Harga Sesuap Nasi
-
Oleh: Ahmad Shofi’i, SS.
Dengan
sabar, Saudah membersihkan tubuhku yang kudap dengan air kencingku. Ia
melap seluruh bagian tubuhku dengan handuk yang sudah dicelupkan dalam
air hangat dengan hati-hati. Ku pandangi wajahnya, “Maafkan aku Saudah,
aku sudah tidak bisa membantumu, malah menjadi beban buatmu. Mungkin
jika tidak ada aku, seharusnya kau sudah bisa tidur lelap bersama
anak-anak.” Lirihku.
Saudah
berhenti menyeka kakiku, saat mendengar perkataanku. Kini, ia ganti
memandangku. Pandangan yang sama seperti dulu, pandangan seorang istri
yang menyejukkan hati. Kudapati genangan kecil air hendak meluncur dari
pelupuk matanya.
“Mas…,”
ia menggenggam erat tanganku dan diciumnya berkali-kali. Suara
sesenggukan mengiringi sela-sela tangisnya. Dibasahinya tanganku dengan
air mata. Dengan serta merta kupeluk Saudah erat-erat. Karena hanya itu
yang aku bisa. Setengah badanku lumpuh, tidak bisa digerakkan akibat
kecelakaan setahun lalu. Waktu itu aku pulang dari kerja, saat aku
mengendarai sepeda motor, tiba-tiba dari arah depan ada dua buah mobil
yang melintas dihadapanku. Satu truk, dan satu mobil pik up yang hendak
menyalip truk itu, aku yang sudah terlanjur berada di sebelah truk tidak
bisa berbuat apa-apa. Hendak membelokkan setirku kearah kiri sudah
tidak mungkin. Karena disamping jalan itu ada jurang yang dalam.
Akhirnya aku pasrah, dan Brakkk!!! Pik up itu menabrak motorku dan
melindas sebagian tubuhku hingga gepeng. Tulang-tulangku remuk, dan
setengah badanku lumpuh.
“Kenapa
Mas Rusdi berkata seperti itu lagi. Aku yang seharusnya bersyukur
karena masih bisa merawat Mas. Hidup bersama Mas sudah menjadi pilihan
Saudah, apapun resikonya.”
Aku
mengangkat wajahnya, kuhapus air mata yang membasahi pipinya. Meski ku
lihat pancaran ketabahan di wajahnya, tapi ia tidak bisa menyembunyikan
goresan keletihan dan kesedihan itu dariku.
Aku
tahu Saudah, kau tidak akan pernah mengeluh. Tapi tetap saja diri ini
merasa bersalah. Aku yang seharusnya menafkahimu dan anak-anak. Tapi
kenyataannya malah kau dan anak-anak yang menopang hidupku. Tak jarang
kau dan anak-anak bersusah payah mengumpulkankan uang hanya untuk
membeli obat-obatku. Kerap kali anak-anak tidak pergi sekolah karena
harus bekerja dan menungguiku. Bahkan tidur dengan perut yang lapar
sudah menjadi pemandangan yang biasa bagiku. Sedagkan aku, apa yang aku
bisa? Aku hanya bisa memandang penderitaan kalian tanpa sanggup berbuat
apa-apa. Aku bagaikan bayi raksasa yang selalu merepotkan!
# # #
"Udin, kau tidak berangkat sekolah Nak?" Tanya Saudah pada putranya yang masih duduk di bangku sekolah kelas 5 SD itu.
"Tidak
Mak, Udin mau menjaga bapak saja di rumah, lagi pula hari ini pakaian
yang harus Udin cuci lumayan banyak." Udin menunjuk beberapa buntelan
kresek yang cukup besar, berisi pakaian tetangga-tetangganya yang
mencucikan baju padanya.
Begitulah
keseharian pekerjaan Udin sekarang. Pekerjaan mencucikan baju
tetangga-tetangganya itu ia jalani sejak Rusdi ayahnya mengalami
kelumpuhan separuh badan. Ia memilih pekerjaan ini karena disamping ia
mendapatkan uang, ia juga bisa tetap di rumah, apabila sewaktu-waktu
ayahnya membutuhkan bantuannya. Tetangga-tetangga Udin senang mencucikan
baju padanya, karena disamping hasil cuciannya yang cukup bersih
harganyapun lebih murah dari harga Laundry. Hal itu sengaja Udin lakukan
agar tetangga-tetangganya lebih tertarik untuk mencucikan baju pada
dirinya dari pada menggunakan jasa Laundry. Akan tetapi pekerjaan itu
banyak menyita waktu sekolahnya, ia jadi sering tidak masuk sekolah
sehingga banyak pelajaran yang tertinggal.
