya. Karya sastra adalah proyeksi perasaan subjektif ke dalam alam raya dan sebaliknya alam raya bercerita tentang perasaan manusia. Perhatikan ungkapan ini: “Suara burung elang pada akhir musim kemarau menggemakan rasa rindu seorang pemuda pada kekasihnya” (Hartoko, 1986:9).
Sekalipun istilah “sastra” (literature) dengan pengertiannya yang sekarang baru muncul di Eropa pada abad ke-18, sastra sesungguhnya berakar dari masa prasejarah dalam wujud sastra lisan dan bentuk-bentuk mitos.
Mitos merupakan wilayah kesustraan, seperti dijelaskan oleh Cal Jung mengenai memori rasial, diffuse histori, dan kesamaan dasar dalam pikiran manusia (Vickery, 1982 :79-83). Menurut Richard Chase, mitos adalah karya sastra yang harus dipahami sebagai kreasi estetik dari imajinasi manuisa. Pengertian mitos sebagai kreasi seni sastra berkaitan fungsi dengan primer mitos dalam pemikiran manusia sebelum munculnya bidang-bidang lain seperti ilmu, religi, ekonomi, dogma teologi, dll (Chase, 1969 :69) sebagai ekspresi kesenian, mitos mengungkapkan kekuatan magis impersonal yang mengacu kepada pengalaman akan hal-hal yang luar biasa indah, menakutkan, mengagumkan, dahsyat yang berkaitan dengan emosi-emosi preternatural.
Mitos membentuk acuan (matrix), dan dari acuan itu muncul sastra yang bersifat psikologis, historis, mistis, religius, simbolis, ekspresif, impresif. Elemen-elemn kesustraan seperti alur, tema, perwatakan dan citraan pada umumnya ditemukan pula di dalam mitos dan cerita-cerita rakyat.
Sastra, bagaimanapun, memiliki kualitas-kualitas mistis karena pada mulanya orang bersastra untuk mengespresikan pengalaman-pengalaman mistik dengan menghayati realita-realita paling mendasar dari eksistensi manusia : kelahiran, kehidupan, kematian, kesakitan, ketakutan, dan pendambaan keselamatan yang merupakan dimensi-dimensi transendentalnya.
Akan tetapi, pada suatu fase historis, sastra semakin otonom dari segi-segi estetika dan semakin menuntut hak-haknya, bahkan seringkali mengklaim monopoli (Mangunwijaya, 1986:5-6). Sastrawan dan seniman merasa diri sebagai manusia yang luar biasa, yang otonom mutlak, bahkan merasa dirinya ‘resi diatas angin’ . sastra lalu lepas dari kehidupan manusia biasa dan menjadi sukar didefinisakan oleh orang biasa. Hanya orang-orang tertentu, kaum intelektual zaman modern yang memahami seluk-beluk ilmu estetik yang memamahami sastra.
Tulisan ini saya tutup dengan perkataan M. Sobary, “Sastra dan agama menyentuh manusia, dan mengubahnya dari dalam. Dan pelan-pelan manusia mengubah dunianya.”
*) Penikmat Sastra yang lagi menjelajah Surat Cinta Sang Kekasih yang penuh mutiara,

estetik, hikmah dan sarat makna. Imilah_zudn@Yahoo.Com

karya sastra_Tuhan, Kami Lelah

Tuhan, Kami Lelah

Tuhan,
Wajah-wajah manusia yang kau ciptakan
Dengan tampang penuh kehusyuan
Kini, mulai keriput oleh kemaksiatan


Tuhan,
Tangan-tangan yang kau buat
Indah dan kuat
Kini, berlepotan harta dengan menjilat

Tuhan,
Mulut-mulut hasil kreasi indah Mu
Sempurna, dan untuk mengadu pada-Mu
Kini, penuh busa dengan lidah politis, menjauh dari Mu


Tuhan,
Kaki-kaki ini yang kau langkahkan
Tegak, lurus mencapai angan
Menuju sorga yang firmankan
Kini, selalu menuju tempat-tampat syaitan


Tuhan,
Perut-perut yang kau ciptakan
untuk bermunajat dan beriman
kini, hanya berisi sampah kotoran dari relung-relung keangkuhan


Tuhan, kami lelah
Bukan kami pasrah
Tapi hanya ingin mengadu
Dari hamba yang lemah
Agar, tubuh tak lagi berkilah
Untuk selalu munajat hanya padaMu


Lelah hati
Menguatkan diri
Lelah, tak pasrah


Malang, 12 Juni 2011

karya sastra_Budaya yang Mulai Terenggus

Budaya yang Mulai Terenggus

oleh: Halimi Zuhdy

Gemah ripah loh jenawi
Wajah-wajah ceria melenakan  hati
dari kulit yang berbeda, menampakkan budi
pakaian adat yang terpancang

bukan tuk ego yang  terpasung
dari kemben sampai koteka
bukti budaya merdeka
walau mereka tak pernah ketawa

karena kutukan sang dewa
pesona tari : tari serimpi,topeng, patai, ledo
teregus, berganti Jazz, pop, rokk, R&B yang melenakan
ia tak lagi bermatra,
hanya sebagai pemuas nafsu belaka

pakaian bukan lagi untuk menutup
tapi hanya sebagai muslihat,
pemanggut mata yang tak pernah terkatup
membalut, kadang lepas seperti belut

budaya Indonesia terkilir
terangsung globalisasi  yang deras mengalir
bangga, adat yang menghilang
karena para cukong internasional mulai mengekang

toh….walau budaya masih bertahan
hanya sebagai kenangan,
bahwa kita pernah punya budaya
tapi, ia hanya sekedar wayang

untuk mempromosikan keindahan
mereka tak tahu, telah tertipu
budaya kita hanya sebagai hantu
tergerus Barat dan Timur, yang mulai menyatu

pilu kusaksikan, budaya yang menghilang
dari tanah kelahiran
berganti kostum-kostum yang pelacuran
dari tanah yang tak kukenal

atas nama kemajuan,
budaya tergadaikan
dari baju sampai celana dalam
meniru, seakan-akan tak pernah  terbudayakan

adat istiadat yang menghilang
ditelan keseronokan,
mengumbar kemewahan
bukan apa, tapi mengapa selalu terpromosikan

rumah-rumah Menang, Gadang, Seleso, Limas, panggung
berganti gedung-gedung  mewah,
berpoles ego dan imprialisme

makanan dengan seribu bumbu
dengan jampi-jampi penuh  rindu
Rendang, balado, asem, penyet, lento, kare, presto, gudeg, ronde, cingur
Mengeras di balik kulkas, teregut Seafood, Medonal, Kfc
Bangga, membeli dan menjual kapitalisme,
demi perut membusung, atas nama “investasi”

pasar-pasar Rakyat, terdampar
beralih Mall, yang menyengsarakan
took-toko kecil rakyat menghilang,
terjepit ruko, mini market, yang mengusai kedhaliman