“Tapi Nak, kau juga harus sekolah…,” Saudah membelai kepala putranya itu dengan lembut
“Mak, bagaimana…bagaimana kalau Udin berhenti sekolah saja?”
“Apa?
Tidak Din, kau harus sekolah!” Jawab Saudah tegas, “jangan sampai kau
seperti Emak yang tidak bisa apa-apa ini, Emak tidak mau melihatmu jadi
pemulung seperti Emak!”
“Tapi
Mak, siapa yang akan menjaga Bapak? Siapa yang akan membayar uang
sekolah Upik? Siapa yang akan membayar Uang berobat Bapak? Penghasilan
emak sendiri belum cukup untuk semua itu, makannya Udin ingin membantu
meringankan beban Emak, biarlah adik-adik saja yang sekolah. Sudah bisa
membaca dan berhitung, itu sudah cukup bagi Udin.”
“Udin…,”
Saudah memandang wajah putra pertamanya itu dengan pandangan memelas,
dipeluknya putranya itu dan dihujaninya dengan linangan air mata.
“Udin,
Udin, Udin kau kenapa Nak!” Teriak Saudah saat menemukan tubuh Udin
tiba-tiba sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tubuhnya lemas dan
wajahnya pucat.
# # #
Keadaan
keluarga Rusdi sekarang sangat memprihatinkan. Jika dulu meski terlihat
kekurangan, tapi paling tidak mereka dapat makan, meski sehari sekali.
Tapi sekarang, sering kali selama 3 hari tidak ada sesuap makananpun
yang singgah di mulut mereka, sedang Saudah sendiri pun sekarang tidak
bekerja karena harus merawat 2 orang yang sakit, suaminya Rusdi dan Udin
putranya. Yah…anak itu jatuh sakit karena tubuhnya yang kecil tidak
kuat melakukan pekerjaan yang seberat itu.
Yang
paling tertekan dengan kondisi yang seperti itu adalah Rusdi, karena ia
merasa sebagai kepala keluarga tidak dapat berbuat apa-apa bahkan ia
merasa keberadaannya hanya menjadi beban bagi istri dan anak-anaknya.
“He…he…he…,” Suara tangis Upik terdengar cukup keras
“Ada apa Upik?” tanya Saudah sembari menghampiri putrinya
“Mak…perut
Upik sakit Mak…sakiit sekali… he…he…he…,” Saudah tidak dapat berkata
apa-apa lagi, ia peluk anak perempuannya yang masih berusia 7 tahun itu.
Ia tahu persis kenapa putrinya kesakitan, karena 3 hari sudah, tidak
ada sesuap makanan pun yang singgah di mulut Upik
“Sabar
ya nak, Emak tadi lagi masak air, sebentar lagi juga matang.” Hibur
Saudah seraya mengelus-elus perut putrinya yang nampak kempeng sekali
“Air ya Mak? Tapi Upik tidak haus Mak…Upik lapar…upik mau makan…”
Saudah
hanya diam mendengar rintihan Upik, sementara disampingnya terbaring
Udin dengan kondisi yang semakin hari semakin lemah, wajahnya pucat dan
matanya selalu terpejam, sepertinya ia sedang menahan rasa sakit dan
lapar yang amat sangat. Udin, jangankan seteguk obat, sesuap nasi pun
jarang ia rasakan. Dan sebagaimana Upik, Udin pun sudah 3 hari tidak
makan.
Cukup sudah semua ini! Aku harus melakukan sesuatu untuk keluargaku! Hati Rusdi mulai berontak. Lama…ia termenung, lalu dipanggillah Saudah dan Upik putrinya.
“Saudah,
kenapa kau hanya berdiri di ambang pintu begitu!” Tegur Rusdi saat
melihat istrinya hanya diam terpaku di pintu masuk kamarnya, sementara
Upik masih dalam gendongannya. “kemarilah istriku, aku mau mengatakan
sesuatu,” panggil Rusdi diiringi seutas senyum di bibirnya.
Saudah mendekat. Ditatapnya istrinya itu dengan sayang.
“Sini, taruhlah Upik di dekatku, aku ingin mengatakan sesuatu padanya.”
Dilepaskannya
Upik dari gendongannya, dan didudukkannya dekat Rusdi yang tengah duduk
di atas tempat tidurnya dengan bersandarkan bantal. Anak itu terlihat
sangat lemas, tapi ia masih cukup kuat untuk memeluk ayahnya.
“Upik…,”
Sapa Rusdi sembari mengelus-elus punggung anaknya yang paling kecil
itu. Upik hanya diam, dengan mata terpejam. Tapi pupil matanya yang
bergerak-gerak menunjukkan anak itu masih terjaga.
“Maafkan
Bapak ya, sudah lama…Bapak tidak dapat membelikan mainan untuk Upik,
baju baru untuk Upik, bahkan membelikan makanan yang Upik suka saja
Bapak tidak bisa. Maafkan Bapak ya Upik…”
Upik mengangguk, meskipun sangat pelan.
Dipegangnya
wajah Upik dengan kedua tangannya, dan dipandangnya wajah kecil itu
lekat-lekat, perlahan mata kecil itu terbuka menatap Rusdi.
“Upik, Upik lapar sekali ya?” tanya Rusdi
Upik mengangguk.
“Upik, Bapak berjanji besok Bapak akan membawakan Upik nasi yang banyaaaak dan membelikan Upik baju baru, Upik senang?”
Terlihat
mata Upik berbinar-binar, seutas senyum kecil menghiasi bibirnya yang
mungil. Upik mengangguk semangat, dan dipeluknya Rusdi erat-erat. Rusdi
tersenyum melihat putri kecilnya bahagia, diciumnya putri kecilnya itu
dengan sayang dan dipeluknya erat-erat.
“Upik,
Bapak sangat menyayangi Upik, Bapak saaangat menyayangi Upik,” Ucap
Rusdi berkali-kali, setetes air mata jatuh menempa rambut Upik.
“Sekarang Upik tidur ya, jangan menagis lagi, karena besok pagi-pagi
akan tersedia makanan yang enak untuk Upik.” Lanjut Rusdi
Upik mengangguk. Diberikannya Upik pada Saudah istrinya.
“Saudah ajaklah Upik tidur, dan tolong bawalah Udin kesini.” Pinta Rusdi
Saudah
mengangguk. Diambilnya Upik kecil itu dari pelukan Bapaknya, dan
dibawanya ke kamar sebelah. Tak lama kemudian datang Udin dengan wajah
yang pucat dan tubuh yang lemas. Ia berjalan dengan bantuan Saudah. Udin
mendekat.
“Sini Nak, duduklah dekat Bapak.”
Udin
berbaring dekat Rusdi. Rusdi memeluk tubuh anaknya itu dengan sayang.
Berkali-kali diusap kepala Udin sambil berucap, “Naak…maafkan Bapak,
selama ini Bapak tidak dapat memberikan apa-apa untukmu. Bapak mengerti,
kau sebenarnya ingin sekali bersekolah, tapi karena Bapak engkau malah mengorbankan
sekolahmu, karena Bapak juga engkau jadi sakit begini. Kau terlalu
banyak menguras tenagamu Nak. Dan saat sakit begini pun, Bapak tetap
tidak dapat melakukan apa-apa untukmu, maafkan Bapak Naak…maafkan Bapak.
Sudah…sudah cukup pengorbananmu untuk Bapak, Bapak tidak mau lagi
melihatmu menderita.” Dipeluknya tubuh Udin erat-erat, diciumnya
berkali-kali kepala putra pertamanya itu, dan dihujaninya dengan air
mata.
Udin
membalas pelukan Bapaknya, setetes air mata meluncur membasasahi
pipinya. Berkali-kali ia menggelengkan kepala, ia ingiin sekali
mengatakan, tidak Bapak…tidak. Bapak tidak salah…Udin tahu, Bapak
tidak dapat melakukan semua itu karena Bapak sakit. Udin senang bisa
membantu Bapak…sungguh Udin senang…tapi kondisi tubuhnya yang terlalu lemas, memaksanya untuk diam.
“Udin,
kau harus sembuh Nak. Besok Bapak akan membelikanmu obat, dan kau harus
sembuh.” Rusdi memegang wajah Udin dan menatapnya lekat-lekat, seakan
ada beribu harapan yang ia titipkan pada putra pertamanya itu.
“Berjanjilah pada Bapak, kau akan sembuh. Karena kau nanti yang akan
menjaga Emak dan adikmu Upik, ya Udin?”
Udin menatap wajah Bapaknya. Ia mengangguk.