sungguh, budaya Indonesia dalam  rengkuhan  keterasingan

karya sastra_Memasuki Alam Sastra

Memasuki Alam Sastra

Dr. Siti Chamamah[1] menyatakan bahwa istilah sastra dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi dan keagamaan keberadaannya tidak merupakan keharusan. Upaya mengungkapkan konsep tentang sastra pada umumnya dipandang tidak mudah. Hal ini disadari juga oleh para kritikus dan teoritis sastra yang merasa kesulitan untuk memberi jawaban tentang pertanyaan “apakah sastra itu?”[2]. Meskipun demikian pada umumnya orang sepakat bahwa sastra dipahami sebagai satu bentuk kegiatan manusia yang tergolong pada karya seni yang menggunakan bahasa sebagai bahan. Jadi bahan merupakan karakteristik sastra sebagai karya seni. Sebagai satu sistem, sastra merupakan satu kebulatan dalam arti dapat dilihat dari berbagai sisi. Diantaranya adalah sisi bahan, teks sastra tidak ditentukan oleh bentuk strukturnya tetapi oleh bahasa yang digunakan dalam berbagai cara oleh masyarakat. Ini menunjukkan pengertian bahwa bahasa yang dipakai mengandung fungsi yang lebih umum daripada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Bahasa yang dipergunakan secara istimewa dalam ciptaan sastra pada hakekatnya dalam rangka fungsi sastra berperan sebagai sarana komunikasi, yaitu untuk menyampaikan informasi. Dengan memperlihatkan teori informasi Eco yang cenderung memperlihatkan gejala reduksi dan penyusutan yang terkandung dalam informasi, maka pemanipulasian bahasa pada hakekatnya dalam rangka mewujudkan sastra sebagai sarana komunikasi yang maksimal. Dalam komunikasi sastra, sifat sastra yang paling penting adalah mampu menyampaikan informasi yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula.[3]
 
Keterkaitan dan keterlibatan al-Qur’an dengan sastra sangat erat. Karena al-Qur’an lahir dari kondisi di mana sastra Arab mengalami fase keemasannya. Dan al-Quran diturunkan dalam versi sastra yang luar biasa untuk membuktikan dan menaklukkan kehebatan sastra Arab. Ilmu Sejarah Agama mengajarkan bahwa semua wahyu pastilah bersifat kontekstual dan terkait dengan miliu di mana wahyu itu diturunkan. Kalau tidak demikian maka pesan-pesan kenabian tidak akan dapat diterima para pendengarnya, dan kehendak Tuhan menjadi tidak mungkin diikuti. Menjelang kenabian Muhammad, orang-orang Mekah dan bangsa Arab pada umumnya tidak memiliki apapun yang bisa dipakai sebagi acuan pewahyuan kecuali bahasa Arab mereka, serta kesusastraan tingkat tinggi yang telah mereka kembangkan. Bahasa Arab memiliki kapasitas besar untuk mengekspresikan beragam pengalaman hidup, dan mereka juga telah menciptakan kata-kata untuk mengekspresikan setiap realitas.[4] 

Para Sufi manjadi pelopor dala menggunakan sastra sebagai wahana ekspresi kesufiannya. Dalam hal ini Seyyed Hossein Nasr menegaskan pemahaman khusus para sufi terhadap hakikat ajaran Islam dalam bingkai keindahan (seni dan sastra) dengan mengatakan :
Islam itself is deeply attached to the aspect of the Divinity as beauty, and this feature is particularly accentuated in Sufism, which quite naturally is derived from and contains what is essential in Islam. It is not accidental that the works written by Sufis, wheather they be poetry or prase, are of great literary quality and beauty (Islam sendiri benar-benar menganggap aspek Ketuhanan sebagai keindahan, dan gambaran ini dijadikan tumpuan istimewa dalam Tasawuf, yang secara alami berasal dan mengandung inti (haqaiq) ajaran Islam. Maka bukanlah suatu kebetulan apabila karya-karya yang ditulis para Sufi, baik puisi maupun prosa, merupakan karya agung dalam kualitas dan keindahan).[5]

Tradisi golongan sufi menjadi penggemar dan pencinta seni tampak di dalam amalan sama’ (audicy) yang di dalam sejarahnya telah memeriahkan kehidupan masyarakat Islam. Sama’ adalah sejenis konser musik keruhanian disertai zikir, tari-tarian, pembacaan dan penciptaan puisi. Kegiatan ini telah dikenal oleh para sufi sejak abad ke-19 atau mungkin satu abad sebelumnya. Pengalaman para sufi menyertai upacara sama’ membuat mereka insaf bahwa puisi memang merupakan media yang tepat bagi pengungkapan pengalaman keagamaan dan keruhanian mereka yang mendalam, kompleks dan subjektif. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila para pengkaji seperti Smith melihat bahwa ajaran paling murni dan tipikal tentang tasawuf kebanyakan ditulis dalam bentuk puisi. Semoga penjelasan ini tidak membuat kita alergi terhadap sastra dan keindahan. Wallahu A’lam bi al-Sawab.


[1] Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra (Jogjakarta: Hanindita, 2002), 9.
[2] Ibid
[3] Ibid., 10.
[4] Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid: Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, Terj. Harnoto Hadikusumo, Yogyakarta: Bentang, 1999, 33.
[5] Abdul Hadi W.M., Tasawuf Yang Tertindas, Jakarta: Paramadina, 2001, 10.

karya sastra_Dilema Sastra Islam

Dilema Sastra Islam


Perdebatan yang tidak pernah tuntas tentang seni dan sastra dalam perspektif Islam disebabkan oleh banyak faktor. Di antara faktor yang sangat menonjol adalah adanya beberapa ayat dan hadis Nabi yang ditafsirkan oleh sebagian besar ulama sebagai bukti secara tekstual kekurangsimpatikan Islam dengan apa yang disebut dengan seni sastra (Tohari, 1998: 1). Pendapat semacam ini sebetulnya merupakan warisan dari kritikus sastra abad 2 dan 3 H., ketika mengatakan bahwa sastra menjadi lemah dan tidak berfungsi sejak Islam datang dan memposisikan diri sebagai musuh atas sastra (Bintu Syati`, 1992: 65).
Hal ini menurut mereka dibuktikan dengan turunnya ayat:

وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُون، أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ، وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ، إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيرًا وَانْتَصَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنْقَلَبٍ يَنْقَلِبُونَ.
“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan (nya)?, kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali” (QS. 26: 224-227).
Juga dalam hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
ِلأَنْ يَمْتَلئَِ جَوْفُ أَحَدِكُمْ قَيْحًا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا (ابن رشيق: العمدة 1/12 و معه الشعر و الشعراء: 1/126).
Dalam pepatah Arab (kata-kata masyhur ulama) mengatakan:
ومنها قولة الأصمعى: "إن الشعر نكد بابه الشر، فإذا دخل فى الخير ضعف ولان. هذا حسان بن ثابت، فحل من فحول الجاهلية، فلما جاء الإسلام سقط شعره". ابن قتيبة: الشعر و الشعراء 1/305 معارف.
Beberapa ayat, hadis, dan aqwal Arab di atas dijadikan bukti permusuhan Islam atas sastra. Pada sisi yang lain keterkaitan dan keterlibatan al-Quran tidak dapat dipungkiri lagi. Karena al-Quran lahir dari kondisi di mana sastra Arab mengalami fase keemasannya. Dan al-Quran diturunkan dalam versi sastra yang luar biasa untuk membuktikan dan menaklukkan kehebatan sastra Arab. Sebetulnya ayat-ayat penyair dalam al-Quran memiliki makna penolakan terhadap kepenyairan Muhammad untuk membuktikan risalah Muhammad adalah samawi bukan dari renungan atau khayalan atau mimpi, atau dari syetan penyair. Ayat-ayat syuara’ untuk menghindarkan image dari kaum musyrik Arab bahwa Rasulullah adalah penyair.
Allah Swt. berfirman:
وَمَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِي لَهُ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْءَانٌ مُبِينٌ.
“Dan Kami tidak mengajarkan puisi kepadanya (Muhammad) dan berpuisi itu tidaklah layak baginya. Al-Qur'an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan” (QS. 36: 69).
بَلْ قَالُوا أَضْغَاثُ أَحْلَامٍ بَلِ افْتَرَاهُ بَلْ هُوَ شَاعِرٌ فَلْيَأْتِنَا بِآيَةٍ كَمَا أُرْسِلَ الْأَوَّلُونَ.
“Bahkan mereka berkata (pula): (Al-Qur'an itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut, malah diada-adakannya, bahkan dia sendiri seorang penyair, maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu mukjizat, sebagaimana rasul-rasul yang telah lalu diutus” (QS. 21: 5).
أَمْ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ رَيْبَ الْمَنُونِ، قُلْ تَرَبَّصُوا فَإِنِّي مَعَكُمْ مِنَ الْمُتَرَبِّصِينَ، أَمْ تَأْمُرُهُمْ أَحْلَامُهُمْ بِهَذَا أَمْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ، أَمْ يَقُولُونَ تَقَوَّلَهُ بَلْ لَا يُؤْمِنُونَ، فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ.
“Bahkan mereka mengatakan: Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya. Katakanlah: Tunggulah, maka sesungguhnya akupun termasuk orang yang menunggu (pula) bersama kamu. Apakah mereka diperintah oleh fikiran-fikiran mereka untuk mengucapkan tuduhan-tuduhan ini ataukah mereka kaum yang melampaui batas? Ataukah mereka mengatakan: Dia (Muhammad) membuat-buatnya. Sebenarnya mereka tidak beriman. Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Qur'an itu jika mereka orang-orang yang benar”. (QS. 52: 30-34).
وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ، بَلْ جَاءَ بِالْحَقِّ وَصَدَّقَ الْمُرْسَلِينَ.
“Dan mereka berkata: Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan rasul-rasul (sebelumnya)” (QS. 37: 36-37).
فَلَا أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُونَ، وَمَا لَا تُبْصِرُونَ، إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ، وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيلًا مَا تُؤْمِنُونَ، وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ، تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
”Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat. Sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, dan Al-Qur'an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam” (QS. 69: 38 – 43).
Penegasan ketidakadaan unsur kepenyairan dari Nabi bukan berarti bahwa Islam memusuhi dan mengingkari syair, akan tetapi ayat-ayat di atas merupakan penegasan atas “kelangitan” risalah Rasulullah. Dan penegasan di atas menunjukkan tidak adanya percampuran antara al-Quran dengan syi’ir. Al-Quran murni dari langit, dia wahyu Ilahi Yang Maha Suci.
Dan penegasan al-Quran tentang umminya (buta huruf) Nabi merupakan bantahan atas tuduhan bahwa Nabi telah membaca dan mengambil ayat-ayat dari kitab-kitab samawi sebelumnya.
وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لَارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ.
“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur'an) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andai kata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu)” (QS. 29: 48).
Dan bukan berarti penegasan tentang buta hurufnya Nabi merupakan pengakuan dan dukungan al-Quran terhadap kebodohan dan buta huruf. Dan bahwa Islam itu menyeru kepada kebodohan dan memusuhi ilmu pengetahuan. Bahkan Allah bersumpah atas pena dan bahwa ayat pertama al-Quran adalah ayat tentang membaca, iptek dan pena.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ، خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ، اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ، الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ، عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. 96: 1-5).