“Sekarang tidurlah Nak, besok Bapak akan membelikan obat untuk mu.”
Udin mengangguk
“Saudah….” Rusdi berusaha meraih tangan Saudah
Dengan segera Saudah memegang tangan suaminya, “Ya, Mas?”
Rusdi
memandang istrinya dengan perasaan sayang, perasaan yang tidak berubah
sedikitpun seperti kali pertama dia mengenal perempuan itu. Malah
semakin hari semakin bertambah-tambah saja rasa sayangnya pada wanita
yang begitu tabah dan tegar di depannya itu.
“Malam ini, kau temani anak-anak saja ya. Kasihan mereka…”
“Mas, Mas nggak kenapa-napa kan?” Saudah terlihat khawatir
“Kau ini
kenapa Saudah, aku tidak apa-apa, nanti kalau aku butuh sesuatu aku
akan memanggilmu.” Ucap Rusdi dengan seutas senyum di bibirnya
Saudah masih tetap tidak bergeming dari tempat duduknya, kekhawatiran nampak menyelimuti wajahnya.
“Ajaklah Udin tidur, kasihan dia sedang sakit. Sekarang anak-anak lebih membutuhkanmu dari pada aku.” Rusdi meyakinkan
Saudah mengangguk. Kemudian ia mengajak putranya tidur.
# # #
Kemilau
sinar matahari pagi yang menyerobot masuk lewat celah-celah dinding
bambu rumah Saudah cukup menyilaukan matanya yang masih terpejam
“Masya
Allah, aku kesiangan!” Saudah terperanjat dari tidurnya, ia melihat
kedua anaknya masih tertidur pulas. Saudah segera keluar kamar, ketika
hendak beranjak ke kamar mandi ia hentikan langkahnya sebentar, dan
menoleh ke kamar sebelah, kamar tempat suaminya tidur.
“Mas Rusdi sudah bangun belum ya? Ah, sebaiknya aku lihat dulu.” Batinnya
Dibukanya
pintu kamar Rusdi perlahan, ia sangat heran saat melihat suaminya tidak
berada di tempat tidurnya? Kemanakah suaminya pergi? Mungkinkah ia akan
bekerja untuk mendapatkan uang dan membelikan makanan anak-anak seperti
janjinya tadi malam? Tapi bukankah ia tidak dapat berjalan, bahkan
menggerakkan separuh badannya saja kesulitan? Rasa penasaran dan
kekhawatiran terus menyelimuti benak Saudah.
Saat ia
membuka pintu kamar lebih lebar lagi, tiba-tiba… ”Maaaasss! apa yang
telah kau lakukan Maaasss, Maaasss…!!” Saudah menjerit sejadi-jadinya
saat menemukan tubuh suaminya yang sudah tak bernyawa tergantung di
bawah atap kamarnya. Secarik kertas tergeletak di meja.
Tak lama kemudian, para tetangga berdatangan untuk melayat, mereka membawa beras dan sejumlah uang sebagai tanda bela sungkawan.
# # #
Saudah,
istriku sayang… janganlah kau menyesali kepergianku. Keberadaanku
selama ini hanya menambah beban bagi dirimu dan anak-anak. Aku sudah
tidak dapat lagi melakukan tugasku sebagai suami dan bapak yang baik.
Batinku sungguh tersiksa melihat kalian menderita di lilit kemiskinan
dan kelaparan. Maka dengan cara ini, aku harap dapat meringankan sedikit
bebanmu, dan memenuhi janjiku pada Upik dan Udin tadi malam. Saudah,
sungguh aku mencintaimu dan aku tidak sampai hati meninggalkanmu
sendirian merawat anak-anak, tapi alangkah egoisnya aku, jika aku
membiarkanmu bergelut dengan penderitaan dengan keberadaan diriku.
Saudah,
masaklah nasi dan belikanlah lauk yang enak untuk upik dan udin dari
uang layatan yang terkumpul, belikan obat untuk Udin agar ia cepat
sembuh, dan belikanlah baju baru untuk Upik. Sisanya, pakailah untuk
modal usaha agar engkau tidak lagi bekerja sebagai pemulung dan Udin
tidak lagi bekerja sebagai tukang cuci baju. Anggaplah itu nafkah
terakhir yang aku amanatkan untukmu.
Saudah,
ini semua aku lakukan karena aku sangat menyayangimu dan menyayangi
anak-anak lebih dari diriku sendiri. Sampaikan salam sayangku pada
mereka.
Aku mencintai kalian
Rusdi