Ayat-ayat yang penulis paparkan di atas ingin menegaskan sikap al-Quran terhadap syair dan sastra. Al-Quran menginginkan dari sastra tidak sebagaimana yang telah ada pada zaman jahiliyah. Islam menginginkan syair sebagai alat pembangunan dan pengembangan bukan sebagai alat penghancur. Islam menginginkan syair menyesuaikan diri dengan komunitas baru yang penuh dengan nilai-nilai luhur Islam. Maka posisi Islam terhadap sastra bukan sebagai musuh, akan tetapi sikap Islam adalah sebagai pentashih sastra, yang meluruskannya dari noda-noda hitam kejahiliyahan.
Pada masa sekarang, arti sastra sudah dapat ditempatkan pada posisi yang proporsional. Di kalangan umat Islam sendiri sastra sudah dapat diterima kembali dan menjadi konsumsi sehari-hari untuk kehidupan dan keperluan dakwah. Keterlibatan ulama dalam dunia sastra bukan fenomena baru. Jauh sebelum Indonesia merdeka gejala semacam itu sudah ada bahkan sejak zaman Wali Songo. Pada era modern, Hamka adalah ulama pertama yang menjadi pelopor keterlibatan ulama di dunia sastra. Karya sastranya yang sangat terkenal diantaranya adalah: Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Ebo menyatakan (2003:121) bahwa sampai tahun 1990-an sangat sedikit ulama yang muncul berdakwah lewat dunia seni dan sastra. Selain Muhammad Zuhri satu ulama yang mengisi kelangkaan itu adalah KH. Mustofa Bisri yang meluncurkan karyanya lewat Penerbit Pustaka Firdaus Jakarta Ontologi Puisi Ohoi 1994.
Muhammad Qutub - seorang ulama Mesir adik dari tokoh sentral dan pendiri Ikhwan Muslimin (Islamic Brotherhood) Sayyid Qutub- dalam bukunya Manhaj al-Fan al-Islamy mengatakan, bahwa pendapat yang mengatakan agama itu mencari kebenaran, seni sastra mencari keindahan. Agama sangat menjunjung akhlak dan al-Quran, sedang seni membenci aturan termasuk aturan moral. Maka seni Islam haruslah merupakan kumpulan nasihat dan kata hikmah.
Menurutnya wilayah objek seni dan sastra Islam adalah semua wilayah kehidupan yang diungkap dari jiwa yang penuh iman dan mengeksplorasi dengan penuh keimanan. Dalam mengungkap segi-segi kehidupan tidak sempit, misalnya dalam mengungkap hubungan antar jenis manusia, tidak berhenti hanya pada masalah seksualitas. Masalah hubungan antar jenis dalam hal seksualitas diungkap, tapi kemudian lebih dari itu dikembangkan lagi dalam aspek-aspek lain tentang nafsu dan aspek-aspek kehidupan yang lebih luas. Kemudian dalam masalah cinta tidak hanya cinta antar manusia antara laki-laki dan perempuan, tapi lebih dari itu adalah menggapai wilayah cinta yang lebih luas; cinta ketuhanan, cinta kemanusiaan, yang diungkap secara luas dan mendalam tidak hanya kecintaan terhadap seksualitas (Qutub, 1987: 127).
Dalam buku Warisan Sufi yang ditulis oleh Seyyed Hossein Nasr (2002: 41) mengemukakan bahwa secara bertahap, meskipun agak terlambat, dunia Barat mulai menyadari bahwa seni Islam bukanlah sebuah koleksi aneh object de art, atau relik-relik pelik yang diciptakan oleh sebagian orang yang menyebut diri mereka Muslim, melainkan bahwa ia pada dasarnya adalah buah spiritual dari pewahyuan Islam.
Dari semua bentuk seni yang diciptakan dalam peradaban Islam yang besar, seni Persia tentu saja paling berbeda dan luas, yang memiliki etos khasnya sendiri, pandangan dunia dan makna simbolis khusus, seni yang secara tak terelakkan berhubungan dengan sufisme, dan sesungguhnya seluruh pandangan-dunia teoretislah yang memungkinkan seni ini benar-benar dimunculkan dari ajaran-ajaran filosofis dan metafisik Sufi. Pada tataran yang lebih eksternal, kemunculan dan adaptasi bentuk-bentuk seni tertentu oleh kaum Sufi memungkinkan eksistensi seni terus berlanjut, terutama berkaitan dengan seni musik.
Islam sendiri benar-benar menganggap aspek Ketuhanan sebagai keindahan, dan gambaran ini dijadikan tumpuan istimewa dalam Tasawuf, yang secara alami berasal dan mengandung inti (haqaiq) ajaran Islam. Maka bukanlah suatu kebetulan apabila karya-karya yang ditulis para Sufi, baik puisi maupun prosa, merupakan karya agung dalam kualitas dan keindahan (Abdul Hadi, 2001: 10).
Tradisi golongan sufi menjadi penggemar dan pencinta seni tampak di dalam amalan sama’ (audicy) yang di dalam sejarahnya telah memeriahkan kehidupan masyarakat Islam. Sama’ adalah sejenis konser musik keruhanian disertai zikir, tari-tarian, pembacaan dan penciptaan puisi. Kegiatan ini telah dikenal oleh para sufi sejak abad ke-19 atau mungkin satu abad sebelumnya. Pengalaman para sufi menyertai upacara sama’ membuat mereka insaf bahwa puisi memang merupakan media yang tepat bagi pengungkapan pengalaman keagamaan dan keruhanian mereka yang mendalam, kompleks dan subjektif. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila para pengkaji seperti Smith melihat bahwa ajaran paling murni dan tipikal tentang tasawuf kebanyakan ditulis dalam bentuk puisi
Abdul Hadi (2001: 11) dalam disertasinya menegaskan bahwa tasawuf tidak hanya merupakan gerakan keagamaan tetapi juga merupakan gerakan sastra. Braginsky (1993) menyebut tasawuf sebagai gerakan sastra dengan istilah tasawuf puitik, sedang tasawuf yang ditulis dalam bentuk doktrin keruhanian disebut sebagai tasawuf kitab.
Pertemuan agama dengan seni sudah ada sejak zaman dahulu kala, bahkan sebelum turunnya agama samawi, ritual keagamaan dan do’a-do’a diiringi dengan tarian-tarian, irama, lagu dan musik untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Ritual ibadah itu sendiri merupakan salah satu bentuk seni selain bacaan-bacaan yang didengungkan (Mahmud Salim, 1996:12).

karya sastra_Seni, Sastra dan Islam

Seni, Sastra dan Islam

Dalam paradigma seni sastra dan Islam, konsep baku seni sastra dalam perspektif Islam belum disepakati secara menyeluruh. Belum matangnya paradigma sastra dalam perspektif Islam disebabkan karena adanya perdebatan dan kontroversi yang tidak pernah tuntas tentang seni sastra dalam perspektif Islam. Di satu sisi sebagian besar orang muslim mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan, apalagi melarang seni sastra. Bahkan Menurut Sayyed Hosen Nasr (1993: 99) Sastra menjadi kajian penting untuk memahami hubungan antara seni dan spiritualitas Islam. Karena ajaran Islam berdasarkan pada firman Tuhan yang diwahyukan sebagai kitab suci, maka sastra menempati posisi yang utama dan istimewa di antara berbagai bentuk seni yang ada di hampir seluruh masyarakat Islam.
Mereka yang menerima seni dan sastra akan menunjukkan dengan penuh semangat berbagai dalil baik aqliyah: bahwa al-Quran sendiri mengandung nilai artistic yang sangat tinggi, histories: bahwa hingga kini tilawah al-Quran dan khat atau kaligrafi tersebar luas, maupun naqliyah: semacam hadis yang mengatakan bahwa Allah itu indah dan menyukai keindahan. Akan tetapi di sisi lain sejarah menjadi saksi bahwa umat Islam belum pernah memiliki lembaga sekecil apapun yang secara formal dan sistematis guna melakukan kajian tentang seni secara utuh. Karena itulah hingga sekarang kita belum memiliki konsep yang mapan dan aplikabel dalam bidang ini, baik secara filosofis (estetika atau filsafat seni Islam, yang merumuskan batasan nilai keindahan sesuai ajaran Islam), teoritis (sejarah, struktur dan klasifikasi: apakah ada seni Islam ataukah hanya ada seni Muslim), praktis (kajian tentang teknik-teknik perbidang) maupun apresiatif (kritik seni yang mengkaji perkembangan seni Islam dalam hubungannya dengan perkembangan masyarakat Muslim). Akibatnya, sekarang seni di dunia Islam seakan terkucil dari perkembangan masyarakatnya sendiri maupun dari perkembangan seni dari masyarakat yang lebih luas, karena tidak adanya instrument untuk dikomunikasikan. Sementara di Barat, post art yang notabene baru tumbuh pada dekade 60-an sudah dapat berkembang dengan estetika, teori maupun apresiasi yang sistematis, bahkan telah melahirkan diversifikasi semacam feminist art tahun 70-an yang mencoba mengembangkan wacana seni perempuan, dan memasuki era 80-an multiculturalist art yang memperjuangkan seni kelompok pinggiran dan masyarakat tertindas (Al-Faruqi, 1999: vii).
Pada masa sekarang, arti sastra sudah dapat ditempatkan pada posisi yang proporsional. Di kalangan umat Islam sendiri sastra sudah dapat diterima kembali dan menjadi konsumsi sehari-hari untuk kehidupan dan keperluan dakwah. Keterlibatan ulama dalam dunia sastra bukan fenomena baru. Jauh sebelum Indonesia merdeka gejala semacam itu sudah ada bahkan sejak zaman Wali Songo. Pada era modern, Hamka adalah ulama pertama yang menjadi pelopor keterlibatan ulama di dunia sastra. Karya sastranya yang sangat terkenal diantaranya adalah: Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Ebo menyatakan (2003:121) bahwa sampai tahun 1990-an sangat sedikit ulama yang muncul berdakwah lewat dunia seni dan sastra. Selain Muhammad Zuhri satu ulama yang mengisi kelangkaan itu adalah KH. Mustofa Bisri yang meluncurkan karyanya lewat Penerbit Pustaka Firdaus Jakarta Ontologi Puisi Ohoi 1994.
Muhammad Qutub - seorang ulama Mesir adik dari tokoh sentral dan pendiri Ikhwan Muslimin (Islamic Brotherhood) Sayyid Qutub- dalam bukunya Manhaj al-Fan al-Islamy mengatakan, bahwa pendapat yang mengatakan agama itu mencari kebenaran, seni sastra mencari keindahan. Agama sangat menjunjung akhlak dan al-Quran, sedang seni membenci aturan termasuk aturan moral. Maka seni Islam haruslah merupakan kumpulan nasihat dan kata hikmah.
Menurutnya wilayah objek seni dan sastra Islam adalah semua wilayah kehidupan yang diungkap dari jiwa yang penuh iman dan mengeksplorasi dengan penuh keimanan. Dalam mengungkap segi-segi kehidupan tidak sempit, misalnya dalam mengungkap hubungan antar jenis manusia, tidak berhenti hanya pada masalah seksualitas. Masalah hubungan antar jenis dalam hal seksualitas diungkap, tapi kemudian lebih dari itu dikembangkan lagi dalam aspek-aspek lain tentang nafsu dan aspek-aspek kehidupan yang lebih luas. Kemudian dalam masalah cinta tidak hanya cinta antar manusia antara laki-laki dan perempuan, tapi lebih dari itu adalah menggapai wilayah cinta yang lebih luas; cinta ketuhanan, cinta kemanusiaan, yang diungkap secara luas dan mendalam tidak hanya kecintaan terhadap seksualitas (Qutub, 1987: 127).
Dalam buku Warisan Sufi yang ditulis oleh Seyyed Hossein Nasr (2002: 41) mengemukakan bahwa secara bertahap, meskipun agak terlambat, dunia Barat mulai menyadari bahwa seni Islam bukanlah sebuah koleksi aneh object de art, atau relik-relik pelik yang diciptakan oleh sebagian orang yang menyebut diri mereka Muslim, melainkan bahwa ia pada dasarnya adalah buah spiritual dari pewahyuan Islam.
Dari semua bentuk seni yang diciptakan dalam peradaban Islam yang besar, seni Persia tentu saja paling berbeda dan luas, yang memiliki etos khasnya sendiri, pandangan dunia dan makna simbolis khusus, seni yang secara tak terelakkan berhubungan dengan sufisme, dan sesungguhnya seluruh pandangan-dunia teoretislah yang memungkinkan seni ini benar-benar dimunculkan dari ajaran-ajaran filosofis dan metafisik Sufi. Pada tataran yang lebih eksternal, kemunculan dan adaptasi bentuk-bentuk seni tertentu oleh kaum Sufi memungkinkan eksistensi seni terus berlanjut, terutama berkaitan dengan seni musik.
Islam sendiri benar-benar menganggap aspek Ketuhanan sebagai keindahan, dan gambaran ini dijadikan tumpuan istimewa dalam Tasawuf, yang secara alami berasal dan mengandung inti (haqaiq) ajaran Islam. Maka bukanlah suatu kebetulan apabila karya-karya yang ditulis para Sufi, baik puisi maupun prosa, merupakan karya agung dalam kualitas dan keindahan (Abdul Hadi, 2001: 10).
Tradisi golongan sufi menjadi penggemar dan pencinta seni tampak di dalam amalan sama’ (audicy) yang di dalam sejarahnya telah memeriahkan kehidupan masyarakat Islam. Sama’ adalah sejenis konser musik keruhanian disertai zikir, tari-tarian, pembacaan dan penciptaan puisi. Kegiatan ini telah dikenal oleh para sufi sejak abad ke-19 atau mungkin satu abad sebelumnya. Pengalaman para sufi menyertai upacara sama’ membuat mereka insaf bahwa puisi memang merupakan media yang tepat bagi pengungkapan pengalaman keagamaan dan keruhanian mereka yang mendalam, kompleks dan subjektif. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila para pengkaji seperti Smith melihat bahwa ajaran paling murni dan tipikal tentang tasawuf kebanyakan ditulis dalam bentuk puisi
Abdul Hadi (2001: 11) dalam disertasinya menegaskan bahwa tasawuf tidak hanya merupakan gerakan keagamaan tetapi juga merupakan gerakan sastra. Braginsky (1993) menyebut tasawuf sebagai gerakan sastra dengan istilah tasawuf puitik, sedang tasawuf yang ditulis dalam bentuk doktrin keruhanian disebut sebagai tasawuf kitab.
Pertemuan agama dengan seni sudah ada sejak zaman dahulu kala, bahkan sebelum turunnya agama samawi, ritual keagamaan dan do’a-do’a diiringi dengan tarian-tarian, irama, lagu dan musik untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Ritual ibadah itu sendiri merupakan salah satu bentuk seni selain bacaan-bacaan yang didengungkan (Mahmud Salim, 1996:12).

karya sastra_Sastra Islam Kontemporer

Sastra Islam Kontemporer


Pada masa sekarang, arti sastra sudah dapat ditempatkan pada posisi yang proporsional. Di kalangan umat Islam sendiri sastra sudah dapat diterima kembali dan menjadi konsumsi sehari-hari untuk kehidupan dan keperluan dakwah. Keterlibatan ulama dalam dunia sastra bukan fenomena baru. Jauh sebelum Indonesia merdeka gejala semacam itu sudah ada bahkan sejak zaman Wali Songo. Pada era modern, Hamka adalah ulama pertama yang menjadi pelopor keterlibatan ulama di dunia sastra. Karya sastranya yang sangat terkenal diantaranya adalah: Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Ebo menyatakan (2003:121) bahwa sampai tahun 1990-an sangat sedikit ulama yang muncul berdakwah lewat dunia seni dan sastra. Selain Muhammad Zuhri satu ulama yang mengisi kelangkaan itu adalah KH. Mustofa Bisri yang meluncurkan karyanya lewat Penerbit Pustaka Firdaus Jakarta Ontologi Puisi Ohoi 1994.

Muhammad Qutub - seorang ulama Mesir adik dari tokoh sentral dan pendiri Ikhwan Muslimin (Islamic Brotherhood) Sayyid Qutub- dalam bukunya Manhaj al-Fan al-Islamy mengatakan, bahwa pendapat yang mengatakan agama itu mencari kebenaran, seni sastra mencari keindahan. Agama sangat menjunjung akhlak dan al-Quran, sedang seni membenci aturan termasuk aturan moral. Maka seni Islam haruslah merupakan kumpulan nasihat dan kata hikmah.
Menurutnya wilayah objek seni dan sastra Islam adalah semua wilayah kehidupan yang diungkap dari jiwa yang penuh iman dan mengeksplorasi dengan penuh keimanan. Dalam mengungkap segi-segi kehidupan tidak sempit, misalnya dalam mengungkap hubungan antar jenis manusia, tidak berhenti hanya pada masalah seksualitas. Masalah hubungan antar jenis dalam hal seksualitas diungkap, tapi kemudian lebih dari itu dikembangkan lagi dalam aspek-aspek lain tentang nafsu dan aspek-aspek kehidupan yang lebih luas. Kemudian dalam masalah cinta tidak hanya cinta antar manusia antara laki-laki dan perempuan, tapi lebih dari itu adalah menggapai wilayah cinta yang lebih luas; cinta ketuhanan, cinta kemanusiaan, yang diungkap secara luas dan mendalam tidak hanya kecintaan terhadap seksualitas (Qutub, 1987: 127).
Dalam buku Warisan Sufi yang ditulis oleh Seyyed Hossein Nasr (2002: 41) mengemukakan bahwa secara bertahap, meskipun agak terlambat, dunia Barat mulai menyadari bahwa seni Islam bukanlah sebuah koleksi aneh object de art, atau relik-relik pelik yang diciptakan oleh sebagian orang yang menyebut diri mereka Muslim, melainkan bahwa ia pada dasarnya adalah buah spiritual dari pewahyuan Islam.
Dari semua bentuk seni yang diciptakan dalam peradaban Islam yang besar, seni Persia tentu saja paling berbeda dan luas, yang memiliki etos khasnya sendiri, pandangan dunia dan makna simbolis khusus, seni yang secara tak terelakkan berhubungan dengan sufisme, dan sesungguhnya seluruh pandangan-dunia teoretislah yang memungkinkan seni ini benar-benar dimunculkan dari ajaran-ajaran filosofis dan metafisik Sufi. Pada tataran yang lebih eksternal, kemunculan dan adaptasi bentuk-bentuk seni tertentu oleh kaum Sufi memungkinkan eksistensi seni terus berlanjut, terutama berkaitan dengan seni musik.
Islam sendiri benar-benar menganggap aspek Ketuhanan sebagai keindahan, dan gambaran ini dijadikan tumpuan istimewa dalam Tasawuf, yang secara alami berasal dan mengandung inti (haqaiq) ajaran Islam. Maka bukanlah suatu kebetulan apabila karya-karya yang ditulis para Sufi, baik puisi maupun prosa, merupakan karya agung dalam kualitas dan keindahan (Abdul Hadi, 2001: 10).
Tradisi golongan sufi menjadi penggemar dan pencinta seni tampak di dalam amalan sama’ (audicy) yang di dalam sejarahnya telah memeriahkan kehidupan masyarakat Islam. Sama’ adalah sejenis konser musik keruhanian disertai zikir, tari-tarian, pembacaan dan penciptaan puisi. Kegiatan ini telah dikenal oleh para sufi sejak abad ke-19 atau mungkin satu abad sebelumnya. Pengalaman para sufi menyertai upacara sama’ membuat mereka insaf bahwa puisi memang merupakan media yang tepat bagi pengungkapan pengalaman keagamaan dan keruhanian mereka yang mendalam, kompleks dan subjektif. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila para pengkaji seperti Smith melihat bahwa ajaran paling murni dan tipikal tentang tasawuf kebanyakan ditulis dalam bentuk puisi
Abdul Hadi (2001: 11) dalam disertasinya menegaskan bahwa tasawuf tidak hanya merupakan gerakan keagamaan tetapi juga merupakan gerakan sastra. Braginsky (1993) menyebut tasawuf sebagai gerakan sastra dengan istilah tasawuf puitik, sedang tasawuf yang ditulis dalam bentuk doktrin keruhanian disebut sebagai tasawuf kitab.
Pertemuan agama dengan seni sudah ada sejak zaman dahulu kala, bahkan sebelum turunnya agama samawi, ritual keagamaan dan do’a-do’a diiringi dengan tarian-tarian, irama, lagu dan musik untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Ritual ibadah itu sendiri merupakan salah satu bentuk seni selain bacaan-bacaan yang didengungkan (Mahmud Salim, 1996:12). . Wallahu A’lam bi al-Sawab

karya sastra_Harga Sesuap Nasi

Harga Sesuap Nasi

Oleh: Ahmad Shofi’i, SS.
Dengan sabar, Saudah membersihkan tubuhku yang kudap dengan air kencingku. Ia melap seluruh bagian tubuhku dengan handuk yang sudah dicelupkan dalam air hangat dengan hati-hati. Ku pandangi wajahnya, “Maafkan aku Saudah, aku sudah tidak bisa membantumu, malah menjadi beban buatmu. Mungkin jika tidak ada aku, seharusnya kau sudah bisa tidur lelap bersama anak-anak.” Lirihku.
Saudah berhenti menyeka kakiku, saat mendengar perkataanku. Kini, ia ganti memandangku. Pandangan yang sama seperti dulu, pandangan seorang istri yang menyejukkan hati. Kudapati genangan kecil air hendak meluncur dari pelupuk matanya.
“Mas…,” ia menggenggam erat tanganku dan diciumnya berkali-kali. Suara sesenggukan mengiringi sela-sela tangisnya. Dibasahinya tanganku dengan air mata. Dengan serta merta kupeluk Saudah erat-erat. Karena hanya itu yang aku bisa. Setengah badanku lumpuh, tidak bisa digerakkan akibat kecelakaan setahun lalu. Waktu itu aku pulang dari kerja, saat aku mengendarai sepeda motor, tiba-tiba dari arah depan ada dua buah mobil yang melintas dihadapanku. Satu truk, dan satu mobil pik up yang hendak menyalip truk itu, aku yang sudah terlanjur berada di sebelah truk tidak bisa berbuat apa-apa. Hendak membelokkan setirku kearah kiri sudah tidak mungkin. Karena disamping jalan itu ada jurang yang dalam. Akhirnya aku pasrah, dan Brakkk!!! Pik up itu menabrak motorku dan melindas sebagian tubuhku hingga gepeng. Tulang-tulangku remuk, dan setengah badanku lumpuh.
“Kenapa Mas Rusdi berkata seperti itu lagi. Aku yang seharusnya bersyukur karena masih bisa merawat Mas. Hidup bersama Mas sudah menjadi pilihan Saudah, apapun resikonya.”
Aku mengangkat wajahnya, kuhapus air mata yang membasahi pipinya. Meski ku lihat pancaran ketabahan di wajahnya, tapi ia tidak bisa menyembunyikan goresan keletihan dan kesedihan itu dariku.
Aku tahu Saudah, kau tidak akan pernah mengeluh. Tapi tetap saja diri ini merasa bersalah. Aku yang seharusnya menafkahimu dan anak-anak. Tapi kenyataannya malah kau dan anak-anak yang menopang hidupku. Tak jarang kau dan anak-anak bersusah payah mengumpulkankan uang hanya untuk membeli obat-obatku. Kerap kali anak-anak tidak pergi sekolah karena harus bekerja dan menungguiku. Bahkan tidur dengan perut yang lapar sudah menjadi pemandangan yang biasa bagiku. Sedagkan aku, apa yang aku bisa? Aku hanya bisa memandang penderitaan kalian tanpa sanggup berbuat apa-apa. Aku bagaikan bayi raksasa yang selalu merepotkan!
# # #
"Udin, kau tidak berangkat sekolah Nak?" Tanya Saudah pada putranya yang masih duduk di bangku sekolah kelas 5 SD itu.
"Tidak Mak, Udin mau menjaga bapak saja di rumah, lagi pula hari ini pakaian yang harus Udin cuci lumayan banyak." Udin menunjuk beberapa buntelan kresek yang cukup besar, berisi pakaian tetangga-tetangganya yang mencucikan baju padanya.
Begitulah keseharian pekerjaan Udin sekarang. Pekerjaan mencucikan baju tetangga-tetangganya itu ia jalani sejak Rusdi ayahnya mengalami kelumpuhan separuh badan. Ia memilih pekerjaan ini karena disamping ia mendapatkan uang, ia juga bisa tetap di rumah, apabila sewaktu-waktu ayahnya membutuhkan bantuannya. Tetangga-tetangga Udin senang mencucikan baju padanya, karena disamping hasil cuciannya yang cukup bersih harganyapun lebih murah dari harga Laundry. Hal itu sengaja Udin lakukan agar tetangga-tetangganya lebih tertarik untuk mencucikan baju pada dirinya dari pada menggunakan jasa Laundry. Akan tetapi pekerjaan itu banyak menyita waktu sekolahnya, ia jadi sering tidak masuk sekolah sehingga banyak pelajaran yang tertinggal.
“Tapi Nak, kau juga harus sekolah…,” Saudah membelai kepala putranya itu dengan lembut
“Mak, bagaimana…bagaimana kalau Udin berhenti sekolah saja?”
“Apa? Tidak Din, kau harus sekolah!” Jawab Saudah tegas, “jangan sampai kau seperti Emak yang tidak bisa apa-apa ini, Emak tidak mau melihatmu jadi pemulung seperti Emak!”
“Tapi Mak, siapa yang akan menjaga Bapak? Siapa yang akan membayar uang sekolah Upik? Siapa yang akan membayar Uang berobat Bapak? Penghasilan emak sendiri belum cukup untuk semua itu, makannya Udin ingin membantu meringankan beban Emak, biarlah adik-adik saja yang sekolah. Sudah bisa membaca dan berhitung, itu sudah cukup bagi Udin.”
“Udin…,” Saudah memandang wajah putra pertamanya itu dengan pandangan memelas, dipeluknya putranya itu dan dihujaninya dengan linangan air mata.
“Udin, Udin, Udin kau kenapa Nak!” Teriak Saudah saat menemukan tubuh Udin tiba-tiba sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tubuhnya lemas dan wajahnya pucat.
# # #
Keadaan keluarga Rusdi sekarang sangat memprihatinkan. Jika dulu meski terlihat kekurangan, tapi paling tidak mereka dapat makan, meski sehari sekali. Tapi sekarang, sering kali selama 3 hari tidak ada sesuap makananpun yang singgah di mulut mereka, sedang Saudah sendiri pun sekarang tidak bekerja karena harus merawat 2 orang yang sakit, suaminya Rusdi dan Udin putranya. Yah…anak itu jatuh sakit karena tubuhnya yang kecil tidak kuat melakukan pekerjaan yang seberat itu.
Yang paling tertekan dengan kondisi yang seperti itu adalah Rusdi, karena ia merasa sebagai kepala keluarga tidak dapat berbuat apa-apa bahkan ia merasa keberadaannya hanya menjadi beban bagi istri dan anak-anaknya.
“He…he…he…,” Suara tangis Upik terdengar cukup keras
“Ada apa Upik?” tanya Saudah sembari menghampiri putrinya
“Mak…perut Upik sakit Mak…sakiit sekali… he…he…he…,” Saudah tidak dapat berkata apa-apa lagi, ia peluk anak perempuannya yang masih berusia 7 tahun itu. Ia tahu persis kenapa putrinya kesakitan, karena 3 hari sudah, tidak ada sesuap makanan pun yang singgah di mulut Upik
“Sabar ya nak, Emak tadi lagi masak air, sebentar lagi juga matang.” Hibur Saudah seraya mengelus-elus perut putrinya yang nampak kempeng sekali
“Air ya Mak? Tapi Upik tidak haus Mak…Upik lapar…upik mau makan…”
Saudah hanya diam mendengar rintihan Upik, sementara disampingnya terbaring Udin dengan kondisi yang semakin hari semakin lemah, wajahnya pucat dan matanya selalu terpejam, sepertinya ia sedang menahan rasa sakit dan lapar yang amat sangat. Udin, jangankan seteguk obat, sesuap nasi pun jarang ia rasakan. Dan sebagaimana Upik, Udin pun sudah 3 hari tidak makan.
Cukup sudah semua ini! Aku harus melakukan sesuatu untuk keluargaku! Hati Rusdi mulai berontak. Lama…ia termenung, lalu dipanggillah Saudah dan Upik putrinya.
“Saudah, kenapa kau hanya berdiri di ambang pintu begitu!” Tegur Rusdi saat melihat istrinya hanya diam terpaku di pintu masuk kamarnya, sementara Upik masih dalam gendongannya. “kemarilah istriku, aku mau mengatakan sesuatu,” panggil Rusdi diiringi seutas senyum di bibirnya.
Saudah mendekat. Ditatapnya istrinya itu dengan sayang.
“Sini, taruhlah Upik di dekatku, aku ingin mengatakan sesuatu padanya.”
Dilepaskannya Upik dari gendongannya, dan didudukkannya dekat Rusdi yang tengah duduk di atas tempat tidurnya dengan bersandarkan bantal. Anak itu terlihat sangat lemas, tapi ia masih cukup kuat untuk memeluk ayahnya.
“Upik…,” Sapa Rusdi sembari mengelus-elus punggung anaknya yang paling kecil itu. Upik hanya diam, dengan mata terpejam. Tapi pupil matanya yang bergerak-gerak menunjukkan anak itu masih terjaga.
“Maafkan Bapak ya, sudah lama…Bapak tidak dapat membelikan mainan untuk Upik, baju baru untuk Upik, bahkan membelikan makanan yang Upik suka saja Bapak tidak bisa. Maafkan Bapak ya Upik…”
Upik mengangguk, meskipun sangat pelan.
Dipegangnya wajah Upik dengan kedua tangannya, dan dipandangnya wajah kecil itu lekat-lekat, perlahan mata kecil itu terbuka menatap Rusdi.
“Upik, Upik lapar sekali ya?” tanya Rusdi
Upik mengangguk.
“Upik, Bapak berjanji besok Bapak akan membawakan Upik nasi yang banyaaaak dan membelikan Upik baju baru, Upik senang?”
Terlihat mata Upik berbinar-binar, seutas senyum kecil menghiasi bibirnya yang mungil. Upik mengangguk semangat, dan dipeluknya Rusdi erat-erat. Rusdi tersenyum melihat putri kecilnya bahagia, diciumnya putri kecilnya itu dengan sayang dan dipeluknya erat-erat.
“Upik, Bapak sangat menyayangi Upik, Bapak saaangat menyayangi Upik,” Ucap Rusdi berkali-kali, setetes air mata jatuh menempa rambut Upik. “Sekarang Upik tidur ya, jangan menagis lagi, karena besok pagi-pagi akan tersedia makanan yang enak untuk Upik.” Lanjut Rusdi
Upik mengangguk. Diberikannya Upik pada Saudah istrinya.
“Saudah ajaklah Upik tidur, dan tolong bawalah Udin kesini.” Pinta Rusdi
Saudah mengangguk. Diambilnya Upik kecil itu dari pelukan Bapaknya, dan dibawanya ke kamar sebelah. Tak lama kemudian datang Udin dengan wajah yang pucat dan tubuh yang lemas. Ia berjalan dengan bantuan Saudah. Udin mendekat.
“Sini Nak, duduklah dekat Bapak.”
Udin berbaring dekat Rusdi. Rusdi memeluk tubuh anaknya itu dengan sayang. Berkali-kali diusap kepala Udin sambil berucap, “Naak…maafkan Bapak, selama ini Bapak tidak dapat memberikan apa-apa untukmu. Bapak mengerti, kau sebenarnya ingin sekali bersekolah, tapi karena Bapak engkau malah mengorbankan sekolahmu, karena Bapak juga engkau jadi sakit begini. Kau terlalu banyak menguras tenagamu Nak. Dan saat sakit begini pun, Bapak tetap tidak dapat melakukan apa-apa untukmu, maafkan Bapak Naak…maafkan Bapak. Sudah…sudah cukup pengorbananmu untuk Bapak, Bapak tidak mau lagi melihatmu menderita.” Dipeluknya tubuh Udin erat-erat, diciumnya berkali-kali kepala putra pertamanya itu, dan dihujaninya dengan air mata.
Udin membalas pelukan Bapaknya, setetes air mata meluncur membasasahi pipinya. Berkali-kali ia menggelengkan kepala, ia ingiin sekali mengatakan, tidak Bapak…tidak. Bapak tidak salah…Udin tahu, Bapak tidak dapat melakukan semua itu karena Bapak sakit. Udin senang bisa membantu Bapak…sungguh Udin senang…tapi kondisi tubuhnya yang terlalu lemas, memaksanya untuk diam.
“Udin, kau harus sembuh Nak. Besok Bapak akan membelikanmu obat, dan kau harus sembuh.” Rusdi memegang wajah Udin dan menatapnya lekat-lekat, seakan ada beribu harapan yang ia titipkan pada putra pertamanya itu. “Berjanjilah pada Bapak, kau akan sembuh. Karena kau nanti yang akan menjaga Emak dan adikmu Upik, ya Udin?”
Udin menatap wajah Bapaknya. Ia mengangguk.
“Sekarang tidurlah Nak, besok Bapak akan membelikan obat untuk mu.”
Udin mengangguk
“Saudah….” Rusdi berusaha meraih tangan Saudah
Dengan segera Saudah memegang tangan suaminya, “Ya, Mas?”
Rusdi memandang istrinya dengan perasaan sayang, perasaan yang tidak berubah sedikitpun seperti kali pertama dia mengenal perempuan itu. Malah semakin hari semakin bertambah-tambah saja rasa sayangnya pada wanita yang begitu tabah dan tegar di depannya itu.
“Malam ini, kau temani anak-anak saja ya. Kasihan mereka…”
“Mas, Mas nggak kenapa-napa kan?” Saudah terlihat khawatir
“Kau ini kenapa Saudah, aku tidak apa-apa, nanti kalau aku butuh sesuatu aku akan memanggilmu.” Ucap Rusdi dengan seutas senyum di bibirnya
Saudah masih tetap tidak bergeming dari tempat duduknya, kekhawatiran nampak menyelimuti wajahnya.
“Ajaklah Udin tidur, kasihan dia sedang sakit. Sekarang anak-anak lebih membutuhkanmu dari pada aku.” Rusdi meyakinkan
Saudah mengangguk. Kemudian ia mengajak putranya tidur.
# # #
Kemilau sinar matahari pagi yang menyerobot masuk lewat celah-celah dinding bambu rumah Saudah cukup menyilaukan matanya yang masih terpejam
“Masya Allah, aku kesiangan!” Saudah terperanjat dari tidurnya, ia melihat kedua anaknya masih tertidur pulas. Saudah segera keluar kamar, ketika hendak beranjak ke kamar mandi ia hentikan langkahnya sebentar, dan menoleh ke kamar sebelah, kamar tempat suaminya tidur.
“Mas Rusdi sudah bangun belum ya? Ah, sebaiknya aku lihat dulu.” Batinnya
Dibukanya pintu kamar Rusdi perlahan, ia sangat heran saat melihat suaminya tidak berada di tempat tidurnya? Kemanakah suaminya pergi? Mungkinkah ia akan bekerja untuk mendapatkan uang dan membelikan makanan anak-anak seperti janjinya tadi malam? Tapi bukankah ia tidak dapat berjalan, bahkan menggerakkan separuh badannya saja kesulitan? Rasa penasaran dan kekhawatiran terus menyelimuti benak Saudah.
Saat ia membuka pintu kamar lebih lebar lagi, tiba-tiba… ”Maaaasss! apa yang telah kau lakukan Maaasss, Maaasss…!!” Saudah menjerit sejadi-jadinya saat menemukan tubuh suaminya yang sudah tak bernyawa tergantung di bawah atap kamarnya. Secarik kertas tergeletak di meja.
Tak lama kemudian, para tetangga berdatangan untuk melayat, mereka membawa beras dan sejumlah uang sebagai tanda bela sungkawan.
# # #
Saudah, istriku sayang… janganlah kau menyesali kepergianku. Keberadaanku selama ini hanya menambah beban bagi dirimu dan anak-anak. Aku sudah tidak dapat lagi melakukan tugasku sebagai suami dan bapak yang baik. Batinku sungguh tersiksa melihat kalian menderita di lilit kemiskinan dan kelaparan. Maka dengan cara ini, aku harap dapat meringankan sedikit bebanmu, dan memenuhi janjiku pada Upik dan Udin tadi malam. Saudah, sungguh aku mencintaimu dan aku tidak sampai hati meninggalkanmu sendirian merawat anak-anak, tapi alangkah egoisnya aku, jika aku membiarkanmu bergelut dengan penderitaan dengan keberadaan diriku.
Saudah, masaklah nasi dan belikanlah lauk yang enak untuk upik dan udin dari uang layatan yang terkumpul, belikan obat untuk Udin agar ia cepat sembuh, dan belikanlah baju baru untuk Upik. Sisanya, pakailah untuk modal usaha agar engkau tidak lagi bekerja sebagai pemulung dan Udin tidak lagi bekerja sebagai tukang cuci baju. Anggaplah itu nafkah terakhir yang aku amanatkan untukmu.
Saudah, ini semua aku lakukan karena aku sangat menyayangimu dan menyayangi anak-anak lebih dari diriku sendiri. Sampaikan salam sayangku pada mereka.
Aku mencintai kalian
Rusdi